Kerja kelompok telah berjalan selama hampir tiga puluh menit. Seperti kebanyakan para murid, mereka tidak bisa fokus langsung mengerjakan tugas mereka. Pasti akan ada berbagai pekerjaan lain yang mereka lakukan seperti mengobrol sampai-sampai lupa dengan tugas yang dikerjakan, lapar saat kerkom, malas mengerjakan, dan lain sebagainya.
"Jajan yuk? Laper bro," ajak salah satu orang di sana. Sebagian besar dari mereka ikut untuk membeli makan terkecuali Revan dan Alea.
"Udah makan di rumah," jawab Revan, Alea pun berkata,
"Belum laper."
Berakhirlah dengan mereka berdua yang tinggal di tempat mereka kerja kelompok. Awalnya terasa canggung, tapi Alea pintar mencairkan suasana dalam mengajak Revan mengobrol hal-hal kecil serta meminta pendapatnya untuk desain power point.
"Eh, kamu tes minat bakat gimana?" Alea bertanya penasaran pada Revan. Lelaki itu tidak menyangka akan ditanya hari di mana ia seperti orang linglung yang tak mengetahui apa kemauannya.
"Emm, gitu deh."
"Gitu gimana?"
"Ya gitu."
Percakapan itu tidak berlanjut seperti sebelum-sebelumnya karena Revan tak menanggapi dengan benar.
"Aku belum sempet isi tau," ucap Alea pada Revan.
"Hah? Masa?" Revan sedikit terkejut karena ia kira Alea sudah mengisi tes minat bakat beberapa hari lalu.
"Iya, aku kan dipanggil buat kumpul seksi kebudayaan dulu, ga sempet."
"Oalah..." Revan ingat dia terlalu fokus dengan game online yang ia mainkan sehingga tak memperhatikan sekitarnya.
"Besok ada susulan, bareng ya?" Alea mengajak Revan untuk susulan tes bersama. Lelaki itu sedikit membeku sejenak, kepalanya tak mencerna perkataan Alea tapi ia hanya mengangguk dan menikmati pemandangan senyuman Alea.
Setelah obrolan singkat itu, mereka mulai kembali fokus dengan tugasnya. Para teman-teman sekelompoknya belum juga kembali. Sebagian dari mereka ada yang tugasnya sudah selesai sehingga Revan dan Alea tidak bisa protes jika mereka mau pergi kemana saja sampai kerja kelompok berakhir.
Revan bergantian memegang laptop dengan Alea, ia sudah sedikit pegal dengan tangannya yang memindahkan materi yang dicari oleh temannya ke dalam ppt.
“Slide kedua ini font-nya beda sendiri,” gumam Alea, lalu menggantinya.
Revan hanya duduk di sebelahnya, memperhatikan. Ia mencoba menawarkan bantuan, tapi belum sempat ia benar-benar berkontribusi, Alea sudah lebih dulu mengambil alih.
“Boleh bantu cari gambar ilustrasi buat slide ini? Tapi harus yang tone warnanya nggak terlalu mencolok, ya. Yang pastel kalau bisa,” katanya tanpa menoleh.
Revan langsung membuka browser, mulai mencari-cari sesuai arahan Alea. Tapi ketika ia menunjukkan satu gambar, Alea hanya melirik sekilas lalu menggeleng.
“Warnanya terlalu biru. Kurang serasi sama tema warna background-nya.”
Revan mengangguk pelan. Dicobanya gambar lain, tapi hasilnya tetap sama—Alea menolak dengan alasan yang berbeda. Bukan karena tak sopan, tapi lebih karena detail yang sangat dia perhatikan. Revan bisa lihat Alea sangat peduli dengan hasil akhir presentasi mereka, dan entah kenapa, dia tidak keberatan, tetapi hanya sedikit bingung dengan perubahan pada sikapnya.
"Eh, maaf ya jadi ngatur gini, menurut kamu gimana kalau gini?" Alea menunjukan hasil dari yang ia kerjakan.
Revan hanya mengangguk. “Iya, santai aja. Aku ikut alur kamu, bagus kok.”
Entah mengapa dengan mendengar jawaban Revan, Alea merasa tenang. Sebelumnya dia selalu di cap 'Perfeksionis' oleh orang-orang jika dia menginginkan ini itu dalam mengerjakan tugas kelompok.
Tapi dengan Revan, dia merasa bisa mengeluarkan pendapat dan keinginannya. Revan pun sepertinya sama sekali tak keberatan dengan apa yang diinginkan Alea.
