Suasana rumah Dirga terlihat ramai. Maklum, ada syukuran pindahan. Ghea berjalan pelan di belakang Ayah dan Ibunya. Mulutnya diam tapi wajahnya prengat-prengut, terlihat kesusahan oleh baskom berukuran 7Liter bersisi sayur urap-urap yang dibawanya seorang diri.
Syukuran ini dilakukan seminggu setelah kepindahan mereka. Selama seminggu itu sepertinya keluarga Dirga melakukan sedikit renovasi. Baru saja masuk ke halaman, mata Ghea memincing saat melihat kebun sayuran dan tanaman rimpang yang sebelumnya tidak ada di sana.
Ghea meringis pelan, meraskan tangannya kesemutan. Hari ini cewek itu memakai pakaian yang lebih sopan daripada seminggu lalu. Kemeja pas badan berwarna biru berpotongan sepanggul, lalu lengannya digulung hingga ke siku. Lantas dipadukan dengan baggy jeans panjang dan sandal hitam.
Ghea melongok melewati punggung orang tuanya. Berapa lama lagi ia harus membawa baskom besar hingga tangannya terasa kebas? Tapi memangnya siapa Ghea berani mengeluh? Omongannya akan menguap bagai air laut. Ia berdecak kecil, saat orangtuanya malah berhenti di depan kerumunan bapak-bapak yang asik makan kudapan sambil merokok. Tidak bisa dibiarkan! Tangannya sudah hampir mati rasa.
“Ma, aku taruh urap-urapnya dulu ke belakang ya,” pamit Ghea buru-buru tanpa menunggu jawaban Wina. Jika terlalu lama bisa-bisa tangannya putus jika membawa baskom berat ini.
“Oh iya sana lewat samping,” jawab Wina tanpa menoleh.
Saat melewati halaman samping, Ghea melihat anak-anak kecil yang berlarian di halaman sambil tertawa-tawa. Alas bermotif bunga-bunga digelar menutupi rerumputan, yang kemudian diisi oleh macam-macam cake manis, seolah-olah sedang piknik. Beberapa anak juga terlihat ada yang bermain gelembung sabun.
Namun, ada satu orang yang tampak menonjol di antara keramaian itu. Seorang remaja laki-laki yang ikut asik berlarian kecil berebutan bola di halaman bersama anak-anak. Senyumnya mengembang cerah saat seorang anak kecil dengan dress pink berhasil menangkap dan merebut bola secara paksa.
Ghea kontan mengalihkan pandangan dan tersenyum tipis. Yah, Dirga ternyata masihlah cowok ekstrovert yang dikenalnya delapan tahun lalu. Tapi itu tidak mengubah fakta cowok itu tidak berkabar apapun dengannya selama depalan tahun. Jadi wajar bukan kalo ia juga bersiap biasa? Tidak harus memaksakan diri SKSD kan? Cewek itu lantas berbelok ke samping, menggeser pintu kaca dengan bahunya dan masuk ke dapur rumah Dirga.
Asisten Rumah Tangga keluarga Dirga langsung buru-buru mengambil baskom di tangan Ghea. “Aduh, Neng. Kenapa baskom berat gini dibawa sendiri. Ini Mas Dirga pasti asik sendiri,” oceh wanita itu dengan bersungut-sungut.
Mendengar logatnya yang khas, Ghea menebak pasti wanita itu berasal dari Jawa Timur. “Nggak apa kok, Bi. Rumah aku di depan, jadi deket.”
Setelah meletakkan baskom Ghea di meja dapur, wanita itu menoleh dan berkacak pinggang. “Tetep nggak boleh, Neng. Bahaya buat rahim. Pamali tau! Jangan sering-sering ya!” ujarnya memberi wejangan.
Ghea terkikik kecil. “Iya, Bi—“
“Yuli.”
“Iya, makasih nasihatnya, Bi Yuli. Aku ke depan dulu ya,” pamitnya sambil berjalan keluar lewat pintu dalam dapur yang mengarah ke ruang tamu, tempat orang-orang berkumpul. Khususnya ibu-ibu. Kalau bapak-bapak sepertinya memilih di luar sambil merokok. Padahal banyak anak-anak. Tapi siapalah Ghea mengkritisi orang tua?
Di area tengah sudah dipenuhi oleh para ibu-ibu yang asik bercengkerama dan menggosip, sembari tentu saja memakan cemilan. Terlihat pula ibunya sudah duduk anteng dan menenteng piring kecil berisi satu slice blackforest. Ghea memilih berjalan menuju meja panjang yang berisi baki-baki minuman manis dan memutuskan mengambil es jeruk.
