Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Bawah Langit Bumi
MENU
About Us  

Sophia masih menatap Ratna—dingin dan tajam.

Sementara itu, Ratna mulai terlihat panik. Wajahnya kaku, namun tiba-tiba ia mencoba tersenyum. Upaya canggung untuk meredakan ketegangan.

“Nak Sophia, mungkin kita bisa bicarakan ini dulu baik-baik, ya?” ucapnya dengan nada keibuan yang dibuat-buat. “Ayo, silakan duduk dulu… supaya kita bisa bicara dengan kepala dingin.”

Indira yang duduk di sisi lain ruangan memutar bola matanya. Bumi, yang duduk di sebelahnya, nyaris tertawa namun buru-buru mengatupkan mulut.

Sophia tetap berdiri tegak. Ia mengabaikan nada ramah itu. Tidak ada waktu untuk basa-basi.

“Saya hanya punya dua tuntutan,” katanya tegas. “Kalau Anda enggak mau kasus perundungan ini mencuat dan mencoreng nama baik kalian, sebaiknya kalian penuhi tuntutan saya.”

Sekilas, tatapannya melirik ke arah Bumi. Ada kelembutan sesaat di sana. Tapi hanya sesaat—karena detik berikutnya, ia kembali menatap Ratna dengan sorot tajam.

“Pertama, Bumi enggak akan dikeluarkan dari sekolah, dan enggak akan dituntut secara hukum.”

Indira sontak menegakkan tubuh, menatap Sophia seolah gadis itu penyelamat yang dikirim dari langit.

“Dan yang kedua…” Sophia melanjutkan, suaranya tetap mantap. “Saya ingin semua pelaku yang menganiaya saya dikeluarkan dari sekolah ini. Dan kebetulan, saya punya semua nama mereka—karena ada yang terlalu bodoh menulis nama-nama itu di papan tulis waktu mereka ngejadiin saya target buat permainan lempar bola...”

Ia mendengus pelan, seolah geli sendiri pada kebodohan musuh-musuhnya. 

Pak Jafar tampak gelisah. Permintaan itu jelas bukan hal sepele. Mengeluarkan sejumlah siswa sekaligus bisa berdampak besar pada citra sekolah.

“Sophia, coba kita bicarakan baik-baik dulu, ya,” ucapnya dengan nada menenangkan. “Karena untuk mengeluarkan semua anak itu, tentu kita harus diskusi juga dengan orang tua mereka. Bagaimana kalau kita tunda dulu rapat ini, dan nanti kita bahas bersama wali murid?”

Ratna segera mengangguk-angguk setuju. Namun, Sophia hanya meliriknya tajam.

Ia mengeluarkan ponsel dari saku roknya, menimbang-nimbang sejenak.

“Lima menit,” katanya tenang.

Semua dahi berkerut.

“Saya kasih kalian waktu lima menit untuk ambil keputusan—terima atau enggak. Oh, dan satu lagi, Bu Ratna…” Sophia menyunggingkan senyum tipis. “Waktu saya ambil foto-foto Raka dari Friendsternya, saya sempat perhatikan gaya hidup anak Anda. Mewah sekali, ya. Saya jadi penasaran… apa iya, gaji Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa di Dinas Pendidikan dan seorang Kapolres bisa membiayai semua itu?”

Wajah Ratna langsung memucat.

“Karena saya penasaran,” lanjut Sophia kalem, “saya tanya ke nenek saya. Dan beliau bilang… gaji kalian berdua, kalau digabung pun, enggak akan cukup membiayai gaya hidup seperti itu. Kecuali kalian punya usaha sampingan lain.”

Sophia melangkah pelan, mendekati Ratna. Senyum kecil terbit di wajahnya.

“Kira-kira… kalau kasus ini jadi besar, Inspektorat juga bakal penasaran enggak ya, Bu? Tentang usaha sampingan apa yang Ibu dan suami jalani selama ini?”

Napas Ratna tercekat. Ia menoleh cepat ke arah suaminya, yang kini duduk kaku di kursinya.

Sophia menekan nomor di ponselnya, lalu menempelkannya ke telinga.

“Halo? Iya, Omma. Ini Pia udah di ruang kepala sekolah…”

Ratna tersentak.

“… Pia kasih mereka waktu lima menit buat ambil keputusan. Kalau mereka enggak setuju, Omma bisa langsung kasih semua buktinya ke teman-teman redaksi Omma.”

Wajah Rajasa menegang. Ia tiba-tiba berdiri dari sofa, tangannya mengepal.

Bumi langsung siaga. Instingnya menyala—ia tahu, lelaki itu bisa saja mencoba kekerasan. Bumi ikut berdiri. Ia menutupi Sophia dari pandangan pria itu. Tangannya terlipat di dada. Sorot matanya mengancam, membuat Rajasa mundur selangkah. Ragu. 

