Everyone said that tears are a symbol of weakness.
Don't they ever think that tears could heal a broken soul?
-AR-
“Anak sial! Mati aja kamu! Mati! Harusnya kamu nggak pernah lahir di dunia ini!”
“Apalagi?! Kamu mau bilang kalau kamu cukup berguna buat aku?! Kamu nyiksa aku, Juna!”
“Cerai! Aku muak sama kamu, tau nggak?! Kenapa kamu nahan aku?! Kenapa? Ego kamu yang bilang buat nahan aku atau kamu cuma nggak mau kehilangan anak kamu? Jawab, Juna!”
“Semua orang bilang tangan kamu penuh berkah. Nyatanya kamu cuma pembunuh!”
“Paling hebat, konon? Kalau memang kamu hebat, kembalikan anakku! Buat dia nggak berbaring di tanah! Bisa?!”
“Kami turut berduka cita, Dokter.”
.
.
Trrriiing!
Suara nyaring alarm ponsel itu membuat kedua kelopak mata Juna terbuka. Seberkas cahaya ruangan yang biasa dia biarkan menyala langsung mengisi ruang pandangnya secara rakus . Kesadaran instan yang didapat langsung menghantam dan memberikan sensasi kepala berdenyut yang menyiksa di pukul tiga pagi. Bahkan ayam berkokok pun masih enggan mengumandangkan nyanyian paginya. Hanya orang-orang tertentu saja yang akan memulai hari di saat seperti ini. Dan salah satunya, Juna.
Jika orang lain memaksakan bangun di pagi hari demi rupiah yang bisa dikais jauh lebih awal dari mayoritas budak korporat memulai hari, lain halnya dengan Juna. Tidur nyenyak adalah sebuah kutukan. Mimpi buruk yang acapkali datang jelas bukan hal yang menyenangkan jika terjadi dalam waktu yang lama. Satu hari saja Juna membiarkan tubuhnya bermanja dalam tilam empuk itu, dia harus menukarnya dengan sakit kepala sepanjang hari berkat mimpi yang sebenarnya hanyalah kompilasi dari kepahitan hidup yang pernah dia jalani.
Sudah sangat lama rasanya sejak dia memiliki pagi indah yang mengundang senyum. Atau dalam hal ini, mungkin saja dia tidak pernah benar-benar merasakannya hingga tiga setengah dekade usianya. Bahkan orang paling patah hati sedunia pun tidak akan mau berada di posisi sepertinya.
Rasa sepi menyengat terasa akrab menyambutnya. Menyadarkan jika dia harus gegas terbangun dari tempat tidur yang diam-diam telah dia kutuk itu. Semua mimpi buruknya akan memeluknya dengan cukup erat setiap kali kedua netranya terpejam. Dan itu jelas bukan hal yang bagus.
Setelah mengumpulkan kesadaran, Juna memutuskan ke kamar mandi guna menyelesaikan hajat sebelum menyambung aktivitasnya dengan membuat seteko kopi tanpa gula. Penahan kesadarannya. Setidaknya hingga shift jaganya selesai belasan jam kemudian.
Pahitnya kopi dan suara televisi yang menayangkan berita politik yang semakin busuk mengisi kekosongan apartemen tipe studio miliknya itu. Membuat keheningan tidak lagi terasa menggigit. Mengaburkan fakta dan menimbulkan ilusi jika dia tidak sedang hidup sendiri.
Tapi siapa yang bisa Juna bohongi?
.
.
.
"Resign? Kamu yakin?"
Pertanyaan itu hanya dibalas Juna dengan helaan napas. Hal yang barang tentu membuat Kepala Rumah Sakit sekaligus sahabatnya itu menggelengkan kepala tak habis pikir.
"Kali ini kenapa lagi? Nggak mau terima pasien konsulan Obgyn, atau kamu yang bikin perawat anastesi nangis di ruang operasi?" tanya Patrick.
"Bukan itu."
