“HUWAA …!”
Ami terperanjat saat Oliver tiba-tiba melompat ke hadapannya. Ami baru saja keluar dari kelas lalu Oliver tiba-tiba muncul entah dari mana. Dengan ceria yang tampak polos kekanak-kanakan, Oliver mengajak Ami pergi berdua. Namun, Ami menolak karena masih ada mata kuliah lagi. Ami tidak tega saat melihat Oliver kecewa. Sayangnya, penolakannya bukan sekadar alasan. Akhirnya, Ami berjanji akan menemuinya setelah kelas selesai–dan itu berhasil membuat Oliver tersenyum lagi.
Di tengah jam kuliah yang membahas tentang Sejarah Seni Modern, Ami merasakan firasat yang tidak menyenangkan. Tanpa sepengetahuannya, di luar fakultas yang masih dalam radar mimpinya, dua mimpinya bertemu–Ron dan Rian. Keduanya datang untuk menemui Ami, tapi karena mereka telah bertemu, ada pertentangan di antara mereka yang dilatarbelakangi oleh Mimpi & Co.
Ami dan semua orang yang ada di kelasnya, terkejut saat mendengar suara gitar dengan pengeras suara sampai membuat jendela bergetar. Karena kebisingan yang mengganggu kelas, sang dosen menepi ke jendela untuk melihat keadaan. Beberapa mahasiswa ikut menuju jendela termasuk Ami. Di bawah sana–di halaman Fakultas Seni–Ron dan Rian tengah berhadapan dan keduanya sama-sama membawa gitar elektrik termasuk pengeras suara. Sepasang mata Ami sontak membulat.
Ami segera berlari pergi dan kabur dari kelas. Di tengah halaman, Ron dan Rian sedang beradu melodi dengan gitar masing-masing. Awalnya biasa saja, sampai nada suara gitarnya meningkat dan terus meningkat. Yang awalnya suaranya bisa ditoleransi masuk ke telinga, tiba-tiba melebihi rock cukup berisik dan membuat orang sekitar menutup telinga. Di tengah kebisingan yang luar biasa, teriakan Ami melengking.
“STOOOP … !”
Suara gitar yang bising itu seketika berhenti kemudian kedua tersangka–Ron dan Rian–menoleh segera. Ami berhenti berlari di tengah-tengah mereka. Ami memelototi mereka satu persatu. Ingin langsung mengomel, tapi napasnya belum teratur. Dia berlari terlalu cepat sehingga energinya pun seketika terkuras. Saat ini Ami berdiri di antara Ron dan Rian yang tengah dikerumuni banyak orang. Ami mungkin seharusnya malu, tapi dia tidak peduli lagi karena ini mimpi. Tetap saja ada satu yang Ami khawatirkan dari Ron dan Rian yang membuat keributan di depan fakultasnya yang mana di fakultas itu tidak hanya ada Ami, tapi juga ada Aidan. Mungkin tidak masalah jika terjadi pertarungan tiga mimpi atau lebih, tapi Ami merasa tidak bisa membiarkannya karena mereka semua adalah manusia asli.
Ami menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengomel, “Kalian ngapain di sini? Kalian itu mahasiswa teknik! Kenapa bikin keributan di sini?”
Ron menjawab seraya menunjuk Rian, “Salahin bocah itu yang tiba-tiba nantangin gue.”
“Bocah?” Rian menceletuk tidak terima. Dia membalas setelah tersenyum kecut, “Lo nyebut gue gitu mentang-mentang lo mau jadi mahasiswa abadi?”
Ron turut menyeringai. “Lo berani nantangin gue gara-gara lo naksir sama cewek gue?”
“Siapa yang lo sebut cewek lo!” ketus Rian.
Di tengah perdebatan mereka, Ami melihat Oliver yang berjalan di antara kerumununan. Ami sontak berteriak dan segera berlari menghampiri Oliver dan segera menariknya pergi.
“Apa nih? Kenapa?” tanya Oliver bingung.