Tapi Sophia tetap tenang. Sangat tenang.

“… dan Omma, kalau dalam lima menit Pia enggak telepon balik… sebarin semuanya.”

Klik.

Telepon ditutup.

Sophia menatap mereka satu per satu. “Jadi… silakan kalian pertimbangkan baik-baik. Semoga kalian enggak ambil keputusan yang salah.”

Pak Jafar menatap meja kosong di depannya. Ratna menunduk, pucat. Rajasa menatap kosong ke dinding.

Bumi menoleh. Ia memandangi gadis itu—sosok yang berdiri tenang di tengah tekanan. Luka di wajahnya belum sembuh, tapi kepala tegaknya menyiratkan sesuatu yang jauh lebih dalam.

Keteguhan.

Keberanian.

Dan kemarahan yang tertata rapi.

Dan Bumi sekarang tahu apa nama perasaan yang ia rasakan pada gadis itu.

Namanya cinta. Dalam dan kuat. 

 

***

Pintu ruang kepala sekolah terbuka.

Sophia melangkah keluar lebih dulu, diikuti oleh Bumi dan Indira. Wajah-wajah panik yang mereka tinggalkan di dalam masih membekas di belakang kelopak mata, tapi udara di luar ruangan terasa lebih ringan—seolah beban yang menekan sejak awal pertemuan tadi perlahan terangkat.

Pak Jafar akhirnya bersedia memanggil orang tua dari siswa-siswa yang telah menganiaya Sophia, untuk menyerahkan surat pengeluaran mereka dari sekolah. Sementara itu, Ratna dan Rajasa, meski dengan terpaksa, menyetujui dan menandatangani surat pernyataan untuk tidak memperpanjang kasus Bumi secara hukum.

Ketika mereka bertiga berdiri di lorong luar, Indira menoleh pada Sophia. Ekspresinya dipenuhi kekaguman dan rasa syukur.

“Sophia, ya? Gimana keadaan kamu? Udah mendingan?” sapanya ramah.

Sophia terlihat kaget. Ia tidak menyangka disapa oleh ibu Bumi secara langsung. “Iya, Tante. Udah nggak apa-apa,” jawabnya cepat, sedikit kikuk.

Bumi nyaris tersenyum saat melihat gestur canggung itu lagi—versi Sophia yang selama seminggu ini ia rindukan.

Tiba-tiba, Indira melangkah mendekat. Ia menangkup wajah Sophia dengan lembut. Sophia tersentak kecil, tapi sorot mata keibuan yang terpancar dari Indira—sesuatu yang mungkin belum pernah ia dapat dari ibunya sendiri—membuatnya tidak sanggup menghindar.

“Terima kasih, ya…” ucap Indira pelan.

Mata Sophia mulai berkaca-kaca. Ia mengangguk kecil.

Indira menariknya dalam pelukan. Namun pelukan itu tanpa sengaja menekan luka di tubuh Sophia.

“Aduh…” Sophia meringis.

Bumi segera bergerak cepat, mendekat dengan cemas.

Indira tersentak dan segera melepaskannya. “Maaf! Sakit ya? Kamu nggak apa-apa?”

Sophia menggeleng sambil tersenyum. “Enggak apa-apa kok, Tante.”

Indira menghela napas lega, lalu tersenyum lebar. “Kapan-kapan main ke rumah, ya. Rumah Tante deket sekolah, tinggal jalan kaki. Kamu bisa mampir kapan aja pulang sekolah.”

“Iya, Tante. Makasih. Kapan-kapan aku mampir,” balas Sophia lembut.

Indira mengangguk, kemudian melirik ke arah Bumi. Sekilas, sorot matanya mengandung pujian, kebanggaan… dan mungkin, restu diam-diam yang membuat Bumi ingin tersenyum.

“Kalau gitu Tante pulang dulu, ya.” Ia membelai lembut wajah Sophia, lalu berjalan menjauh, meninggalkan mereka berdua di lorong yang kini senyap.

Bumi masih menatap luka-luka di wajah gadis itu—bekasnya belum benar-benar hilang. Dan dadanya kembali terasa sesak.

“Masih sakit?” tanyanya akhirnya.

Sophia menatapnya sejenak. Ia menarik napas pelan, lalu menggeleng. “Udah nggak terlalu.”

Keheningan mengalir, lalu Bumi membuka suara lagi.

“Maaf... aku nggak bales SMS kamu,” gumamnya. “Aku…”

Suaranya tercekat. Ia menggigit bibir, matanya tak berani menatap Sophia langsung.

