-That's Why He My Man-
•••
That's why he my man
Young and he fine and he tall and he handsome
Talkin' so fine, I might hold it for ransom
(BMF - SZA)
Dua tahun telah berlalu sejak Bella menjejakkan kaki di Pasuruan, meninggalkan hiruk pikuk Purwokerto untuk membangun biduk rumah tangga yang sesungguhnya bersama Tarmiji. Rumah sederhana itu kini benar-benar terasa seperti surga kecil bagi mereka. Setiap sudutnya menyimpan cerita tawa, obrolan larut malam, dan kehangatan yang hanya bisa tumbuh dari dua hati yang saling memahami dan menerima. Perpustakaan mini di ruang kerja Bella semakin penuh dengan koleksi buku, menjadi saksi bisu petualangan intelektualnya, seringkali ditemani Tarmiji yang dengan sabar mendengarkan Bella bercerita tentang buku-buku yang selesai dibaca olehnya.
Karier Bella di perpustakaan sekolah terus berkembang. Ia tidak hanya menjadi pengelola yang baik, tetapi juga sosok inspiratif bagi para siswa, menularkan semangat membaca dan kecintaan pada ilmu pengetahuan. Di luar pekerjaan, ia semakin aktif dalam komunitas literasi, bahkan mulai menginisiasi beberapa diskusi buku yang cukup populer di kalangan pecinta literasi Pasuruan. Ia menemukan dirinya tidak hanya sebagai istri, tetapi juga sebagai individu yang berkontribusi dan memiliki passion yang tersalurkan.
Hubungan dengan keluarganya di Purwokerto pun mengalami kemajuan yang signifikan. Kunjungan rutin ke Pasuruan menjadi agenda yang dinantikan, dan Bella pun kini merasa lebih nyaman dan diterima saat kembali ke rumah masa kecilnya. Luka-luka lama perlahan mengering, digantikan oleh pemahaman dan penerimaan bahwa setiap keluarga memiliki dinamikanya sendiri.
Pagi itu, Bella merasakan ada yang berbeda dalam tubuhnya. Perasaan mual yang datang tiba-tiba membuatnya sedikit khawatir namun juga memunculkan secercah harapan yang давно ia simpan. Dengan jantung berdebar, ia meraih kotak tes kehamilan yang tersimpan di laci kamar mandi. Setelah mengikuti instruksi dengan saksama, ia meletakkan alat itu di tepi wastafel dan menunggu dengan napas tertahan.
Beberapa menit terasa seperti keabadian. Perlahan, dua garis merah samar muncul di jendela tespack. Bella membelalakkan matanya, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia mengambilnya lagi, memastikan bahwa matanya tidak salah melihat. Dua garis. Jelas dan nyata. Air mata haru langsung membanjiri pipinya. Ia menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan isak tangis bahagia yang ingin meledak.
Dengan langkah tergesa namun hati-hati, Bella keluar dari kamar mandi dan mencari Tarmiji. Lelaki itu sedang menikmati kopi paginya di teras belakang, membaca koran dengan tenang. Bella menghampirinya, menyembunyikan tespack di balik punggungnya.
“Mas,” panggil Bella dengan suara bergetar.
Tarmiji menurunkan korannya, menatap Bella dengan penuh perhatian. “Kenapa, Sayang? Kamu baik-baik saja?”
Bella mengangguk sambil tersenyum lebar, air mata masih mengalir di pipinya. Ia mengulurkan tangannya, memperlihatkan tespack dengan dua garis merah yang jelas terlihat.
Tarmiji mengerutkan kening, lalu matanya membulat sempurna saat menyadari arti dari dua garis itu. Ia meletakkan korannya dengan tergesa dan meraih Bella, memeluknya erat. “Abel ... benaran ini?” tanyanya dengan suara tercekat, matanya juga berkaca-kaca.
Bella mengangguk, membalas pelukannya erat. “Iya, Mas. Kita ... kita akan menjadi orang tua.”
Keheningan sejenak menyelimuti mereka, hanya diisi oleh isak tangis bahagia. Tarmiji melepaskan pelukannya dan menatap Bella dengan mata berbinar. Ia menyentuh perut Bella dengan lembut, seolah sudah bisa merasakan kehidupan baru di dalamnya.
“Ini ... ini adalah hadiah terindah yang pernah Mas terima,” kata Tarmiji dengan suara bergetar, lalu mengecup kening Bella dengan penuh cinta.
Sore harinya, saat mereka menikmati teh di taman belakang rumah yang kini semakin terasa istimewa, Bella menatap Tarmiji yang sedang menyiram tanaman dengan telaten. Hatinya dipenuhi rasa syukur yang mendalam. Ia ingat semua keraguan dan ketidakpercayaan dirinya dulu, semua perjuangan mereka melewati jarak dan perbedaan. Namun, Tarmiji selalu ada, sabar, penuh pengertian, dan tak pernah lelah meyakinkannya tentang betapa berharganya ia.
Bella menghampirinya dan melingkarkan tangannya di pinggang Tarmiji dari belakang. “Mas,” bisiknya lembut.
Tarmiji membalikkan badan, menatapnya dengan senyum yang selalu membuatnya merasa aman. “Kenapa, Sayang?”
Bella menatap matanya, menyampaikan segala rasa terima kasih dan cinta yang memenuhi hatinya. “Aku sering berpikir ... dulu, aku sering nggak percaya diri. Aku selalu merasa ada yang kurang dalam diriku. Aku mencari-cari alasan kenapa kamu bisa mencintaiku.”
Tarmiji menggenggam tangannya erat. “Abel, kamu itu unik dan berharga. Mas melihat hati kamu, dan hati itu yang membuat Mas yakin kamu adalah orang yang tepat untuk Mas. Jangan pernah meragukan betapa istimewanya kamu.”
Bella tersenyum haru. “Dulu, aku terlalu fokus pada apa yang kurang dalam diriku. Aku mencari validasi dari orang lain, termasuk dari kamu. Tapi kamu selalu melihat lebih dari itu. Kamu selalu percaya padaku, bahkan ketika aku sendiri tidak.”
“Karena Mas tahu siapa kamu sebenarnya,” balas Tarmiji lembut. “Kamu itu kuat, cerdas, dan punya hati yang luar biasa. Kamu hanya perlu melihat dirimu sendiri melalui mata hatimu, bukan mata orang lain.”
Bella mengangguk, air mata haru kembali menggenang di matanya. “Sekarang aku mulai mengerti. Kamu hadir bukan untuk melengkapiku, tapi untuk berjalan bersamaku, menguatkanku ketika aku lemah, dan merayakan setiap langkah kecilku. Kamu sabar menungguku menemukan diriku sendiri.”
Tarmiji memeluknya erat. “Itulah arti cinta, Abel. Saling mendukung, saling menguatkan, dan menerima apa adanya. Dan itulah kenapa ... kamu adalah milik aku, Abel-nya Miji.”
Dalam benaknya, lirik lagu yang pernah ia dengar terngiang: “Young and he fine and he tall and he handsome.” Ya, Tarmiji memang memiliki semua itu, tetapi lebih dari sekadar fisik yang menawan, hatinya yang tulus, kesabarannya yang tak terbatas, dan caranya memahami dirinya tanpa menghakimi adalah alasan sesungguhnya mengapa ia begitu mencintainya.
Bella sadar, perjalanannya mencari jati diri tidak pernah sia-sia karena di sepanjang jalan, ia menemukan cinta yang sesungguhnya—cinta dari lelaki yang melihatnya apa adanya dan mencintainya tanpa syarat. Dan kini, cinta mereka akan bersemi lebih indah lagi dengan hadirnya buah hati. Dalam kebersamaan ini, Bella menemukan bukan hanya rumah, tetapi juga alasan yang lebih dalam untuk berkata dalam hatinya, “That's why he's my man.” Masa depan mereka terbentang luas, dipenuhi dengan cinta yang semakin mendalam, penerimaan diri yang utuh, dan harapan akan tawa kecil yang akan segera mengisi setiap sudut rumah mereka.
•••
-That's Why He My Man-