Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (Proses Refisi)
MENU
About Us  

"Aku berteriak sekeras yang kubisa,
tapi dunia terlalu sibuk menutup telinganya.
Andai saja kau percaya, aku masih ada."


—Arsya Abiseka Gantari

Jepang, Rumah Singgah Keluarga Damar – Pukul 21.15 waktu setempat

Udara musim semi menyelinap masuk lewat jendela yang terbuka setengah. Aroma tanah basah dan bunga sakura samar-samar menyeruak ke dalam ruangan yang temaram. Lampu meja menyala redup di sudut ruang kerja—sebuah ruangan kecil di sayap timur rumah singgah tempat mereka menginap, jauh dari pusat kota. Bangunan kayu dua lantai itu disewa khusus untuk perayaan ulang tahun cucu perempuan Pak Damar—Calita, yang besok genap berusia tujuh tahun.

Di balik tumpukan dokumen dan ponsel yang dilempar sembarangan ke meja, seorang pria paruh baya terlelap di kursi, masih mengenakan kemeja yang setengah terlepas dari celana kainnya. Pak Damar tertidur tanpa niat, setelah seharian menuruti kemauan cucu dan menahan gelombang basa-basi keluarga.

Lalu… Suara. Bukan suara biasa. Bukan dari luar. Bukan dari dalam telinga. Tapi seperti bisikan yang menerobos batas dunia nyata.

"Kakek…" Suara itu lirih, namun menghunjam. Tangis ditahan, seperti suara bocah kecil yang tak tahu harus berlari ke mana.

"Tolong…"

Pak Damar terbangun dengan napas tersendat. Dadanya naik turun tidak beraturan. Keringat dingin membasahi pelipis dan punggung kemejanya. Tangannya meraba-raba meja, mencari pegangan untuk menstabilkan tubuh yang gemetar.

Ia menoleh ke sekitar ruangan. Meja kayu, lukisan bunga ume, kursi kosong—semuanya diam dalam bayang-bayang lampu yang bergoyang lembut. Tapi jantungnya berdetak seperti genderang perang.

Suara tadi... terlalu nyata untuk mimpi.

"Arsya…?" Nama itu meluncur dari bibirnya tanpa izin, seperti mantra lama yang baru saja terbuka dari peti terkunci. Pak Damar bangkit pelan, kaki-kakinya masih goyah. Ia berjalan ke jendela, menggenggam kusen kayu dengan erat.

Lentera-lentera taman bergoyang lembut di antara pohon pinus. Tidak ada siapa-siapa. Tapi perasaan itu—perasaan bahwa seseorang sedang memanggilnya dari tempat yang sangat jauh—menggigit dadanya seperti luka lama yang terbuka kembali.

Dari mana suara itu berasal, apakah anak itu benar-benar masih hidup di suatu tempat, seperti keyakinanku selama ini?

"Arsya…" panggilnya lagi, suaranya parau, dipenuhi kerinduan yang sudah terlalu lama ia pendam. Tangannya menyentuh kaca jendela yang dingin, seolah mencoba meraih sesuatu yang tak terlihat.

"Papa masih memanggilnya?"

Suara sinis Nadhira memotong malam. Pak Damar berbalik, mendapati putrinya berdiri di ambang pintu dengan mata yang menyala marah. Nama Arsya selalu seperti pisau bagi Nadhira—luka yang tak pernah sembuh dalam keluarga yang ia impikan sempurna.

"Papa lupa kenapa anak itu berumur singkat?" Nadhira melangkah masuk, lengannya terlipat di dada. "Mereka korban karma yang Papa lakukan sendiri."

"Nadhira..." Pak Damar membalikkan tubuh sepenuhnya, tapi suaranya terdengar lelah. Perang yang sama, setiap kali nama Arsya disebut.

"Aku sudah mencoba bersabar dan memaafkan Papa karena Mama yang minta." Nada Nadhira semakin tajam. "Tolong jangan buat anakku sakit hati karena Kakeknya lebih peduli sama cucunya yang sudah lama mati daripada dirinya yang setiap hari berusaha memohon dicintai dengan tulus."

Pak Damar membuka mulut untuk membela diri, tapi Nadhira sudah mengangkat tangan.