“Aku ngerasa bersalah. Ngerasa nggak layak ketemu kamu lagi. Harusnya aku bisa dateng lebih cepat. Maaf…”

Sophia menggeleng. Senyum kecil mengembang di wajahnya.

“Nggak, Bumi. Kamu datang tepat waktu. Makasih, ya. Kalau waktu itu nggak ada kamu… aku nggak tahu apa yang bakal terjadi.”

Kata-kata itu masuk ke dada Bumi seperti udara segar. Setelah seminggu dihantui kecemasan, akhirnya hatinya bisa bernapas.

Ia menghela napas panjang. “Aku nggak nyangka kamu bisa seberani tadi.”

Sophia mendengus kecil, mulai berjalan menyusuri lorong. Bumi langsung mengikutinya.

“Kamu selalu aja kaget,” katanya sambil tertawa pendek.

Bumi menyeringai. “Kalau kita nggak di sekolah, mungkin aku udah meluk kamu sekarang.”

Langkah Sophia melambat.

“Terus,” lanjut Bumi santai, “nggak akan aku lepas.”

Sophia menoleh cepat, wajahnya tampak tak percaya sekaligus merona. Tapi kemudian ia tertawa pendek—gugup, tapi hangat.

Bumi ikut tertawa, ringan, tulus.

Namun kehangatan itu tiba-tiba pecah oleh langkah kaki tergesa dari arah belakang.

“Sophia! Sophia!” Ratna mendekat dengan napas memburu, hampir berlari.

Bumi langsung memicingkan mata. Sementara Sophia menoleh dengan wajah tenang.

“Ya, Bu?” jawabnya datar.

Ratna terengah. “Di dalam map itu… ada dokumen-dokumen lain yang nggak ada hubungannya sama kasus ini…”

“Oh, maksudnya dokumen tentang penggelapan dana pengadaan fasilitas di beberapa sekolah?” sahut Sophia ringan.

Bumi ternganga. 

Langkah Ratna terhenti. Wajahnya membeku.

“Saya udah setujuin tuntutan kamu. Kamu nggak akan laporin itu, kan?”

Sophia tersenyum. Ia maju selangkah.

“Tuntutan saya cuma soal perundungan, Bu. Saya nggak pernah ngomong soal kasus yang lain, kan?”

Ratna tampak semakin pucat.

Sophia berbalik. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi dan tersenyum tipis.

“Selamat ya, Bu Ratna. Sebentar lagi Ibu bakal jadi headline berita…”

Ratna terdiam di tempat, wajahnya memucat total.

Sementara Bumi masih memandangi Sophia dengan kekaguman yang hampir tak bisa ia sembunyikan.

“Ayo, Bumi. Kita ke kelas,” ucap Sophia santai.

Bumi sempat tersentak, lalu segera mengangguk dan menyusul langkah gadis itu. Tapi sebelum pergi, ia sempat menoleh ke arah Ratna—dan memberikan satu seringai kecil penuh kepuasan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • linschq

    suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.

    Comment on chapter Pandangan Pertama
  • adiatamasa

    Semangat, ya, kak.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
GEANDRA
397      313     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Arini Kusayang
582      393     4     
Short Story
Ini kisah tentang gadis kecil yang berhasil membuat hari-hariku tak lagi sepi ❤
Premium
GUGUR
15214      1989     9     
Romance
Ketika harapan, keinginan, dan penantian yang harus terpaksa gugur karena takdir semesta. Dipertemukan oleh Kamal adalah suatu hal yang Eira syukuri, lantaran ia tak pernah mendapat peran ayah di kehidupannya. Eira dan Kamal jatuh dua kali; cinta, dan suatu kebenaran yang menentang takdir mereka untuk bersatu. 2023 © Hawa Eve
RINAI : Cinta Pertama Terkubur Renjana
423      313     0     
Romance
Dia, hidup lagi? Mana mungkin manusia yang telah dijatuhi hukuman mati oleh dunia fana ini, kembali hidup? Bukan, dia bukan Renjana. Memang raga mereka sama, tapi jelas jiwa mereka berbeda. Dia Rembulan, sosok lelaki yang menghayutkan dunia dengan musik dan indah suaranya. Jadi, dia bukan Renjana Kenanga Matahari Senja yang Rinai kenal, seorang lelaki senja pecinta kanvas dengan sejuta war...
A Missing Piece of Harmony
227      180     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Lovebolisme
148      130     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Mystique war
424      284     6     
Short Story
The world is in total destruction, what will the powerful sorcerers do?
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1019      652     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Sebab Pria Tidak Berduka
105      89     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Superhero yang Kuno
1215      791     1     
Short Story
Ayahku Superheroku