Ami sedih. Suasana berangkat kuliah sudah mulai berbeda–dan minggu depan mungkin akan lebih berbeda lagi. Begitu keluar gang, senyum Ami mengembang karena melihat Axel di teras kafe tengah melambaikan tangan padanya. Ami pun memutuskan mampir.
Ami tidak mengkhawatirkan apapun karena Axel adalah mimpi. Ami jadi merasa bebas mengoceh karena Axel tidak akan mengerti jika dirinya membicarakan soal mimpi. Yang akan selalu Axel lakukan hanyalah menyanjungnya, memujinya dan menyampaikan perasaannya.
“Kak Axel kan ganteng. Kayaknya nggak mungkin deh kalau nggak ada yang naksir,” kata Ami yang duduk menghadap Axel seraya menggenggam secangkir kopi pagi. “Rasanya aku mau pamer ke seluruh dunia kalau ada cowok ganteng yang naksir aku–mumpung masih ada kesempatan dan mumpung kita masih kenal. Aku yakin Kak Axel bakal baik-baik aja meskipun nggak kenal aku–bahkan kalau aku nggak ada di dunia ini.”
“Jangan ngomong gitu, Ami. Kalau kamu nggak ada di dunia ini, aku sedih,” kata Axel.
Ami tidak mengelak. Ami sempat terpikirkan untuk menolak Axel hari ini juga, tapi dia sudah merasa bersalah sebelum melakukannya. Haruskah Ami membuat opsi kedua? Ami ingin membiarkan dirinya dilupakan seiring berakhirnya Mimpi & Co. Dengan begitu, Ami tidak perlu susah payah menyakiti mimpi-mimpinya.
“Kak Asel, ini terakhir kalinya aku makan gratis di sini, ya? Kalau aku kesini lagi, pokoknya aku mau bayar.”
“Berarti habis itu nge-date,” celetuk Axel. “Nggak lupa sama perjanjian kita, kan? Kalau kamu mau bayar, berarti habis itu kita nge-date.”
Ami diam sebentar menatap Axel. Perlahan senyum Ami mengembang kemudian dia mengangguk.
“Oke,” sahut Ami. Pikirnya, Mari bahagiakan mimpi. Lagipula mereka akan lupa.
Di kampus, saat Ami melewati jalanan basah karena hujan, Ami melihat Rian yang melewatinya dengan motor. Rian tampak membuang muka dan tampak masih marah gara-gara kebohongan Ami yang mengaku telah memiliki pacar. Sesuatu tak terduga tiba-tiba terjadi.
BRAK!
Suara mengejutkan itu membuat Ami lekas berlari menghampiri Rian yang terjatuh dari motor. Rian mengalami kecelakaan tunggal. Motornya tergelincir di jalan kampus yang licin. Ami jadi orang pertama yang menghampiri Rian karena memang yang terdekat. Saat ini Rian tengah tersungkur dan terpisah dari motornya yang tergelincir cukup jauh. Rian melepas helmnya dan bisa bangkit sendiri, tapi begitu dia melihat Ami, dia segera membuang muka lagi.
Rian berkata dengan kesal, “Kenapa gue harus jatuh di depan lo sih?” Lalu menatap Ami dengan mata tajam, “Gue lagi males ketemu lo! Harusnya lo ngerti! Harusnya lo nggak nyamperin gue!”
Ami diam karena tiba-tiba dimarahi. Padahal dia hanya ingin membantu. “Gue tahu lo masih marah sama gue. Gue minta maaf.”
Ami bisa mendengar Rian terkekeh. Rian kembali menatap Ami dengan senyuman kecut di balik helm. Ami tidak suka senyuman itu.
“Lo pikir bakal segampang itu maafin lo?” kata Rian. “Mentang-mentang gue naksir brutal, lo jadi ngira kalau gue bakal langsung maafin lo, gitu?”
Dia kemudian melangkah meninggalkan Ami menuju motornya. Rian memperbaiki posisi motornya yang jatuh di tengah jalan. Begitu menaiki dan menyalakan motornya, Ami pikir Rian akan langsung pergi. Ternyata Rian justru menghampiri Ami dengan motornya, mengitarinya sekali, lalu berhenti di hadapan Ami. Melalui helm yang kacanya belum ditutup, Ami melihat mata Rian menyorotnya lagi.