"Beneran nih?" tanya Alea memastikan.
"Bener," jawab Revan merendahkan suaranya.
Suasana hening kembali mendominasi ruang kerja kelompok mereka yang kini hanya berisi dua orang. Bunyi ketikan keyboard dan derit halus mouse menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Alea masih fokus menyusun slide berikutnya dengan rapih dan teliti, sementara Revan duduk di sebelahnya, mulai merasa gelisah. Bukan karena tugas, tapi perutnya yang tiba-tiba meminta perhatian.
Ia membuka tasnya perlahan, mencari-cari sesuatu untuk dikunyah. Tangannya menyentuh sebuah wadah kotak plastik kecil yang ia bawa dari rumah. Di dalamnya ada beberapa kue kering yang ia buat pagi tadi.
Revan membuka wadah itu diam-diam, berharap tidak terlalu menarik perhatian. Tapi tentu saja, Alea bukan orang yang tidak peka.
“Eh, itu kue kering ya?” tanyanya sambil menoleh dengan rasa penasaran.
Revan langsung menutup wadahnya kembali, sedikit panik.
"Eh, iya."
Alea dan Revan saling memandang sejenak sebelum mereka kembali pada kegiatannya masing-masing. Revan sibuk mengunyah kue keringnya, dan Alea masih dengan tugasnya.
Alea berharap dia ditawari oleh Revan kue kering itu. Perutnya kini meminta cemilan karena mencium aroma kue yang bertebaran di ruangan itu.
"Pasti kue mahal," pikir Alea menebak harga kue yang dipunyai Revan sehingga ia enggan berbagi.
Di sisi lain, lelaki itu bingung untuk menawarkan kue itu atau tidak. Ia takut Alea malah akan mengolok-oloknya karena tidak bisa memasak kue dengan baik. Mau bilang kue kering itu di beli, bentukannya saja sudah mencurigakan.
"Yah...mana ada kue kering bentukan abstrak kek gini."
Pikiran Alea kini terjangkit oleh kue kering! Jari-jarinya mengetik pada keyboard laptop itu,
'kelompok kue kering' lalu ia menghapusnya kembali.
Revan yang diam-diam melihat hal itu merasa bersalah karena tak menawarkannya pada Alea. Dengan sedikit ragu Revan pun akhirnya menawarkan kue keringnya pada Alea.
"Emm, mau? Ini aku yang bikin..." tawarnya malu-malu.
"Wah, serius? Boleh dong."
Revan terdiam. Ia tahu rasa kue itu tidak terlalu enak—teksturnya agak keras, bentuknya juga tak beraturan. Ia bahkan sempat mempertimbangkan untuk membuangnya saja sebelum pergi, tapi akhirnya tetap membawa hanya karena… ya, siapa tahu. Tapi sekarang, Alea minta mencicipinya.
Dia merasa canggung. Tapi juga tidak enak hati untuk menolak. Perlahan, ia membuka kembali wadah itu dan menyodorkannya pada Alea. “Coba aja kalau mau…”
Alea mengambil satu dengan anggun, mengamati bentuknya yang bulat tak rata, lalu menggigit perlahan. Wajahnya langsung menegang sejenak. Kue itu keras, jauh dari ekspektasinya. Rahangnya butuh usaha lebih untuk mengunyah. Tapi Alea tetap mengunyah sampai habis, menelan, lalu tersenyum manis.
“Enak, Van. Rasanya pas, gurihnya dapet,” katanya dengan penuh keyakinan yang dibuat-buat.
Revan memicingkan mata. “Serius?”
Alea mengangguk, lalu mengambil satu lagi. Meski sebenarnya ia berpikir dua kali untuk mengunyah yang kedua, tapi ia tahu Revan membutuhkan validasi—dan entah kenapa, ia tidak keberatan memberikannya.
“Ini passion kamu ya?” tanya Alea setelah suapan kedua selesai.
Pertanyaan itu membuat Revan terdiam.
Passion?
Ia tidak pernah benar-benar memikirkan itu. Membuat kue kering bukan hal yang ia cintai atau dambakan sejak lama. Ia hanya…bosan. Lelah dengan rutinitas game dan tugas, dan mencoba mencari sesuatu yang baru.
"Gatau."
Jawaban singkat darinya. Alea ingin mencoba bertanya lebih tapi ia merasa Revan takkan senang dengan itu.
“Mungkin…aku cuma penasaran. Kaya...aku nggak tahu sebenernya aku suka apa. Jadi aku coba-coba aja,” jawabnya mencoba jujur.