"Besok ulang tahun Calita. Jangan buat dia menangis karena Kakeknya sibuk dengan hantu masa lalu."

"Nadhira, tunggu—"

Tapi putrinya sudah berbalik dan pergi, meninggalkan Pak Damar sendiri dengan gema langkah kaki yang menjauh dan keheningan yang menusuk.

***

Dengan perasaan dongkol, Nadhira memutuskan kembali ke kamar. Dia duduk di tepi tempat tidur, buku yang sudah terbuka sejak tadi tetap di halaman yang sama. Matanya menatap kosong ke arah jendela, masih terbayang-bayang argumen dengan ayahnya.

Kenapa aku selalu kehilangan kendali kalau membahas keluarga itu?

Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. Besok adalah hari penting untuk Calita. Ia tidak boleh membiarkan drama keluarga merusak momen bahagia putrinya.

Dering ponsel memecah keheningan.

Nadhira menoleh ke meja nakas. Ponsel suaminya bergetar. Hanya nomor tanpa nama, harusnya tidak penting, tapi membuat Nadira mengerutkan kening. Kenapa ada nomor tak dikenal menelepon tengah malam?

Panggilan itu berakhir tanpa dijawab, tapi segera disusul notifikasi pesan masuk. Nadhira meraih ponsel dengan hati-hati. Ada beberapa pesan mengambang di jendela. Salah satunya dari Pak Nohan

Pak Nohan - kemarin. "Pak Aswan, ini video terakhir seperti yang diminta. Semoga Bapak tenang sekarang."

Di bawah pesan itu, thumbnail video menampilkan gambar buram seorang anak kecil.

Jari Nadhira menegang di atas layar. Video terakhir? Apa maksudnya?

Dengan perasaan tidak enak, ia menekan play.

Video berdurasi pendek itu menampilkan seorang anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun, terlihat tidak bergerak saat Pak Nohan membalikan tubuhnya dengan bantuan kaki, banyak luka di tubuh anak itu, tapi yang membuat Nadhira terkejut adalah wajah anak itu—wajah yang begitu familiar, seolah ia pernah melihatnya berkali-kali.

Suara Pak Nohan terdengar dari belakang kamera: "Sudah selesai, Pak. Dia tidak akan berbicara lagi."

Ponsel terlepas dari genggaman Nadhira dan jatuh ke lantai.

"Tidak... tidak mungkin..." Tubuhnya gemetar. Suamiku... terlibat pembunuhan anak, lagi? untuk siapa?

Ia meraih ponsel dengan tangan yang bergetar, memutar ulang video itu. Namun sebelum benar-benar sampai meneliti lebih jauh fitur wajahnya, rasa mual yang tak tertahan datang. membuat Nadhira terpaksa menghentikan pemutaran video. Mungkin karena lonjakan emosi, atau karena yang ditampilkan dalam video itu.

Nadhira segera mengembalikan ponsel suaminya ke tempat semula. Dia mengambil buku yang sebelumnya dia tinggalkan. Saat ini dia harus mengalihkan pikiran. Dia tidak boleh terganggu dengan hal sepele seperti video dan—

“Arsya… kenapa aku tiba-tiba teringat nama itu? aku memang belum pernah bertemu dengannya, tapi jika dia masih hidup, mungkinkah dia seusia Calita? dan anak dalam video itu…” Nadhira menggelengkan kepala, menepis kemungkinan yang dia ciptakan dalam pikirannya. “Nadhira… anak itu sudah mati bersama orang tuanya. Benar, mereka sudah mati…”

Kesunyian rumah singgah itu tiba-tiba terasa menyesakkan, dipenuhi bayangan masa lalu yang dia paksakan untuk tetap mati. Angin dingin menyelinap melalui jendela yang tak tertutup rapat, menerbangkan halaman kosong buku di pangkuannya. Dia tak peduli. Pikirannya seperti kabut tebal yang terasa dingin dan asing, mengurungnya dalam ruangannya sendiri.

***

Sementara itu, di ruangan lain. Kabut yang menutupi kesadaran seorang bocah mulai tersibak. Arsya merasakan sensasi yang berbeda: bukan dingin yang mengurung, tapi kehangatan samar menyentuh kulitnya. Sinar? Perlahan-lahan, kesadarannya merangkak naik dari dasar gelap.

