Dunia Andra rasanya seperti awan kelabu. Tidak banyak hal menyenangkan yang hadir dihidupnya. Semenjak perceraian kedua orang tuanya. Hidup Andra tidak baik-baik saja.
Segala hal yang ia lakukan dimata kedua orang tuanya adalah sebuah kesalahan . Padahal Andra sendiri adalah seorang anak yang masih membutuhkan banyak arahan dari kedua orang tuanya. Banyak sekali rasa ketakutan dan kecemasan yang melanda pikirannya.
Rasa takut dan kecemasan itu terkadang hadir dalam rasa sepi. Sepi yang berkepanjangan di dalam hati Andra.
“Andra, kita ngapain di sini?” Tiba-tiba suara seesorang mengganggu lamunannya.
“Andra?” Lagi suara itu terdengar seperti dari kejauhan, namun cukup jelas untuk membuat Andra tersadar. Ia menoleh, melihat Luna-temannya sedang menatapnya dengan penuh rasa keheranan. Andra menganggat alis.
“ kenapa lo ajak gua ke sini?”
“Ah iya!”
“Gua ada saran buat, lo!”
“Apa?”
“Karena lo udah ga bisa jualan di sekolah lagi. Jadi gua ajakin lo buat ke warkop mang ijal.”
“Warkop mang Ijal?untuk?” Luna menatapnya bingung.
“Untuk titip jualan lo di sana. Jadi, gini lo bisa titip jualan lo di sana. Berhubung warkop mang Ijal dekat sekolahan kejuruan dan yang gua tau di sana gak ada kantin. Biasanya mereka jajan di warkop mang Ijal. Jadi lo bisa titip jualan lo di sana siapa tau di sana laku," jelas Andra.
“oh, jadi lo mikir gua bisa begitu jualan di sana?”
“hmmm, bisa menarik! Tapi lo yakin mang ijal mau dititipin julan gua?”
“Ya coba aja dulu. Mang Ijal selalu bantu orang yang lagi butuh. Contohnya gua. Gua sering utang di mang ijal kalo lagi ga ada uang," pungkas Andra.
“Oke gua terima saran lu. Semoga beneran bisa bantu,” kata Luna sambil tersenyum meski masih ada sedikit keruaguan akan penolakan dalam dirinya.
“Lo bisa samaain aja harga jualannya kaya yang biasa lo jual. Terus nanti mang ijal yang tentuin harga akhirnya mau dia jual berapa. Lo kan jualan seblak sama moci gua yakin si pasti laku. Secarakan samping warung mang ijal itu SMK mereka bisa jajan di sana dan kebanyakan anak cewek.”
Luna merasa lega mendengar penjelasan Andra. Ia tidak perlu bingung harus kemana ia menjajakan jualannya. Namun, disisi lain ia ketakutan sebab dagangannya hanya laku sedikit terlebih hampir semua sudah dibuang oleh Bu Yuyun.
Meskipun begitu Luna senang ada Andra yang tidak segan membantu dirinya padahal mereka baru saling mengenal. Di sisi lain Andra yang juga merasa senang bisa membantu Luna. Setidaknya ia bisa sedikit lebih berguna untuk orang lain. Karena ketika melihat orang lain kesusahan dan tidak ada yang membantu Andra teringat akan dirinya sendiri yang hidupa dalam bayang-bayang kesusahan dan ketakutan.
Saat hendak masuk ke warung Mang Ijal. Luna menghentikan langkaj kakinya. Ia melihat Arka—kakanya berada di sana sedang asik mengontrol dengan teman-temannya.
"Kenapa?" tanya Andra heran. Karena Luna tiba-tiba tidak ingin masuk.
"Gua kayaknya berubah pikiran deh."
"Lah kenapa?"
Andra memandang warung Mang Ijal. Dan seketika ia paham alasan mengapa Luna tak ingin masuk. Karena di sana banyak anak cowok pasti Luna malu dan tidak mau masuk ke sana. Jika ia masuk maka ia akan menjadi pusat perhatian lantaran ia cewek sendiri.
"Ya udah lo tunggu di sini. Biar gua yang coba ngomong sama Mang Ijal." Luna mengangguk senang. Ia pun memberikan beberapa makanan yang masih tersisa dan layak sebagai tester untuk dicoba Mang Ijal.
Sementara itu, Luna segera bersembunyi di belakang tembok warung Mang Ijal sambil sesekali mengintip ke dalam. Ketika Andra masuk ia menyapa beberapa anak cowok di sana meskipun berbeda seragam dan sekolah ternyata mereka saling mengenal. Dan Luna pun yerkejut saat Andra juga bersalaman dengan Arka.
Lima belas menit waktu menunggu Andra. Luna hampor sedikit bosan ia sesekali memainkan ponsel untuk melihat aplikasi hiburan.
"Yuk!" Andra menepuk bahu Luna. Hal itu membuat Luna kaget dan hampir menjatuhkan ponselnya.
