Percakapan dan interaksi mereka hanya bergema di hari pertama mereka datang ke kamar karena kondisi kamar yang mengharuskan mereka untuk saling berbicara. Kali ini, tanpa ada alasan, hanya ada keheningan di dalam kamar.
Mereka baru masuk sekolah di hari Senin, sedangkan hari wajib kembali ke asrama adalah hari Sabtu. Hari ini Minggu, mereka bebas melakukan apa pun selama tetap berada di dalam asrama.
Taka menghabiskan waktunya untuk menggambar. Saat sedang menggambar itulah Taka bisa benar-benar menikmati waktunya. Ia melakukan kegiatannya itu di atas kasur, bersandar di dinding dan menggoreskan pensilnya di atas kertas dengan serius. Bahkan ia tidak menyadari bahwa ada sosok lain yang ikut melihat proses menggambarnya.
Di sisi lain, Elhan dan Dendra berada di meja belajar mereka masing-masing. Dendra mengulas materi yang telah diajarkan semester lalu, dan mulai mempelajari materi yang diajarkan semester ini. Elhan di sebelahnya sudah fokus pada laptop dan terlihat serius mengotak-atik sesuatu. Sementara Cakra telah pergi pagi-pagi sekali dengan memakai baju basketnya.
Merasa lelah dengan kegiatannya, Taka meregangkan tubuhnya. Saat itulah tatapannya bertabrakan dengan sosok yang sejak tadi mengamati kegiatannya. Refleks, Taka berteriak. Sosok remaja laki-laki itu pun tampak terkejut, lalu menembus dinding dan menghilang. Seolah ikut terkejut.
Mendengar jeritan Taka, Dendra dan Elhan menoleh secara serentak ke arahnya.
“Kenapa lo? Teriak-teriak, kaya orang gila aja,” sinis Dendra.
“Kan aku dah bilang,” jawab Taka yang membuat Dendra mendadak terdiam, tidak berani melanjutkan omelannya.
Ia sepertinya menyadari maksud dari ‘orang gila yang mengganggu ketentraman’.
Elhan yang mendengar Taka berteriak itu tak berani bertanya apa pun. Ia hanya kembali menatap laptopnya dengan tubuh yang agak bergetar. Ia juga berkali-kali bergerak tidak nyaman. Merasa gelisah akan sesuatu yang tidak ada. Sayangnya, gerakannya itu mengganggu Dendra yang memilih memakai meja di sebelah Elhan alih-alih di sebelah Taka. Karena meja itulah yang paling ‘bersih’ tanpa banyak coretan di atas mejanya.
“Bisa diem nggak? Lo ganggu banget! Dari tadi gerak mulu. Meja gue ikutan goyang, tahu nggak!”
Elhan mengangguk pelan, tapi gerakan di tubuhnya makin kencang. Ia menggumamkan sesuatu yang tidak terlalu terdengar. Dendra mengerutkan keningnya kesal.
“Lo ngomong apa? Kalo ngomong tuh yang keras ngapa?”
Taka merasa ada yang tidak beres. Ia melihat secara perlahan, energi-energi dari hantu tingkat rendah mengelilingi Elhan. Taka ingin membantunya, tapi ia sudah berprinsip untuk tidak memperlihatkan kemampuannya yang bisa melihat makhluk halus pada siapa pun.
Suara Elhan juga secara perlahan semakin mengeras setelah Dendra mengatakannya untuk mengeraskan suaranya.
“Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf ….”
Kata itu terus menerus diulang Elhan yang kini sembari menutup telinganya dan mengangkat kakinya ke atas kursi. Duduk meringkuk.
“Hei! Ngapain sih? Gua cuma nyuruh lo diem!” Dendra kebingungan dengan sikap Elhan. Sayangnya, bukannya menjawab, Elhan malah semakin kencang bergumam, bahkan kini menggelengkan kepalanya dan menutup mata.
