Libur semester biasanya hanya diberi waktu selama dua minggu. Phiko sudah menghabiskan waktu liburnya selama seminggu ini hanya dengan terbaring di atas kasur. Dokter sudah dipanggil sebanyak tiga kali dalam seminggu ini, Phiko enggan menginjakkan kaki ke rumah sakit lagi.
Kesehatan Phiko kian menurun, padahal Bapak dan kakak-kakaknya sudah mengusahakan yang terbaik untuk merawat Phiko. Namun, hari ini bahkan Phiko harus memakai selang nasogastrik yang menghubungkan ke lambungnya karena semua makanan dimuntahkan kembali.
Tubuh Phiko kurus sekali. Matanya sayu, napasnya pendek, dan bibirnya kering. Dalam waktu seminggu ini, penyakitnya mengganas dan membumihanguskan keceriaan Phiko. Padahal, Bapak berencana membawa anak-anaknya bermain ke pantai saat tahun baru nanti.
Di atas kasur, Phiko perlahan memiringkan tubuhnya. Ia merasa pegal. Matanya menatap nanar ke arah pintu yang terbuka lebar. Aroma masakan tercium wangi di hidungnya, membuat perut meronta ingin dimasukkan makanan. Tak lama, seorang lelaki yang menggunakan kaki palsu datang menghampiri, menyeret kaki kanannya yang tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan berfungsi.
Vino menarik kursi belajar. Kemudian lelaki itu sibuk mempersiapkan segala alat untuk memasukkan ayam, nasi, dan wortel yang dihancurkan menjadi bubur super halus dengan bantuan kaldu ke dalam selang.
“Bapak masak apa?” tanya Phiko dengan nada lemah.
Vino tersenyum hangat. “Ayam goreng, Phi. Sama sop bakso.”
“Mau.”
“Hm?”
“Gue mau makan masakan Bapak, No.”
Vino tampak berpikir sejenak, menyimpan mangkuk di meja kecil sebelah kasur. Vino keluar untuk bertanya kepada Bapak, dan kembali lagi dengan wajah semringah. Vino juga membawakan kursi roda miliknya yang sudah lama teronggok di sudut kamar.
“Gue bisa berdiri, No.”
Kening Vino mengernyit, meragukan kemampuan adiknya. Padahal, seminggu ini Phiko hanya bisa terbaring. Buang air pun harus dibantu oleh kakak-kakaknya dan Bapak. Bagaimana bisa Phiko berjalan untuk hari ini? Phiko bersikeras. Vino mengulurkan tangannya, dan lelaki itu pun langsung berusaha sekuat tenaga berdiri. Ia tertatih-tatih menuju pintu kamar. Namun, makin lama beban tangan yang sedang merangkul Vino ini malah semakin berat.
“Ini gue yang dituntun atau gue yang nuntun lo, ya? Kok, makin berat aja.” Phiko menggoyangkan bahunya.
Vino tertawa kecil, melepaskan tangannya yang bertangkai di bahu Phiko. Phiko benar-benar bisa sampai ke meja makan. Finna dan Bapak menyambutnya dengan senyum hangat. Mungkin, Bapak cenderung bersedih dalam hatinya. Ia melihat anak-anaknya begitu mengkhawatirkan. Phiko sakit, Finna tuli, dan Vino lumpuh setengah badan. Di saat kondisi kesehatannya mulai membaik dari penyakit jantung, ia malah tidak bisa menikmati hari dengan tenang bersama anak-anaknya.
Akan tetapi, Bapak senang karena anak-anaknya melewati hal ini dengan tenang dan ikhlas. Bapak senang karena masih diberi kesempatan untuk berusaha lebih giat, supaya anak-anaknya bisa beraktivitas seperti semula.
Phiko makan dengan lahap, disuapi Finna. Semua makanan berhasil masuk ke dalam perutnya. Mereka juga menunggu selama beberapa menit ke depan, hebatnya Phiko tidak memuntahkan kembali makanannya!
Bapak merasakan adanya tanda-tanda kesembuhan dari Phiko. Meski begitu, ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Terminal lucidity.
