Fayena tertawa lepas melihat ikan kecil yang berhasil Juanda dapatkan. Padahal ketika kailnya bergerak, Juanda sudah sangat girang sekali. Fayena pikir pemuda itu akan dapat ikan nila yang besar, nyatanya hanya sebesar telunjuknya saja. Juanda tak ingin melepas ikan itu meski Fayena menyuruhnya.
"Lepas aja kali. Itu kecil banget ya ampun Juanda. Itu kecil banget. Hahaha!" celoteh Fayena tertawa lepas sambil menunjuk ke arah ikan yang Juanda masukan ke dalam ember.
"Nggak. Biarin saya yang makan. Enak aja udah girang, eh dapat ikan kecil. Terus mau dilepasin gitu?" gerutu Juanda kembali memasang umpan dikailnya.
"Ikan segitu mah nggak usah dibuang lagi isi perutnya. Digoreng juga bakal ilang," ucap Fayena di sisa tawanya.
Juanda menoleh pada Fayena yang kembali tenang memegangi alat pancingan. Pria itu tersenyum simpul, sudah lama ia tak melihat Fayena tertawa seperti itu. Ia pikir setelah memasuki kehidupan kedua ini, dirinya tak akan bisa lagi bertemu dengan Fayena. Tiba-tiba, Fayena menoleh pada Juanda, membuat pria itu langsung mengalihkan tatapannya dengan perasaan teramat gugup.
"Kenapa lo natap gue gitu banget? Jangan pikir gue Yena, ya. Gue Fa-ye-na. Tapi kalau lo kangen banget sama Yena, ya boleh aja sih lo anggap gue dia. Setidaknya lo nggak pundung terus mikirin dia," ujar Fayena dengan ringan.
Juanda melebarkan kedua matanya menatap Fayena. "Boleh, Faye?"
Fayena menoleh pada Juanda seraya tertawa geli. "Ih, lo beneran kangen sama Yena? Gila segitunya, padahal udah lama nggak ketemu, ya? Tapi lo kayak cinta banget sama dia. Jadi pengin jadi Yena deh."
"Iya udah lama," sahut Juanda mendadak sendu sambil menatap ke arah depan. "Jika waktu bisa diputar kembali, saya nggak mau ninggalin dia."
"Emang lo yang ninggalin dia? Pindah ke kota apa gimana?" Fayena mulai bertanya dengan raut wajah penuh rasa penasaran.
"Terakhir saya dan Yena ketemu, waktu saya temuin dia di ladang. Saya mau ngajak dia ke pasar malam yang biasanya diadakan sebulan sekali di lapangan luas depan desa. Tapi Yena nggak mau dengan alasan malu dan takut kalau diejek warga. Saya kesal sama Yena dan ... marah waktu itu ke dia ....'' Juanda pun mengingat kembali momen dirinya bersama Fayena waktu di desa.
FLASHBACK
Juanda berlari menghampiri Fayena yang sedang memanen bawang merah. Pria dengan senyuman manis dan berkulit bersih itu berjongkok di tepi ladang sambil menghadap Fayena yang tengah sibuk dengan kegiatannya.
"Fayena!"
Fayena menoleh dengan raut wajah dinginnya. Gadis itu memang sangat jarang tersenyum dan sungkan untuk menunjukkan banyak ekspresi. Raut wajahnya selalu datar terkesan dingin. Termasuk pada pemuda yang ia sukai, yaitu Juanda.
"Naik dulu, yuk! Aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ajak Juanda menunjukkan senyuman manisnya.
"Aku lagi sibuk, Wan," sahut Fayena.
"Sebentar aja. Kalau nggak mau aku yang turun, ya?"
"Jangan!" sahut Fayena cepat. "Nanti sendal kamu kotor dan ibumu tahu kalau kamu ke sini," lanjutnya seraya bangkit dari posisi berjongkoknya.
Juanda dan Fayena akhirnya duduk di sebuah saung. Gadis itu tampak tak tenang. Ia melihat ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tak ada yang melihat mereka sedang bersama. Bisa-bisa dirinya menjadi korban jambakan ibunya Juanda lagi seperti dua bulan yang lalu.
"Cepetan, Juan. Ada apa?" desak Fayena.
