Pertengkaran Elhan dengan Taka memberikan dampak negatif pada remaja itu. Ia yang tadinya perlahan pulih, kini kembali tenggelam dalam sosok dirinya yang penakut dan pengecut.
Pagi itu, setelah pertengkaran hebat semalam, Elhan berangkat ke kelas lebih awal. Dalam langkahnya yang terasa berat dan penuh keraguan itu, Elhan mendadak merasa rindu pada rumahnya. Rumah kontrakan yang terasa sempit, berisi enam orang di dalamnya dengan ia sebagai anak pertama yang seolah berperan menjadi apa pun. Mendadak menjadi penengah, mediator, bahkan tempat mengadu. Meskipun begitu, bagi Elhan, rumahnya yang sempit nan berisik itu masih menjadi tempat yang terbaik.
Pikirannya mengembara ke hari-hari di masa lalu. Meskipun hidup serba kekurangan, remaja itu tidak pernah diserahi tanggung jawab untuk mencari uang dengan alasan apa pun. Bahkan, orang tua Elhan menjadi sosok orang tua yang mendukung penuh pendidikan anaknya bagaimana pun caranya.
Seolah menjawab harapan orang tuanya, Elhan menyelesaikan sekolah dasar dan menengah pertamanya dengan beasiswa penuh. Bahkan, ia memiliki orang tua asuh selama masa SMP yang menjadi jembatan untuknya berkenalan dengan dunia digital dan pemrograman. Orang tua asuhnya memberikan fasilitas berupa komputer dan ponsel. Dari sanalah Elhan mulai menyelam ke dunia pemrograman lebih dalam lagi.
Elhan tersenyum getir saat mengingat masa lalunya. Ia teringat di hari-hari menjelang kelulusannya, sebuah kompetisi pemrograman bergengsi diadakan. Hal itu jelas menyita perhatian Elhan yang ingin unjuk gigi di tingkat yang lebih tinggi lagi. Meskipun mimpinya bukanlah impian template, ia tetap bermimpi tinggi. Ingin mendapatkan pekerjaan yang stabil setelah ia lulus dari sekolah, lalu menghidupi orang tua dan adiknya dengan gaji yang tidak sedikit. Hal inilah yang membuat Elhan semakin semangat lagi mengikuti kompetisi tersebut.
Kompetisi yang diikuti Elhan adalah kompetisi yang meminta pesertanya untuk menemukan bug atau galat di dalam sebuah program atau aplikasi yang diberikan. Lalu, remaja itu berhasil menyelesaikannya dengan sangat baik. Bahkan, Elhan sampai menemukan adanya bug lain yang tidak disadari oleh perusahaan yang membuat kompetisi ini. Dari sinilah remaja itu berhasil memenangkan kompetisi tersebut, juga menerima tawaran beasiswa penuh dan uang saku dari SMA Yabita, sekolah swasta khusus laki-laki yang terkenal ‘elit’ di kalangan masyarakat, dan berada dalam naungan Yayasan Bina Permata, tempatnya bersekolah saat ini. Sebuah Yayasan terkemuka yang hanya mencetak ‘permata’ dalam masyarakat.
Elhan menyusuri lorong yang sepi ini sampai ke tangga di ujung lantai. Biasanya, langkahnya ini penuh dengan keramaian. Mungkin dengan celetukan Cakra yang terkadang ngawur, tentang suara lembut Taka yang menjawab pertanyaannya dengan senyum tipis, atau dengan suara tawa kecil mereka yang bergema di seluruh lorong. Semuanya terasa sedikit menyesakkan dadanya.
Ia tidak ingin melanjutkan sekolah di sini. Ia tidak ingin belajar. Seandainya mereka tahu bahwa Taka dan Cakra adalah orang yang membuatnya mengenyahkan pikiran itu. Kamar 544 adalah tempat untuknya bernapas tanpa adanya rasa mengganjal di dadanya. Sayangnya, ia menghancurkan semuanya. Saat mengingatnya lagi, dada Elhan terasa semakin sesak. Ia bahkan semakin memelankan langkahnya.
