Keesokkan harinya, Ami merasa berbunga-bunga karena mengingat hari kemarin. Untuk pertama kalinya, dia dikagumi oleh seorang pria tampan pemilik kafe. Saat berangkat kuliah, selain menyapa Pak Guksa di Mimpi & Co., Ami juga menyapa Axel di Kafe Dandelion yang baru buka. Axel sempat menawarkan jus, tapi Ami menolak karena kelasnya akan dimulai sebentar lagi.
Di kampus, seperti biasa, Ami akan menghindari Rini dan kawan-kawannya. Setelah membuat kontrak dengan Mimpi & Co., Rini dan teman-temannya terasa seperti mimpi buruk–tatapan mata mereka semakin tak bisa ditebak. Bahkan setelah kelas selesai dan Ami ingin buru-buru keluar, mereka mengejar.
“AMIIIIIII …!”
Ami berlari semakin cepat seraya berteriak histeris. “AAAAAAA …!”
Bahaya. Kerah belakangnya tertangkap dan ia pun ditarik. Widi lekas merangkulnya dan Dira menahan salah satu lengannya dengan menggandengnya. Sedangkan Rini berdiri di hadapan Ami.
“K-kalian nggak nggigit, kan?” tanya Ami.
Dira juga bertanya, “Kok lo kenal Kak Aidan?”
Lalu Widi, “Punya nomor HP-nya nggak? Bagi dong?”
Secara tiba-tiba, Rini menawarkan kesepakatan, “Kenalin kita ke Kak Aidan, habis itu lo masuk circle kita, gimana?”
Mendengar tawaran itu, Ami tersenyum miris. Beginikah cara manusia membuat koneksi? Jika pertemanan adalah tentang persyaratan, pantas saja Ami tidak punya. Karena tidak ingin menambah masalah, Ami membalas dengan berpura-pura ramah.
“Gimana, ya? Gue tanya Kak Aidan dulu deh. Kan nggak etis kalau bagi-bagi nomor tanpa izin.”
Ami mencoba melepaskan diri, tapi Widi justru semakin mengeratkan rangkulannya. Sesaat kemudian, dia mendengar seseorang menyerukan namanya.
“AMI … !!”
Terdengar suara langkah dari arah tangga lalu sosok Axel pun muncul. Pikir Ami, apakah Axel benar-benar mencarinya ke seluruh wilayah kampus? Axel membawa buket bunga mawar yang kelopaknya sudah rontok kemana-mana, beberapa batangnya ada yang bengkok bahkan patah.
Di ujung tangga, Axel sempat mengatur napas sebelum melangkah mendekati Ami. Begitu ia menegakkan tubuh dan tersenyum kembali, sekujur tubuhnya tiba-tiba tampak bercahaya. Ami mengerjapkan mata, mencoba memastikan apakah penglihatannya benar. Anehnya, kelopak-kelopak bunga mulai berjatuhan di sekitar Axel, entah dari mana asalnya. Rambutnya pun berkibar seolah diterpa angin–mirip adegan film saat tokoh berparas indah muncul dengan efek dramatis. Apakah ini ulah Mimpi & Co.? Ami pun dihampiri dan Axel seketika berlutut seraya menyodorkan buket bunga yang sekarat.
“Aku datang buat nerusin perjuangan aku, Ami. Aku datang kesini jam sembilan pagi buat cari kamu sampai jam … jam … –jam berapa sekarang?” Axel memeriksa jam tangannya. “Oh, jam tiga sore.”
Sedikitpun Ami tidak merasa terganggu dengan kehadiran Axel. Justru dengan kehadirannya, Rini dan teman-temannya jadi tahu kalau Ami juga bisa dicintai. Di saat mereka bertiga sedang lengah gara-gara heran–mungkin juga iri–Ami mengambil kesempatan untuk menerima buket bunga dari Axel. Namun, Axel tiba-tiba berdiri dan meraih tangannya.
“Karena cintaku sudah diterima, ayo kita rayakan!”
Ami terkejut saat dirinya tiba-tiba diseret pergi. “Aku–aku–aku belum ngomong apa-apa, Kak! KAK …!”