“Lo kesini buat nemuin gue kan, Kak? Yuk, pergi!” kata Ami.
Ami membawanya ke kantin dan duduk di dekat jendela agar Ami bisa terus memantau keributan yang disebabkan olehnya. Selama duduk berhadapan dengan Liver, Ami terus memalingkan pandangannya ke luar jendela untuk mengawasi dua mimpi yang bertemu.
Pelan-pelan Oliver membuka percakapan, “Ami, mau pesan apa? Gue yang traktir, boleh?”
Ami mengangguk tanpa menoleh. “Boleh.”
Ami merasa bebas saat Oliver pergi untuk memesan sehingga Ami bisa leluasa memantau. Saat suara gitar terdengar lagi, Ami kembali gelisah sampai kakinya tidak bisa berhenti bergerak. Dia menoleh ke arah Oliver yang masih mengantri. Kemudian dengan sangat terpaksa, Ami beranjak pergi meninggalkan Oliver. Ami berlari terburu-buru demi melerai kedua mimpi yang saat ini sedang bersaing.
“Kak, kita udah mutusin buat bersaing secara sehat,” kata Rian saat Ami kembali.
Apa maksudnya? Ami bingung. Dia masih belum bisa berkonsentrasi penuh karena harus mengontrol napasnya lagi.
“Sial! Dia mau nyuri start,” desis Rian seraya menatap lawan.
Ami menoleh ke arah Ron kemudian terkejut setengah matidan tidak habis pikir. Saat ini juga, Ron telah berdiri di atas panggung megah yang entah kapan dibangun. Tampaknya Mimpi & Co. mulai menggila lagi.
Di atas panggung, Ron bicara dengan mikrofon, “Ami, lagu yang bakal gue nyanyiin ini buat lo.” Lalu mulai memetik gitar.
Ami tidak terlalu peduli dengan lagu yang dibawakan Ron karena harus memikirkan bagaimana cara menghentikan mereka berdua. Lagu Ron terhenti saat ada suara musik lain yang menginterupsi. Ami menoleh ke arah Rian yang ternyata juga telah memiliki panggungnya sendiri. Panggungnya berwarna pink dan ada stan jualan yang menjual susu pisang di sisi luar–laris manis banyak yang beli.
Rian meraih mikrofonnya dan berkata, “Kak Ami, gue jamin lagu gue lebih bagus ketimbang punya si Om itu.”
Lagu romantis kembali dimulai, tapi karena sudah teramat lelah, Ami menarik napas panjang lalu berteriak keras-keras. Ami berteriak seraya menunduk, mengepalkan tangan dan memejamkan mata karena sedang memaksa diri untuk berbohong:
“GUE UDAH PUNYA PACAR!!”
Dan musikpun seketika berhenti. Baik Ron maupun Rian, keduanya menatap Ami dengan tatapan kecewa. Panggung dan semuanya yang berasal dari Mimpi & Co., sudah hilang. Kini hanya tersisa Ron, Rian dan gitar mereka masing-masing.
Rian bertanya dengan kecewa, “S-siapa, Kak?”
Sedangkan Ron mendesak, “Siapa? Bilang!”
Ami menggelengkan kepala. Dia tatap dua pria itu satu persatu kemudian memberi perintah, “Kalian berdua … PERGI!”
Ini memang hanya mimpi, tapi tetap saja sedih. Rasanya seperti Ami sedang memaksakan diri untuk melepaskan dua mimpi yang sempat ia harapkan. Satu mimpi yang awalnya ambigu pun akhirnya menjadi jelas bahwa itu memang mimpi. Tidak hanya Ron, tapi Rian ternyata juga mimpi.
Sebelum pulang, Ami duduk di halte dan memikirkan nasib kedua mimpinya setelah dia bohongi. Hal itu membuatnya sedih. Anehnya, perasaan sedihnya tiba-tiba surut saat seseorang memanggilnya.
“Ami.”
