Sedih Ami tidak hilang sampai esok hari meskipun cuaca lebih cerah. Ami duduk di bawah pohon besar di depan fakultasnya. Biasanya, Ami akan malu melakukan itu–dia tidak berani duduk sendirian di tempat terbuka karena takut jadi pusat perhatian. Namun, entah kenapa Ami mulai terbiasa sejak mengenal Mimpi & Co. Yang terus terpikirkan di benaknya adalah: Lagipula dirinya akan segera dilupakan.
Perasaan Ami lagi-lagi berubah tanpa alasan. Sedihnya hilang, lalu rasa bahagia muncul entah dari mana. Ami kemudian menduga sesuatu–dia yakin kebahagiaannya bersumber dari Je yang saat ini berada dalam radarnya. Dia menoleh ke sekitar lalu menemukan Je yang tengah berjalan sendirian menuju fakultas seni. Ami antusias ingin menghampiri, tapi dia terlebih dulu memperhatikan kemana pria itu pergi. Saat Je berakhir duduk di kursi lobi lalu bermain ponsel, Ami menunggu sebentar lagi barangkali Je ingin bertemu seseorang–Aidan, misalnya. Karena tidak ada tanda-tanda Je akan bertemu seseorang, Ami akhirnya beranjak dari duduknya dan menghampiri Je seraya berseru dengan ceria.
“Kak Je …!”
Je menoleh lalu senyumnya lekas mengembang. “Ami, kirain kamu masih di dalam. Aku di sini lagi nungguin, lho.”
“Kak Je nungguin aku?”
Je mengangguk. “Kan aku emang sering kesini buat ketemu kamu, tapi kamu malah langsung pergi ninggalin aku?”
Ami tertawa getir. Dia merasa bersalah soal itu. Jadi, Ami akan pergi dengannya sebagai permintaan maaf. Namun, karena sejam lagi Ami masih ada kelas, Ami memberitahu Je untuk pergi jalan-jalan di sekitar kampus saja. Lalu Je mengusulkan untuk pergi beli kopi gerobakan di pinggir jalan dekat kampus yang harganya murah meriah. Ami setuju untuk pergi ke sana, tapi sayangnya … di sana sangat ramai akan pria. Ternyata tempat itu menjadi tempat nongkrong sekumpulan mahasiswa termasuk Pasha dan Ron. Saat melihat mereka dari kejauhan, langkah Ami segera terhenti. Ami memberitahu Je kalau dia terlalu malu untuk pergi ke sana. Je memahami Ami lalu dia menawari Ami untuk menunggu di suatu tempat sedangkan dia pergi beli kopi sendiri.
Ami menunggu di kursi halte. Je pun datang menghampiri setelah membeli dua kopi dan memberikan salah satunya kepada Ami. Ami menoleh ke arah Je yang sedang menatapnya dengan mata hangat. Ami mulai menyeruput kopinya sebelum menanyakan sesuatu.
“Kak Je tadi datang ke fakultas aku sendirian, emang nggak malu?”
“Kenapa harus malu?” tanya Je yang justru bingung.
“Ya soalnya sendirian. Barangkali ada yang ngejek nggak punya temen, atau dikatain kesepian, atau dibilang lemah gara-gara nggak ada pendukung?”
Kening Je mengerut heran. “Ami kayak gitu, ya?”
Sepasang mata Ami membulat. Dia merasa tertangkap basah. Dia pun hanya membalas dengan tawa ala kadarnya: “Hehe.”
“Gini ya, Ami,” Je meletakkan kopinya di kursi sebelum menjelaskan, “Jalan sendirian itu bukan kelemahan kok–tapi kelebihan. Soalnya, itu artinya kita berani. Bahkan kalau misalnya kita kesandung atau kepeleset di tengah jalan, itu manusiawi kok–malah jadi pelajaran biar kita lebih hati-hati. Kalau ngerasa malu, paling bentar doang. Kalau ada yang ketawa, besok-besok mereka juga bakal lupa.”
“Gitu, ya? Kalau ada yang nggak suka sama kita terus kita diketawain tiap hari, gimana?”
“Ada yang gitu ke kamu? Ada yang jahat ke kamu?”
Ami tersenyum canggung. “Tapi … menurut Kak Je, aku jahat nggak sih? Aku bikin beberapa orang naksir sama aku, padahal sebenernya mereka nggak beneran suka sama aku.”
“Eh?” Je kembali heran. “Maksudnya gimana sih? Aku yang nggak ngerti atau emang pertanyaan kamu yang aneh?”
“Emang pertanyaan aku yang aneh,” lirih Ami. Ami menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan berbicara. “Aku ngerasa lemah gara-gara nggak punya pendukung, tapi cewek itu punya temen sama pacar yang belain dia. Bahkan saat dia salah, dia tetep dibela. Aku nggak tahu harus minta pertolongan kemana. Akhirnya, aku bikin permohonan di toko mimpi. Aku bikin daftar orang-orang yang aku mau–terus mereka semua bener-bener dateng. Tapi aku malah ngerasa jahat ke mereka.”
“Merekanya tuh siapa, Ami?” tanya Je.
“Yang naksir aku.”
“Termasuk aku dong?”
Ami mengangguk. “Iya.”
