Ghea berjalan santai menyusuri jalan setapak komplek rumahnya. Matanya sibuk menatap layar ponsel yang ia genggam dengan sebelah tangan, sedang tangan satunya menenteng seplastik minuman dingin berwarna jingga. Ia baru saja pulang dari kegiatan mingguannya berlari di Car Free Day.
Sesekali, cewek itu tampak meneguk minumannya seiring dengan langkahnya yang perlahan. Peluhnya masih terlihat mengkilap tertimpa sinar matahari. Kuncir kudanya bergoyang ke kanan dan ke kiri. Ghea bahkan tidak perlu begitu memperhatikan jalan, toh jalanan ini sudah dilaluinya sejak ia pertama kali bisa berjalan. Hingga sekarang umurnya sudah menginjak 16 tahun.
Ghea melangkah ke samping menghindari sebuah lubang dengan genangan air coklat gelap di dalamnya. Ia sudah hapal dengan setiap lubang dan rerumputan. Bahkan bagian paving mana yang berlumut hingga menyebabkan terpeleset. Ia juga tahu kapan harus menghindari halaman rumah tetangganya yang memiliki anjing galak. Pasalnya dahulu Ghea pernah dibuat trauma berat setelah dikejar anjing dobberman hitam saat umurnya baru tujuh tahun.
"Mbak Ghea, habis dari CFD lagi?"
Ghea otomatis menoleh dan menghentikan langkah di depan rumah dengan pagar kayu yang sudah terlihat hampir rusak. Pandangannya lantas tertuju pada sebuah papan tanda nomor A6 yang menempel pada pagar. Terlihat beberapa lapisan angkanya sedikit mengelupas hingga hampir saja terbaca A5 jika tidak teliti. Seorang wanita berumur sekitar 35 tahunan memakai daster batik panjang menghampirinya sambil tergopoh-gopoh.
Ghea menurunkan ponselnya dan tersenyum cerah menyapa. "Eh, iya, Tante Dian."
"Masih sendirian aja, nih ke sananya?" tanya Tante Dian tiba-tiba sembari mengerling jail. Rambutnya dicepol ke atas memperlihatkan tulang pipinya yang menonjol, rahanya yang tajam. Begitu wanita itu mendekatinya, Ghea bisa mencium aroma manis yang semerbak.
Ghea terkikik kecil. Setiap kali ia lewat di depan rumah wanita itu, Tante Dian akan selalu menghentikannya untuk mengajaknya mengobrol. Selalu ada saja yang diobrolkan oleh Tante Dian, topiknya pun bermacam-macam. Mulai dari pemanasan global, politik nepotisme sampai drama korea yang sedang hits. Aktor kesukaannya pun berubah-ubah tiap bulan. Bulan lalu Cha Eun Woo, bulan ini Byeon Woo Seok.
Sejujurnya, awalnya ia sedikit merasa kikuk dengan pertanyaan-pertanyaan aneh yang sering dilontarkan Tante Dian secara tiba-tiba tapi setelah bertetangga lama ternyata sifat Tante Dian tidak seburuk yang ia duga. Ghea mengira dengan sifat wanita itu yang ceplas-ceplos akan membuat wanita itu tidak bisa menjaga mulut dan suka menggunjing tapi ternyata tidak.
Dibanding banyaknya tetangga Ghea di komplek, menurutnya Tante Dian lah yang paling supel. Beliau bisa membaur ke berbagai macam kalangan dari tua, remaja sampai anak-anak karena suka bergurau.
“Sendirian lebih enak, Tante. Nggak ribet,” balas Ghea.
“Laki sekarang memang ribet deh betul. Bagus! Jadi cewek jaman sekarang memang harus hati-hati, Sayang,” nasihat Tante Dian. Wanita itu lantas menyodorkan bungkusan yang dibawanya ke pelukan Ghea. "Tante nitip yah!"