Alea terdiam sejenak. Lalu mengangguk pelan, mengerti. Ia mulai menyelidiki wajah Revan dengan matanya. Revan yang ditatap oleh Alea merasa sedikit malu, ia memalingkan wajah supaya tak merasa canggung.
"Kok rasanya beda ya?" Alea berbicara dengan pelan tetapi masih terdengar pada telinga Revan.
"Beda apanya?"
"Hmm, kamu lagi sedih atau marah si?" pertanyaan tiba-tiba dari gadis itu membuat Revan bingung.
"Maksudnya?"
Alea sadar telah mengatakan hal yang aneh. Dia melebarkan matanya dan memalingkan wajah dari Revan.
"Nanti ku kasih tau kalau kita udah Deket ya?" Alea melanjutkan perkataannya yang belum selesai.
Revan yang masih tak mengerti apa konteksnya hanya memasang wajah datar.
"Kapan deketnya?" tanya Revan, Alea menjawab.
"Sekarang juga boleh," ia menjawab lalu menunjukan giginya yang putih bersih.
Revan lagi-lagi merasa salah tingkah. Jarang sekali ia mendapatkan perilaku seperti ini dari seorang perempuan, terlebih lagi dari seseorang yang ia suka.
Suara pintu terbuka tiba-tiba menginterupsi percakapan mereka. Teman-teman mereka yang lain kembali dari membeli makanan. Riuhnya suara dan tawa mulai memenuhi ruangan lagi. Tapi Revan dan Alea masih terdiam di tempat mereka, seolah tak ingin terganggu dari momen kecil yang baru saja mereka bagi.
Sebuah momen yang mungkin akan terus Revan pikirkan lama—sama seperti rasa kue kering buatannya, yang ternyata tidak sepenuhnya gagal.
----
Akhirnya, Revan sampai di kamar kesayangannya. Dan ia sangat bersyukur karena pulang dengan keadaan rumah sepi, orang tuanya belum pulang. Caca sedang di kamarnya sendiri dan tidak peduli dengan abangnya yang entah pergi kapan dan pulang kapan.
Revan melempar tasnya ke dekat meja belajar saat ia membuka pintu kamar. Ia merasa gerah memakai baju lengan panjang saat keluar rumah untuk kerja kelompok, Revan pun mengganti bajunya.
Setelah itu Revan mulai makan makanan apa saja yang tersedia di rumahnya. Seperti hari ini ada menu spesial, mie dengan telur rebus! Revan pun mulai memasak, lalu memakannya dengan lahap.
Perut sudah terisi, kini dia mencari kegiatan seru tuk dilakukan di rumahnya. Dan hanya satu hal yang ia pikirkan, yaitu menulis jurnal.
Revan kembali ke kamar dan duduk di kursi meja belajarnya. Mengambil pulpen yang ia simpan di tempat pensil yang terbuat dari kardus—bekas tugas prakarya sekolah.
Ia mencoba menulis hal-hal yang ada di pikirannya.
Dimulai dengan satu kata, satu kalimat, dan akhirnya, perkataan yang tak bisa diucapkan tercurahkan.
"Terima kasih, telah memuji kue keringku yang sebenarnya tidak perlu di puji. Kau memang baik, tidak ingin menyakiti kue kering yang jelek itu.
Ku dengar, kau suka makanan manis ya? Aku harap, suatu saat aku bisa membawakan makanan manis yang lebih enak untukmu.
Kau mengatakan, akan mengatakan sesuatu padaku saat kita sudah dekat. Kalau begitu, kita akan dekat besok, semoga saja begitu."
Di saat yang sama, Alea di kamarnya sedang memegang buku catatan harian yang modelnya terlihat sama persis dengan yang dipunyai Revan.
Kebetulan? Alea memang suka menulis diary dari sejak dia SMP sampai sekarang.
Sesaat setelah ia pulang dan menuju kamarnya, ada hal yang ingin ia tulis pada kertas dalam buku kecil itu.
Alea menulisnya dengan pikiran yang tenang. Tangan-tangannya dengan anggun menulis kata demi kata dengan hati-hati karena kerapihan baginya nomor satu.
"Bagaimana caranya aku mengatakan bahwa kau terlihat seperti tidak memiliki emosi? Aku merasakan emosi pada orang lain, tapi padamu aku tak melihat apapun.
Apa kau sudah mengenali dirimu sendiri? Atau kau tak peduli dengan itu?"
Mereka menutup buku hariannya dengan waktu yang bersamaan, di tempat berbeda dengan perasaan yang berbeda.