***
Phiko malam ini terbangun karena dua hal. Mimpinya dan naluri manusiawi untuk ke kamar mandi. Phiko mengatur deru napas secara perlahan. Mimpinya sedikit ganjal, walau dalam hati ia senang bukan main. Ibu kandungnya datang berkunjung ke rumah. Benar-benar nyata! Ia duduk di tepian kasur, mengusap surai hitam Phiko yang mulai melebihi batas. Ibun benar mirip seperti yang Phiko lihat di foto Bapak. Namun, yang membuat aneh ialah ajakan Ibun untuk ikut bersamanya. Saat Phiko bertanya ikut ke mana, pandangannya memburam dan ia terbangun ke dunia nyata.
Tubuhnya berontak lagi, menitahnya untuk segera masuk ke kamar mandi. Phiko lantas beranjak. Mengucek kedua mata, melirik jam di dinding kamar yang menunjukkan pukul dua dini hari. Dulu sekali, biasanya dia atau kakaknya akan ke pasar di jam segini. Phiko menoleh ke belakang, Vino masih berdengkur di sana. Phiko berdiri dari kasur. Finna juga masih tidur di ranjangnya saat Phiko melongok ke sebelah lemari.
Phiko selesai dengan urusan kamar mandi. Saat hendak kembali masuk kamar, telinganya menangkap suara tangis yang menyayat hati. Alis Phiko bertaut. Bapak ... menangis di tengah malam? Ini tidak bisa dibiarkan. Bukankah Bapak melarang Phiko menangis malam-malam? Bukankah dokter juga memperingatkan kalau overthinking di malam hari adalah salah satu pemicu gerd?
Phiko mendorong pelan pintu kamar yang tak tertutup rapat itu. Rupanya Bapak sedang bersimpuh di atas sajadah, menengadahkan kedua tangannya. Phiko mengurungkan niat, ia memilih diam di ambang pintu dan melihat bapaknya dari belakang.
“Ya Allah, bukankah terminal lucidity adalah orang sakit yang mendadak semangat lagi? Mendadak lahap makan? Mendadak punya gairah hidup? Anakku Finna bilang, jika ada seseorang yang mengalami terminal lucidity, sudah pasti ia akan engkau bawa, Ya Allah.” Bapak kembali terisak di antara sepinya malam, menemani suara jangkrik dan gemilir angin di luar rumah.
“Jika hal itu baru saja datang kepada putraku, Phiko. Hamba mohon, janganlah engkau bawa ia ke pangkuanmu, Ya Allah. Hamba masih ingin melihatnya bahagia bersama hamba. Dia baru saja mendapatkan keceriaannya lagi, dia baru saja dekat kembali dengan kakak-kakaknya. Hamba berterima kasih karena engkau telah memberikan hamba tubuh yang bugar lagi. Namun, hamba mohon kepada-Mu, zat Yang Maha Menyembuhkan, berikan hamba kesempatan untuk membuat senyuman-senyuman itu bertahan lebih lama.”
Bapak lantas mengusap wajahnya, sekaligus mencoba menghentikan tangisannya. Bapak kemudian sujud dengan cukup lama. Phiko yang melihat itu menutup mulutnya dengan tangan, menahan isakkan agar tak terdengar di telinga Bapak. Tubuh Phiko bergetar, air mata malam ini jatuh lebih deras dari yang ia duga.
Bapak melipat sajadahnya. Duduk di tepi kasur, menatap selembar foto di tangannya. “Tolong jangan bawa Phiko dulu, Aleena. Aku masih belum menebus rasa bersalahku, aku masih belum merasa menjadi ayah yang baik untuk mereka.”
Phiko tak kuasa menahannya. Ia membuka pintu, berlari kecil dan memeluk Bapak dari belakang. Phiko menangis di pelukan Bapak. Terseguk-seguk dirinya meluapkan pilu atas haru dari doa seorang ayah.
Malam ini, Phiko tidur di samping Bapak. Di pelukan Bapak yang hangatnya melebihi selimut tebal. Bapak meninabobokan putra bungsunya seperti anak kecil. Beberapa kali Bapak mencium wajah putranya saat anak itu mulai terlelap. Bapak mencintai semua anaknya, tapi Phiko adalah pembawa harapan paling tinggi untuk kehidupan keluarga ini.
“Aaa! Vino!”
“Apa? Apa!” Anak kecil berusia lima tahun itu berdiri dari tanah halaman rumah yang sedang dijadikannya sebagai proyek pembangunan.