Ami menoleh dan mendapati Je tengah menghampirinya.
“Kak Je,” balas Ami setengah merengek.
“Kamu ngapain duduk sendirian di sini?” tanya Je. “Kok kayak sedih? Mau cerita? Aku pasti dengerin kok. Mau ke kafe yang kemarin? Atau ke kantin aja yang dekat?”
Kantin? Ami baru ingat kalau dia meninggalkan Oliver di sana. Maka, untuk kedua kalinya, dia pergi meninggalkan Je dengan penuh rasa bersalah.
“Kak Je, sorry …!”
Di kantin, Oliver ternyata sudah tidak di sana. Ami pun buru-buru mengeluarkan ponsel untuk menghubunginya.
“Halo.”
“Kak Oliver dimana?”
“Udah balik kost-an.”
“Kuliah udah selesai?”
“Gue skip. Terlanjur males. Nggak mood.”
“Kak Oliver … marah?”
“Perlu gue jelasin? Lo ninggalin gue, Ami.”
“Gue harus gimana biar dimaafin?”
“Hmm … entar malem lo nganterin gue ngambil paket dari planet mars.”
Setelah Rian diketahui bahwa dia ternyata mimpi, dua terduga bukan mimpi yang tersisa adalah Oliver dan Aidan. Mungkin malam ini Ami akan menemukan siapa yang bukan mimpi.
Tibalah waktunya Ami bertemu Oliver. Malam ini mereka membuat janji untuk bertemu di depan gerbang kampus pada pukul tujuh malam. Ami tiba lebih dulu. Lima menit kemudian, Oliver datang dengan sepeda. Pikir Ami, jika Oliver memakai sepeda, artinya lokasinya tidak jauh. Oliver menatap Ami dengan wajah cemberut–tampak masih kesal karena ditinggal Ami tanpa pamit.
Ami meminta maaf untuk ke sekian kalinya. “Kak, sorry,”
Oliver membuang muka lalu berkata, “Naik! Buruan! Kurir paketnya udah sampai atmosfer. Bentar lagi troposfer kelewat.”
Ami pun bergegas duduk di jok belakang, tapi dia bingung bagaimana harus berpegangan.
“Pegangan! Lo jatuh, gue yang repot!” ketusnya Oliver.
Ami berencana tidak ingin berpegangan karena sepeda tidak akan secepat motor. Namun, karena Oliver tiba-tiba mengayuh sepeda dan sepeda akhirnya berjalan tanpa peringatan, Ami jadi sedikit terhuyung sehingga tidak punya pilihan selain berpegangan. Oliver mengayuh sepeda cukup cepat dan hembusan angin malam pun terasa. Mereka melintasi lintasan sepeda yang berdampingan dengan lintasan pejalan kaki.
“Pelan-pelan, Kak!” pinta Ami saat merasakan Oliver mengayuh lebih cepat.
Samar-samar Ami mendengar Liver menyahut, “Kan lo tahu gue lagi buru-buru?”
“Emang lokasinya dimana sih? Masa ke atmosfer?”
Liver menjawab, “Stadion.”
Ternyata benar. Beberapa saat kemudian, mereka tiba di stadion. Oliver membawa Ami melewati gerbang, melewati pintu masuk stadion, koridor, kemudian berbelok ke pintu masuk menuju lapangan inti. Ami terperangah kagum saat Oliver membawanya bersepeda memasuki halaman lapangan yang dikelilingi ribuan kursi penonton yang menjulang tinggi. Saat ini dia berada di stadion terbesar di kotanya dan ini adalah pertama kalinya dia datang saat ruangan raksasa itu dalam keadaan kosong.
Ami menengadah menatap langit saat mendapati ada cahaya yang menyorot dari atas. Secara tiba-tiba … Ami berteriak bak melihat setan. Ami tidak percaya kalau di atas sana ada pesawat UFO yang sedang berusaha mendarat di tengah lapangan. Bukannya lari, Oliver justru membawa Ami mendekat.
