Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Bawah Langit Bumi
MENU
About Us  

Sejak hari itu di perpustakaan—ketika Sophia membantunya memahami soal fisika yang nyaris membuatnya frustasi—Bumi mulai terbiasa bergantung pada gadis itu. Bagi Bumi, Sophia seperti penerjemah yang mengubah simbol dan angka jadi sesuatu yang masuk akal.

Interaksi mereka pun perlahan berubah. Di kelas, mereka tak lagi sebatas diam dan cuek. Kini, mereka mulai saling bertukar pandang, sesekali bicara pelan, atau cukup saling mengangguk saat sama-sama paham.

Tapi belakangan, ada hal yang mulai mengusik Bumi.

Dulu, ia tak peduli saat teman-teman sekelasnya mengejek Sophia yang kerap bertanya di kelas. Tapi kini, ejekan itu terdengar… salah.

Saat pelajaran Kimia, Sophia kembali mengangkat tangan. Seperti biasa, Geri dan Nino mulai menghitung berapa kali ia melakukannya, mencoret buku seperti menghitung skor sambil cekikikan.

Bumi melirik mereka sekilas. Tak tertawa. Tak mengangkat alis. Hanya menatap kosong… sambil membayangkan betapa memuaskannya meninju keduanya.

Ia belum paham kenapa bisa kesal. Tapi suara tawa itu tiba-tiba terasa mengganggu.

“Ulangan minggu depan. Persiapkan ya,” ucap Pak Reza sambil menutup buku. Bel berbunyi nyaris bersamaan. Ia buru-buru pergi, seolah ingin kabur dari tatapan Bumi yang terasa menusuk.

Begitu guru itu pergi, Bumi menoleh ke Sophia.

“Lo pulang ke mana?” tanyanya.

Sophia menoleh datar. “Enggak ke mana-mana. Emang kenapa?”

Bumi menyampirkan tas. “Ikut gue ke Perpus. Gue mau belajar.”

Baru setelah ucapannya meluncur, ia sadar nadanya terdengar… salah. Kasar. Sophia langsung menatapnya dingin.

Bumi mengatupkan mulutnya, lalu menarik napas pendek. 

“Sophia… temenin gue belajar, ya?”

Hening. Lalu Sophia berdiri sambil menghela napas.

“Enggak susah, kan, ngomong baik-baik?” ucapnya tenang, lalu melangkah keluar.

Bumi tak membalas. Hanya menarik sudut bibirnya sedikit, nyaris seperti senyum, lalu menyusul di belakangnya.

 

***

Dalam perjalanan menuju perpustakaan, mereka berpapasan dengan Dirga di tangga lantai dua. Tatapan Dirga setengah bingung, setengah tidak percaya.

“Pulang enggak, Bum?” tanyanya.

“Lo duluan aja. Gue masih ada urusan. Yuk, Sop.”

Bumi mengangguk singkat ke arah Sophia.

Sophia menoleh sekilas ke Dirga dan tersenyum sopan, lalu kembali melangkah mengikuti Bumi.

Dirga mengernyit.

Dia punya temen?

Selama bertahun-tahun satu sekolah, Dirga tahu betul: kakaknya tidak pernah punya teman. Ia punya fans, tentu saja—cewek-cewek yang penasaran dengan sikap dinginnya, dan cowok-cowok yang ingin jadi sepertinya. Tapi teman? Seseorang yang berjalan di sampingnya dengan nyaman? Tak pernah ada.

Dari balkon lantai dua, Dirga memperhatikan mereka yang kini sudah sampai di koridor lantai satu. Berjalan berdampingan. Sesekali berbicara. Bahkan tertawa kecil.

“Aneh… kaya bukan Bumi,” gumamnya.

Di bawah, Sophia melirik ke arah Bumi. “Itu tadi siapa?”

“Adik gue,” jawab Bumi santai.

“Adik? Kandung?”

Bumi mengangguk.

Sophia mengernyit, lalu matanya membulat. “Kembar?!”

Bumi hanya mengangkat bahu.

“Beda banget…” gumam Sophia tak percaya.

“Jelas,” Bumi menyeringai. “Gue lebih keren.”

Sophia mendengus. Tapi senyumnya merekah tanpa sadar. Bumi terkekeh melihatnya.

Setibanya di perpustakaan, mereka langsung menuju sudut favorit mereka. Tanpa banyak bicara, mereka membuka buku. Kimia dulu, lalu Fisika. Seperti biasa, Sophia menjelaskan dengan analogi sederhana yang membuat rumus-rumus sulit terasa seperti cerita. Bumi mengerjakan soal, Sophia memeriksa jawabannya.

Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Langit sudah menggelap. Perpustakaan sepi.

Penjaga mulai mematikan lampu satu per satu. Mereka pun membereskan barang-barang.

Tapi begitu melangkah keluar—

Hujan turun deras, tanpa peringatan.

“Yahh… gue enggak bawa payung,” keluh Sophia sambil mengaduk isi tasnya, berharap keajaiban.

Bumi menyelipkan tangan ke saku jaket. Ia bisa saja lari pulang—rumahnya tak jauh. Tapi malam sudah turun, dan meninggalkan Sophia bukan pilihan.

“Ya udah, tunggu reda,” katanya sambil duduk di bangku besi koridor.

Sophia sempat ragu, tapi akhirnya ikut duduk di sebelahnya.

“Enggak apa-apa? Nanti lo pulang kemaleman?”

Bumi mendengus. “Lo khawatir orang kaya gue pulang malem?”

Sophia mengangguk polos.

Bumi tertawa kecil. “Menghibur banget, lu.”

Sophia ikut terkekeh. “Kadang gue iri sama tingkat kepedean lo.”

Ia mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik.

“Ngabarin orang rumah?” tanya Bumi, kini menyandarkan punggung ke dinding.

Sophia mengangguk. “Nenek gue. Kalau gue enggak pulang-pulang, bisa panik satu RT.”

Bumi mengernyit. “Nenek? Orang tua lo ke mana?”

Sophia terdiam sebentar. Lalu tersenyum tipis—senyum yang lembut, tapi terasa pahit.

“Orang tua gue udah cerai. Gue tinggal sama Omma, nenek dari nyokap.”

Deg.

Ada sesuatu yang mengeras di dada Bumi. Tangan di dalam jaketnya terkepal.

“Sorry,” gumamnya pelan.

Sophia menggeleng. “Enggak apa-apa,” katanya tenang. Ia ikut menyandarkan punggung, menatap hujan yang masih mengguyur deras.

Hening.

“Lo mau tau kenapa mereka cerai? Lucu deh.” Sophia tertawa kecil.

Bumi tak menjawab, tapi menoleh sedikit.

“Nyokap gue istri kedua. Alasan bokap nikah sama nyokap, karena pengin punya anak cowok. Tapi gue lahir… dan gue cewek. Jadi hal pertama yang bokap lakuin habis gue lahir… ngurus surat cerai.”

Bumi menahan napas.

“Setelah itu, nyokap nikah lagi. Gue dititipin ke Omma. Bokap enggak pernah datang. Nyokap… terakhir gue lihat pas umur lima tahun. Katanya takut suami barunya enggak nyaman kalau gue ada. Jadi ya… gue di sini.”

Hening lagi.

“Sorry, ya,” ucap Sophia tiba-tiba.

Bumi menoleh. “Untuk?”

“Waktu itu gue udah buang-buang waktu lo. Gue sadar gue terlalu ambisius.”

Bumi mengangkat alis. “Kenapa lo harus seambisius itu?”

Sophia tersenyum kecil. “Dulu gue pikir, kalau gue punya prestasi, mungkin orang tua gue bakal lihat gue. Tapi ternyata enggak. Akhirnya sekarang gue mutusin, gue harus sukses supaya Omma bangga. Supaya dia enggak nyesel udah ngerawat gue.”

Bumi mengangguk pelan. “Dia enggak bakal nyesel.”

Sophia menoleh.

Bumi menatapnya dalam-dalam. “Gue yakin dia bangga punya cucu kayak lo,” katanya dengan penuh keyakinan. 

Senyum Sophia mengembang, lembut. “Makasih, Bumi.”

Hujan mulai mereda. Bumi berdiri, menengadah sedikit, memastikan.

“Udah reda. Jalan yuk.”

Sophia mengangguk.

Mereka berjalan melewati lapangan yang kosong. Lampu-lampu taman sudah menyala. Di langit, bulan purnama muncul malu-malu dari balik awan.

“Wah… bagus banget bulannya,” gumam Sophia.

Bumi ikut mendongak. Bulan di atas sana tampak seperti bola kaca putih yang bersinar diam-diam.

“Ngomong-ngomong, lo udah isi form career support?” tanya Sophia.

Bumi menggeleng. “Belum. Gue belum tahu mau nulis apa. Lo?”

“Udah.”

“Mau jadi apa?”

“Dokter. Gue mau masuk FK UI.”

Bumi mengangguk. “Cocok buat lo.”

Sophia tertawa kecil. “Omma gue pensiunan jurnalis, tapi dulu sebetulnya dia pengin jadi dokter. Gue pengin wujudin mimpinya.”

