Rumah selalu jadi tempat pulang yang aman— kata orang-orang. Nyatanya bagi Alea, rumah hanya sekedar bangunan yang melindunginya dari dunia luar. Hanya tempat berteduh saat hujan deras turun, tempat tidur di bawah atap, tempat dia tinggal.
Meski begitu, Alea harap rumahnya saat ini bukan rumah abadinya di mana dia harus terperangkap selamanya dalam siklus yang tak berujung.
Dalam rumah ini, dia tak menemukan kehangatan yang orang-orang katakan. Yang ada hanyalah perasaan-perasaan tak nyaman dalam dirinya.
Orang-orang di rumah menuntut Alea selalu jadi orang yang sempurna. Sejak dulu, dulu sekali, dia sudah harus menjadi anak sempurna yang dapat dibanggakan pada orang-orang.
"Moms, keren banget Alea dapet nilai seratus di ujian matematika! Anak aku ish, boro-boro dapet seratus," puji salah satu teman mama Alea.
"Hahaha, bisa aja moms."
Alea yang dipuji hanya bisa tersenyum dengan terpaksa sambil menahan sakit akibat memar yang ia alami di sekujur tubuhnya sejak dua hari lalu.
Sebelum ujian matematika dari sekolahnya di mulai Alea sangat bekerja keras dalam belajar. Dia mempelajari materi-materi yang kurang ia pahami sampai ia benar-benar menguasainya.
Alea tak boleh terlelap tidur atau bersantai-santai di kasurnya. Suara pecut itu akan kembali terdengar dan terkadang terkena tubuh Alea kecil.
"Alea sayang mamah kan? Gamau malu-maluin mamah kan?"
Alea mengangguk dengan pelan sambil matanya tak berpaling dari sang mamah.
"Aku harus bisa, aku harus berhasil, jangan buat mamah kecewa, jangan buat mamah malu."
Kata-kata itu terus bergema dalam kepalanya sendiri. Ketika Alea tak mendapatkan hasil sempurna atau memuaskan, makanan sehari-harinya adalah hukuman dari mamah yang sangat menyayanginya.
Alea diajarkan oleh mamahnya bahwa jika kita mencintai seseorang, kita perlu membimbing dia ke arah yang lebih baik. Kita perlu membuat dia menjadi orang yang sempurna untuk kita.
"Karena mamah sayang Alea, mamah lakuin itu buat Alea."
Sekujur badan Alea sudah hampir mati rasa.
Rasanya, mending mati aja.
Beranjak dewasa, Alea harus melakukan yang lebih bukan hanya untuk mamahnya, tapi juga untuk orang-orang. Alea perlu menjadi sosok sempurna bagi teman-temannya, ia harus menjadi malaikat bagi siapapun yang mengenal Alea.
Kepalanya tak pernah menggeleng jika diminta sesuatu oleh orang lain. Selalu mengangguk, mengangguk, dan mengganguk.
"Suatu ketika, Paman datang. Dia berkata hal-hal yang tak ku mengerti, tampaknya dia hanya basa-basi. Perlahan, ia mulai mendekat. Tangan-tangannya menyusuri tubuh kecilku. Dia hanya bertanya satu, dua hal padaku. Aku mengangguk, tak mengerti. Rasanya sakit, tapi dia hanya menyentuhku."
Kini, rumah bagi Alea hanyalah sekedar bangunan tiada arti tempat orang berteduh dan menjalani kehidupannya. Setiap pagi dia tak melihat ke mana pergi mamahnya. Mamahnya sudah tak bekerja semenjak satu tahun lalu. Semua kebutuhan disediakan oleh papah Alea. Walau papahnya tak pernah menunjukan perhatiannya pada Alea, tapi ayah selalu menuruti apa yang gadis itu mau.
Dia memang jarang di rumah, membuat hubungan Alea dan ayahnya tak sedekat anak-anak gadis lain seusianya.
Malam ini Alea tidur diatas jam sebelas karena mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Karena merasa lelah, dengan mudah sekali baginya untuk terlelap dalam mimpi yang semoga ia nikmati. Karena hanya dalam mimpi, Alea dapat menjadi siapa saja, dapat menjadi apa saja, tanpa tekanan dari orang lain.