"Sorry.. Sorry.. Gua gak bermaksud ngagetin lo."
"Iya gak apa-apa. Jadinya gimana?" tanya Luna penasaran dengan hasilnya.
"Mang Ijal mau. Besok lo bisa langsung nitip dagangan lo di sini. Dan kalo bisa sebelum istirahat pertama dagangan lo untuk siap di sini."
"Aaaa... Makasih ya!!"
Luna memeluk Andra erat. Ia senang sekali mendengar perkataan Andra. Saat sedang asik memeluk Andra tiba-tiba saja Luna mendorong tubuh Andra. Cowok itu hampir terjatuh jika tidak sigap.
"Sorry.. Sorry... Gua gak sengaja saking senangnya gua peluk lo." ujar Luna tidak enak hati.
Andra yang melihat itu merasa gemas dengan tingkah Luna. "Gak apa-apa kalo mau lagi juga boleh."
Luna langsung memukul lengan Andra kencang. "Apa?! Coba ngomong sekali lagi!"
"Aduh! Ampun gak gak!"
Mendengar perkataan Andra, Luna lantas melepas cubitannya.
"Gua kira pendiem. Mana pura-pura ga bisa ngomong waktu itu," ujar Andra.
"Apa?!" kata Luna yang mendengar suara Andra.
"Gak gua lagi ngomong sama daun."
"Gua denger ya!"
"Kalo denger, kenapa lo pura-pura bisu waktu itu!" protes Andra kesal. Ia merasa dibohongi.
Luna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung harus menjawab apa.
"Maaf gua bohong. Soalnya gua takut sama lo. Muka lo serem, jadi gua pura-pura bisu."
Andra melotot dibuatnya. Tidak habis pikir, manusia seganteng ini dibilang seram.
***
Di sisi lain, Luna tidak bisa berhenti tersenyum sepanjang jalan menuju rumah. Keberhasilan menitipkan jualannya di warung Mang Ijal membuat nya merasa lega. Ia tahu hidupnya tak akan selalu mudah, namun dengan sedikit bantuan dari Andra. Luna merasa tidak sendirian. Meskipun ia masih merasa cemas karena tidak tahu pasti apakah dagangannya akan laku. Tetapi, setidaknya ia sudah mencoba untuk membantu ibunya.
Luna sudah sampai di depan rumah. Rumah sederhana aman dan nyaman baginya. Tetapi, saat tiba di rumah ketika hendak masuk ke dalam rumah ketegangan kembali muncul. Ada Arka di sana sedang duduk di ruang tamu menatapnya dengan tatapan tajam. Luna merasa takut sebab jika Arka sudah seperti itu sesuatu pasti akan terjadi. Mengingat sifat Arka yang sangat emosian dan tak suka diatur.
Arka berdiri dari tempat duduknya ia mendekat ke arah Luna. Sementara Luna perlahan melangkah mundur sambil mengeratkan pegangan tangan pada box kotak dagangannya.
"Wih, laku banyak hari ini? Pasti duit lo banyak juga kan?" Arka mengambil kotak dagangan Luna dengan paksa.
"Jangan!"
"Lepas!"
"Arka!"
"Mana duitnya! Segini doang?! Sisanya mana?!"
"Gak ada. Cuma itu."
"Bohong banget lo. Mana? Pasti lo umpetin kan? Mana sini," ujar Arka lembut supaya Luna bisa luluh.
"Gua bilang gak ada ya gak ada Arka!" Arka tersulut emosi ia meradang. Mengambil paksa tas sekolah Luna. Membuka dan mengeluarkan buku-buku Luna mencari uang hasil jualan Luna.
"Balikin! Gua bilang gak ada ya gak ada!" Luna mendorong tubuh Arka dan mengambil tas miliknya.
"Ada apa ini!" Lisna—ibu Luna datang dari dapur langsung melerai pertengkaran Luna dan Arka.
"Kenapa Arka?" tanya Lisna lembut.
"Ini bu. Dia umpetin uang dagangan gak mau kasih ke aku! Mana uang yang lain sini!"
Arka masih berusaha menarik tas Luna untuk mencari sisa uang yang menurut Arka disembunyikan Luna. Lisna kembali melerai dan memeluk Luna.
"Sudah Arka sudah!" Lisna langsung mengambil dompet dan memberikan sedikit uang yang ia punya untuk Arka.
"Sudah ini ibu kasih. Jangan ganggu adik kamu lagi." Arka menerima uang dari Lisna dengan kasar. Dan mengambil jaket yang berada di kursi ruang tamu.
"Dasar gak tau diri. Bisanya nyusahin!" teriak Luna. Perkataan Luna membuat Arka menghentikan langkah dan berbalik.
"Ngomong apa lo!"
"Dasar gak tau diri. Bisanya nyusahin!" Arka menampar pipi Luna kesal.
"Ngomong sekali gua tambahin. Atau bakal lebih dari ini!" ujar Arka. Kemudian ia pergi.