Bumi mengernyit. “Itu mimpinya. Kalau lo sendiri?”

Sophia terdiam. “Maksudnya?”

“Lo selalu hidup buat orang lain. Tapi apa yang bikin lo bener-bener senang?”

Sophia mengedip pelan. “Gue… enggak tahu.”

“Pikirin. Diri lo juga penting, Sop.”

Sophia menghela napas. “Wahh… Gue enggak nyangka lo bisa sebijak ini.”

Bumi mendengus.

Tiba-tiba, hujan kembali turun. Lebih deras. Mereka berlari, tertawa, menuju halte di depan sekolah.

Basah kuyup. Kemeja menempel. Rambut lepek.

Mereka tertawa saat melihat diri mereka yang berantakan.

“Lo naik apa?” tanya Bumi.

“Angkot.”

Di bawah cahaya neon halte, Bumi baru menyadari—kemeja putih Sophia kini nyaris transparan.

“Itu angkotnya,” kata Sophia, menunjuk kendaraan yang mendekat.

Tanpa berkata-kata, Bumi melepas jaketnya dan menyampirkannya di bahu Sophia.

Sophia menoleh cepat, kaget.

“Besok balikin. Jaket gue cuma satu.”

Sophia mengangguk pelan.

Tanpa menunggu balasan, Bumi berbalik. Melangkah pergi, menembus hujan dan malam yang dingin.

 

***

Bumi baru saja selesai mandi. Setelah mengeringkan rambutnya dengan handuk, ia langsung menghempaskan diri ke tempat tidurnya. 

Dirga yang sudah rebahan di kasur sebelahnya terlihat sedang asik membaca komik. Melihat Bumi sudah ada di tempat tidurnya, Dirga pun memberanikan diri bertanya. 

“Cewek tadi siapa Bum?” 

Bumi menaruh tangannya di belakang kepala menatap langit-langit kamarnya. 

“Temen,” jawabnya singkat tanpa menoleh.  

Dirga mengernyit. “Tumben banget lu punya temen,” gumamnya sambil membalik halaman komiknya. 

Bumi tidak berkata apa-apa. Matanya masih menatap langit-langit kamarnya. Di kepalanya kini masih terbayang senyum Sophia yang getir tadi. Dan entah kenapa dadanya terasa sesak dan berat. Dia mengernyit. Kenapa mendadak dia jadi peduli? 

Ia menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mulai bergeser dalam dirinya. Tapi dia masih belum tahu apa dan kenapa. Kenapa senyum getir itu terasa sangat mengganggunya. 

Bumi lalu mengingat kembali senyum lembut Sophia. 

Dan kenapa senyum lembut itu membuat dadanya terasa… hangat?

Mendadak suara Dirga terdengar lagi, “Beneran cuma temen?” tanyanya penasaran. 

Bumi membalik tubuhnya, tidak menjawab. Ia memejamkan matanya. Dia masih belum tahu apa nama perasaan ini dan dari mana datangnya. Tapi yang jelas, dia tahu pasti apa yang akan dia lakukan besok pagi. 

 

***

Pagi itu, langkah kaki Bumi terdengar mantap di lorong lantai tiga. Suara sepatunya bergema pelan, ritmis, cukup untuk membuat beberapa siswa menoleh cemas.

Ia tiba di depan kelas, mendorong pintu hingga terbuka lebar.

Di dalam, suasana masih riuh. Tawa, bisik-bisik, suara gesekan meja. Tapi semua itu perlahan mereda saat Bumi masuk—tanpa sepatah kata, dengan tangan terlipat di dada. Ia berjalan ke depan kelas, tenang, lurus, seperti seseorang yang datang bukan untuk berbicara... tapi menghakimi.

Ia berdiri menghadap mereka. Wajahnya datar, pandangan tajam. Diamnya cukup untuk membuat kelas menegang.

Hening mengambil alih, tebal dan menyesakkan. Seolah suhu di ruangan tiba-tiba turun beberapa derajat.

Bumi akhirnya bersuara. Suaranya tenang, nyaris tanpa emosi, tapi setiap kata terdengar jelas hingga ke barisan paling belakang.

“Gue cuma akan ngomong ini sekali.”

Ia diam sejenak. Matanya menyipit, menelusuri wajah-wajah yang kini mulai tertunduk.

“Kalau ada yang merasa keberatan Sophia aktif nanya di kelas, bisa langsung ngomong ke gue… sekarang.”

Tak ada suara. Hanya dengung AC dan napas yang ditahan.