Alea membuka matanya.
Ia mendapati dirinya berdiri di tengah rumah lamanya—sunyi, dingin, dan kosong. Tidak ada suara, tidak ada warna. Semua perabotan lenyap. Hanya ada cermin-cermin besar tergantung di setiap dinding, mengelilinginya. Ia mendekat, menatap salah satunya. Tapi bayangannya tak muncul. Ia tidak melihat dirinya, hanya ruang kosong di balik pantulan itu.
Alea mulai berputar tanpa badannya yang meminta, berputar dan terus berputar, sampai kepalanya terasa begitu berat. Dia dengan cepat menutup matanya rapat-rapat.
Matanya terbuka.
Alea berada dalam ruangan hampa hanya ada satu pintu di belakang pintunya. Ia berbalik, berlari menuju pintu itu. Tapi pintunya tak bisa dibuka. Dari baliknya, terdengar suara tangisan bayi. Tangis lirih yang menusuk. Ia mendekat, mencoba mengintip dari celah sempit. Sepasang mata kecil menatapnya—sayu, basah, menjerit tanpa suara. Alea terdiam. Tangis itu… terasa terlalu familiar.
Ia terhuyung mundur, lalu menemukan dirinya berada di lorong panjang. Gelap, sunyi, hanya ada satu lukisan tergantung di dinding. Ia mendekat. Lukisan itu tampak seperti dirinya… lalu berubah jadi sosok lain. Seorang gadis kecil. Lalu kosong. Lalu wajah asing yang tersenyum getir. Setiap kali ia berkedip, lukisan itu berubah, seolah menertawakan ketidakpastian dalam dirinya.
Alea menarik napas panik. Ia ingin lari. Tapi kakinya tak bergerak.
Tiba-tiba…
Ia terbangun.
Napasnya memburu, keringat dingin membasahi pelipis. Tapi ruangan masih terasa... asing. Ia melihat sekeliling. Dia ada di kamarnya.
Alea mengangkat tangan kanannya, ia mencoba untuk menampar pipinya sendiri.
"Aw!" Rasanya sakit, syukurlah ia sudah bangun dari mimpi buruk itu.
"Mimpi buruk lagi..." Ini adalah mimpi buruk beruntun sejak tiga hari lalu. Rasanya mimpi buruk itu terus meneror Alea setiap malam. Mimpi yang seram, buruk, dia tidak mau mengalaminya lagi.
Alea memaksakan tubuhnya untuk bangkit dari kasur dan menuju kamar mandi. Pikirannya masih terngiang-ngiang oleh mimpi buruk itu.
Bel istirahat pertama sudah berbunyi. Para murid yang sudah lapar dengan cepat menyerbu kantin sekolah seperti para zombie yang kelaparan.
Raisya mengajak Alea untuk ke kantin bersama,
"Alea, kantin?" tanyanya. Alea hanya menggeleng sembari memainkan handphonenya.
"Kenapa?" tanyanya lagi. Hari ini Alea tidak banyak bicara, dia lebih diam dari biasanya.
"Ga laper," jawab Alea tanpa melirik kearah temannya.
Raisya merasa ada yang aneh dengan Alea, tapi ia tak mau ambil pusing. Ia pun pergi sendiri ke kantin.
Hari ini benar-benar menunjukan sisi Alea yang tak biasanya. Dia lebih pendiam dari yang orang-orang tau.
Saat datang ke kelas, Alea tak menyapa teman-teman yang ada di kelasnya. Dia tampak acuh tak mempermasalahkan sekitarnya.
Responnya juga sedikit terlambat saat ia dipanggil oleh teman-temannya.
"Alea, jangan ngelamun mulu lo!" ucap salah satu teman lelaki di kelasnya yang memperhatikan Alea sering melamun hari ini.
Alea hanya membalasnya dengan senyuman lalu mengabaikannya lagi.
Revan menyadari hal itu, tetapi ia tak punya keberanian untuk menanyakan keadaan gadis itu. Ia hanya biss mengkhawatirkan kondisi Alea dari jauh.
Sementara Alea merasa kepalanya terus berputar mimpi yang tidak pernah berhenti.
