Tak disangka ternyata tes ulang minat bakat untuk melanjutkan kuliah hanya tersisa tujuh orang. Menurut info dari wali kelas, mereka semua akan dikumpulkan dalam satu ruangan di sekolah mereka untuk fokus dengan mengisi lembar tes tersebut.
Revan merasa terbebani saat hendak pergi sekolah setelah melihat informasi yang dibagikan oleh wali kelasnya terkait tes minat bakat. Kemarin malam, Revan mencoba beberapa tes di internet supaya hari ini ia tidak begitu celingak-celinguk.
Kemarin malam pun ia masih sedikit bingung apa yang menjadi minat dia. Mencari minat saja kesulitan untuknya apalagi mencari bakat. Namun saat ia memikirkan hari ini akan bertemu dan mungkin bercakap lagi dengan Alea, dia menjadi sedikit bersemangat kembali.
Revan pergi ke sekolahnya menggunakan kendaraan bermotor. Belokan demi belokan, melewati berbagai lintasan sampai akhirnya ia sampai di sekolah. Revan tak dapat menyimpan motor di sekolah, sehingga ia selalu menaruh motor di tempat parkir yang jaraknya tak jauh dari sekolah.
Langkah kakinya telah sampai di depan pintu kelas, ia membuka pintu dengan perlahan. Terdapat beberapa temannya termasuk Zaky yang sudah datang lebih awal.
"Yow man," sapa Zaky memberikan kepalan tangannya. Revan membalas kepalan itu dan duduk di bangkunya yang berada di paling belakang.
Sesaat setelah ia menduduki bangkunya, ada seseorang lagi yang baru datang.
"Pagi Alea," sapa salah satu temannya.
"Oh, hai! Pagi," jawab Alea. Dia duduk di bangku kedua jajaran ketiga. Sebelum menaruh tas, ia mencoba melihat sekelilingnya entah untuk apa.
Di sana mata mereka—Alea dan Revan bertemu. Revan mencoba untuk memalingkan wajah tetapi Alea malah menyapa dengan tangannya.
Revan membalas sapaan gadis itu. Melihat tingkah Revan yang dari kemarin aneh Zaky merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh sahabatnya itu. Revan menjadi lebih menjadi seorang pengamat. Terutama untuk mengamati Alea yang cukup populer di kelas.
"Cie." Zaky sedikit mengetes Revan dengan sedikit menjahilinya. Revan hanya menatap mata Zaky sebentar kemudian ia memasang wajah tak senang.
"Kenapa?" tanya Zaky melihat perubahan ekspresi wajah Revan.
"Gak," jawabnya singkat.
Jam istirahat yang dipakai para murid terpakai oleh tes minat bakat bagi mereka yang belum mengisi lembar tes atau dipaksa mengulangnya.
Mereka berkumpul di ruangan bernama multimedia. Mereka duduk di kursi dan meja yang sudah disediakan oleh para guru. Salah satu guru membagikan lembar tes—sebuah mimpi yang sedikit buruk bagi Revan. Untungnya di samping ada Alea yang bersedia untuk membantu.
"Kalau ada yang mau di tanyain, tanya aku ya?" tawarnya sebelum mereka masuk ke ruang multimedia.
Di luar dugaan, saat itu rasanya sudah seperti tes yang serius. Ruangan itu hening dalam beberapa menit yang cukup lama, mereka benar-benar serius dalam mengerjakannya.
Revan merasa tes ini lebih sulit dibanding saat dia mencoba tes di internet. Tes ini lebih kompleks dan menanyakan hal-hal yang sebenarnya tak terlalu Revan pikirkan.
Seperti, “Lebih suka memimpin atau mengikuti?” dan “Aktivitas apa yang membuatmu lupa waktu?”
Revan merasa tes ini tidak sebegitu serius kelihatannya, jadi ia menulis jawaban yang sebenarnya receh, tapi masih bisa diterima karena jujur. Dia menjawab aktivitas yang membuatnya lupa waktu dengan “Tidur siang saat hujan.”
Revan menengok ke kanan kirinya memperhatikan jawaban-jawaban murid lain. Ia pun sempat melihat jawaban milik Alea sedikit.
Alea yang sadar dengan Revan yang memperhatikan jawabannya menutupi lembar kertas itu dengan tangan sebelah kiri.