"Terus? Aku kasih kelonggaran banyak dan ngasih kamu waktu berduka dan berdamai dengan diri sendiri selama setahun. Ini baru berjalan beberapa bulan. Nggak perlu resign lah, Jun."
"Aku ngerasa nggak cukup layak buat jadi dokter di sini. Aku nggak mau bikin semua orang ngerasain perasaan yang nggak nyaman karena aku."
Patrick menghela napas. Masalah ini dia pikir tidak cukup serius sebenarnya. Atau memang dia yang tidak pernah benar-benar peka? Dua tahun ini Patrick berkutat dengan kasus besar-besaran beberapa oknum yang sudah mencurangi yayasan rumah sakit keluarganya. Satu permasalahan besar itu selesai. Tapi ternyata, salah satu orang yang banyak berjasa di awal kasus yang dihadapi Rumah Sakit yang dipimpinnya itu justru mengundurkan diri. Terlebih dengan alasan yang tidak jelas!
"Aku menangguhkan surat resign mu sampai kamu bener-bener punya alasan."
"Rick, aku nggak punya alasan buat stay. Aku nggak lagi capable sebagai Dokter Bedah Jantung yang baik. Pasien-pasien ini jauh lebih layak dapat seseorang yang lebih. Bukan seorang dokter yang bahkan nggak bisa menyelamatkan keluarganya sendiri! Kamu paham nggak sih?"
"Kalau itu alasan kamu, aku ngerti. Kamu masih dalam masa berduka. Kamu bisa ambil istirahat dan aku nggak masalah soal itu."
"Jangan halangi aku atau aku bakal nyelesein ini lewat Tania. Aku rasa kamu bahkan nggak akan bisa nolek permintaan dia kalau alasanku mundur dari tempat ini cukup masuk akal."
Mendengar nama istrinya disebut, Patrick langsung mengangkat kedua tangannya. Tidak bisa mendebat walau rasanya ingin sekali mengguncang-guncang bahu sahabatnya itu sampai pria itu tidak lagi terbebani dengan duka berkepanjangan.
"Terus rencana kamu setelah nggak di sini apa? Kamu nggak punya keluarga. Kamu sendirian di apartemen dan ..."
"Apartemen sudah aku iklanin sejak seminggu yang lalu. Dan sudah ada penyewa yang akan pindah minggu depan."
"Kamu tinggal di mana kalau apartemennya kamu sewain?"
"Nomaden. Aku mau traveling. Aku nggak bisa tinggal di Jakarta kalau aku masih terus mimpi buruk."
"Sampai kapan kamu mau kaya gitu, Jun?"
Juna mengedikkan bahu. "Belum ada rencana."
"Kamu nggak akan bunuh diri tanpa peringatan, kan? Orang berduka biasanya mikirnya aneh-aneh."
"Aku bakal terus hidup sampai jatah umurku habis. Tenang aja. Orang berdosa nggak layak mati dengan mudah."
.
.
.
Rumah sakit gempar dengan berita resign Dokter Arjuna Rajasa. Tanpa peringatan, hari terakhir dokter yang sebenarnya dijuluki "dokter sejuta umat" lantaran tangan dinginnya di masa lalu, lebih tepatnya masa sebelum tragedi kehilangan setahun yang lalu, diumumkan akan habis tepat besok hari setelah jam praktik di ruang poli selesai.
Banyak gosip bertebaran dengan teori konspirasi yang turut serta di dalamnya. Membuat berita yang sebenarnya biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang menghebohkan. Sementara objek yang menjadi pembicaraan tengah terpekur menatap kedua tangannya yang baru saja selesai dengan pembedahan terakhirnya.
Terakhir.
Ya, itu adalah hal yang Juna putuskan sebelum resign dari tempat ini. Juna tak lagi layak untuk menjadi 'tangan dingin' bagi para pasiennya.
Sudah beberapa bulan sejak kejadian tersebut. Semua orang mengira Juna baik-baik saja setelah kematian orang yang paling dekat dengan dirinya. Banyak yang berprasangka jika dukanya telah usai.