Tak ada riuh anak-anak di ruangan itu, hanya tawa samar menyelinap dari koridor dan detak jam dinding yang menggema lantang, memecah kesunyian. Langit-langit dengan bercak coklat kehitaman dimana-mana. Bahkan ada lubang di salah satu plafon. 

Jendela kamar itu terbuka, membiarkan seberkas matahari sore menyelinap masuk, menyapu lembut tempat tidur sempit berseprai tipis yang warnanya pudar. Rasa hangat yang dirasakan Arsya berasal dari sana. Matanya terbuka perlahan, bukan karena mimpi, tapi karena tenggorokannya kering dan... suara napas seseorang yang begitu dekat.

Seorang perempuan muda berkerudung duduk terpaku di bangku kayu usang, tak jauh dari ranjang. Bayangan kelelahan mengukir garis halus di bawah matanya, namun dari balik itu, pancaran matanya hangat dan lembut. Senyum tipis mengerling di bibirnya saat ia menyadari tatapan bingung anak itu telah menatapnya. "Adek sudah bangun? Syukur deh," suaranya mengalun lembut, menyapa Arsya yang baru saja bangun. "Dadanya masih terasa sesak?"

Arsya melirik sekeliling dengan tatapan kabur. Ini jelas bukan kamar rumah sakit yang bersih dan steril. Kasurnya keras seperti papan, temboknya menghitam oleh jelaga waktu, dan dan ada bau aneh—campuran pembersih lantai yang menyengat dan aroma masakan berminyak yang menguar dari jauh. "Aku... di mana?" suaranya serak, khas bangun tidur.

"Di Panti Asuhan Harapan Bangsa. Kamu bisa panggil Kakak, Kania," ujar perempuan itu, sambil meraih tangan Arsya dengan gerakan penuh keyakinan. Ia membantu Arsya untuk duduk. "Adek pasti haus, ya? Minum dulu." Gelas plastik berisi air putih itu terasa dingin di tangan Arsya yang gemetar. Tenggorokan Arsya memang terasa kering sekali. Ia minum sampai tandas.

"Sekarang makan ya. Dua hari tidak makan apa-apa, pasti lapar," Kania mengambil mangkuk bubur ayam hangat dari meja kecil berkaki goyah. "Pelan-pelan saja, sayang." Aroma ayam dan jahe hangat menyergap hidung.

Perut Arsya memang keroncongan, tapi ia merasa aneh untuk makan di tempat yang belum dikenalnya. Ia mengambil sendok, mengaduknya perlahan, lalu mencicipi. Lumayan, batin Arsya. Meski lidahnya masih terasa pahit.

 "Adek kabur dari rumah, ya?" Kania bertanya lembut.

Arsya terdiam. Bagaimana ia harus menjelaskan? Kata-kata tercekat di tenggorokan.

"Waktu pertama kali ketemu Adek di depan panti, kasihan sekali," Kania melanjutkan, tatapannya menyendu. "Pakai baju kebesaran, cuma berbantal jaket, berselimut jaket usang. Seperti sudah lama tidak pulang." Tangannya terulur, mengusap lembut puncak kepala Arsya. "Adek kabur, kan?"

Arsya menepis tangan Kania,  "Enggak!" protesnya. "Aku dibawa orang jahat!"

Kania terhenyak sejenak, matanya membelalak. Diculik? Pikirannya melesat, menyelinap di benak Arsya, seolah itu suaranya sendiri.

"Aku harus pulang," Arsya melanjutkan, mencoba menelan gumpalan panik yang naik. "Dokter Nata pasti sudah kebingungan mencariku."

Kening Kania berkerut. "Dokter Nata? Yang mencari Adek dokter? Bukannya... keluarga?"

Mendengar pertanyaan Kania, rasanya dada Arsya sesak. Keluarga? Bisakah ia menyebut Dokter Nata sebagai keluarganya? Dokter Nata memang bilang ingin mengadopsinya, tapi prosesnya masih lama. Apakah pantas? Keraguan membelitnya, membekukan lidahnya. "Yang mencari aku Dokter Nata," ulangnya, suaranya mulai bercampur dengan keraguan yang menyelimuti hatinya.

"Dokter Nata itu siapa? Ayah Adek?"