“Naik,” Rian meminta. Nadanya tidak memaksa dan lebih terdengar seperti permohonan.
Ami hanya menatap diam karena masih belum memutuskan–sampai Rian melontarkan kalimat berikutnya.
“Gue emang masih sakit hati, tapi gue lagi berusaha buat nggak nyalahin lo, Kak. Sumpah gue lagi males banget ngomong banyak soalnya masih bete. Boleh nggak sih kalau gue minta dihibur sama cewek yang udah nyakitin gue? Nggak tahu kenapa yang paling nyaman gue ajak jalan saat ini tuh lo.”
Ami diam sebentar menatap mata Rian yang penuh harap. Dia kemudian memberi satu syarat, “Asal lo janji nggak marahin gue lagi.”
“Deal!”
Rian menyempatkan pergi ke toko helm untuk membeli satu untuk Ami. Setelah Ami punya helm, mereka lebih bebas pergi kemanapun tanpa takut bertemu polisi. Sayangnya, hujan turun lagi. Cukup deras dan membuat mereka tetap basah meskipun sudah secepat mungkin menepi ke sebuah kafe sederhana di tepi jalan.
“Pinjemin handuk, tolong!” pekik Rian kepada salah satu pelayan kafe.
Padahal mereka baru masuk, tapi Rian sudah berisik. Ami menebak kalau Rian adalah tipe pria yang bisa melakukan apa saja. Dia bahkan berani meminta tolong dari seseorang yang belum dikenal–sedangkan Ami sebaliknya. Saat salah seorang pelayan datang membawakan handuk, Ami pikir Rian akan mengeringkan wajahnya lebih dulu. Ternyata Rian lebih mendahulukan Ami padahal dirinya yang lebih basah. Ami terdiam saat Rian tiba-tiba menghadap padanya dan mencoba mengeringkan ujung rambut sebahu Ami yang basah karena tidak tertutupi helm. Rian mengusak rambut Ami yang basah, leher Ami yang basah, lengan, dagu … lalu keduanya diam saat tatapan mereka bertemu.
Rian berkata lirih, “Kalau jadi pacar gue, lo pasti udah gue cium.”
Kemudian dengan usilnya, Rian menutupi seluruh wajah Ami dengan handuk lalu Ami ditinggal pergi. Ami menarik handuk di wajahnya seraya mendesis kesal dan memelototi Rian yang berjalan menuju salah satu kursi. Ami segera menyusul lalu mengoper handuknya ke Rian. Rian pun menangkapnya.
“Yang anget-anget apa, Kak?” tanya Rian kepada pelayan.
“Gue pesen es kopi, ya?” pinta Ami.
“Nggak! Udara udah dingin,” tegas Rian. “Makan nggak lo?”
“Santai, dong! Galak banget.”
“Mau gue lembut? Jadi pacar gue makanya.”
“Nggak mau.”
“Sialan. Lo nolaknya kasih waktu kek, pura-pura mikir kek, atau seenggaknya ngasih alesan ‘kamu terlalu baik buat aku’ atau apalah. Tega bener lo sama gue.”
Nyali Ami untuk bicara mendadak ciut lagi. Dia merasa keterlaluan meskipun niatnya hanya bercanda. Seorang pelayan datang membawa buku menu dan Rian segera menguasai buku menu sebelum Ami yang meraihnya lebih dulu.
Seraya memilih makanan yang akan dipesan, Rian berkata, “Kak, nanti kalau putus, kabarin gue, ya?”
Kali ini Ami tidak tahu harus membalas apa. Ami menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Saat Rian pergi ke kamar mandi sebelum makanan datang, entah sengaja atau tidak, Rian meninggalkan ponselnya di atas meja. Saat ponsel itu bergetar dan layarnya menyala, Ami melihat notifikasi yang sangat menguji kesabarannya.
Dari: Iqbal mesin
Tadi lo jatohnya kayak beneran
Ami menarik napas dalam-dalam. Haruskah dia marah atau pura-pura tidak tahu? Meskipun hanya mimpi, tapi Ami terharu–karena mimpinya rela menyakiti diri demi mengajaknya pergi.
[]