Namun, tidak ada yang tahu jika duka kala itu masih membersamainya. Juna tidak terlatih untuk menunjukkan ekspresi bahkan ketika orang terdekatnya tengah meregang nyawa tepat di hadapannya. Semua menyebutnya tanpa hati. Mereka hanya tidak tau jika imbas dari ekspresinya yang beku, ribuan malam harus dia peluk dengan ingatan-ingatan tidak menyenangkan akan rasa sakitnya sebuah kehilangan.
.
“Tanganmu menyelamatkan banyak nyawa, Juna. Semua orang menyebutmu dokter hebat. Banyak orang mengelu-elukan namamu. Bahkan mungkin bersedia menjilat telapak kakimu dengan semua hal yang sudah kamu lakukan untuk mereka. Tapi kau tau? Persetan dengan semua itu! Mereka tidak tahu kalau kamu bunuh anakku di dalam sana! Salah apa sebenarnya Kayla sama kamu?! Dia hamil, kamu siksa batinnya, kamu abaikan keadaannya, kamu tolak keinginnya berpisah, dan kamu buat dia menunggu hanya karena kamu ingin menyelamatkan nyawa lainnya! Dia mati dan kamu nggak melakukan apapun untuk membawanya kembali! Kamu pembunuh! Pembunuh!”
.
Juna menghentikan langkah begitu berbelok pada lorong yang jarang dilewati banyak orang. Pria itu menenangkan napasnya yang mulai memburu dan tubuh yang bergetar tak terkendali. Kepalanya berdenyut hebat sementara pandangannya mengabur.
Dia tidak boleh begini. Dia tidak boleh membiarkan kecemasan ini berlanjut hingga membuatnya tidak mampu melakukan hal yang seharusnya dia lakukan sebagai ‘Tangan Kanan Tuhan’. Manusia yang oleh sebagian orang dianggap sebagai Tangan Panjang Tuhan jika ingin menyelamatkan orang terkasih mereka dari maut untuk sesaat. Memperpanjang usia hingga sampai batas yang orang lain inginkan. Setidaknya di hari terakhirnya sebagai Dokter.
Sayangnya, di balik semua hal indah beserta narasi kepahlawanan yang bergaung, banyak yang tidak tahu seberapa banyak duka yang harus ditanggung. Banyak kematian yang terlihat di depan mata tidak cukup membuat seorang dokter mengalami kecemasan sehebat ini.
Tidak.
Terkecuali jika orang yang pergi darinya untuk selama-lamanya adalah orang terdekat. Orang yang patut disebut sebagai keluarga. Rumah yang diharapkan untuk tempat pulang. Meringkuk dari jahatnya sebuah kehidupan yang sudah cukup pahit.
Jika saat itu tiba, bahkan profesi bergengsi itu tak lagi menjadi sebuah kebanggaan. Jas putih itu terasa bagai ejekan yang menyakitkan. Ironi yang acapkali menyentil fakta yang banyak dialami para tenaga medis yang mampu tidak menunjukkan rasa simpati ketika orang lain kehilangan karena bentuk profesionalitas dari pekerjaan yang digeluti.
Tangis bukan pengekspresian tentang rasa. Terlalu lemah jika menggantungkan diri pada isak yang menjadi simbol kelemahan. Toh semua tetap akan berjalan karena tidak ada orang di dunia ini yang menjadi poros kehidupan bagi semua makhluk. Segala permasalahan hidup individu layaknya sebuah biji pasir di pantai luas. Tidak berarti.
Selama beberapa menit yang menyesakkan, Juna berusaha menguasai dirinya kembali. Pria itu merasakan tubuhnya perlahan melunglai dan nyaris saja terjatuh di lantai jika tangannya tidak berpegangan pada tembok manakala napasnya sudah mulai teratur.
Tidak boleh begini. Demi Tuhan! Dia harus kuat!