Arsya menunduk dalam, menyembunyikan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca. Ayah... Betapa ia rindu mengucapkan 'iya'. Tapi… Keraguan itu mencakar lagi.

"Adek? Dokter Nata itu, ayah Adek?" desak Kania, nada sabarnya tak berubah, menunggu dengan hati-hati.

Arsya akhirnya mengangguk, masih belum berani menatap Kania, karena air matanya tidak bisa lagi dia tahan. Namun, tidak lama senyuman terukir di wajahnya. "Iya.” Kata itu keluar seperti desahan lega yang tertahan.

Kania tersenyum, bayangan kecemasan di matanya sedikit memudar. "Kalau begitu, mudah dong. Bagaimana kalau kita hubungi ayah Adek? Minta dia menjemput. Adek tahu nomor telepon yang bisa dihubungi?"

"Tahu!" seru Arsya, semangatnya tiba-tiba menyala. "Aku hafal nomor Kak Rajendra! Dia seperti kakak yang selalu jaga aku."

Kania segera mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Coba deh, nomornya berapa?" Harapan itu terpancar jelas di wajahnya.

Arsya menerima ponsel itu. Ponsel Kania berbeda dengan milik Rajendra. Dia terlihat bingung menggunakannya.

“Ah, kamu bingung, ya? sini Kakak buatkan nama kontak dulu.”

Arsya menyerahkan kembali ponsel kania, setelah dia membuka log informasi kontak yang siap diisi nomor, ponsel itu dikembalikan kepada Arsya. “Kamu tulis nomornya di situ, cukup tekan nomornya saja, nanti Kakak yang simpan.” jelasnya.

Arsya tersenyum, dengan sopan dia menerima ponsel Kania. Jari-jarinya siap menari di atas tombol, namun...

Kosong.

Otaknya mendadak hampa.

Arsya memejamkan mata erat-erat, mencoba menyelam ke dasar memorinya. Namun, yang muncul justru bayangan tangan kasar yang menyergapnya dari ranjang, suara parau penuh ancaman yang menderu, dan telapak tangan besar yang membekap mulutnya hingga dunia gelap dan napasnya tercekat. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

Ia mencoba lagi, menggigit bibir bawah, memaksa pikiran yang kacau itu fokus. Beberapa angka mulai tampak samar seperti bayangan, tapi bayangan penculik itu kembali menyerbu, lebih hidup, lebih menakutkan. Bahkan, detik-detik ngeri saat ia ditemukan bersembunyi di bawah kasur, rasa sesak dan ketakutan yang mematikan, seolah ia terjebak di sana lagi.

"Enggak... enggak bisa..." bisik Arsya, tangannya gemetar hebat. Ponsel Kania terlepas, jatuh ke kasur. Napasnya memburu, detak jantungnya menggila di dada.

"Adek kenapa?"

"Kenapa… KENAPA AKU ENGGAK BISA INGAT?!" Arsya menjerit, frustrasi dan ketakutan meledak menjadi tangisan. Air mata mengalir deras membasahi pipinya yang pucat. "Seharusnya aku hafal! Kenapa enggak bisa?!" keluhnya

Apa aku amnesia lagi? Bisik hatinya yang kalut. Ia tahu kata itu. Dari Rajendra, dulu, setelah kecelakaan. Amnesia, artinya hilang ingatan. Tidak ingat apapun karena kepalanya terluka. Tapi kepalanya utuh, tak ada luka baru yang berdenyut. Lalu, bagaimana bisa dikepalanya seolah tercipta lubang hitam yang menyedot hanya bagian nomor itu?

Jangan-jangan... obat? Pikiran liar itu menyergap. Orang jahat itu memberiku sesuatu... supaya aku lupa? Tapi ia ingat namanya, Dokter Nata, Rajendra, malam horor itu... Arsya mendadak ragu. Apakah ingatannya tentang kejadian itu benar-benar utuh, atau hanya potongan-potongan mengerikan acak yang tersisa di ingatannya? suatu saat ingatan itu bisa hilang lagi? Arsya menggeleng, mengusir keraguan. Yang penting dia ingat banyak hal. Hanya deretan angka penyelamat Kak Rajendra itu yang terkunci mati di benaknya.