Bumi menyapu pandangannya ke seisi kelas, menunggu jika ada yang masih memiliki cukup nyali atau terlalu bodoh untuk bicara. 

“Kalau enggak ada, gue enggak mau lagi dengar ada yang ngeledek dia di kelas.”

Nada suaranya masih tenang, tapi mengandung sesuatu yang menggigilkan. Ia melirik tajam Geri dan Nino yang biasanya paling keras tertawa tiap kali Sophia angkat tangan. Mereka langsung menciut di kursinya.

Bumi melangkah maju, satu langkah kecil yang cukup untuk membuat jantung semua orang berdetak lebih cepat.

“Sampai gue dengar ada suara ketawa…” ia jeda, mencondongkan tubuhnya, “sedikit aja, biarpun cuma satu suara napas yang enggak sengaja lolos…”

Ia menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah, lebih tajam.

“Bakal gue ajak ‘ngobrol’ setelah kelas selesai. Dan gue yakin… kalian enggak akan suka obrolan yang bakal gue bawa. Paham?”

Kepala-kepala mengangguk cepat, serempak. Suara ketegangan bergema dalam napas yang tertahan.

Bumi menegaskan peringatannya, “Gue enggak ngulang perintah dua kali.”

Nada dingin itu seperti palu godam terakhir yang mengunci ketakutan di dada mereka. Beberapa bahkan tanpa sadar mengepalkan tangan di atas meja, mencoba menahan gemetar.

Ia berbalik, namun tiba-tiba ia menoleh lagi ke mereka. 

“Dan Sophia enggak perlu tahu gue ngomong ini…. Kalau sampai ada yang coba-coba kasih tahu dia…” 

Bumi menyipitkan matanya tajam, “... gue pasti akan tahu.” 

Mereka menunduk semakin dalam. Farid terlihat gemetar, seolah kembali teringat trauma waktu Bumi tahu dia mengambil pakaian olahraganya. 

Bumi lalu melangkah santai ke kursinya di sudut belakang. Setiap siswa yang dilewatinya langsung menegakkan tubuh, tak berani bergerak. Ia menarik kursinya—kreeeeekk—suara nyaring itu merobek keheningan, membuat beberapa anak tersentak. Tapi tak satu pun berani mengeluarkan komentar, bahkan napas pun mereka jaga agar tak terlalu keras terdengar.

Tak lama kemudian, pintu kelas kembali terbuka. Sophia masuk dengan wajah bingung ketika menyadari suasana kelas yang hening—terlalu hening.

Ia melirik sekeliling, lalu berbisik pada Bumi saat duduk di sebelahnya, “Pada kenapa?”

Bumi tidak menoleh, pandangannya masih tertuju ke halaman buku yang belum dibacanya.

“Enggak tahu,” jawabnya ringan, seolah tak tahu apa-apa.

Sophia mengerutkan dahi. Tatapannya menyapu wajah-wajah teman sekelas yang tampak kaku, tegang, bahkan tak berani menoleh padanya.

Ia akhirnya hanya menghela napas kecil dan mengeluarkan bukunya. Meski sesekali, matanya masih melirik—heran dan tak mengerti—kenapa pagi itu kelas terasa seperti berkabung.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • linschq

    suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.

    Comment on chapter Pandangan Pertama
  • adiatamasa

    Semangat, ya, kak.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Kisah Kita
2080      737     0     
Romance
Kisah antara tiga sahabat yang berbagi kenangan, baik saat suka maupun duka. Dan kisah romantis sepasang kekasih satu SMA bahkan satu kelas.
Hello, Me (30)
20143      1085     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Slap Me!
1592      725     2     
Fantasy
Kejadian dua belas tahun yang lalu benar-benar merenggut semuanya dari Clara. Ia kehilangan keluarga, kasih sayang, bahkan ia kehilangan ke-normalan hidupnya. Ya, semenjak kejadian itu ia jadi bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ia bisa melihat hantu. Orang-orang mengganggapnya cewek gila. Padahal Clara hanya berbeda! Satu-satunya cara agar hantu-hantu itu menghila...
Happy Death Day
590      333     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Warisan Tak Ternilai
580      237     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Mimpi & Co.
1183      765     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Smitten With You
13435      2333     10     
Romance
He loved her in discreet… But she’s tired of deceit… They have been best friends since grade school, and never parted ways ever since. Everything appears A-OK from the outside, the two are contended and secure with each other. But it is not as apparent in truth; all is not okay-At least for the boy. He’s been obscuring a hefty secret. But, she’s all but secrets with him.
VampArtis United
1210      739     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Sebelah Hati
1050      659     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Kainga
1399      810     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...