“Apakah pantas, setapak mendekat, segenap yang diraih raib seketika? Sebuah tawar-menawar yang menggelikan, bukan?”
__Arsya Abiseka Gantari
_______________________________________________________________________________________________
Kantor darurat Nohan di lantai tiga gedung usang sebelah rumah sakit dipenuhi aroma apek kertas lapuk dan kopi basi yang mengendap di sudut-sudut. Cahaya senja menyemburat lewat jendela berkabut, melukis garis-garis emas di atas tumpukan berkas yang berserakan. Sementara, orang kepercayaannya, Andi berdiri tegak di depan meja kayu yang permukaannya penuh coretan, dengan kedua tangannya mengepal di belakang punggung. Ia menatap Nohan yang duduk membelakangi jendela, siluet tubuhnya terpotong garis cahaya yang semakin redup.
“Laporan tentang Arsya, Pak,” ujar Andi melepas kacamata hitam, suaranya datar namun matanya menyipit menahan silau. “Arsya mulai bisa berjalan hari ini, kondisinya semakin membaik.”
Nohan tak langsung menanggapi. Jari-jarinya yang berurat mengetuk permukaan meja berirama tak menentu. Andi mencuri perhatian pada keringat yang merayap di pelipis bosnya itu—sesuatu yang tak pernah ia saksikan dalam delapan tahun bekerja di bawah komandonya.
“Para perawat… mereka terlalu baik,” sambung Andi, sengaja menekankan kata terakhir. “Mereka memperlakukan Arsya seperti keluarga. Sepertinya Arsya juga semakin terbiasa dengan mereka”
Kursi kayu berderit keras saat Nohan tiba-tiba berdiri. Laporan di tangannya berkerut oleh genggaman gemetar. “Tidak ada yang mencurigakan? Kabar tentang keluarga asli Arsya, apakah mereka memilikinya?” suaranya melengking, pecah di tengah kalimat.
Andi mengernyit. Langkahnya mundur setengah meter, refleks tangan kanan meraba pistol di balik jaket. “Sejak dua minggu lalu, tak ada keluarga yang datang. Bukankah ketakutanmu tidak berdasar, Pak. Dia hanya seorang anak—”
“Cuma anak?!” Nohan memotong, tawa pahitnya menggema di ruang sempit. Telapak tangan kanannya menampar meja hingga gelas tumpah mengotori berkas.
Andi diam. Angin sore menyelinap lewat jendela retak, membawa serta bau asap rokok dari jalanan bawah. Di kejauhan, sirene ambulans meraung-raung.
Nohan memandang ke arah jendela pandangannya menerawang jauh, seolah sedang memikirkan kejadian di masa lalu. Kemudian, setelah hening sejenak, dia mulai bercerita. di “Tiga tahun lalu,” Nohan mulai dengan suara serak, jemarinya mencengkram tepi meja sampai buku-buku putih mencuat. “Pak Aswan memerintahkanku melakukan sesuatu. Aku tak pernah menyangka, hal yang aku lakukan akan membahayakan orang lain. Ketika aku tiba, hanya Arsya yang selamat. Dia terlindung oleh dekap ibunya yang sekarat. Itulah awal dari semua kesalahan yang kini berbalik menyerangku”
Bayangan itu muncul lagi di benak Nohan—mobil yang terbalik, kepulan asap hitam, dan seorang ibu yang mendekap erat anaknya, mencoba melindunginya hingga napas terakhir. Dia Arsya kecil yang saat itu berusia lima tahun—Ia mengurut pelipis, mencoba mengusir gambaran yang telah menghantuinya tiap malam.
“Pak Aswan terobsesi oleh Bu Nadhira,” lanjutnya, suara semakin pelan. “Dia sanggup menghilangkan siapapun yang membuat istrinya bersedih. Keluarga Arsya adalah salah satu pemicu—dia memilih untuk memberantas akar permasalahan itu. Saat tiba waktunya eksekusi, aku yang dikirim. Tapi… aku tidak bisa mengakhirinya saat itu.”
“Pak Aswan…” Suaranya terputus, jemari menggaruk-garuk bekas luka di lengan. “Demi Bu Nadhira, dia rela jadi algojo.”