Sekali lagi, ia memaksa otak yang lelah itu bekerja, mencoba mengais ingatan tentang nomor di poster pencarian. Seharusnya... tapi hasilnya sama: kegelapan pekat. Arsya mulai kalut, tangannya memukul kepala berkali-kali.

Melihat tubuh kecil itu menggigil dan napasnya makin tersengal, Kania bertindak. Menahan tangannya agar tidak lagi memukul. "Sudah, tidak apa-apa kalau belum ingat. Jangan dipaksain, Dek. Nanti malah pusing," suaranya berusaha tenang, meski matanya mengawasi Arsya dengan cemas.

Ia menawarkan pilihan lain. "Bagaimana kalau nama rumah sakit tempat ayah Adek kerja? Kan ayah Adek dokter di sana pasti terkenal."

Nama rumah sakit. Seharusnya kata itu mudah terucap. Tapi lagi-lagi, kosong. Sebuah kecurigaan yang lebih dingin merayap di tulang punggungnya. Bagaimana kalau... obat itu juga membuat Kak Rajendra lupa? Waktu itu dia juga dia pingsan karena orang jahat. Otak Arsya mulai berputar liar, menyambung-nyambungkan kepingan puzzle yang tidak ada. Bagaimana kalau Dokter Nata juga? Kalau benar, berarti aku harus semakin lama tinggal di sini.

Rasa dingin menusuk tiba-tiba menjalar di sekujur tubuh Arsya. Ketakutan yang dalam dan menusuk merayapi dirinya. Dunia terasa menyempit, mencekik. Sendiri. Terlupakan. Terbuang. Perasaan itu mengurungnya seperti dalam sangkar sempit, meremukkan harapan kecil yang baru saja muncul.

Napasnya kian memburu, pendek-pendek. Dadanya sesak, dunia mulai berkunang-kunang. Melihat tanda bahaya itu, tanpa pikir panjang, Kania menarik tubuh kecil yang bergetar itu ke dalam pelukannya. Arsya tersentak kaget. Sentuhan? Pelukan? Hal asing yang membuat otot-ototnya kaku membatu. Ia tidak terbiasa.

Namun, pikiran Kania yang panik melesat masuk, terdengar jelas dan nyaring di tengah kekacauan benaknya. Kasihan sekali... Aku juga takut... takut sekali melihatnya begini. Kemarin sampai pingsan sesak, bagaimana kalau sekarang dia tidak bangun-bangun? Kami tak punya uang untuk rumah sakit... Panti ini nyaris bangkrut...

Anehnya, ketakutan yang terpancar kuat dari Kania itu justru membuat Arsya tak kuasa menolak pelukan itu, meski tubuhnya tetap kaku bagai patung. Arsya membiarkan Kania memeluknya.

Pikirannya melayang jauh. Dan Kania... Melalui gelombang pikiran yang kacau itu, Arsya justru merasa... kasihan. Karena Kak Kania juga terlihat ketakutan setengah mati.

***

Lain halnya dengan Arsya yang ketakutan, Dokter Nata justru gelisah setengah mati. Berkali-kali dia mengecek ponselnya, menunggu pesan berisi hasil penyelamatan dari kepolisian. Namun hingga hari ketiga menghilangnya Arsya, kabar itu belum muncul. 

Semua berubah sejak Arsya menghilang. Dokter Nata dipindah tugaskan ke UGD, terpisah oleh Alin dan Rajendra. Keberadaan Arsya juga seolah disapu bersih dari rumah sakit. Seolah sejak awal anak itu memang tidak ada. 

Dokter Nata masih mengingat hari itu. 

Pagi setelah menghilangnya Arsya. Rumah sakit banyak kedatangan wartawan lokal. Berita kebakaran di salah satu fasilitas rumah sakit hangat diperbincangkan. Namun yang membuat hati dokter Nata berdenyut sakit adalah konfirmasi pihak rumah sakit. 