Juanda membenarkan rambut keriting Fayena yang nyaris masuk ke mata gadis itu karena angin yang bertiup. Wajah Fayena melunak begitu mendapat perlakuan manis dari Juanda.
"Malam ini ada pasar lho di depan desa. Ke sana berdua, yuk, Faye! Pasti seru banget deh liat pertunjukkan teater sambil makan jagung bakar atau minum kopi susu kayak yang aku kasih ke kamu bulan kemarin," ajak Juanda dengan antusias. Ia berpikir Fayena akan menyetujuinya dengan antusias pula. Namun gadis itu malah menggeleng pelan.
"Maaf, Juan. Kayaknya kita nggak bisa pergi bersama deh," tolak Fayena.
"Kenapa, Faye? Kamu udah ada janji sama orang lain buat pergi ke sana?"
Fayena langsung menggeleng kepalanya. "Mana ada sih yang mau ngajak aku jalan selain kamu. Yang ngedeketin aku juga cuma kamu. Kamu lupa aku ini pembawa sial?"
"Fayena! Aku nggak suka ya kalau mau ngomong kayak gitu lagi. Nggak ada istilahnya pembawa sial, Fay. Aku kalau lagi kenapa-kenapa, itu bukan karena deketan sama kamu. Itu murni takdir aku aja yang lagi apes. Ya wajarlah namanya juga hidup, nggak mungkin enak terus tanpa musibah," lontar Juanda dengan nada bicara yang tak suka. Selain neneknya Fayena, Juanda adalah orang yang tak setuju dengan predikat pembawa sial yang diberikan pada Fayena.
"Tapi kenyataannya kayak gitu, Juan. Dari kecil aku bikin masalah terus, bikin ayah dan ibu sial terus. Yang aku ingat aja, ya. Waktu umur lima tahun aku jatuh ke sumur, ayah yang rela turun ke sumur buat selamatin aku. Lalu pas aku sekolah SD kelas satu, aku kelepasan ayam yang aku pegang sampai bikin kaget sopir Pick Up yang ngangkut telur sampai mobilnya nyungsep. Ayah yang ganti telur yang pecah sampai ratusan ribu padahal keuangan sedang sulit. Terus waktu kelas empat SD aku hampir bikin nyawa Ibu melayang karena jemput aku di sekolah pas hujan deras, Ibu nyaris tersambar petir. Lagi, waktu SMP aku ngelempar batu dan kena mobil orang kaya dan dituntut ganti rugi jutaan rupiah. Ayah berminggu-minggu bekerja tanpa upah. Lagi waktu SMA aku pernah digosipkan hamil di luar nikah sampai bikin ayah dan ibu dipanggil ke sekolah dan dikatain orang kampung. Dan terakhir, ayah meninggal karena nyelamatin aku dari ular berbisa. Juan, itu semua karena aku! Gara-gara aku, Juan!"
"CUKUP FAYENA!" teriak Juanda berkilat marah. Ia berdiri sambil menatap gadis itu dengan emosi yang membumbung tinggi. "ITU BUKAN SALAH KAMU! ITU TAKDIR!"
"TAPI AKU YANG BAWA TAKDIR SIAL ITU, JUANDA!" balas Fayena.
"GILA KAMU!" teriak Juanda saking kesalnya. "Kamu tuh kayak orang gila sadar nggak sih, Faye? Kamu seolah-olah selalu meracau kalau kamu pembawa sial, padahal aku setiap hari bilang kalau kamu bukan pembawa sial. Kamu anugrah buat aku. Kamu kebahagiaan aku di saat aku muak sama kehidupanku, Faye. Cuma sama kamu hidup aku lebih berwarna. Ngerti nggak sih kamu? Sadar dong! Jangan ikutin kata hati kamu yang dari awal emang sudah salah!"
Fayena mengangguk dengan air mata yang berlinang di pipinya. "Ya. Aku emang sudah gila, Juanda. Aku gila sejak ayah meninggal dan ibu yang pergi ke kota. Aku kerja supaya bisa terus hidup, biar bisa hukum diriku sendiri karena udah bikin sial banyak orang. Dan kamu malah jatuh cinta sama orang gila? Kamu mau ikutan gila? Aku sih nggak sudi gila sama kamu. Gila itu cuma buat aku, Juanda. Nggak usah sok perhatian dan sama-samain takdir kita. Kita jelas beda," cetus Fayena sebelum pergi meninggalkan Juanda menuju ladang bawang lagi. Juanda begitu sakit hati melihat betapa egoisnya seorang Fayena yang tetap melanjutkan pekerjaannya usai menusuknya dengan sebuah belati tak kasat mata.