Ghea sedikit kelabakan dengan pemberian Tante Ratih karena wanita itu seolah ingin mendorongnya mundur. Sepertinya agak terburu-buru. Ghea paham mungkin karena sungkan kalau dilihat tetangga lain. "Wah, apa ini tante?" tanyanya dengan senyum sumringah.
Wajah Tante Dian tersenyum malu-malu. "Brownies," balasnya dengan sedikit berbisik.
"Dalam rangka apa tante? Apa ada pesenan kue?"
Masih dengan nada rendah, Tante Dian menjawab, "Nah, betul itu niatnya. Tapi ini masih percobaan sih. Percobaan kesekian yang akhirnya berhasil.”
Ghea tersenyum lebar. "Makasih banyak, Tante.”
“Semoga enak, ya Ghe. Kalo memang enak Tante mau coba jual. Jadi, nanti abis makan jangan lupa testimoninya, ya."
“Oke, Tante! Nanti aku kasih testimoni sama Mama," ujar Ghea sambil mengerling jail.
"Hati-hati pulangnya." Tante Ratih memberi wejangan sambil melambaikan tangan. Tapi apa yang harus dihati-hati? Kan rumah mereka hanya berjarak empat bangunan? “Kalau nggak enak lepeh aja ya,” lanjutnya kemudian
Ghea tertawa sambil kembali berjalan. Dari jauh, perhatiannya teralih pada kesibukan yang tidak biasa tepat di depan rumahnya. Matanya memincing. Semakin ia mendekat, ternyata ada yang baru pindah ke rumah di seberang rumahnya. Sebelum membuka pagar, Ghea melirik sekilas melalui sudut mata melihat kesibukan orang lalu lalang mengangkut banyaknya barang baru yang dibawa masuk. Rumah bernomor A1 itu memang sering berganti penyewa, terakhir kali ditempati tiga bulan lalu. Tunggu sebentar? Apa itu air mancur? Dengan banyaknya barang kali ini, sepertinya mereka akan menyewa cukup lama. Setelah mengamati sekilas ia pun masuk ke rumah.
"Ma," panggil Ghea begit membuka pintu. "Dapet brownies nih dari Tante Dian."
"Sini-sini!" Dari kejauhan terdengar mamanya menjawab. Ghea menebak mama sedang menonton televisi. "Ini lagi seru-serunya nih."
Benar saja, wanita paruh baya bernama asli Wina itu tengah menonton drama korea aktor kesukaannya, Hyun Bin.
Ghea mengempaskan diri ke sofa dan meletakkan brownies di antara mereka berdua. Ia megambil satu potongan brownies lalu melahapnya dalam sekali suapan. "Ma, rumah depan rame banget. Akhirnya ada yang nyewa lagi?" tanyanya sambil mengunyah.
Wina ikut menyomot brownies di sampingnya sebelum menjawab, matanya masih dalam mode auto fokus pada layar televisi. Mengamati Hyun Bin sampai ke titik pori-pori terdalam "Oh, bukan orang baru. Itu mah Tante Ratih yang balik pindah ke sini lagi—heh kenapa kamu?!"
Ghea tiba-tiba tersedak dan sontak terbatuk hebat. Beberapa remahan brownies meloncat dari mulutnya di udara. Cewek itu menepuk-nepuk dadanya heboh. Brownies itu seolah tersangkut secara ajaib di kerongkongannya begitu nama Tante Ratih disebut. Ghea bangkit berlari tunggang langgang ke dapur. Tidak peduli jika kakinya menabrak kursi dan perutnya terserempet pinggiran meja yang tajam. Sebelum akhirnya dengan kecapatan kilat ia sampai di depan dispenser dan menenggak segelas air minum sampai tandas.
Wina memandang anak pertamanya dengan pandangan bingung dan aneh. "Kenapa kok kaget? Perasaan Mama udah cerita deh.”
Kapan ceritanya? Dalam mimpi?! batin Ghea sensi
Ghea masih menepuk-nepuk dadanya dan mengatur napas sehabis tersumbat brownies. Nggak lucu kalua testimoni pertama Brownies Tante Dian adalah berita kematiannya di koran. Ia memilih tidak menjawab Wina dan menenggak segelas air lagi untuk melancarkan tenggorokannya lebih dulu.