Ketika tiba di anak tangga, Elhan berhenti dan memandangi bagian bawah dengan sedikit bergetar. Ia ingin melangkahkan kakinya. Sayangnya, setiap kali kakinya hendak menginjak anak tangga, rasa takut yang menyakitkan menyerang dadanya, membuat remaja itu kembali menarik kakinya. Ia meremas pegangan tangga dengan frustrasi.
Ia mencoba lagi. Satu langkah. Dua. Tapi tubuhnya mundur lagi. Ketakutan menjeratnya, menahan langkahnya di tempat. Ia langsung berjongkok dan menangis pelan.
Setelah beberapa saat, napasnya juga mulai teratur, Elhan kembali berdiri. Ia mengepalkan kedua tangannya, menyemangati dirinya sendiri untuk terus melangkah. Setelah beberapa kali memejamkan mata dan menarik napas panjang, Elhan akhirnya dapat memantapkan dirinya dan menuruni anak tangga dengan perlahan. Beruntungnya ia turun saat anak lain mungkin baru bangun tidur, sehingga tidak ada yang memprotesnya. Saat ini, Elhan segera menuju kantin sekolah. Sarapan secepat mungkin dengan menu seadanya, lalu bergegas ke kelas.
Menjadi satu-satunya orang miskin di perkumpulan orang kaya adalah neraka bagi Elhan. Ia adalah satu-satunya siswa beasiswa yang berasal dari kalangan bawah di tiga angkatan ini. Sebenarnya, tidak sedikit yang tidak peduli dengan statusnya. Bahkan, kebanyakan siswa cenderung apatis dengan dirinya karena dianggap bukan urusan mereka. Sayangnya, ada juga yang menganggap Elhan sebagai objek yang cocok menjadi pelampiasan mereka.
Para guru jelas menutup mata. Apa gunanya menolong anak orang miskin, jika itu mengancam kedudukan dan pekerjaannya di depan orang-orang kaya yang menjadi pelaku itu?
Hal inilah yang menjadikan sekolah layaknya neraka bagi Elhan. Bahkan, saking rusaknya diri remaja itu, kini Elhan kesulitan berbicara dengan lancar tanpa terbata-bata.
Selesai sarapan, Elhan pergi ke kelasnya. Ia meletakkan kepalanya di meja sembari menyusuri memorinya beberapa minggu yang lalu. Bukan dengan sengaja. Rasa sakit di perutnya membuatnya mendadak teringat dengan neraka miliknya di semester baru ini.
Siang itu, di hari pertama masuk semester baru, Elhan yang baru kembali dari UKS setelah menjenguk Taka masuk ke kelas. Sayangnya, sebelum ia masuk ke dalam kelas, Elhan ditarik dengan salah seorang murid di kelasnya dengan tiga orang di belakang murid itu yang tertawa. Ia diajak ke halaman belakang yang sudah sepi, lalu ditarik ke pojokan. Berhubung guru tidak masuk karena hari pertama, teman sekelas Elhan memanfaatkannya untuk bermain dengan mainan milik mereka yang sudah lama tidak mereka mainkan.
Elhan didorong ke tanah hingga remaja itu terjatuh. Debu di tanah berterbangan karena terusik dengan hantaman Elhan.
“Kalian denger, kan? Katanya anak ini ‘dibuang’ dari kamarnya?” tanya seorang dari geng pembully ini dengan nada mengejek ke teman-temannya. Namanya Dodi, pemimpin dari geng ini.
“Iya. Wajar, sih. Kan emang dia harusnya dibuang. Kamu ini cuma orang miskin yang dipungut sama sekolah karena rasa kasihan. Kalo nggak gitu, mungkin sampe sekarang kamu masih merangkak di bawah jembatan sambil minta recehan,” sambung salah satunya yang Elhan ketahui bernama Rayhandra.
“Katanya kawan gua yang pernah satu kamar sama anak ini, dia nih cupu banget. Masa laki-laki dikit-dikit nangis. Mana barangnya lusuh semua lagi. Alergi kawan gua jadi sering kumat gara-gara deket dia.” Nugraha menimpali dengan tertawa.
Elhan yang baru merasakan hidup kembali selama libur semester mendadak kembali ketakutan. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya gemetar. Pikirannya terasa tidak berada pada tempatnya. Yang ada di pikiran remaja itu saat ini, ia ingin kabur dan pergi sejauh-jauhnya.