"Aku cinta kamu, Fayena. Sialnya aku ya cinta sama kamu," ucap Juanda menangis sesegukan.
FLASHBACK END
Terdengar isak tangis pelan di sampingnya, membuat Juanda menoleh. Ia panik melihat Fayena yang berlinang air mata. Mengapa Fayena tiba-tiba menangis? Apakah ia mengingat sesuatu tentang kehidupannya yang sebelumnya? Itulah dua pertanyaan yang tercipta di kepala Juanda saat ini.
"Eh, Faye kok nangis? Saya salah ngomong apa gimana nih?"
Fayena menyeka air matanya sambil memasang wajah cemberut pada Juanda. "Sebenernya lo itu ada bakat akting apa gimana sih? Lo tuh kalau lagi cerita tuh kayak mendalami banget. Jadi nangis kan gue. Gue nggak tau ada hubungan apa gue sama Yena-nya elo. Tapi gue selalu ngerasain perihnya perasaan dia lewat cerita lo tadi. Gue jadi penasaran deh sama tuh cewek. Sekarang dia masih di desa itu?"
Juanda mengembuskan napas pelan. Ia pikir Fayena mengingat tentang identitas asli dirinya dulu. Meski begitu, Juanda tetap senang karena setidaknya sedikit demi sedikit ia bisa membangkitkan perasaan Fayena yang dulu di raga Fayena yang sekarang.
"Saya nggak tau dia masih ada di desa itu atau enggak, Fay. Saya harap walau dia udah nggak ada di sana, saya tetap punya kesempatan untuk pergi ke sana," lontar Juanda. "Sama Faye," lanjutnya.
"Kapan? Gue mau kok temenin lo ke sana," ucap Fayena dengan antusias. Ia melirik ke sekitar sebelum membisikkan sesuatu pada Juanda. "Tapi jangan sampai Regina tau, bisa ngelarang dia kalau gue keluyuran."
Juanda tertawa kecil. "Oke. Kalau Faye punya waktu yang tepat, bilang, ya. Biar kita bisa ke tempat itu berdua."
"Okey!"
Regina berjalan menuju dapur. Dengan mata yang setengah terbuka, wanita itu melihat Juanda dan Fayena berusaja menyudahi kegiatan memancingnya.
"Udah selesai? Dapat berapa?" tanya Regina.
"Gue dapat empat, Juan dapat dua. Tapi yang satunya kayak jari telunjuk dia," sahut Fayena tertawa di akhir jawabannya.
"Hahaha! Bener-bener ya kalian. Ikan kecil mah lepasin aja. Digoreng cuma cukup makan nasi dua sendok," ujar Regina tertawa.
"Dia nggak mau," sahut Fayena.
Sembari menunggu ikan dimasak oleh Bude Arumi, mereka bertiga duduk di lantai ruang santai sambil main ular tangga. Juanda berdecak karena selalu menempati ekor ular yang mana ia harus turun ke nomor bawah lagi.
"Hahaha! Juan-juan. Sial banget sih jagoan kuning lo. Masa keinjek uler terus," ledek Fayena puas.
"Liat aja kali ini saya dapat angka enam," ujar pemuda itu seraya melemparkan dadu. Namun, yang keluar malah angka satu. Makin kencanglah tawa seorang Fayena.
"HAHAHA! Aduhh perut gue sakit," desis Fayena memegangi perutnya karena terlalu banyak tertawa. Apalagi melihat raut wajah cemberut Juanda, membuat tangan kanannya berusaha mencubit dagu pemuda itu dengan gemas.
Regina yang sedari tadi menatap interaksi mereka menatap penuh kecurigaan. Kedua sudut bibirnya tiba-tiba terangkat ketika menemukan ide yang cemerlang. "Hehe. Bisa nih si Juan gue jadiin penghancur hubungan Faye sama si titisan Firaun. Gedeg banget gue setiap kali tuh cowok egois sama Faye. Mampus lo Faye udah nemu cowok yang bikin dia nyaman," batin Regina.