Sekolah hari ini telah usai, para murid bersiap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing. Revan tidak sabar untuk pulang ke rumah setelah dia menemukan sesuatu hal yang bisa di coba.
Revan menemukan resep membuat kue kering di internet dan ia ingin mencobanya di rumah. Setelah tak bisa mencicipi bolu, kini dia menginginkan kue kering yang semoga tidak dilempar lagi oleh ayahnya.
"Van, langsung balik?" tanya Zaky yang telah siap pulang menggendong tasnya.
"Ho'oh."
Setelah selesai, Revan menutup resleting tas dan hendak menggendong tas itu. Sebelum beranjak pergi, ia memperhatikan orang yang wajib ia perhatikan akhir-akhir ini.
Alea, dia terlihat murung dari tadi siang sampai pulang sekolah. Ia masih saja penasaran dengan apa yang terjadi dengan gadis itu, padahal ia tahu bukan urusan dia.
"Oi, besok main kuy?" Ajak Andre pada Revan. Besok adalah tanggal merah di kalender, memang para murid sangat menyukai kalender dengan angka berwarna merah.
"Aku harus kerkom," saut Revan sambil beranjak pergi dari kelasnya.
Ia sebenarnya ingin menikmati tanggal merah dengan berada di kamar seharian, tapi tadi ada guru IPA yang masuk kelas dan memberikan tugas berkelompok. Revan tidak bisa mengelak untuk kerja kelompok karena waktu deadline yang diberikan sedikit.
"Rajin amat," ucap Andre mengikuti langkah kaki Revan.
"Iyalah, emangnya A-N-D-R-E?"
Andre hendak mengancam Revan dengan mencekiknya secara pelan, Revan mengelak dan berlari menjauhi Andre. Temannya itu malah ikut berlari mengejar, terjadilah kejar-kejaran anak SMA di lorong sekolah.
Alea yang baru keluar dari kelas menyaksikan pemandangan kedua orang absurd itu. Ntah kenapa melihat mereka berlari-larian saling mengejar membuat suasana hati Alea bertambah baik sedikit. Dia terhibur dengan tingkah mereka setelah sedari tadi hanya cemberut dan tak merasakan emosinya sendiri. Rasanya seperti melihat anak kecil yang berlari-larian tanpa beban yang mereka alami.
Semua murid telah pulang, mereka menjalani aktivitas masing-masing di rumahnya. Seperti Revan yang mencoba untuk membuat kue kering di dapurnya. Ia mencampurkan bahan-bahan kering, dan mulai mengaduk sesuai instruksi dari internet. Setelah bahan tercampur, ia merasa ada yang salah dengan tekstur adonan yang ia buat dengan yang di internet tidak sama.
"Kenapa malah jadi bubur gini dah?" Revan bergumam sambil menggaruk kepalanya.
Ia tidak putus asa, dia akali dengan mencampurkan bahan-bahan yang membuat adonannya persis seperti yang ada di video tutorial. Adonan beres, dia harus menyimpan adonan tersebut kedalam chiller atau freezer kulkas selama tiga puluh menit.
Sambil menunggu, ia mau membaca pesan yang datang dari grup kelas teman-temannya yang entah membicarakan apa namun tampak ramai sedari tadi, notifikasi terus berdering pada ponsel Revan.
"“Ciee yang dianterin Damian…”
“Alea sama Damian cocok juga ya?”
“Alea si cewek kuat ternyata bisa juga diluluhkan cowok kayak Damian.”
"Waduh Alea...CLBK?"
"Soo sweeett!"
Begitulah respon dari orang-orang di kelas saat Lala telah menyebarkan foto Damian dan Alea pada grup kelas yang tidak ada wali kelasnya.
Entah mengapa membaca pesan-pesan itu membuat Alea merasa mual. Matanya dengan tajam membaca semua pesan teman-temannya berulang kali. Dia tak bisa berhenti melakukan hal itu sampai-sampai matanya pusing sendiri dan merasa mual.
Hatinya terasa dipercikan sedikit api yang semakin lama semakin besar.
"Kenapa mereka sebegitu gampangnya menarik kesimpulan? Kenapa mereka seolah tahu semuanya, padahal tidak tahu apa-apa?"
Dalam hati Alea mengatakan hal tersebut. Tangannya mengepal, ia ingin marah, ingin membalas. Tapi tahu itu akan membuat semuanya lebih buruk.
“Jangan berlebihan.”
Itu kalimat yang sering ia dengar, dari orang-orang yang tak mengerti.
Tapi ini bukan soal ‘berlebihan’. Ini...tentang diri Alea sendiri. Emosi di dalam dirinya bukan sekadar naik turun. Mereka menghantam seperti ombak besar, menyapu kewarasan yang coba ia pertahankan setiap hari. Dan sekarang, semua orang menyorotnya seolah ia bagian dari drama murahan. Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia paksa untuk tidak jatuh. Ia sudah terlalu sering dicap baper, gampang meledak, dan susah diajak santai. Padahal, ia hanya ingin dimengerti sedikit saja, bahwa itu semua tidak lucu.
