Ada saat-saat dalam hidup yang tidak pernah benar-benar kita ingat secara utuh—seperti potongan mimpi yang basah oleh pagi,
atau perasaan nyeri yang samar setelah luka sembuh.
Aku sering merasa seperti sedang berjalan dalam lorong panjang tanpa cahaya ujungnya.
Bukan karena aku tak punya arah,
tapi karena terlalu banyak arah,
dan aku terlalu takut memilih.
Mereka bilang aku masih muda.
Masih bisa mencoba ini dan itu.
Tapi tidak ada yang benar-benar memberitahuku
berapa banyak kegagalan yang harus kutelan sebelum aku boleh berhenti.
Hari-hariku dimulai dengan alarm yang tak ingin aku dengar,
dan berakhir dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kujawab.
Apa aku sudah cukup?
Apa aku akan baik-baik saja?
Apa hidupku akan berarti, suatu saat nanti?
Aku tak pernah mengucapkannya keras-keras,
tapi aku mulai lelah menjadi aku.
Dan malam itu—ketika hujan jatuh tanpa jeda,
dan bayanganku tersenyum saat aku tidak—
aku sadar sesuatu berubah.
Aku menyentuh cermin.
Bukan untuk memperbaiki rambutku.
Bukan untuk melihat penampilan.
Tapi untuk memastikan,
bahwa aku masih di sini.
Dan saat itu, aku tidak lagi di sini.
Aku berada di tempat yang aneh.
Tempat yang sunyi, tapi penuh gema.
Tempat di mana versi-versi lain dari diriku berjalan, hidup, dan memilih jalan yang tak pernah kupilih.
Dunia ini bukan mimpi.
Tapi juga bukan kenyataan.
Ini adalah ruang di antara.
Ruang di mana aku bisa bertanya:
“Jika aku memilih hal lain, apakah aku akan lebih bahagia?”
Dan yang lebih penting—“Apakah aku tetap akan menjadi aku?”