Wina menaikkan sebelah alis lalu mengalihkan pandangannya lagi ke televise. "Paling minggu depan ada acara syukuran. Kamu juga ikut bantu-bantu, ya. Ada Dir—“
"Ma," potong Ghea cepat. Ia lalu tersenyum sesantai mungkin saat Wina kembali menoleh. "Ghea mau mandi dulu, ya. Gerah banget habis lari."
Tidak menunggu jawaban dari Wina, Ghea segera berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Namun, baru satu kakinya menaiki tangga terdengar bel rumahnya mendadak berbunyi.
Ting-tong!
Aduh! Harusnya gue ancurin aja bel itu dari dulu.
Wina seketika mengeluarkan pekikan antusias seperti kuda yang meringik. "Itu kayaknya Ratih! Ghea turun dulu, ayo kita ketemu sama mereka!"
Ghea berkelit, ia memutar otak cepat dan memutuskan akan tetap setia pada alasan awalnya tadi. Mandi. "Ghea mandi dulu aja ya, Ma. Masih bau nih. Sungkan sama Tante Ratih," ujarnya dengan senyum yang dipaksakan.
Baru saja mengangkat kaki keduanya di udara, sungguh baru saja hendak melangkah naik, suara Wina otomatis membuat bulu kuduk Ghea meremang.
"Ghea, mama bilang apa?” nada biacara Wina rendah dan tegas. “Nanti dulu mandinya. Kita kasih salam dulu biar sopan sama tamu."
Ghea sudah hidup cukup lama untuk tahu bahwa nada itu perintah mutlak dari Wina yang tidak bisa, tidak boleh dan tidak mungkin untuk dibantah. Cewek itu otomatis berbalik dan mengekor di belakang Wina. Kepalanya menunduk, bahunya melorot, antara bingung dan pasrah. Ia masih merasa tidak etis harus menemui tamu dengan sweater crop dengan celana cargo ala anak jalanan ini. Ditambah rambutnya juga masih lepek karena keringat.
Pikirannya berkecamuk hebat. Sekitar delapan tahun lalu, Tante Ratih sekeluarga pindah ke Surabaya untuk merawat Ibu Tante Ratih yang sakit. Saat itu umur Ghea masih delapan tahun jadi tidak tahu cerita lengkapnya. Rumah itu lantas disewakan selama ini dan orang terakhir yang menyewanya sudah keluar tiga bulan yang lalu.
Sejujurnya bukan sosok Tante Ratih yang membuatnya gusar? Tante Ratih bukanlah termasuk tetangga galak yang suka ikut mencampuri urusan orang lain atau mempunyai mulut sadis yang suka memfitnah. Tapi ia juga tidak punya waktu banyak untuk berpikir karena tepat saat itu Wina sudah membuka pintu dan detik berikutnya kehebohan terjadi. Terdengar teriakan nyaring saling bersahut-sahutan, diiringi dengan cipika-cipiki antara dua wanita itu.
“Yaampun Ratih! Apa kabar? Kamu tuh ya makin berumur makin cantik aja.”
Tante Ratih tersenyum. “Alaahh, bisa aja. Aku baik, Win. Lama banget nggak ketemu gini, biasanya lihat dari foto di status WhatsApp aja.”
Ghea memaksakan sebuah senyum demi kesopanan sambil masih menyembunyikan diri di balik tubuh Wina. Cewek itu kontan seketika membeku saat sudut matanya menangkap sosok jangkung yang berdiri di belakang Tante Ratih. Sosok itu lantas bergeser ke samping dan Ghea terpaku. Untuk sepersekian detik pandangan mereka bertumbu tapi ia dengan cepat mengalihkan pandangan lebih dulu.
"Ini Dirga?!" suara Wina memekik kegirangan.