Napasnya terdengar berat, seolah apa yang akan dia jelaskan merupakan beban yang begitu mengganjal. “Kau tahu? Keluarga itu cuma... pion yang dia gunakan untuk mengancam orang lain.” lanjutnya. Matanya menyipit, dengan nada rendah dia kemudian kembali membuka suara. “Setelah mereka tiada, kulihat sendiri... seseorang mulai goyah. Persis seperti rencana Pak Aswan.”
“Kemudian tentang keluarga itu, Arsya—” Nohan menjeda penjelasan. Tangannya terkepal di sisi meja. “Saat eksekusi... kudapat perintah langsung. Tapi—”
Matanya menatap kosong ke dinding, seolah melihat bayangan masa lalu. “Anak itu tidur sangat tenang. Seolah dia tidak mengalami apapun hari itu Hanya... tersenyum, ajaibnya seolah senyum itu menuntunku untuk menyelamatkannya.”
Kepalan tangannya melonggar, digantikan dengan getaran kecil yang terlihat oleh Andi. “Aku saat itu memang bersedia melakukan apapun untuk hidup. Tapi aku bukan tukang jagal anak-anak.”
“Jadi anak itu...” Andi menggantungkan kalimatnya.
Nohan mengangguk lesu. Tangannya meraih foto dari laci besi berkarat. Gambar itu sudah pudar, foto yang menampakan seorang anak dengan perkiraan usia lima tahun dalam pangkuan seseorang. Nohan menyodorkan foto tersebut pada Andi. Gambar yang bahkan Aswan tidak pernah lihat, karena Nohan mengambilnya dari tempat kejadian.
“Yang aku takutkan bukan Arsya, tapi orang yang sampai sekarang belum menyerah mencarinya.” jelas Nohan.
Detak jam dinding kayu di sudut ruangan tiba-tiba terasa menggelegar. Andi menatap jendela—bayangan dahan pohon bergoyang liar seperti tangan-tangan hantu yang mencakar kaca.
Andi tahu, siapa yang dimaksud oleh Nohan. Dalam foto itu ada Damar, yang tidak lain adalah mertua dari Aswan. Ada banyak hal yang membuatnya bingung. Namun yang paling membuat andi penasaran adalah keputusan Nohan untuk menyelamatkan Arsya.
“Lalu kenapa pertahankan Arsya?” desisnya, suara rendah penuh tanya.
Foto terjatuh dari genggaman Nohan. Pandangannya kosong, seolah tenggelam dalam ingatan yang tak kunjung usai. “Dia… masih kecil, dia bahkan belum memahami mengapa keluarganya harus ditumbalkan,” gumamnya, suara pecah menjadi rintihan.
“Tapi sekarang dia menjadi sumber ketakutanmu, Pak?”
“Benar,” suara Nohan meredam dalam keraguan. “Jika salah satu, baik Pak Aswan atau orang itu tahu Arsya masih hidup…” Kalimatnya terpotong oleh suara muazin yang semakin keras.
Andi mengerenyit. Ada yang mengganjal dari intonasi Nohan di ujung kalimat tadi. Namun sebelum sempat menyoal lebih jauh, dering ponsel di sakunya memecah kesunyian.
“Maaf, Pak. Untuk laporan Arsya, saya akhiri di sini,” sergah Andi sembari berdiri. Kelegaan menyelinap saat Nohan hanya mengangguk pasif - tanpa mengejar alasan, tanpa menyadari topeng kepatuhan yang selama ini dikenakan Andi. Bahwa bukan hanya kepada Nohan dia bekerja, melainkan ada satu orang lagi yang harus dia selalu patuhi.
Sementara itu, dari jendela kusam kantor darurat lantai tiga, siluet rumah sakit sebelah terlihat samar tertutup kabut senja, kamar Arsya bersinar seperti titik merah di antara lautan jendela gelap.
Titik merah itu ternyata berasal dari lampu baca di ruang rawatnya. Di balik kaca yang berembun, Arsya duduk sendiri di ranjangnya, matanya terfokus pada komik yang sedang dia pegang erat-erat. Panel-panel penuh warna memuat adegan petualangan seru, membuat mata Arsya terpaku dan bibirnya sesekali tersenyum tipis.
