-That's Why He My Man-
•••
Urusan perabotan dan wangi-wangian
Kuserahkan pada s'leramu yang lebih maju
Tapi tata ruang, aku ikut pertimbangkan
Kar'na kalau nanti kita punya kesibukan
(Kita Usahakan Rumah Itu – Sal Priadi)
Bella menarik napas dalam-dalam saat mobil Tarmiji memasuki halaman sebuah rumah yang terasa asing namun sudah ia sebut sebagai "rumah" dalam setiap doanya. Udara Pasuruan menyambutnya dengan kehangatan yang berbeda dari Purwokerto. Tarmiji menggenggam tangannya erat, senyumnya menenangkan segala kegelisahan di hatinya. Ayah Damar telah mengantarnya dengan berat hati, namun dengan senyum tulus dan kasih restu
Begitu mereka masuk, Bella mengedarkan pandangannya. Rumah itu sederhana namun terasa hangat dan penuh cinta. Tarmiji membimbingnya menuju sebuah ruangan yang pintunya tertutup. Dengan tatapan penuh harap, lelaki itu membukanya. Bella terkesiap. Di sana, terpajang rak buku kayu yang persis seperti yang ia impikan, kokoh dan elegan, menanti untuk diisi dengan dunia-dunia yang selama ini menemaninya. Air mata haru menggenang di matanya.
“Mas,” bisiknya, tak mampu menyembunyikan getar dalam suaranya, “Mas inget semua wishlist buku-bukuku?”
Tarmiji mendekat, memeluknya dari samping. “Ya iyalah, Sayang. Semua tentang kamu, Mas inget kok. Ini tempatmu. Tempat buat kamu nyelamin dunia tanpa harus ngerasa sendirian.”
Hari-hari pertama di Pasuruan terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Bella menikmati setiap rutinitas sederhana bersama Tarmiji: sarapan bersama di meja makan, berjalan-jalan sore di sekitar rumah, hingga obrolan larut malam di teras. Ia mulai menata buku-bukunya di rak baru, setiap jilid adalah bagian dari perjalanannya menemukan diri. Di sela-sela itu, ia mulai mencari komunitas literasi di Pasuruan, menemukan beberapa teman baru yang memiliki minat yang sama.
Setelah dua minggu tinggal di Pasuruan, saat mereka duduk berdampingan setelah makan malam, Bella bersandar di bahu Tarmiji. “Mas,” katanya lembut, “aku ngerasa... lebih tenang di sini. Bukan cuma karena ada kamu, tapi karena aku punya ruang buat aku sendiri. Dulu tuh, aku kayak selalu ngerasa harus jadi kayak yang orang lain mau. Sekarang, aku mulai belajar nerima aku apa adanya.”
Tarmiji menggenggam tangannya. “Nah, itu dia, Abel. Itu yang Mas pengenin buat kamu dari dulu. Kamu tuh berhak bahagia jadi diri kamu sendiri. Semua ambisi, semua pengen maju itu bagus, tapi jangan sampe kamu kehilangan diri kamu yang sebenernya.”
Percakapan mereka sering kali mengarah pada masa depan. Keinginan untuk memiliki anak masih menjadi harapan yang mereka jaga, namun kini tanpa tekanan eksternal. Mereka sepakat untuk menjalani semuanya dengan santai, menikmati waktu berdua sambil tetap berusaha dan berdoa. Bella mulai mencari informasi tentang komunitas pendukung program kehamilan di Pasuruan, namun kali ini bukan karena tuntutan, melainkan karena keinginan tulus dari hatinya.
Tak lama kemudian, Bella mendapat kabar baik. Setelah mengirimkan beberapa lamaran kerja, ia diterima sebagai pengelola perpustakaan di sebuah sekolah swasta di Pasuruan. Pekerjaan yang sesuai dengan minatnya, memberinya ruang untuk berkembang namun juga fleksibel. Ia merasa ini adalah langkah yang tepat, bukan hanya untuk mengisi waktu, tetapi juga untuk mengaktualisasikan dirinya.
Malam itu, di teras belakang rumah, di bawah langit Pasuruan yang juga bertaburan bintang, Tarmiji dan Bella duduk berdampingan, menikmati keheningan yang penuh makna. Bella menatap langit, lalu menoleh pada Tarmiji dengan senyum tulus.
“Mas,” katanya, “kayaknya... aku mulai ngerti deh, apa artinya nyayangin diri sendiri. Bukan berarti aku sempurna, tapi aku nerima semua bagian aku, termasuk masa lalu sama kekurangan aku. Kamu sama Ayah udah bantuin aku ngeliat aku tuh beda.”
Tarmiji memeluknya erat. “Iya, Sayang. Kamu emang istimewa. Dan kamu berhak bahagia sama semua keunikan kamu.”
Setelah beberapa saat hening, Bella kembali membuka percakapan. “Mas, kamu pernah nggak sih, bayangin rumah impian kita tuh kayak gimana?”
Tarmiji tersenyum lembut. “Sering banget, Abel. Dulu, Mas mikirnya rumah gede, mewah. Tapi sekarang, setelah sama kamu, rumah impian Mas tuh sederhana aja. Yang penting ada kamu di dalamnya. Ada ruang buat kita ngobrol kayak gini, ada dapur kecil tempat kamu bikin masakan enak buat Mas, terus ... ya, ada perpustakaan mini buat kamu sama anak-anak kita nanti.”
Bella tertawa kecil. “Aku juga gitu, Mas. Dulu mikirnya rumah yang banyak pernak-perniknya. Tapi sekarang, yang penting tuh suasananya. Anget, nyaman, terus banyak cahaya matahari masuk. Sama ... punya taman kecil buat kita ngopi pagi-pagi.”
“Nah, itu dia! Kita satu pikiran kan?” kata Tarmiji sambil mencubit hidung Bella pelan. “Nanti pelan-pelan kita wujudin ya, rumah impian kita yang bener-bener 'kita' banget.”
Bella mengangguk, menyandarkan kepalanya di dada Tarmiji. “Yang penting sekarang kita udah bareng, Mas. Rumah ini udah jadi awal yang indah.”
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kebersamaan yang akhirnya menjadi kenyataan. Bella menyandarkan kepalanya di dada Tarmiji, merasakan detak jantung yang selalu menenangkannya. Ia tahu, perjalanan mencari jati diri adalah proses yang panjang, namun ia merasa telah menemukan fondasi yang kuat di dalam dirinya dan di samping lelaki yang mencintainya tanpa syarat. Di rumah baru ini, di bawah langit yang sama, hati mereka akhirnya bersemi dengan utuh. Kebahagiaan sederhana kini menjadi bagian dari keseharian mereka, bukan lagi sekadar impian di antara jarak yang membentang. Mereka siap menatap masa depan, bersama, dengan hati yang lebih memahami dan mencintai diri sendiri dan satu sama lain.
•••
-That's Why He My Man-