“Tapi aku nggak ngerasa dijahatin kok sama Ami. Perasaan jatuh cinta itu indah, lho. Berarti Ami udah ngasih keindahan dong buat aku?”
Ami terdiam menatap Je. Apa yang Je sampaikan ternyata sedikit mengurangi rasa bersalahnya. “Kalau misalnya Kak Je suka aku gara-gara aku jampi-jampi, perasaan Kak Je bakal gimana?”
“Emang kamu beneran kayak gitu ke aku?”
Ami bingung menjawab. Dia mengangkat bahu seraya berkata, “Bisa jadi.”
“Ami,” panggil Je. “Percaya deh, semua hal yang jahat itu pasti ada imbasnya. Kalau misalnya kamu manfaatin sesuatu buat kesenangan kamu terus habis itu kamu sadar, itu udah cukup kok–soalnya kamu udah dapet pelajarannya. Lagian nggak ada salahnya kok berbuat salah. Kamu manusia. Setiap manusia pasti punya salah. Tanpa ngelakuin kesalahan, kamu nggak bakal tahu mana yang benar.”
Ami bergeming. Dalam benak ia ingin tahu: Apakah ini benar perkataan Je atau hanya mimpi yang dikendalikan Mimpi & Co.?
Sedih Ami datang lagi setelah dia berpisah dengan Je dan kembali ke kampus untuk mengikuti kelas. Dia semakin sedih saat melewati jalan pulang. Dia mampir ke Mimpi & Co., lalu di sana, dia tidak bisa menahan air mata. Dia menangis di hadapan Pak Guska. Dengan penuh perhatian, Pak Guska menepuk bahu Ami beberapa kali, lalu mengambilkan sekotak tisu dan cokelat panas kesukaan Ami. Pak Guska tidak mengusik seolah memberi Ami waktu untuk menyelesaikan tangisnya.
Setelah tangis reda, Ami bertanya, “Apa Kak Ai bakal ngelupain saya juga?”
“Saya nggak yakin apakah jawaban saya akan membuatmu lega atau akan membuatmu kembali menangis. Tapi sepertinya harus saya katakan kalau … jika kamu terlibat dalam ingatannya saat mimpi berlangsung, ingatan itulah yang akan dilupakan.”
Ami diam.
“Apa dia … yang nyata?” tanya Pak Guska.
Ami mengangguk lalu meminum cokelat panasnya yang sudah tidak panas lagi. Dia pulang, lalu melanjutkan tangisnya di rumahnya yang kosong. Tangisnya dijeda oleh suara notifikasi di ponselnya–Ami mendapat pesan dari sang ayah.
Dari: Ayah
Malam ini ayah nggak pulang.
Ami akan sendirian sampai besok berangkat kuliah lagi. Malam ini, Ami berencana pergi ke minimarket untuk beli jajan–kebiasaannya saat sedih adalah membeli banyak makanan ringan dan memakannya sendiri. Namun, saat Ami berjalan di gang yang remang-remang dan hampir tiba di mulut gang, Ami menahan langkahnya karena mendengar suara beberapa orang yang familiar di telinganya. Dia pun mengintip di balik dinding. Ternyata malam ini Aidan, Oliver dan Rian tengah menikmati makan mie bersama di teras minimarket.
“Gebetan gue rumahnya masuk gang itu,” kata Oliver seraya menunjuk gang.
Untungnya, Ami sudah sembunyi saat semuanya menoleh–tapi dia masih ingin menguping.
“Kok sama? Jangan-jangan gebetan kita tetanggaan?” tanya Rian.
Aidan menceletuk, “Gue malah pernah mampir. Makan bareng. Ketemu bokapnya juga. Bokapnya dokter.”
“Bokapnya gebetan gue profesinya apa, ya?” gumam Oliver yang kemudian sibuk berpikir.
“Habis makan mie, ayo balapan lari sampai kost-an,” ajak Rian.
“Sampai kost-an kita adu panco nggak sih?” usul Oliver.
“Habis itu laper lagi,” kata Aidan.
“Makan lagi lah,” celetuk Rian.
“Bang Axel di kafe nggak, ya?” tanya Oliver tiba-tiba.
Rian menjawab, “Nggak ada. Udah tutup jam segini.”
“Kalo ada alien mampir ke kafe, kira-kira bakal dibolehin nggak ya?” tanya Oliver lagi.
“Nggak usah aneh-aneh!” ketus Aidan. “Guys, balik yuk? Besok gue ada kelas pagi. Takut kesiangan,” ajaknya kemudian beranjak lebih dulu diikuti Oliver dan Rian.
Sebelum pergi, mereka mengumpulkan sampah di meja dan membuangnya ke tempat sampah. Dari balik dinding, Ami kembali mengintip. Mereka ternyata tinggal bersama. Ami mengamati mereka yang melangkah bersama di tepi jalan raya.
“Awas aja lo pasang alarm kenceng-kenceng, tapi yang bangun malah kita,” ketus Oliver seraya merangkul Aidan di jalan pulang.
Aidan membalas, “Kapan gue gitu? Bukan gue! Rian tuh yang kalo molor kayak orang mati.”
Dan Rian hanya tertawa kencang. Melihat mereka bersama, nafsu makan Ami hilang. Dia memutuskan pulang dan kembali bersedih dengan bebas di kamarnya.
[]