“Ami, itu kurirnya,” kata Liver.
Ami yang awalnya ingin memberontak dan kabur pun beralih menjadi terheran-heran sampai lupa menutup mulutnya yang terus menganga. Liver menghentikan sepeda tepat di hadapan pesawat UFO yang telah mendarat. Keduanya turun lalu Liver dengan antusias menunggu pintu pesawat UFO yang mulai terbuka. Di belakangnya, Ami sedang berdoa: Semoga tidak ada invasi. Semoga bumi baik-baik saja. Jangan kiamat!
Setelah pintu UFO terbuka, sesosok alien berkepala besar muncul dan berjalan keluar seraya membawa sebuah kotak. Sosok itu berwarna kebiruan dan mengenakan jubah hitam yang menutupi seluruh tubuh. Kepalanya besar seperti katak, tapi matanya serupa antena mirip mata siput.
Dengan senyum merekah, Liver menyapa anomali itu, “Halo, Sablikuk.” Dia lalu menoleh ke arah Ami. “Ami, kenalin temen gue. Namanya Sablikuk. Kurir dari planet mars. Nama panjangnya nggak hafal soalnya susah.”
Alien yang sudah berhadapan dengan Oliver pun tampak memberitahu sesuatu dengan bahasanya yang aneh, tapi Oliver tampak mengerti karena dia mengangguk-angguk kecil. Dia kembali menoleh ke arah Ami sekadar untuk memberitahu:
“Nama panjangnya Sablikuk Tekayurekita Mikomakat.”
Ami tersenyum getir. Dari posisinya berdiri, Ami menyaksikan Oliver yang diberi sebuah kotak oleh Sablikuk. Mereka kemudian mengobrol dengan begitu akrab. Sesekali mereka bercanda sampai Oliver menyentil pelan salah satu antena mata Sablikuk. Ami melihat mereka saling tertawa, tapi tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Yang lebih menggelikan lagi, Oliver bicara dengan bahasa aneh yang sama.
Sampai mereka berhenti bercengkrama, Ami tidak berani mendekat. Ami lega saat Sablikuk akhirnya pamit dan kembali masuk ke pesawat UFO. Oliver melambaikan tangan sampai pesawat itu terbang lagi. Setelah itu, Liver baru menghampiri Ami.
“Lo kenapa? Kok kelihatannya capek banget?” tanya Liver.
Benar. Ami lelah. Energinya terkuras cepat sejak kedatangan UFO tadi. Bisa-bisanya ada kurir dari planet Mars yang datang ke bumi untuk mengantar pesanan? Ami sudah pusing sendiri sebelum memikirkan sistem online shop-nya. Jangan tanya kalau COD bayarnya pakai apa! Saat ini, energi Ami sudah terlanjur habis.
Sebelum pulang, Oliver meminta tolong Ami untuk membawakan kotak paketnya karena dia kesulitan harus bersepeda. Ami pun bersedia. Perjalanan pulang jauh lebih santai karena tidak diburu waktu. Selama perjalanan itu, Oliver terus membiacarakan Sablikuk.
“Sablikuk lucu banget ya tadi? Masa penasaran sama ikan lele. Terus tadi dia cerita kalau pesawatnya hampir kehabisan bahan bakar. Untung di asteroid ada yang jualan.”
“Hah?” Ami bingung seperti linglung. “Gimana, Kak?” tanyanya.
“Itu paket gue beli buat lo,” kata Liver.
“Gimana?” ulang Ami sekali lagi.
Sepertinya Ami tidak bisa menandingi level keanehan Oliver yang terlalu tidak terduga. Bagi Ami, Oliver seperti lukisan abstrak yang sulit dianalisis–sulit dipahami, tapi tetap indah. Satu hal penting yang saat ini mengisi pikiran Ami adalah: Jika Oliver adalah mimpi, maka satu pria nyata yang menyusup ke mimpinya adalah … Aidan?
[]