Lelaki itu sedikit murung, tapi Alea hanya bercanda karena setelah itu dia tertawa dan membiarkan Revan melihat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
"Keren ya jawabannya," ucap Revan yang memunculkan rasa penasaran Alea.
"Emang kamu gimana?" tanya Alea. Revan pun menunjukan jawabannya yang sedikit absurd. Hal itu membuat Alea mencoba menahan tawanya karena suasana sedang hening.
Revan ikut terkekeh sedikit melihat Alea tertawa. Setelah itu, Alea membantu Revan untuk menjelaskan maksud dari kalimat-kalimat kompleks yang ditanyakan oleh tes itu.
Revan dengan mudah memahami saat dijelaskan oleh Alea dibanding saat dia membacanya sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan lain yang Revan sedikit kesusahan pun bisa ia tanyakan pada Alea. Ia merasa beruntung hari ini karena dikirimkan malaikat kecil yang dapat membantunya menuju pemahaman yang benar.
Dari situ, mereka menjadi sedikit mengerti satu sama lain. Alea bisa dengan sabar menjelaskan hal ini itu pada Revan, ia juga orang yang teliti. Revan adalah orang yang spontan, namun jujur. Saat gadis itu melihat jawaban Revan, ia selalu menahan tawa karena menurutnya hal itu lucu, bagaimana Revan menjawab seadanya sesuai dengan hari-hari yang ia jalani.
Mereka saling berkomentar soal jawaban masing-masing dan membahas kenapa pertanyaan itu bisa penting. Ada tawa, ejekan kecil, dan lelucon soal pertanyaan aneh.
Percakapan mereka sedikit menarik perhatian murid lain. Satu persatu mereka menoleh kebelakang untuk melihat asal suara kegaduhan yang ditimbulkan dua orang itu. Rasanya seperti ruangan hanya disediakan oleh mereka berdua. Alea yang sadar tindakannya menganggu orang lain mencoba mengecilkan suaranya.
"Sutt, kecilin suaranya, gini kedengeran?" bisik Alea pada Revan. Revan mengangguk tanda mengerti.
Revan sangat menikmati kegiatan ini. Sampai akhirnya tes minat bakat berakhir. Guru meminta maaf karena istirahat terpotong karena mereka harus mengerjakan tes ini, untuk itu para murid yang berada di ruangan multimedia dipersilahkan untuk istirahat terlebih dahulu sebelum kembali ke kelas.
"Mau ke kantin?" tanya Revan pada Alea mengajaknya pergi ke kantin.
"Yuk."
Mereka pergi ke kantin dan membeli makanan yang tersedia. Alea dan Revan memakan makanan itu di kantin. Mereka bercakap-cakap dengan santai sambil menikmati suapan demi suapan yang masuk dalam mulut mereka.
Di saat seperti ini, Revan merasa seperti seseorang yang berbeda karena percakapannya mengalir seperti air sungai. Tanpa hambatan, tidak seperti dia pada orang lain. Alea memang orang yang asik diajak bicara. Suaranya yang merdu untuk didengar, gaya bicara yang halus, dan tentu saja melihat wajahnya sambil berbicara sangat membuat orang akan betah mengobrol dengannya berapa jam sekalipun.
"Eh, kamu nulis cita-cita kamu apa di lembar tes?" tanya Revan yang penasaran dengan cita-cita Alea.
Raut wajah Alea menjadi semakin senang saat Revan menanyakan hal tersebut. Ia tampak sangat menikmati pembicaraan ini.
"Umm, aku mau jadi psikolog hehe..." ucap Alea malu-malu memberitahu cita-citanya.
Revan sedikit bingung dengan cita-cita yang Alea pilih.
"Kenapa psikolog?" pertanyaan Revan yang kedua, Alea pun menjawab,
"Karena...suka," katanya.
Revan tak melanjutkan pembicaraan karena ia berharap Alea akan melanjutkan perkataannya.
Alea yang tak ingin merasakan suasana diam menjelaskan alasannya.
"Aku suka denger orang curhat, mau bantu mereka yang gabisa ditolong secara fisik, aku pikir itu hal yang hebat."