Revan pun sedari kemarin merasa tidak nyaman dengan suasana hatinya.
Revan menyadari hal itu, tetapi ia tak punya keberanian untuk menanyakan keadaan gadis itu. Ia hanya biss mengkhawatirkan kondisi Alea dari jauh.
Sementara Alea merasa kepalanya terus berputar mimpi yang tidak pernah berhenti.
Revan pun sedari kemarin merasa tidak nyaman dengan suasana hatinya. Ia semakin sering memperhatikan Alea sepanjang hari di sekolah.
Sayang, ia sama sekali tak bisa mengetahui apa emosi yang sedang ia rasakan.
Saat Alea sedang menyendiri di kelasnya, seseorang menghampiri dengan langkah kaki kecil.
"Alea," panggilnya dari samping.
Alea menoleh, lalu menjawab,
"Kenapa Dam?"
Ketika mereka saling berbicara, salah satu teman Alea ada yang memanas-manasi situasi mereka, istilahnya 'kompor'.
"Aduh, romantis banget."
"Kiw-kiww."
Mendengar hal itu membuat situasi hati Alea menjadi tidak stabil. Dia merasa kepalanya sebentar lagi akan meledak, dan mulutnya akan mengeluarkan kata-kata yang tak diinginkan.
Sebelum hal itu bisa terjadi, dia segera mendorong tubuh Damian dan pergi ke luar kelas dengan tergesa-gesa.
Yang berada di kelas hanya menatap Alea dengan mata mereka, sebagian tidak mempedulikan apa yang sedang terjadi padanya.
Langkah kakinya semakin cepat hingga ia mencapai toilet siswi. Ia memasuki salah satu ruang toilet yang tersedia dan menutup pintu itu dengan cepat.
Nafasnya sedikit terengah-engah, ia mencoba menenangkan diri dan mendinginkan kepalanya.
Alea emosi.
Sungguh, ia tidak ingin orang lain menganggap hubungan ia dan Damian sebagai hubungan yang spesial.
Ia, tak mau lagi.
"Kenapa dia?" tanya Zaky yang menghampiri Revan tuk bertanya keadaan Alea yang terlihat keluar kelas dengan tergesa-gesa.
"Kenapa nanya aku?"
"Kali aja tau."
Revan mengangkat pundaknya sembari memiringkan kepalanya lalu menurunkan pundaknya kembali.
Revan yang tak nyaman sedari kemarin merasa semakin tak nyaman saat dia melihat Alea dan Damian sedang berbicara dengan dekat beberapa menit lalu.
Dia tak ingin memperhatikan mereka berdua dengan lama, sehingga matanya berpaling pada hal-hal lain.
Perasaan yang ia alami tak karuan. Revan semakin penasaran dengan perasaan yang ia alami. Daripada dirinya mati penasaran, ia memutuskan untuk bertanya pada Zaky.
"Kamu pernah ngerasain hati ga nyaman gitu ga si Zak? Kayak, ada yang ngeganjel tapi apa gitu?" tanya Revan tanpe menjelaskan lebih detail.
"Konteksnya gimana dulu? Ngerasa ga nyamannya waktu apa?" tanya Zaky balik meminta kepastian pertanyaan temannya.
"Mungkin... waktu liat seseorang deket sama orang lain?" Suaranya semakin kecil saat mengatakan hal tersebut.
"Oh, cemburu?" jawab Zaky dengan spontan.
Revan pernah mendengar kata-kata itu, itu adalah istilah untuk perasaan yang tidak nyaman ketika seseorang yang kita sukai dekat dengan orang lain.
Ohh, cemburu.
Ternyata ini yang Revan rasakan sedari kemarin. Dia merasa cemburu saat teman-teman lelakinya yang lain dekat dengan Alea. Dia merasa cemburu saat Damian dekat dengan Alea. Dia cemburu, tak bisa dekat dengan Alea setelah kerja kelompok dan tes minat bakat berakhir.
Dia berharap dapat satu kelompok lagi bersama Alea, atau ada satu kebetulan yang bisa membuat mereka menjadi dekat.
Apakah kedekatan kita hanya lelucon? Aku tak terima.