Axel mengajak Ami ke Kafe Dandelion yang mana di kafe itu ternyata sengaja ditutup untuk merayakan hari jadian. Ruangan bahkan sudah dihias sedemikian rupa serta kue tar tiga susun berbentuk hati juga telah dibuat dengan sangat cantik. Namun, dengan berat hati, Ami menyampaikan kalau Axel salah paham. Ami memberitahu tahu bahwa dia sangat berterima kasih atas pemberian bunganya, tapi Ami masih butuh waktu untuk bisa benar-benar bisa memahami perasaannya sendiri. Ami terharu saat Axel berusaha tersenyum di tengah perasaan kecewa. Ami baru saja menyakitinya, tapi Axel tetap menghargai keputusannya.
Malam itu, setibanya di rumah, Ami mulai memilah satu per satu bunga mawar dari buket pemberian Axel. Sebagian besar sudah layu, tapi ia berusaha menyelamatkan yang masih segar. Hanya dua tangkai yang akhirnya dipindahkannya ke dalam vas sederhana berisi air. Tanpa sadar, air matanya mengalir–itu adalah buket bunga pertama yang pernah ia terima.
Di samping vas, ponsel Ami berbunyi singkat. Ami mendapat kiriman pesan dari nomor yang tidak dikenal.
Dari: Nomor tak dikenal
Ami, selamat malam. Maaf ya aku chat kamu malam-malam. Sebenarnya dari tadi aku mikir harus chat kamu apa enggak. Aku ada niatan buat deketin kamu, tapi kayaknya aku kurang percaya diri. Bisa nggak kalau kita langsung ketemu aja? Jadi gini, aku suka kamu. Aku udah merhatiin kamu dari lama pas kamu masih maba. Nomor kamu juga udah aku simpen lama. Maaf ya aku nggak izin dulu? Aku udah nyimpan nomormu setahun lebih, tapi baru berani chat sekarang. Hehe
Apakah ini mimpi yang lain? Pikir Ami, mimpinya realistis sekali. Ami melihat foto profil sang pengirim yang tampak tidak asing. Sesaat kemudian, dia terperangah setelah sadar siapa lelaki itu. Ami segera membalas pesan.
Kepada: Nomor tak dikenal
Ini Kak Pasha? Aku tahu dari fotonya. Makasih, ya? Aku nggak nyangka seorang presma bisa suka sama aku. Aku bisa kok ketemu. Mau kapan? Dimana?
Dugaan Ami benar, seseorang yang mengirim pesan padanya adalah seorang presiden mahasiswa di kampusnya. Mereka pun saling bertukar pesan sampai larut malam. Mereka membuat janji untuk bertemu di perpustakaan kampus pada esok hari pukul sebelas. Namun, pada pagi berikutnya sebelum berangkat kuliah, Ami mengunjungi Mimpi & Co. terlebih dahulu karena ingin memastikan sesuatu.
Ami memberitahu Pak Guska soal pesan semalam dari seorang presiden mahasiswa yang katanya sudah menyukainya sejak lama padahal kontraknya dengan Mimpi & Co. baru berjalan dua hari. Bagaimana kalau ternyata itu bukan mimpi? Dengan kata lain, presma itu menyukai Ami secara nyata?
Pak Guska menjelaskan, “Mimpi yang kami berikan ke kamu ini tidak terikat waktu. Semua orang bisa memimpikan sejarah bahkan manusia purba. Dulu, saat Mimpi & Co. mengunjungi sebuah kota kecil di Benua Eropa, ada seorang pemimpi yang ingin menjadi penyanyi terkenal. Lalu, Mimpi & Co. mengabulkannya dengan cara meminjam manusia asli di dunia nyata yang berprofesi sebagai CEO perusahaan hiburan. Dan dalam mimpi itu, dia mengaku sudah mengincar bakat sang pemimpi untuk bergabung dengan perusahaannya sehingga dia bisa menjadi bintang. Setelah kontraknya dengan Mimpi & Co. selesai, maka semuanya berakhir.”
Ami mendesah kecewa. “Berarti Kak Pasha sudah pasti mimpi ya, Pak?”
Pak Guska menjawab rama seraya tersenyum, “Sayangnya memang begitu.”
“Kalau misalnya ada seseorang yang beneran naksir saya, meskipun saya masih terikat kontrak dengan Mimpi & Co., apakah mungkin?”
“Mungkin saja, tapi itu jarang terjadi. Begini saja: dia aneh nggak? Kalau aneh, berarti mimpi.”
Ami mengangguk mengerti. “Kalau Kak Axel emang aneh sih.”
[]