Dalam komik itu, sang tokoh utama tampak berani dan tangguh, sesuatu yang membuat Arsya merasa terhibur di tengah kesunyian rumah sakit. Membayangkan jika dirinya memiliki keberanian seperti sang tokoh utama dalam seri novel yang dia baca. Jika keberaniannya seperti tokoh itu, dia akan keluar dari rumah sakit, mengumpulkan petunjuk untuk mencari Kakeknya, seperti tugas dari sosok wanita yang mendeklarasikan dirinya sebagai sosok ‘Bunda’ untuk Arsya
Kak Rajendra masih sibuk meronda di bangsal timur, sementara Kak Alin telah pulang sejak maghrib tiba. Ruang rawat Arsya sunyi, hanya diterangi lampu baca redup yang memantulkan bayangan komik di dinding.
Tanpa disadari, Dokter Nata telah berdiri di ambang pintu selama dua menit. Matanya menyipit melihat Arsya yang menyunggingkan senyum siap menyelesaikan panel komik terakhir. “Arsya,” sapanya sambil mendekat, jari mengetuk-ngetuk sampul buku obat di tangannya. “Apa yang kamu baca? kelihatannya ceritanya menyenangkan”
Arsya terkejut, komik itu nyaris terjatuh. “D-Dokter Nata? Sejak kapan di sini?" ucapnya tergagap, dia tidak merasakan apapun saat Dokter Nata mendekat, padahal sebelumnya dia sangat waspada.
“Sejak tadi mengintip dari pintu,” jawabnya sambil tersenyum getir, kursi di sebelah didorongnya perlahan mendekati ranjang, kemudian dia mengatur duduknya agar nyaman. “Komik pinjaman Kak Jendra?”
Arsya mengangguk cepat, jari mungilnya menunjuk karakter superhero di halaman. “Ini Punya Adik Kak Jendra! Katanya aku boleh pinjam, biar nggak bosan.”
Dokter Nata menyandarkan badan ke kursi, kacamatanya melorot ke ujung hidung. “Tapi kenapa…” tangannya membuat gerakan mendekatkan buku ke wajah Arsya, “...kamu membacanya seperti ini?”
“Kalau dijauhkan,” Arsya menyipitkan mata, “wajah pahlawannya jadi mirip... mirip hantu kabur!”
Stetoskop di leher Dokter Nata berayun pelan. “Besok kita cek mata, ya? Biar gambarnya nggak berhantu lagi.”
“Kenapa? Apa mata aku bermasalah?” nada suara Arsya mendadak mengecil, ujung buku komik diremas-remas tanpa sadar.
Telapak tangan hangat Dokter Nata menepuk bahunya. “Nggak apa-apa, Nak. Hanya untuk memastikan saja,” jawab dokter Nata, mencoba menenangkan.
Sejenak, keheningan mengisi ruangan. Hanya terdengar desis AC yang berderai-derai. Tanpa disengaja, Dokter Nata menyelami wajah Arsya lebih dalam dari biasa. Tiba-tiba, ingatannya melayang pada percakapan yang sempat ia dengar—Arsya tahu tentang rencana pemindahannya ke panti asuhan. Padahal tak satu pun mulut yang secara gamblang mengabarkan itu.
“Arsya,” suaranya pelan, seperti mencoba menenangkan diri sendiri sebelum bertanya, “soal kabar panti asuhan itu… dari mana kamu tahu?”
Arsya menunduk, komik yang semula dia pegang sudah berpindah ke samping bantal, sementara dirinya menghadap Dokter Nata yang duduk di samping ranjangnya. Jari-jarinya gemetar memilin ujung baju piama rumah sakit yang dia kenakan. Di benaknya, ia berpikir bahwa inilah saatnya untuk jujur. Beberapa informasi yang sempat ingin ia sampaikan kemarin terpaksa ditahan karena keadaan tak memungkinkan.
“Dari dokter…” suaranya hampir tak terdengar.