Sayangnya, hari itu berakhir dengan ‘pukulan pembukaan semester baru’ kata mereka. Yang pasti, sejak hari itu, Elhan dirundung kecil-kecilan karena perundungan itu tidaklah semasif biasanya.
Rupanya, perundungan kecil itu tidak berlangsung lama. Beberapa hari yang lalu, setelah ulangan harian, Elhan berhasil mendapatkan nilai tertinggi di kelasnya. Bahkan ia mengalahkan murid nomor satu di kelas dan sekolah ini. Hal itu memicu kemarahan geng tukang bully, empat anak yang katanya anak dari menteri dan DPR atau apalah itu karena dianggap lancang sudah menggeser kedudukan si nomor satu itu.
Amarah itu membuat Elhan menjadi samsak hidup. Selama beberapa hari sekali, saat pulang sekolah, Elhan akan diseret ke gudang belakang, lalu dihajar habis-habisan. Sampai akhirnya remaja itu tak sadarkan diri atau tak kuat berdiri, barulah mereka pergi meninggalkannya. Luka yang baru sembuh seolah terus diperbarui dengan luka yang baru.
Karena kemarin ia baru dihajar habis-habisan, Elhan percaya kalau hari ini ia akan aman. Rasa sakit di bekas pukulannya masih berdenyut hebat dalam sehari ini. Beberapa kali ia meringis dan mencengkram celananya untuk menyalurkan rasa sakitnya. Sayangnya, apa yang ia pikirkan adalah kesalahan besar.
Saat di kelas, keempat orang yang biasa merundungnya masuk dalam keadaan terlambat dua jam pelajaran, tepat ketika berganti mata pelajaran, bersama dengan seorang guru BK. Mereka berempat masuk dengan memandang Elhan garang, yang langsung dibalas dengan bentakan dari Pak Yusuf, guru BK tersebut.
“Kalian lupa dengan apa yang sudah dibicarakan tadi? Minta maaf pada Elhan, dan jangan diulangi lagi kalau tidak ingin mendapatkan poin!”
Pak Yusuf berlalu begitu saja, meninggalkan mereka tanpa memastikan bahwa perundung meminta maaf. Alih-alih meminta maaf, Dodi menendang meja Elhan dan kembali ke tempat duduknya dengan membanting tas. Elhan yang melihat semua adegan itu disertai dengan suara keras mau tak mau membungkuk, berusaha menyembunyikan dirinya dengan merapatkan tubuhnya dengan meja. Tubuhnya bergetar, jantungnya berdegup kencang. Serangan paniknya datang lagi.
Melihat temannya masuk kelas dengan penuh emosi, juga drama ‘permintaan maaf’ ke Elhan yang tak dilakukan, seorang anak yang dikatakan ‘orang nomor satu’ itu berbisik ke arah Dodi. “Lo kenapa? Kok bisa Pak Yusuf nyuruh lo minta maaf ke Elhan?”
Dodi balas berbisik, “Ada yang cepu. Sialan. Gua nggak tahu lagi pelakunya. Kemungkinan bokap-nya lebih kuat daripada bokap gua.”
Remaja itu mengangguk paham. Ia mengetikkan sesuatu di ponselnya, lalu kembali meletakkan di dalam laci. Remaja itu menoleh ke belakang, melirik Elhan yang terlihat menyedihkan itu.
“Dasar pecundang.” Bibir remaja ‘nomor satu’ itu tersenyum. Bukan senyum manis, melainkan senyum sinis dan merendahkan. Saat itu, getaran terasa dari ponselnya. Ia kembali mengambil ponselnya, membaca pesan yang baru masuk, lalu tersenyun lebar.
Remaja itu menyodorkan ponselnya ke arah Dodi, yang langsung disambut dengan senyum lebar dari remaja itu.
“Hebat kamu, Rai.” Dodi menoleh ke arah bangku belakang, tempat Elhan duduk. “Nanti pulang sekolah, gua eksekusi tuh bocah. Biar nggak berlagak jadi kang cepu.”
Guru mata pelajaran masuk, menjelaskan pelajaran.