Taka merasa hal ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Kondisi Elhan bukan sepenuhnya akibat gangguan makhluk halus atau faktor luar. Justru luka dari dalam dirinya sendirilah yang memicu ini semua. Perasaannya terlalu negatif sampai bisa memancing entitas lemah yang membutuhkan energi negatif untuk bertahan. Melihat hal ini tidak akan berakhir dengan mudah dan khawatir semakin membahayakan teman sekamarnya, Taka turun dari kasurnya dan segera menghampiri Elhan. Taka memeluknya erat, mengusap punggung Elhan perlahan sambil membisikkan kata-kata penenang.
“Nggak apa-apa. Kamu aman, Elhan. Kamu baik-baik aja. Nggak ada yang jahat ke kamu. Kamu aman. Kamu baik-baik aja ….”
Kata-kata itu terus diucapkan Taka sampai gerakan Elhan memelan dan berhenti. Ia sudah sedikit relaks dibandingkan sebelumnya. Saat itulah Taka membimbing Elhan untuk ke kasurnya dan mengambilkan air minum miliknya, lalu diminumkan ke remaja itu.
Setelah selesai dengan semuanya, Taka menatap Dendra yang sejak tadi melihat mereka tanpa bereaksi.
“Gua tahu lo nggak peduli sama orang lain. Tapi, empatinya tolong dipake dikit. Mau pinter sundul langit, kalo nggak bisa berempati, lo nggak jauh beda dari sampah masyarakat.”
Mendengar ucapan Taka, Dendra merasa dadanya menggelegak marah. Ia ingin menghantamkan tangannya saat ini juga ke wajah Taka. Sayangnya, kondisi Elhan tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya. Dendra mengurungkan niatnya dan memilih untuk menelan amarahnya begitu saja dengan wajah yang memerah. Ia mencengkeram penanya dengan erat, lalu berteriak tanpa suara.
Ia tidak ingin tinggal di tempat buangan ini.
***
Suara pintu yang dibuka dengan keras lagi-lagi mengagetkan seisi penghuni kamar. Taka bahkan sampai tanpa sengaja mencoret gambarnya. Elhan yang sudah menjadi lebih baik itu kembali terlonjak. Pandangannya sedikit bergetar, tapi untungnya ia bisa kembali menenangkan dirinya saat Taka dengan segera meraih tangan Elhan. Remaja itu memang pindah untuk duduk di sebelah Taka karena sedikit takut pada Dendra.
“Rusak itu pintu kalo kamu bukanya kaya gitu,” tegur Taka. Ia sendiri agak terkejut melihat Cakra yang masuk ke dalam kamar dengan wajah lebam. Sepertinya ia baru bertengkar dengan seseorang.
“Bacot. Lo mau gua pukul juga?” jawab Cakra yang masih penuh emosi. Ia berjalan dengan amarah yang memburu, lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Melihat amarah masih menguasai remaja itu, mau tak mau Taka menghela napasnya. Ia melepaskan genggamannya pada Elhan dan mengatakan semua baik-baik saja. Ia kemudian turun dari kasurnya menuju ke lemari. Setelah itu, Taka mengambil tas berisi obat-obatannya, lalu mengambil kasa dan obat luka dari dalam.
Tak lama setelahnya, Cakra keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah. Ia juga sudah mengganti baju dan celana basketnya menjadi kaos dan celana biasa. Remaja itu meletakkan baju kotornya di keranjang cucian dan hendak kembali ke tempat tidurnya.
Taka mendekati Cakra dan menyerahkan obat di tangannya.
“Pake ini. Daripada nanti infeksi, malah ribet. Bisa make sendiri, kan? Tuh ada kaca di lemari.”
Cakra menatap obat di hadapannya dan Taka bergantian. Ia hendak menepis tangan Taka. Akan tetapi, belum sempat menepisnya, Taka meraih tangan remaja itu dan menyerahkan obatnya begitu saja. Ia kembali ke atas kasurnya dan melanjutkan gambarannya.
Hari itu, mereka tidak lagi bertukar kata, kecuali Elhan yang beberapa kali membuka percakapan dengan Taka dan direspons seadanya oleh Taka, seperti biasa.