“Tidak ada korban jiwa dalam kejadian semalam. Semua staf, karyawan dan pasien dalam keadaan baik-baik saja. Kami juga segera memadamkan area yang terbakar agar tidak menimbulkan kecemasan, terutama bagi para pasien”

Tidak ada korban? semua selamat? mereka tidak memberitakan Arsya, dia hilang malam itu. Dari banyaknya bukti, sudah jelas dia diculik. Tidak menunggu jeda yang lama, dokter Nata dipanggil dewan direksi di ruangannya. Sumpah serapah keluar dari ketua dewan, menyalahkannya. Andai dari awal dia mengikuti protokol yang ada. Andai dari awal dia tidak melibatkan perasaan dalam mengurus pasien. Semua kesalahan dilimpahkan kepada Dokter Nata, bukan keamanan rumah sakit, bukan bagian kepegawaian yang ceroboh, namun Dokter Nata. Dia yang salah. Keputusan mutlak kemudian dibuat. Dia dipindahkan ke bagian UGD, Rajendra dipindahkan di bagian syaraf, dan Alin di bagian penerimaan informasi. Proses pencarian Arsya dilimpahkan ke kepolisian. Mereka dilarang terlibat. Tidak ada protes, jika melanggar, maka lisensi Dokter Nata dicabut. Rajendra dan Alin akan dipecat. 

Jika hanya Dokter Nata yang dipertaruhkan sepertinya tidak akan seberat ini. Tapi dia bisa membuat Alin dan Rajendra juga terseret. Pundaknya terasa berat akhir-akhir ini, bukan hanya pekerjaannya yang semakin berat karena ditugaskan di UGD, tapi beban emosional yang dia tanggung juga bukan main beratnya.

Dokter Nata mengeluarkan jurnal Arsya dari laci, benda itu dia bawa kemana-mana layaknya barang berharga. Dia berulang kali membaca coretan terakhir Arsya. 

“Nggak sabar panggil dokter Nata, Ayah.”

“Dokter Nata nggak akan marah, kan? Kemarin dia bilang mau jadi ayahku. Aku punya Ayah. Yey”

Senyum dokter Nata terlihat sekilas, sebelum lenyap dengan fakta, dia mungkin tidak akan sempat mendengarnya jika pergerakannya lambat seperti ini. Dia segera meletakan jurnal Arsya. Mengambil ponsel dan mengetikan pesan pada Rajendra. 

Sejak pemindahan tugas, dia kira Rajendra dan Alin memutuskan lepas tangan. Namun mereka masih bertekad ikut campur walau tidak bisa bergerak banyak. Maka, dokter Nata membagi tugas, dia mengurus bagian kepolisian, Alin mengurus pencarian anak hilang dan panti asuhan, sementara Rajendra fokus menghubungi keluarga Arsya.

“Pram, bagaimana dengan keluarga Arsya? Sudah bisa dihubungi?”

Sambil mengetik, entah kenapa bagian keluarga Arsya mengusik Dokter Nata, ada perasaan tidak rela. Jika mereka sungguh merespon, berarti dia kehilangan kesempatan dipanggil Ayah oleh Arsya selamanya. Namun jika dipikir lebih dalam, saat ini Dokter Nata membutuhkan lebih banyak tangan yang bergerak untuk pencarian Arsya. Maka dia harus mengesampingkan egonya. 

Biasanya Rajendra akan langsung membalas, walau hanya pesan singkat. Jika tidak berarti dia sedang kewalahan dengan tugas barunya. Cukup lama dokter Nata menunggu, hingga akhirnya dia meninggalkan ponsel, karena ada panggilan. Dokter Nata tidak sempat membuka pesan yang dikirim Rajendra

“Mereka akhirnya membaca pesanku, walau belum menghubungi lebih lanjut, tapi aku cukup percaya diri mereka akan menghubungiku”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Senja di Balik Jendela Berembun
29      28     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Wilted Flower
386      292     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
YANG PERNAH HILANG
2001      801     24     
Romance
Naru. Panggilan seorang pangeran yang hidup di jaman modern dengan kehidupannya bak kerajaan yang penuh dengan dilema orang-orang kayak. Bosan dengan hidupnya yang monoton, tentu saja dia ingin ada petualangan. Dia pun diam-diam bersekolah di sekolah untuk orang-orang biasa. Disana dia membentuk geng yang langsung terkenal. Disaat itulah cerita menjadi menarik baginya karena bertemu dengan cewek ...
Glitch Mind
52      49     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
2800      1536     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
40 Hari Terakhir
1178      745     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
3194      1115     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
BestfriEND
51      45     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
GEANDRA
486      386     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Da Capo al Fine
369      302     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir