Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (Proses Refisi)
MENU
About Us  

Bagi sebagian insan, derita adalah pelukan, dan sehat adalah pengasingan. Mereka mencari kehangatan dalam luka, sebab hanya di sanalah mereka merasa memiliki arti, terhubung dengan sesama.

__Arsya Abiseka Gantari

_____________________________________________________________________________________________

Balon helium bergantungan di langit-langit kamar Arsya, warna pastelnya memantulkan cahaya senja yang temaram. Di tangan Alin, loyang fruit tart berlapis stroberi dan kiwi mengeluarkan aroma vanila manis, sementara beberapa lilin menyala berkelap-kelip di atasnya. Rajendra mengawasi dari belakang, sedangkan Dokter Nata berdiri dengan tangan terbuka—seperti jembatan hidup yang menanti pijakan pertama Arsya.

Arsya menarik napas dalam. Langkah-langkah kecilnya mulai menyalakan semangat orang-orang yang menyaksikannya berjuang untuk sesi rehabilitasi walau dengan keadaan seadanya. Walau langkahnya masih belum mantap, namun tekadnya sudah mulai menguat. 

Satu langkah. Dua langkah. Sorakan Rajendra dan Alin menyala-nyala bak kembang api, mengiringi setiap tarikan napasnya yang pendek. "Hampir sampai," bisik hatinya. Pelukan Dokter Nata hanya sejauh rentangan tangan. Jantungnya berdebar kencang—rasa ini asing, tapi manis: kebebasan.

Dia memacu langkah. Terlalu cepat. Kaki yang baru pulih itu gemetar, lalu—

Arsya memejamkan mata, bersiap menyambut dinginnya lantai. Tapi yang menerimanya adalah aroma cedar yang ia hafal. Pelukan Dokter Nata. Wangian itu membawanya ke memori hutan pinus setelah hujan—tempat yang tak pernah benar-benar ia kunjungi, tapi selalu hadir dalam mimpinya.

“Kau punya seumur hidup untuk berlari,” suara Dokter Nata bergetar di atas kepala Arsya, “tapi hari ini, mari kita rayakan satu langkah.” Senyum dokter itu—hangat seperti mentari pagi—meluluhkan sisa ketakutan. “Dokter nggak akan ke mana-mana, nggak usah terburu-buru, okey?” tambahnya sambil mengusap punggung Arsya.

Rajendra dan Alin mendekat, mengulurkan kue dengan lilin yang nyalanya menari-nari. Satu tiupan—dan api itu mati, ditelan riuh tawa yang menggema cepat, seolah takut kesempatan bahagia ini akan lepas.

Sempurna, pikir Arsya. Tapi sebelum ia bisa menikmati rasa kue yang dibawa Kak Alin, sesuatu menggelitik tengkuknya—seperti kaki laba-laba besar bertengger di sana. Udara sekitar mendadak lebih dingin, bulu lengannya berdiri, merayap dari pergelangan hingga ke tulang selangka, seolah kulitnya sendiri memberontak.

Ada apa?” batinnya. Matanya memindai sekitar, melirik ke sudut-sudut yang tiba-tiba terasa sempit, hingga fokusnya tertuju pada dua orang petugas kebersihan.

Mereka muncul tanpa suara, seolah pintu itu melahirkan bayangan. Tepuk tangan mereka pecah di udara—salah satu dari mereka bertepuk tangan terlalu keras, terlalu berirama, seperti mesin yang dipaksa bersorak. Pria berjakun menonjol itu menggeser pandangan ke arah Arsya. Matanya menyipit, seolah sedang munguliti Arsya. 

Dia... orang itu,” firasat Arsya menguat. Nafasnya tercekat. Tanpa sadar, tangannya menggenggam erat ujung jas Dokter Nata.

Pikiran pria itu terdengar “Cih! Lagi-lagi harus ku sampaikan kabar baik. Lukanya sembuh, bahkan bisa berlari-lari kecil. Padahal dulu kupikir dia akan mati mengering di ranjang.” batin pria itu. Matanya menyapu ruangan. “Lihat mereka—pura-pura jadi keluarga bahagia. Kebaikan palsu ini hanya akan membuat si bocah makin liar. Nanti aku yang jadi sasaran amukan si bos.

Lapor saja bahwa keluarganya masih hilang,” bisiknya ke ponsel. “Setidaknya bagian itu tidak ada perkembangan, kemudian untuk orang itu …Ah, orang itu bahkan tidak peduli keadaan anak ini. Dia sudah mendapat jawaban untuk identiasnya. Tingal menugu waktu, kebahagiaan di ruangan ini akan hilang.

Senyum Arsya menguap. Dia sudah tahu, petugas itu telah mengawasinya diam-diam selama seminggu. Setelah mendengar isi hatinya, Arsya menemukan tujuannya. Dia diperintahkan seseorang. Dalam benak Arsya, pertanyaan-pertanyaan muncul tanpa permisi. Siapa? apakah dia pak Nohan? atau seseorang yang membuat Pak Nohan ketakutan, yang berniat melenyapkanku?. 

Arsya mencuri pandang ke pria berseragam kebersihan. Jarinya sedang mengetuk-ngetuk ponsel—ritme ketukannya membuat Arsya semakin khawatir. Tap. Tap. Tap. Arsya membayangkan pesan singkat itu terkirim, sampai kepada seseorang yang ingin tubuhnya tetap lemah, tetap terbaring, tetap tak bisa mengejar kebenaran yang dicuri dari ingatannya.

Bagaimana ini, apakah tepat jika aku mengatakan hasil pengamatannya pada dokter Nata? Bagaimana jika petugas itu berkilah? Bagaimana jika setelah Arsya bercerita Dokter Nata, dan kedua Kakak perwat justru terlibat dalam hal yang membahayakan? bagaimana caraku mengungkapkan kecurigaan? mengatakan jika aku memiliki kekuatan aneh? menceritakan jika aku bisa mendengar suara hati orang lain? Apa mereka akan percaya? Bagaimana jika setelahnya justru makin memburuk?

Pikiran Arsya dipenuhi skenario buruk. Jantungnya berdegup kencang —bukan karena sukacita, tapi kegelisahan yang merayap dari lorong-lorong imajinasinya.

Harus kukonfirmasi identitas mereka, tekadnya.

“Siapa mereka?” tiba-tiba Arsya menunjuk ke arah pintu.
Rajendra menoleh, alih-alih menjawab, ia mengulurkan piring berisi potongan kue. “Petugas kebersihan. Mau kasih mereka kue?”

Alin tersenyum melangkah ke arah pintu. “Masuk, Pak. Silakan cicipi.”

Si mata-mata menggigit bibir, berusaha menolak. Tapi akhirnya masuk setelah didorong rekannya. Masker menutupi separuh wajahnya, membuat Arsya mengernyit.

“Bapak sakit?” tanyanya, jarinya tanpa sadar mencengkram ujung baju Dokter Nata. Namun, karena Dokter Nata sedang sibuk membuka pesan, tidak menyadari kegugupan Arsya.

“Ah, tidak,” sahut salah satu petugas sambil mencopot masker. “Cuma hindari debu.” Wajah bulat dengan tahi lalat di dagu itu terpapar jelas “Hei, buka maskermu!” perintahnya pada si Mata-mata. Tanpa curiga si mata-mata mengikuti. 

“Nah, Arsya yang kasih kuenya” pinta Alin sambil menyerahkan kue “Nggak apa-apa, mereka orang baik.” tambahnya, seolah mengetahui ketakutan Arsya. 

Kedua petugas kebersihan mendekat. Nama Hendra terlihat jelas di seragam si mata-mata. Detail wajahnya juga sudah sempat Arsya pahami. 

“Apa yang ada di seragam itu nama bapak?” tanya Arsya memastikan. 

“Iya, Nak. Ini nama bapak. Kamu bisa baca. Nah ‘Suherman’ kalau dia Andi” jelas Pak Suherman, petugas kebersihan

“Kenapa namanya beda?”

Suherman tertawa kikuk. “Dia anak magang. Seragamnya belum jadi.”

Andi menyembunyikan gusar dengan mencicip kue di tangannya. Saat membalikkan badan, bisikannya tersambar telinga Arsya: “Apa si bocah ini mencium sesuatu? Nggak mungkin, dia cuma bocah ingusan, mungkin dia juga didak menyadari perbedaanku dengan Pak Suherman.”

Genggaman Arsya pada jas Dokter Nata menguat.

“Kenapa, nak?” tanya dokter nata heran. 

Arsya menggeleng memaksakan senyum tipis. “Nanti aku harus cerita.” putus Arsya mantap. Tapi untuk sekarang, ia harus berpura-pura. “Sebentar lagi. Setelah semuanya aman.”

Setelah mengobrol sebentar, para petugas kebersihan meninggalkan ruangan Arsya.

“Nah Arsya, selamat. Tadi potongan pertamanya kamu kasih ke orang lain. Nah, yang ini silakan dimakan” ujar Alin mempersilakan. Arsya dengan senang hati menerima kue itu. kue perayaan keberhasilannya kembali berjalan. “Manisnya menggigit lidah.” batin Arsya persis seperti ironi hari ini, membahagiakan, tapi juga menakutkan

Hari ini, wajah mereka tampak ceria melihat Arsya semakin sehat, tapi ada kekhawatiran yang tersembunyi di balik senyum-senyum itu. Waktunya sudah dekat.

Rajendra sudah berusaha keras. Dia mencari informasi tentang anak hilang di kantor polisi, mencocokkan nama Arsya dengan data di dinas sosial, bahkan mengirimkan foto Arsya ke berbagai panti asuhan di sekitar Yogyakarta. Namun, sampai sekarang, identitas Arsya masih menjadi misteri. Semua usaha tampak menemui jalan buntu.

Arsya yang semakin peka mulai menangkap kegelisahan mereka. Ia mendengar segalanya—bahkan tanpa sepatah kata terucap. Pikiran mereka, sarat kecemasan dan ketidakpastian, bergema nyaring di benaknya. Rajendra yang biasanya optimis, kini bisikan hatinya dipenuhi keraguan.

“Aku akan mulai membongkar kemampuanku, mungkin dimulai dari kekhawatiran Kak Jendra” batin Arsya.

“Aku benar-benar dibuang, ya?” tiba-tiba Arsya bersuara, suaranya parau menahan beban yang kian menggunung. Di lubuk hatinya, ia masih berharap mimpi tentang keluarga adalah kenyataan, meski upaya Rajendra jelas tersendat. Namun, di balik harapan yang kian pudar, keinginan lain mulai muncul. Andai ia tak perlu berpisah dengan Dokter Nata dan para perawat, jika keluarga tak ditemukan.

“Nggak, Nak,” Dokter Nata buru-buru menyangkal, suaranya berusaha terdengar menenangkan. “Kami masih terus berusaha mencari. Jangan khawatir.”

Arsya menatapnya. Ketakutan kian nyata terpancar dari sorot matanya, karena suara Dokter Nata sarat keraguan. Bisikan tentang rencana memindahkannya ke panti asuhan bergema kian jelas. Setelah jeda panjang, akhirnya ia memberanikan diri “Kalau aku sudah sembuh, aku harus pindah ke panti asuhan, ya? Nggak boleh tinggal di sini lagi?”

Pertanyaan itu mengejutkan Dokter Nata. Ia yakin tak ada satu pun dari mereka yang pernah menyebut soal panti asuhan. “Darimana kamu tahu itu? Siapa yang bilang?”

Arsya menunduk. “Semua. Dokter Nata, Kak Alin, Kak Jendra…”

Dokter Nata, Alin, dan Rajendra saling bertukar pandang. Kebingungan. Tak satu pun ingat pernah membahas hal itu di hadapannya.

“Sekarang kalian juga sedang memikirkannya, kan? Khawatir karena waktunya hampir tiba,” lanjut Arsya, suaranya kian lirih. Kepalanya tertunduk dalam, seolah tak sanggup menatap kenyataan.

Dokter Nata dan para perawat masih membisu, takjub sekaligus bingung. Sebelum sang dokter bereaksi, Arsya tiba-tiba melanjutkan dengan kalimat yang membuat hati mereka tercubit.

“Sekarang aku udah sembuh... udah nggak terlalu sakit, jadi nggak boleh tinggal di rumah sakit lagi. Kalau saja waktu itu sakitnya lebih parah, mungkin aku bisa__ “

“Arsya!” Dokter Nata memotong dengan nada tinggi di luar kebiasaan.

Arsya terkejut, tubuhnya gemetar. Reaksi sang dokter yang biasanya kalem itu membuatnya menyesal. Apa aku melakukan kesalahan fatal?

Dokter Nata segera menyesali luapan emosinya. Ia menarik napas dalam, merendahkan suara “Kamu tak boleh berpikir begitu, Nak.” Ia mendekat, mata teduhnya menatap Arsya. “Dokter tak tahu darimana kamu dengar soal panti, tapi jangan pernah berharap sakit lagi, paham?”

Arsya masih menunduk, jemarinya memelintir ujung baju. Dokter Nata melanjutkan, suaranya kian lembut

“Tugas dokter memang menyembuhkan, tapi kami selalu berdoa agar pasien sehat dan nggak perlu kembali. Arsya, kesehatanmu adalah yang terpenting. Jangan pernah mengutuk diri dengan harapan sakit.”

Ucapan itu menyayat hati Arsya. Ia tahu sang dokter tulus, tapi di hatinya, pertanyaan mengganjal. Apa rasa sakit ini satu-satunya cara agar aku tetap diperhatikan? Tanpa ingatan tentang keluarga, ia hanya ingin bertahan dengan orang-orang yang kini ia kenal. Belum lagi ancaman mata-mata yang mulai ia endus. Ada banyak yang ingin ia utarakan, tapi ketakutan membungkamnya.

Dokter Nata menatapnya lebih dalam, suaranya berubah menjadi bisikan penuh keyakinan

“Percayalah, kami tak akan berhenti mencari keluargamu. Jika mereka tak ditemukan... kami akan temukan solusi terbaik. Tapi Arsya, janji sama dokter. jangan pernah berharap sakit lagi.”

Arsya menatap mata sang dokter. Di sana, ia menemukan ketenangan. Tanpa sadar, air mata menitik pelan—bukan karena sedih, melainkan hangatnya rasa aman yang ia dapat. Ia mengangguk lemah, meski belum sepenuhnya paham. Setidaknya, ia tahu ada orang-orang yang rela melindunginya. Soal mata-mata itu... ia akan bicarakan lain waktu. Sekarang belum saatnya.

Dokter Nata kemudian memeluk Arsya erat-erat. Arsya menangis dalam pelukan itu, tubuh kecilnya menggigil. Dia pasti ketakutan—bukan hanya oleh situasi yang menimpanya, tapi juga oleh rasa tidak berdaya yang terus menghantuinya.

Keheningan mereka terputus oleh kedatangan seorang rekan dokter Nata. “Dok, kepala manajemen rumah sakit ingin bicara dengan Anda,” katanya dengan suara serius.

Dokter Nata menghela napas berat. Dia ingin tetap di sisi Arsya, tapi tugas memanggilnya. Arsya menatapnya seolah memohon untuk tetap tinggal. Dengan berat hati, dia melepaskan pelukannya, mengusap lembut kepala Arsya, lalu berdiri untuk menjawab panggilan itu.

“Aku nggak akan lama, ya, Nak. Kamu istirahat dulu,” ucap Dokter Nata sebelum beranjak pergi.

Arsya hanya mengangguk pelan, masih tenggelam dalam kesedihan yang mengalir bersama air matanya.

Sementara di ruangan lain, Dokter Nata tampak menimbang haruskah dia masuk ke ruangan direktur rumah sakit? Dia memang belum mengatakan apapun, tapi Dokter Nata tahu, dia pasti akan membicarakan mengenai Arsya.

Akhirnya Dokter Nata memutuskan masuk. Jika memang tentang Arsya, Dokter Nata harap, pihak rumah sakit akan benar-benar bijak menilai situasi. Setelah dipersilakan masuk, Dokter Nata memasuki ruangan.

"Dokter Nata," panggil direktur itu dengan nada rendah namun tegas. "Saya perlu bicara dengan Anda."

Nata menghela napas panjang dan berdiri, direktur rumah sakit mempersilakanya duduk. “Ada apa, Pak?”

Direktur mengeluarkan beberapa dokumen dari tas kerjanya dan meletakkannya di atas meja. "Ini laporan keuangan terbaru terkait Arsya. Saya ingin Anda tahu bahwa biaya yang sudah kita keluarkan untuk anak ini cukup signifikan."

Dokter Nata merasakan perubahan nada dalam percakapan ini. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berakhir.

“Rumah sakit punya batasan, Dokter,” lanjut direktur itu dengan senyum tipis yang terasa palsu. “Kita tidak bisa terus-menerus mengalokasikan sumber daya untuk anak yang, hingga saat ini, tidak memiliki identitas atau keluarga. Kebijakan ini juga dari Pak Aswan. Dia sudah cukup baik hati menanggung biayanya sejauh ini.”

Nata merasa dadanya sesak. "Pak, saya paham. Tapi Arsya—anak ini, dia tidak bisa diserahkan begitu saja ke panti asuhan. Ada sesuatu yang janggal. Saya rasa informasi tentang keluarganya sedang disembunyikan, atau mungkin ada lebih dari sekadar kecelakaan biasa yang terjadi pada anak ini."

Direktur itu tersenyum sinis, lalu berdiri. "Dokter Nata, saya sangat menghargai dedikasi Anda. Namun, ingat, tugas kita adalah menyembuhkan, bukan menyelidiki. Setelah anak itu pulih, Anda tahu apa yang harus dilakukan. Saya yakin, Anda tidak ingin posisi Anda di rumah sakit ini terganggu."

Kata-kata itu seperti belati yang menusuk hati Nata. "Saya tidak bisa diam, Pak. Saya tidak bisa membiarkan anak ini terlempar ke sistem tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Saya dokter, benar, saya mengakui itu. Tapi saya juga manusia," jawab Nata dengan nada tegas, meskipun ada sedikit keraguan di hatinya.

Direktur menatap Nata dalam-dalam sebelum mengangguk singkat dan berkata dengan dingin, “Anda pikirkan baik-baik. Pilihan ada di tangan Anda.”

Setelah pembicaraan terakhir dengan Direktur rumah sakit, Dokter Nata terdiam sejenak. Dia tahu apa yang harus dilakukan, tapi dia juga sadar risikonya. Karirnya mungkin dalam bahaya jika dia terus menekan masalah ini. Tapi bagaimana mungkin dia membiarkan Arsya, seorang anak tak bersalah, tenggelam dalam misteri dan dilupakan begitu saja?

Pikirannya berlari ke percakapan dengan Arsya kemarin. Anak itu telah mulai berbicara tentang mimpinya bertemu dengan sosok wanita yang dia yakini sebagai ibunya. Sosok yang meminta Arsya mencari kakeknya. "Mungkinkah itu petunjuk?" pikir Nata.

Mengabaikan peringatan dari Direktur Rumah Sakit, Dokter Nata memilih tetap akan mempertahankan Arsya. Jika masalahnya biaya, dia yakin masih bisa membiayai Arsya. Jikalau dia juga harus mengasuhnya, Dokter Nata yakin, istrinya juga akan menerimanya. Toh, mereka tidak memiliki momongan, dan Arsya sudah membuatnya jatuh cinta.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Deep End
51      48     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Matahari untuk Kita
1572      663     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
In Her Place
1167      742     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
158      130     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Unexpectedly Survived
136      118     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
2650      955     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Ameteur
101      89     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Spektrum Amalia
881      580     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Happy Death Day
609      346     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
My First love Is Dad Dead
70      66     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...