Vino menenteng sebuah pacul mainan, menghampiri adik pertamanya dengan wajah menyolot. Sementara sang adik memajukan bibir, menyodorkan lipstik mainan yang sudah patah di tangannya.
“Ini pasti gara-gara kamu, kan, Vino?”
Vino menggidikkan bahu. “Mana kutahu! Kenapa aku doang yang dituduh? Phiko mana, Phiko?”
“Karena cuman kamu yang selalu penasaran dengan barang-barang aku!” sewot Finna. Gadis kecil itu terus merengek tidak terima.
Sama saja, Vino juga ogah-ogahan menanggapi omelan Finna. Vino bahkan kembali melanjutkan proyek kecilnya memainkan tanah halaman. Merasa tidak ditanggapi, Finna kemudian menangis kencang. Mengentak-entakkan kedua kakinya, berharap mendapat perhatian kakaknya. Namun, yang datang justru Phiko, adik kecilnya yang selalu ingusan.
Anak berponi itu mengambil lipstik mainan Finna. Menjilatnya.
“Ih, Phiko! Itu bukan makanan!” geram Finna, tangisnya bahkan mereda.
Phiko tidak mengindahkan. Setelah menjilati bagian yang patah, Phiko menempelkan patahan tersebut ke tempatnya. Lidahnya terjulur, melumat ingus yang sudah menyentuh dinding mulutnya. Voila! Lipstik mainan itu berhasil menyatu lagi berkat air liur Phiko.
Phiko memberikan kembali lipstik tersebut. Finna menerimanya dengan meringis jijik. Masalah berhasil terselesaikan berkat Phiko.
Phiko kecil itu mudah sakit dan mengalami keterlambatan dalam berbicara. Ketika kedua kakaknya sudah lancar mengatakan isi hati, Phiko masih menyampaikannya dengan tunjukkan atau tangisan. Bapak pikir, Phiko adalah anak yang spesial, mungkin butuh terapi supaya ia bisa sama seperti dua kembarannya dan teman sebaya. Makannya Bapak selalu memperlakukan Phiko berbeda dari yang lainnya.
“Cang, cang, cang!” Phiko menarik celana Bapak, tangannya menunjuk ke keluar.
Bapak tersenyum kepada putra bungsunya. Ia mematikan kompor, menggendong Phiko dan berjalan ke depan rumah.
Panggilan ‘Cang’ merupakan panggilan kepada paman dalam bahasa Betawi. Di depan rumah ada seorang pria setengah baya yang memang sering sekali bermain dengan si kembar tiga ini. Bapak pikir, Phiko sedang ingin bermain dengan pria tersebut, maka ia mengetuk pintu pria itu dan memanggil-manggil namanya.
“Kayaknya Cang Erwin lagi pergi, Phi.”
Bapak menatap putranya yang berdiri di sampingnya. Anak itu malah celingukan ke jalanan. Entahlah, Bapak tidak mengerti, Phiko tidak bisa berbicara dengan jelas. Beberapa menit kemudian, pedagang bacang melintasi rumah menggunakan rodanya. Phiko terlihat bertepuk tangan, ia berlari menghampiri Abang Bacang itu dengan melompat-lompat.
“Cang, cang, cang!”
Bapak menepuk jidat. “Kamu mau bacang, toh ? Kirain Cang Erwin.”
Hari itu Bapak menyadari, bahwa pendengaran Phiko kuat sekali. Ia bisa mendengar suara pedagang yang melintas ke depan rumahnya dari jarak sepuluh meter sekalipun.
Semakin bertambah besar, Phiko mulai menunjukkan kelihaiannya. Ia bisa bernyanyi, percaya diri mengikuti ajang seni hingga mendapat berbagai kejuaraan. Saat Phiko memasuki awal keremajaan, Bapak tidak bisa melihat pertumbuhan Phiko dengan jelas, karena dirinya sakit keras. Akan tetapi, Phiko senantiasa menaruh perhatian hangat kepada bapaknya. Membawakan makan, minum, dan mengingatkan untuk minum obat. Namun, semua kehangatan dan keceriaan Phiko menghilang bagaikan tertelan bumi saat istri keduanya itu memutuskan berselingkuh.