Memainkan perasaan masa lalu yang sudah lama terkubur, itu tidak lucu.
Ia mengambil ponsel. Jari-jarinya melayang di atas keyboard. Banyak kata yang ingin ditulis. Tapi tidak ada yang terasa tepat. Semuanya terlihat salah. Terlalu marah, terlalu sedih, terlalu menyedihkan.
Akhirnya ia hanya mengetik satu kata di kolom chat yang tidak akan pernah dia kirim pada grup itu.
"Lucu."
Ia lalu mematikan notifikasi, melempar ponsel ke kasur, dan menatap langit-langit, membiarkan dadanya sesak dalam diam. Karena tidak ada yang tahu rasanya jadi Alea. Tidak benar-benar tahu.
Revan hanya melihat grup chat dari kelasnya, tak ikut nimbrung dalam percakapan apapun.
"Ooh, Damian." Revan tak begitu dekat dengan Damian, mereka hanya sekedar teman kelas biasa. Revan akui, Damian orang yang tampan, pintar, dan bergengsi di sekolah. Wajar saja jika dia dijodohkan oleh Alea yang setara dengannya hanya dengan satu foto tadi pagi.
Tapi kini ia tahu kenapa Alea hari ini mendadak menjadi murung dan cemberut sejak siang di sekolah.
Tapi Revan pun tidak mengerti kenapa Alea terlihat seperti marah. Dia pun tidak merespon apa-apa di grup kelas. Bukankah harusnya ia senang bisa didekati oleh lelaki yang seperti Damian?
"Dia malu kali ya?" Pikir Revan saat itu.
Tersisa beberapa menit lagi sebelum adonan kue kering Revan bisa di panggang di oven. Dia bosan bermain HP dan memutuskan untuk membuka jurnal hariannya.
Ia mengambil bolpoin, dan menulis sesuatu di atas kertas itu.
"Ternyata, ada orang lain di hatimu. Aku tidak merasa sedih, kenapa ya? Tidak seperti orang-orang yang merasa sedih saat orang yang mereka suka didekati oleh orang lain.
Ternyata, rasa ini memang bukan rasa suka. Lalu, apa sebutan untuk rasa ini?"
Entah mengapa jarinya memutuskan untuk menulis ini pada buku catatan hariannya. Ia merasa semakin penasaran dengan perasaan yang sedang ia rasakan. Tapi dia takut untuk mencari jawaban, dan juga takut untuk bertanya pada seseorang.
Adonan kue kering sudah selesai disimpan di chiller, saatnya memanggang kue kering!
Revan membentuk kue-kue itu menjadi bulat-bulat sedikit dipipihkan dan ia menaruh chocochips diatas adonan yang sudah terbentuk.
Ia membuka oven yang sudah panas, memasukkan kue-kue kering yang disimpan dalam loyang dan membiarkannya sampai mengembang dan matang.
Dalam hatinya dia berharap akan sesuai ekspektasi. Setelah menunggu beberapa saat, oven berbunyi saat menit memanggang sudah selesai. Revan membuka oven tersebut, mencium wangi aroma yang keluar dari oven, serta asap yang keluar. Hatinya sedikit tegang saat hendak mengeluarkan loyang menggunakan sarung tangan pemanggangnya. Membuat hal seperti ini memang kelihatan mudah, tapi tidak bisa sempurna dalam sekali jadi percobaan.
"Yah...gagal."
Pinggirannya gosong, bagian tengahnya masih agak lembek. Bentuknya pun tak lagi menyerupai apa pun yang ia rencanakan.
Ia mengambil satu, meniup kue kering yang masih panas dan menggigit kue kering itu sedikit. Rasa menteganya terlalu dominan, teksturnya melempem. Bukan kue kering—lebih mirip kue patah hati. Revan tertawa kecil, getir.
Ya, ini hanya percobaan, besok Revan bertekad ingin membuatnya lagi, jika berhasil dia akan membawakan kue kering untuk teman-temannya saat kerja kelompok.
-----
Pagi telah datang setelah malam menyelimuti. Matahari menunjukan cahayanya dengan malu-malu. Bulan yang tadi malam masih terlihat di pagi hari ini.
Jendela kamar Revan tertutupi embun-embun pagi. Ia baru saja bangun beberapa menit yang lalu dan hendak sarapan sebelum akhirnya berangkat untuk kerja kelompok.
Seketika dia teringat sesuatu hal yang ingin ia lakukan hari ini sebelum berangkat kerja kelompok.
"Oh iya, kue kering."