Penjelasan Alea membuat Revan mengangguk-ngangguk kecil. Dia paham tiap kata yang diucapkan gadis itu.
Revan terdiam sesaat, lalu bercanda, “Kalau aku jadi pasien kamu, kamu bakal stres duluan.”
Alea tertawa, lalu menjawab, “Aduh, aku mau pensiun dari psikolog kalau gitu."
Mereka tertawa bersama oleh candaan itu, terlelap dengan dunia mereka sendiri sampai-sampai lupa dengan waktu yang menunjukan jam pelajaran segera berganti.
Alea dan Revan segera menghabiskan makanannya dan kembali ke kelas mereka masing-masing.
Revan masih berharap suasana itu dapat berlangsung dengan lebih lama lagi.
Suasana kelas siang itu cukup sunyi, hanya terdengar suara penghapus yang bergesekan dengan papan tulis dan gumaman pelan dari beberapa siswa yang mengantuk. Guru yang mengajar pada jam itu hanya memberi tugas singkat dan tak mengajar karena ada keperluan lain. Di bangku belakang, Revan bersandar santai dengan pensil di tangan dan buku catatan kosong di hadapannya. Tapi bukannya mencatat pelajaran, ia malah menggambar asal—sebuah karakter chibi dengan kepala besar, tangan mungil, dan ekspresi datar. Matanya belel, satu telinga lebih besar dari yang lain, dan rambutnya seperti rumput.
Alea yang sedang tidak ada kerjaan mencoba untuk mendatangi Revan yang sibuk sendiri, ia mengintip dan langsung menahan tawa.
“Revan, itu siapa?” bisiknya pelan.
Revan tersentak kaget, buru-buru menutupi gambarnya dengan tangan. “Eh, cuma corat-coret doang..." Dia menahan malu dengan wajahnya yang terasa panas.
Alea menarik bukunya pelan dengan ekspresi penuh rasa penasaran. Begitu melihat gambarnya dengan jelas, ia nyengir lebar. “Ini kamu ya? Mirip."
Revan mendengus pelan. “Enggak mirip, woy. Itu karakter misterius.”
“Misterius yang belum mandi?” Alea cekikikan. Ia lalu mengambil pensil dari tempat pensil Revan.
“Sini, sini, aku mau benerin dikit.”
Dalam waktu singkat, Alea menggambar ulang versi yang sama—masih chibi, tapi kini lebih proporsional, matanya punya sorotan, dan rambutnya nggak lagi seperti rumput liar. Ia menjelaskan sambil menggambar,
“Kepala chibi tuh biasanya besar, tapi harus seimbang sama badannya. Terus ekspresinya dibikin lebih hidup. Nih, gini.”
Revan memperhatikan penjelasan Alea dengan seksama. Padahal awalnya dia hanya iseng, tapi Alea menjelaskannya dengan serius. Ia harus menghargai Alea yang sudah menjelaskan dengan baik.
"Mungkin art style kamu bukan chibi gini, cobain yang lain deh," kata Alea yang merasa bahwa gambaran yang dibuat Revan mungkin bukan art stylenya.
"Aku gatau." Revan tak tahu tentang hal seperti itu, ia hanya mencoba hal-hal lain saat dia sedang tidak ada kerjaan.
Revan berpikir dengan menggambar dia pun bisa menemukan passionnya, tapi ia merasa menggambar bukan keahliannya.
Namun, saat Revan menatap gambar itu dia merasa sesuatu dalam dirinya menyala—bukan karena gambar itu bagus, tapi karena saat itu terasa menyenangkan. Dan mungkin… itulah yang ia cari selama ini.
Revan pun tahu bahwa Alea adalah orang yang pandai dalam menggambar.
Karena mungkin salah satu alasan mengapa Revan menyukai Alea, adalah karena dia jatuh cinta pada gambaran Alea.
Hari itu, tak pernah Revan merasa kagum dengan sebuah karya selain karya dari tangan Alea.
Pertama kalinya Revan tertarik dengan sesuatu, tapi sayang ia selalu berpikir bahwa dirinya tidak akan mampu. Kepalanya pun terlalu penuh untuk bisa mencerna apa yang Alea gambar, ia merasa takkan bisa menciptakan gambaran yang bagus sepertinya.
"Aku pun ingin menciptakan karya seperti itu."