“Dari dokter?” Dokter Nata mengerutkan kening, tangannya reflex meraih stetoskop di leher, memindahkannya ke nakas. “Kapan dokter pernah bilang begitu?”
Arsya terdiam, matanya menatap lantai seolah mencari kata-kata yang tepat. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berbicara dengan suara lirih. “Dokter nggak bilang langsung… tapi Arsya dengar… apa yang dokter pikirkan.”
“Dengar pikiran?” Dokter Nata tersentak, kursi yang dia duduki tergeser tanpa sengaja.
Arsya mengangguk perlahan, matanya dipenuhi keraguan, antara melanjutkan atau menghentikan penjelasan, karena Arsya tau Dokter Nata pasti sulit mempercayainya langsung. “Iya, sejak kecelakaan itu… kadang-kadang aku bisa dengar hal-hal aneh. Pikiran orang-orang di sekitarku. Tapi nggak selalu… cuma kadang-kadang.” jelasnya setelah beberapa saat.
Dokter Nata terdiam, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kecil di samping ranjang. Tiba-tiba, ia tersenyum, meski matanya masih menyimpan kejutan. “Kalau begitu… coba tebak, apa yang dokter pikirkan sekarang?”
Arsya menggigit bibir bawah sampai keputihan. Kelopak mata bergetar menahan semburat perih sementara jemarinya manarik-narik helai benang piyama yang longgar. “Dokter…” suaranya menyiratkan ketakutan, namun dia paksakan untuk tetap melanjutkan. “sekarang... dokter sedang mengira Arsya mengarang cerita, kan?”
Dia menundukan wajah dalam-dalam. Sesak di dadanya semakin menjadi ketika menangkap ketekerjutan di sudut mata sang dokter. ‘Dokter juga menyimpan rahasia lain,’ bisiknya dalam hati, ‘Padahal aku suka kalau Dokter itu jadi Ayahku, tapi kenapa…’
Dokter Nata tertegun, raut wajahnya mengeras. Benar - baru saja ia menyangsikan cerita Arsya sebagai khayalan hiperbolis. Tapi bagaimana mungkin?
Sebuah realisasi menyambar. Sebuah warna merah samar menjalari lehernya, merayap naik hingga telinganya terasa panas. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menghalau gambaran benaknya yang kini terasa telanjang dan vulgar di hadapan bocah itu.
Jika bocah ini benar-benar bisa menyelami pikirannya, bukankah semua gejolak batin selama ini - keinginan mengadopsi yang terus diganyang keraguan, obsesi karir yang menggerogoti nurani, bahkan rasa bersalah karena diam-diam mempertimbangkan panti asuhan - telah terpampang jelas bagai diorama? Bukankah hal itu menyakitkan untuk Arsya?
Ia menelan ludah dengan susah payah. Lidahnya terasa kelu. Ada sesuatu yang berdenyut nyeri di ulu hatinya, bukan rasa sakit fisik, melainkan tusukan halus penyesalan yang baru ia sadari keberadaannya. Ia membayangkan tatapan polos Arsya yang mungkin saja menangkap semua kekacauan di benaknya, semua kontradiksi yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat.
Dokter Nata membuka mulutnya, kerongkongannya terasa kering. Ia berusaha mencari kata-kata yang tepat, sebuah jembatan untuk menyeberangi jurang rasa bersalah yang tiba-tiba menganga di antara ia dan Arsya. Matanya kembali menatap bocah itu, kali ini dengan sorot yang berbeda—lebih lembut, lebih hati-hati, dan sarat akan pengakuan yang tak terucap.
“Jadi, Arsya—”
Dokter Nata saat ini dipenuhi penyesalan dalam pikirannya, Arsya mendengar semua kalimat maaf sebelum dia benar-benar mengucapkannya. Namun, entah kenapa Arsya benar-benar menantikan pengakuan itu. Sayangnya belum sempat mendengar penjelasan Dokter Nata, suara langkah kaki terdengar.
Braak!
Pintu kamar melesak ke dinding hingga lemari di sebelahnya bergemeretak. Kak Jendra masuk dengan nafas terengah, wajahnya bersinar seperti anak kecil yang menemukan harta karun. “Dokter! Arsya! Lihat ini!” tangannya menggenggam ponsel seperti benda pusaka.
