Di sebuah ruangan ICU mewah nan dingin dan sunyi, waktu seolah membeku. Aroma antiseptik yang tajam bercampur dengan dengung halus mesin-mesin medis menciptakan atmosfer asing yang membuat siapa pun merasa kecil. Di ranjang berlapis selimut putih steril, terbaring seorang pria berusia 28 tahun. Tubuhnya dilingkari oleh selang infus, monitor detak jantung, dan alat bantu pernapasan yang terus bekerja seolah mempertahankan hidupnya dengan sisa-sisa tenaga buatan.
Di sisi tempat tidur itu, seorang gadis tertidur dengan kepala bersandar di tepi ranjang. Wajahnya pucat dan tampak begitu lelah, seolah berhari-hari tak menyentuh kenyamanan tidur yang layak. Rambutnya yang hitam panjang tergerai berantakan, dan matanya yang sembab menyiratkan kisah panjang yang tak diucapkan. Namun meski dalam tidur, jemarinya tetap menggenggam tangan laki-laki itu—erat, seolah takut jika kehangatan itu benar-benar pergi.
Tiba-tiba, detak jantung pria itu bergetar sedikit lebih cepat.
Kelopak matanya bergetar pelan sebelum perlahan terbuka. Cahaya lembut dari lampu langit-langit menyilaukan pandangannya, membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk beradaptasi. Segalanya tampak samar, kabur. Namun satu hal yang langsung ia sadari: kehadiran seseorang di sampingnya. Sentuhan hangat di tangannya, aroma familiar yang samar tertangkap oleh inderanya.
Dia mencoba berbicara, tapi suara itu tak keluar. Tenggorokannya kering, lidahnya berat. Hanya embusan napas pelan yang terdengar.
Gadis itu terbangun. Mungkin karena gerakan tangan, atau mungkin karena naluri yang menghubungkan dua jiwa yang telah melalui banyak hal bersama.
"Askala...?" suara pria itu lirih, nyaris tak terdengar.
Mata gadis itu membelalak. Dalam sekejap, kantuknya lenyap. Ia menatap wajah pria itu dengan campuran syok, haru, dan ketakutan.
"Kau… sadar?" bisiknya, air mata menggenang.
Dia mengangguk lemah. Suara monitor meningkat sedikit, seolah ikut merespons detik penting itu.
Askala menggenggam tangannya lebih erat, kali ini dengan air mata yang jatuh tak terbendung. "Kau kembali... akhirnya kau kembali..."
Tapi di balik isak bahagia itu, wajah Askala menyimpan ketegangan. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, sesuatu yang sudah lama dipendam. Kebenaran yang menunggu waktu untuk diungkap—atau mungkin untuk tetap dikubur.
Dan pria itu, meski baru saja kembali dari ambang kematian, mulai mengingat. Sedikit demi sedikit. Potongan-potongan mimpi aneh, suara jeritan, darah, dan... pengkhianatan.
Sesuatu yang membuat jantungnya berdebar bukan karena cinta—melainkan karena ketakutan.
.
..
...
Bersambung