Sosok bertubuh jangkung itu akhirnya tersenyum membalas. Wajahnya masih sama seperti yang Ghea ingat delapan tahun lalu. "Halo, Tante Wina. Apa kabar?"
"Ya ampun, Dirga! Udah lama banget nggak ketemu. Makin ganteng aja, Nak." Wina terlihat semakin antusias sekali. Ia menyalami tangan Dirga dan menepuk-nepuk bahu cowok itu heboh. Sama sekali tidak peka dengan sikap Ghea yang berbanding terbalik. Seolah ingin menghilang dari muka bumi.
Ghea memaksakan senyum ramah. Mengunci pandangan pada punggungnya ibunya dan menolak melihat wajah cowok itu. Pandangannya hanya beralih dari Wina dan Tante Ratih bergantian yang sedang bercengkerama heboh membicarakan Dirga. Tepatnya Wina yang banyak memuji. Dalam hati, Ghea berharap tidak ada satu pun dari ketiga orang ini yang menyadari keberadaannya.
Tapi ibunya malah bergeser dan mengarahkan tangannya ke dalam rumah. Menunjuk tepat Ghea yang berdiri kaku di ambang pintu. "Yuk, masuk dulu! Nggak enak atuh ngobrol di luar gini. Ayo, ngobrol di taman belakang aja."
Ghea rasanya ingin menjadi embrio lagi saat ini.
Ratih menggeleng pelan. "Nggak dulu Win. Ini masih banyak barang yang harus ditata. Ghea ya?"
Ghea merutuk dalam hati. "Iya, Tante," balasnya sopan sambil meraih satu tangan Tante Ratih dan menciumnya.
"Kamu sudah besar ya, makin cantik," puji Tante Ratih tulus yang hanya dibalas Ghea dengan senyuman kikuk.
"Wah, iya ini." Wina menepukkan kedua tangannya di udara. "Ghea sama Dirga, si paling bestfriend yang nggak terpisahkan dulu. Ayo dong salam-salaman. Masa udah lupa sih? Dulu kalian berdua sering rebutan ayunan loh."
Ghea menutupi kegugupannya dengan memaksakan tawa renyah menanggapi gurauan Wina.
"Dirga juga diem-diem bae nih. Sapa atuh Ga, temenmu ituh," desak Ratih
Ghea dan Dirga saling bertukar pandang dan untuk pertama kalinya setelah delapan tahun mereka pun saling melemparkan senyum. Ia tidak tahu jenis senyum yang Dirga tampakkan saat ini. Dirga dulu selalu punya banyak jenis senyum aneh. Hal kedua yang ia ingat adalah mata ambius cowok itu. Apapun itu yang pasti Ghea tidak akan merendahkan diri dengan menyapa terlebih dahulu. Apalagi mereka sudah tidak berbicara selama delapan tahun. Ia tidak akan menjadi pengemis, termasuk mengemis pertemanan.
Tangan Dirga terulur, sudut-sudut bibirnya terangkat tipis menampilkan senyum lembut khasnya. "Apa kabar?" tanyanya singkat.
Ghea membalas uluran tangan itu sambil balas tersenyum kecil. "Baik. Lo juga baik?"
Dirga mengangguk tanpa berhenti tersenyum. "Baik."
Dan begitulah bagaimana percakapan itu berhenti.
Namun, kenapa pegangan tangan mereka tidak terlepas?
Setelah terdengar kikikan kecil, Ghea refleks menarik tangannya pelan lebih dulu.
Tante Ratih menepuk lengan Dirga gemas. "Aduh-duh-duh! Pake malu-malu segala. Nggak inget dulu kalo main bisa dari pagi sampe sore, berhenti bentar malem lagi itu nggak berhenti ngoceh.”
"Namanya juga remaja, Bun. Masanya pubertas jadi malu-malu para gen z ini," timpal Wina yang makin mengompori.
Tante Ratih menggeleng-gelengkan kepalanya merasa geli. "Tapi kalian nggak bisa kalo
diem-dieman kayak gini terus. Soalnya nanti kalian satu sekolah."
APA?!