Malam yang semakin larut seperti menelan lalu lalang para insan dalam sesaat. Bunyi kendaraan yang berisik tidak lagi terdengar, hanya segelintir orang yang masih betah untuk menikmati bagaimana tenangnya sepi setelah menjalani bising seharian. Toko madura di seberang sana selalu buka dua puluh empat jam tanpa henti, seorang laki-laki sedang duduk di tempat kasir dengan tangan memegang ponsel dan tatapan mata serius, barangkali mengusir rasa bosan karena tidak ada pelanggan yang datang ke warung. Selain itu, burjo-burjo tidak pernah tidur untuk menemani muda-mudi yang berkumpul, entah hanya sekadar makan, mengerjakan tugas, atau melepas penat setelah rapat organisasi berjam-jam.
Seorang gadis masih setia berdiri di depan jalan, melihat ponselnya berkali-kali untuk melihat-lihat galeri di ponselnya sembari menunggu jemputan datang. Ia sesekali mengusap keringat dari pelipisnya, sisa dari kerja kerasnya hari ini. Besok kelas pagi, tetapi sudah hampir pukul 23.00 WIB, ia masih berada di sekitaran kampus. Setelah menunggu sekitar lima belas menit, motor hitam berdiri tepat di depannya. Gadis itu menyimpan ponselnya di bagian depan tas gendong berwarna biru yang masih awet semenjak ia resmi mengganti seragam menjadi putih abu-abu.
Pria dewasa memberikan helm itu padanya tanpa sepatah kata, begitu pula sang gadis yang menerima tanpa berbicara, naik di boncengan, tidak ada percakapan, motor sudah melaju membelah heningnya malam. Gadis itu menikmati udara di sekitarnya, dingin menyusup di sela-sela tubuhnya yang sudah dilapisi jaket, padahal siang tadi matahari menelan manusia dengan sorotnya yang ganas.
Lesta ingin mengawali obrolan dengan Bapaknya, tetapi ia takut karena ada jarak yang kasat mata hubungan dirinya dengan Bapak. Ia selalu memendam isi kepalanya sendiri dan melakukan dialog seolah-olah mengobrol dengan Bapak, tanpa pernah satu kalipun diungkapkan secara gamblang. Perjalanan bersama Bapak di motor selalu menjadi perjalanan paling sunyi seumur hidupnya, meskipun terkadang di sekitarnya ramai. Ia ingin seperti teman-temannya yang bisa bercerita tentang hidupnya tanpa canggung, tetapi lagi-lagi ia kalah oleh rasa takutnya, takut dengan respon Bapak, takut dianggap aneh, takut ucapannya tidak sinkron, dan ketakutan-ketakutan lain.
Siang tadi, ia dipuji oleh dosen karena berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan dosen di saat teman kelasnya memilih untuk menjadi pendengar tanpa menimpali. Setelah kelas selesai, ia pergi sendiri ke perpustakaan untuk meminjam novel lawas yang direkomendasikan oleh dosennya. Selain itu, ia mengerjakan tugas yang tenggatnya besok pagi di sela-sela menunggu kelas berikutnya. Berjalan dengan sederhana, tetapi akan terasa menyenangkan jika ia bisa menceritakan secuil harinya pada Bapak ’kan? Namun, sayangnya sudah banyak waktu yang berlalu, momen itu belum datang juga. Jadi, ia lebih memilih diam di belakang sampai tiba di rumah.
Bapak menghentikan motornya di depan rumah, dengan segera Lesta melapas sepatu dan menaruhnya di rak sepatu di teras lalu membuka pintu agar Bapak bisa memasukkan motornya di ruang tamu yang jika sudah malam disulap sebagai tempat parkir motor. Ia menaruh helm nya di paku yang menempel di tembok. Bapak melepas jaket dan menaruh helm di spion kanan.
”Pak, dibawain nasi kucing sama gorengan, dari Mas Bima.” Lesta membuka tas birunya, mengeluarkan keresek hitam dari dalam.
”Buat kamu aja, Bapak sudah kenyang.” Setelahnya Bapak langsung masuk ke kamar dan meninggalkan Lesta yang masih terpaku menatap keresek hitamnya.