Revan melangkahkan kaki menuju dapur yang jaraknya tak jauh dari kamar Revan. Ia menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue kering kedua kalinya, berharap kali ini dia akan berhasil.
Pagi ini rumah hanya berisikan dua orang. Adik Revan bermain sendiri di kamarnya, orang tua Revan telah berangkat bekerja pagi-pagi buta. Karena sudah biasa, Revan menganggap sendiri di rumah adalah hal yang sedikit menyenangkan untuk melakukan suatu hal. Tapi, andai ibu Revan ada di rumah, dia bisa mengajari Revan cara membuat kue kering.
Tanpa basa-basi, ia mencampurkan bahan-bahan untuk membuat adonan.
Sat, set, sat, set.
Adonan tinggal di pangangg. Revan telah sedikit mempelajari kesalahannya dengan menonton beberapa video resep.
"Semoga hasilnya bagus..." gumamnya.
Revan mondar-mandir di dapurnya untuk menunggu oven berbunyi sehingga ia bisa mengetahui hasil akhirnya.
Caca—nama adik Revan yang hendak ke kamar mandi melihat tingkah abangnya itu.
"Ngapain?" tanya Caca, Revan menjawab,
"Nunggu adonan."
"Ih, kayak orang ling-lung," cibir Caca yang segera masuk ke kamar mandi.
Revan hanya memutar matanya menjulidkan adiknya sendiri. Mereka sebenarnya Kakak beradik yang saling akur, tapi hanya saja kini mereka punya dunianya masing-masing. Tak seperti dulu yang benar-benar saling memiliki.
Meski begitu, Revan tetap menyayangi adiknya, walau dia tidak bisa menunjukkan itu sekarang.
Ting!
Oven telah berbunyi. Terlihat dari luar oven bahwa adonan yang dibuat Revan mengembang dengan bagus. Ia tak sabar untuk mengeluarkan kue-kue kering itu.
-----
"Ga dah, itu bagian aku, kamu yang lain aja!"
"Ga, gua mau cari bagian ini!"
"Terus nanti konsepnya gimana guys?"
"Males ih..."
Para anggota kelompok sedang mendiskusikan terkait tugas mereka. Revan untungnya masuk ke kelompok yang dapat bekerja sama dengan baik walau sempat ada kericuhan sedikit.
Revan bagian yang mengedit power point tugas IPA kelompoknya. Sementara yang lainnya sedang mencari materi, Revan hanya perlu menunggu materi di kirim, dan langsung edit.
"Udah kebagian semua belum tugasnya?" tanya ketua kelompok tersebut, memastikan semuanya bekerja.
"Eh si ini belum,"
"Siapa?"
"Ale—"
Tok tok tok
Pintu rumah ada yang mengetuk, itu pasti satu anggota lagi yang belum datang.
"Maaf telat! Macet di jalan," ucapnya sambil menyatukan telapak tangannya.
"Iya Al, santai, sini." Temannya mengajak duduk.
Alea sekelompok dengan Revan, hal ini membuat Revan sedikit senang dan bersemangat ingin kerja kelompok.
"Akhirnya sekelompok lagi..."
"Eh, Alea bareng sama Revan aja ya? Ngedit ppt buat presentasi," ujar ketua kelompok yang membantu mengatur tugas para anggotanya.
Alea mengangguk. Ia menaruh tas kecil hitam di punggungnya di atas karpet dan menyisir rambut dengan jari-jarinya.
Revan menatap ke arah Alea, ia ingin mengajak Alea untuk bekerja sama dengannya dalam mengerjakan tugas. Alea menatap balik ke arah Revan, ia tersenyum dan mulai mendekat pada Revan yang sudah menyiapkan laptop di pahanya.
Revan merasa salah tingkah dengan melihat balasan senyum dari Alea. Dia ingin ikut tersenyum, tapi malah seperti kuda yang memperlihatkan giginya.
"Belum ya? Konsep ppt-nya mau gimana?" tanya Alea setelah melihat layar laptop Revan yang masih menunjukan wallpapernya.
"Eh, iya, gimana ya menurut kamu?"
"Loh, kenapa nanya balik?"
Revan tidak biasa berkomunikasi dengan Alea, ia jadi sulit mengobrol.
"Menurut aku begini." Revan menjelaskan bagian-bagian yang ia inginkan untuk desain power pointnya itu. Ia merendahkan sedikit suara dan bahasa yang ia pakai supaya Alea mengerti apa yang Revan ucapkan. Dia harus menyesuaikan diri, tidak boleh sampai terlihat aneh di mata Alea.
"Bagus tuh, yaudah pake ide kamu aja ya?" ucap Alea setelah mendengar penjelasan Revan.
Revan menyengir lagi seperti kuda.
"Jadi kuda aja deh, nyengir mulu..." ucapnya dalam hati.