Di layar, sebuah pengumuman lama bertanggal tiga tahun silam:
‘Pencarian Anak Hilang:
Arsya Abiseka Gantari (5 tahun).’
Foto bocah dalam dekapan seseorang yang terpotong sebagaian wajahnya, tidak salah lagi. Itu adalah foto Arsya. Meski saat itu usianya lebih muda, Dokter Nata meyakini jika itu adalah Arsya.
“Aku hubungi nomor di sini!” Rajendra menunjuk deretan angka di bawah foto. “Masih aktif! Mereka pasti keluarganya!”
Dokter Nata menatap layar dengan serikus. Pikiran berkecamuk antara gumpalan rasa bersalah dan secercah harap. Ini akan membuatnya bingung, tapi… mungkin itu yang terbaik, bisik nalarnya, sementara jemari gemetarnya menekan pelipis. Di balik kekecewaan atas temuan keluarga Arsya, ada desahan lega yang menyelinap lewat celah-celah keraguan. Tidak perlu lagi memilih antara karir yang dipertaruhkan dan anak yatim yang sudah dianggapnya darah daging.
Dia mengedipkan air mata yang menggenang, memaksakan senyum getir sebelum merengkuh tubuh kecil itu dalam dekapan. “Kau... kau dengar kabarnya?” suaranya retak di tengah, seperti kaca retak yang menahan beban. “Keluargamu—"
Pelukan Kak Jendra menyusul. “Kita temukan mereka, Nak!”
Arsya membeku. Senyumnya menggantung kaku di sudut bibir bagai topeng wayang, sementara di baliknya, guruh keraguan mengguncang-dampar ruang hatinya. Apa benar ini yang aku inginkan? Aku cuma diminta mencari Kakek, tapi apa benar mencari Kakek itu keinginanku? bukankah itu hanya perintah? Kuku-kukunya menancap pelan ke telapak tangan hingga kulit kemerahan. Aku ini anak yang diinginkan, atau sekadar barang temuankah? Lalu Dokter Nata... mengapa matanya selalu gemetar saat bicara tentang adopsi? Tidak bolehkah keluargaku adalah Dokter Nata?
Dari balik pintu yang masih terbuka, bayangan samar melintas—sesosok tubuh berseragam kebersihan berhenti sejenak, lalu menghilang. Angin malam menyelinap membawa bau tembakau murah.
“Apakah kali ini dia juga akan melaporkan kabar dari Kak Jendra?Apakah mereka akan mengirimku pergi kali ini?” bisiknya dalam hati sambil menatap Kak Jendra yang masih terisak bahagia. Tubuhnya ringkih itu menggigil meski selimut tebal masih membelit pinggang.
Dokter Nata melepaskan pelukan perlahan. Arsya menyembulkan senyum manis—sudut bibir terangkat tinggi, matanya dibuat berbinar terang—sebuah pertunjukan sempurna yang menutupi getaran di lutut dan keringat dingin yang merayap di tulang belakang. “Ternyata,” desisnya dalam diam sambil menatap plafon, “Aku dan Dokter Nata sama. Padahal aku nggak suka di bohongi. Tapi.... aku juga, pembohong.”
Sementara sosok yang Arsya curigai, baru saja mengirim pesan kepada Bosnya. Dia mengetikan pesan dengan cepat
Babak tegang di ruangan Pak Nohan mencapai puncaknya. Ia menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari bawahannya, pesannya singkat namun jelas: “Gawat, bos. Mereka menemukannya.” Pesan itu, seperti bel alarm, membuat tubuh Pak Nohan tersentak. Kini ia tahu, posisinya semakin terdesak. Tangan kirinya bergetar saat ia memegang ponsel, sementara pikirannya berkecamuk mencari jalan keluar.
Arsya harus pergi. Tidak bisa dibiarkan berada di sini lebih lama. pikir Pak Nohan. Keberadaan anak itu di rumah sakit ini terlalu berisiko; ia harus memastikan Arsya menjauh dan melupakan setiap kenangan yang pernah terbangun di tempat ini, baik yang manis maupun yang pahit.