"Dirga udah besar ya sekarang. Makin ganteng loh, Bu Ratih." Seorang ibu-ibu dengan tiga buah gelang emas di tanggannya menyeletuk. Pertanyaan yang sangat basa-basi sekali. Mata ibu-ibu itu memandang Dirga yang masih bergurau dengan anak-anak di halaman lalu beralih ke Ratih. “Nggak nyangka loh ya. Dulu pas kecil suka banget jajan PopIce di warung saya.”
Tante Ratih menanggapi dengan senyum lembut dan wajah bangga. "Siapa dulu dong ibunya? Saya," guraunya.
Si ibu bergelang emas itu menepuk punggung Tante Ratih pelan, hampir seperti mengelus. "Udah punya pacar belum? Anak saya masih single loh. Siapa tahu jodoh? Jadi kita bisa besanan, Bu Ratih," ujarnya pantang menyerah.
Tante Ratih tertawa kecil dan menyesap tehnya sebelum menjawab. "Wah, kalo itu saya nggak tahu ya?” ujarnya dengan naga ragu sambil menaikturunkan bahu. “Nanti saya tanyain Dirga deh. Soalnya itu anak suka tiba-tiba sibuk olimpiade.”
"Masih pengen jadi Dokter dari dulu, Bu?" Wina menyahuti, membuat Ghea semakin berpura-pura tuli.
Tante Ratih mengangguk cepat. "Iya, kayak ayahnya."
Terdengar gumanan-gumanan rendah bernada kagum dari ibu-ibu yang ada di sana. Ghea menyesap es jeruknya lagi karena tenggorokannya mendadak kering. Wah, kabar ini pasti akan menjadi perbandingan baru oleh Wina. Saat pulang nanti Ghea menebak Ibunya kan berkata, ‘Tuh kamu liat Dirga, anaknya Tante Ratih mau jadi Dokter. Tuh Dirga sibuk olimpiadi, nggak kayak kamu.’ mungkin ini yang dinamakan “Kesenjangan sosial dan cita-cita.”
Dirga bisa lebih mulus jadi dokter tuh karena ayahnya juga dokter, ibunya juga kan anak dokter. Sudah jelas ini nepotisme terselubung.
Pembicaraan tentang Dirga pun berlanjut lebih panjang. Ghea merasa ini kesempatannya untuk kabur sebelum dirinya di paksa masuk ke dalam obrolan dan jadi topik contoh nyata kegagalan hidup remaja. Cewek itu mengisi penuh gelasnya lantas berjalan kembali ke dapur. Ia menyapa sebentar Bi Yuli yang masih sibuk menyiapkan makanan sebelum keluar menuju halaman belakang.
Tepat saat membuka pintu, di waktu yang sama Dirga juga hendak masuk ke dapur. Ghea buru-buru mengerem langkahnya. Kenapa sih harus ada pertemuan dramatis seperti ini?
Ghea diam untuk mempersilakan cowok itu masuk, tapi ternyata Dirga juga diam. Sumpah, rasanya benar-benar awkward banget macam suami istri yang sudah cerai terus papasan di jalan. Tidak bisa! Ghea tidak biasa jadi cewek mati kutu dan terabaikan macam ini!
Dirga terlihat mengusap peluh di dahinya dengan sebelah tangan dan berkacak pinggang sebelah. Diam sambil mengatur napasnya yang terlihat sedikit memburu. Kaos hitamnya hampir menempel ke kulitnya. Dari jarak kurang lebih satu meter saja, Ghea bisa mencium bau sengatan matahari yang menguar dari cowok itu. Lengkap dengan bau debu dan polusi di Jakarta yang apek! Mau menutup hidup juga rasanya kurang sopan. Plus Dirga sepertinya juga lebih bersikeras diam di tempat untuk menunggu Ghea lewat lebih dulu.
Maka Ghea memaksa sudut-sudut bibirnya terangkat tipis untuk memberi senyum sopan. “Misi,” ujarnya lalu melewati Si Paling Ingin Jadi Dokter itu. Ghea langsung berbelok ke kiri, menuju air mancur baru yang lebih menarik di matanya sejak tadi dan tidak menoleh lagi.
Apa Ghea sengaja mengacuhkan Dirga? Tidak. Hanya saja tidak ada yang perlu diobrolkan dan bukan sifatnya juga suka basa-basi. Ghea menghela napas kecil dan memandang air mancur berbentuk ikan lele. Dua kumisnya menjalar panjang dengan tubuh meliuk dan mulut terbuka yang mengeluarkan kucuran air. Ghea menutup mulut menahan tawa. Apa pula filosofi ikan lele itu dijadikan air mancur?
“Ikan lelenya lucu?”
Ghea kontan tersentak kaget.