Sulit memang hidup di keluarga yang jarang berkomunikasi, Bapak seharusnya paham bahwa ungkapan itu bermakna untuk mengajak makan bersama, tetapi Bapak seringnya menolak dengan alasan kenyang dan berujung ia menghabiskan nasi sendirian karena mubazir, meskipun perutnya seolah memberikan penolakan seperti yang Bapak lakukan. Lesta berjalan ke arah dapur untuk mencuci kaki.
Setelah mencuci kaki, ia duduk di ruang makan yang tersambung dengan dapur, ruangan yang sering ditempati keluarga kecilnya untuk makan bersama, meskipun seringnya tidak ada obrolan satu topik sama sekali. Ia membuka nasi kucingnya dan berusaha menikmai karena setelah ini ia harus mengerjakan tugas yang belum selesai ia kerjakan tadi siang. Setidaknya memberikan energi agar ia tubuh dan jiwanya bisa diajak kerja sama untuk tetap terjaga sampai tugasnya selesai.
Sembari menikmati makan, pikiran Lesta berkelana, dulu keluarga kecilnya pernah hangat, tetapi semakin ia menginjak kehidupan lebih jauh, keluarganya juga bak ikut menjauh dari dunianya. Ada banyak hal yang semakin tidak sejalan, sehingga ia lebih memilih untuk mengalah, tidak lagi berdiskusi dengan kedua orang tuanya tentang arah hidup, dan sayngnya menyendiri di kamar saat di rumah menjadi bagian paling ia suka daripada ia harus duduk bersama kedua orang tuanya dengan keheningan yang selamanya akan hening sampai etiganya pergi ke dunianya masing-masing.
Ego manusia itu tinggi, Lesta selalu merasa kedua orang tuanya tidak ingin mengajaknya mengobrol dan jika ia memulai obrolan yang penting pun, ujung-ujungnya berakhir tidak menyenangkan, barangkali orang tuanya sama, menunggu dirinya sebagai anak untuk terbuka, tetapi bagaimana bisa ia terbuka, sedangkan pilihannya sering disebut membawa petaka? Pada akhirnya tidak bercerita adalah pilihan terbaik.
Keputusan dirinya untuk berkuliah di program studi yang sedang ia jalani adalah hal yang paling ibu tidak suka. Ia ingat sekali malam itu, ia dan ibu mengobrol banyak, tetapi dengan amarah yang berapi-api dan ibu tidak pernah mengerti bagaimana perasaannya. Ia lebih memilih apa yang menjadi keinginannya dengan alasan ia yang menjalani, tetapi ibu membantah bahwa program studi yang dipilihnya tidak memiliki prospek kerja yang jelas dan terarah, ibu keukeuh untuk menyuruh dirinya berkuliah di jurusan Ekonomi yang prospek kerjanya jelas. Malam itu juga, pertama kali sepanjang hidupnya ia tidak menuruti apa yang menjadi pilihan ibu, menjadi awal pemberontakan sebelum ada pemberontakan-pemberontakan lain dalam hidupnya yang membuat hubungannya dengan ibu semakin menjadi dua arah yang tidak pernah bersatu.
”Aduh capek.” Lesta sudah selesai dengan makannya, usai membereskas, ia masuk ke kamarnya untuk bertempur dengan kumpulan aksara yang memaksa otaknya untuk tetap bekerja, meskipun sudah tidak maksimal karena ia merasa Lelah setelah mengingat Kembali momennya bersama ibu di malam kelam itu. Gegara itu juga, ia tidak bisa bercerita jika dalam perjalanan kuliahnya ada masalah atau hal-hal yang mengecewakan, takut ibu semakin memojokkannya karena tidak menuruti apa yang diinginkan ibu.
Bapak tidak berkomentar banyak, tetapi satu kalimat berhasil tertanam di kepalanya, ”Pendapat kamu dan ibu tidak ada yang salah, hanya beda pandangan. Omongan ibu itu melihat realita di sekitarnya, tetapi pendapatmu itu yang menentukan bagaimana kamu ke depannya.” Bapak mengatakannya tanpa ekspresi setelah ia menangis sendirian di kamar. Selain itu, bapak membawakan sekotak martabak manis. Lesta merasa selalu ingin menangis jika mengingat ucapan bapaknya karena di balik diamnya bapak, ia selalu merasa ada peduli yang tidak bisa diungkapkan secara terang-terangan.