Loading...
Logo TinLit
Read Story - Deep Sequence
MENU
About Us  

Ada empat hal tentang Dego yang Nura ketahui sejauh ini.

Pertama, Dego bisa sesuka hati menyentuh Nura lebih dulu, sementara tidak sebaliknya.

Kedua, Dego punya kehendak untuk memperlihatkan dirinya atau tidak di hadapan Nura.

Ketiga, Dego baru bisa memegang benda-benda di dunia ini selama ia bersentuhan dengan Nura.

Keempat, inilah yang paling Nura suka, yakni Nura bebas berkontak fisik dengan Dego selagi Dego sedang menyentuhnya.

Lantas, kemarin itu menjadi upacara kemenangan bagi Nura untuk membalas semua perbuatan Dego dengan berbagai macam siksaan: pukulan, tendangan, jitakan, bahkan bantingan setelah sebulan lebih menahan diri. Acapkali Dego mencari-cari kesempatan balik menyerang, yang tentu harus sambil menyentuhnya, secara bersamaan Nura akan menghantamnya dengan dua kali lipat lebih parah.

“Jadi, apa keputusan kamu, Nona Penulis?” tanya Dego, ada lebam sisa pertarungan semalam di bawah mata kanannya.

Nura berucap syukur sebab bel masuk baru berdering lima detik setelah ia melewati gerbang, jadilah ia tak perlu dihadiahi hukuman dari guru piket. Akan tetapi, kelegaan itu tidak bertahan lama ketika kakinya berhadapan dengan pintu kelas XI SOSIAL 1, yang tertutup rapat-rapat walau suara bising anak-anak di dalam terdengar sampai luar.

“Kejadian kemarin pasti bikin mereka mulai ngegosipin kamu lagi.” Dego mengungkit tentang Nura yang seakan-akan sengaja menumpahkan susu di hadapan Mahda sambil mengumpat sinonim kata bodoh, lalu pergi begitu saja tanpa penjelasan. “Kamu bakal tetap berusaha mengubah takdir?”

Lama Nura tertegun, memegangi gagang pintu kelas itu walau sepenuh benak bergumul oleh kekalutan. Benar bahwa sejauh ini ia baik-baik saja. Namun, kedamaian itulah yang sekilas menghadirkan rasa curiga. Katanya, setelah kesulitan selalu ada kemudahan, tetapi bukankah itu berlaku sebaliknya? Kebahagiaan pun tidak akan berlangsung selamanya.

“Baiklah, kali ini aku bakal nurutin kemauan kamu,” putus Nura kian mempererat pegangan pada gagang pintu.

“Beneran? Kenapa kamu berubah pikiran?”

“Yah, sederhana aja.” Nura sejenak melirik anak laki-laki itu sebelum melukiskan senyum samar. “Karena aku merasa kesepian saat kamu menghilang?”

Dego kontan termangu, sorotnya bergulir lebih hampa seperti sedang menyaksikan sesuatu dalam kepala. Ada sesuatu dari kata-kata Nona Penulis tadi, sesuatu yang mengusik pikiran, menggeliat dalam benak, berupaya mewujud praduga namun ia tepis segera. Manakala sebuah suara lain datang di antara mereka, pandangan anak laki-laki itu kembali jernih dengan kerutan di keningnya.

“Kenapa kagak masuk? Takut?”

Nura tipis terlonjak, refleks mundur di mana kakinya lantas menginjak sesuatu. Jelas itu bukan suara Dego. Lebih berat, ada kesan serak, dan berasal jauh menjulang di atas kepalanya. Gesit perempuan itu berbalik sesaat punggungnya menubruk sesuatu–seseorang. Ikat kepala biru-hitam khas suku Baduy menjadi sambutan pertama manik cokelat Nura begitu ia mendongak.

“Padahal gua sempat dengar kabar kalau lu udah bisa berbaur, tapi apa-apaan ini? Kenapa lu masih keliatan ragu masuk ke kelas?”

Untuk sekian waktu, Nura belum mengenali orang itu. Dia cowok, surai ikal agak kecokelatan dibiarkan tergerai hingga pundak, kelopak monoloidnya memberi kesan tatapan tajam, terlebih alisnya terukir cukup tebal, dengan bibir kering yang membentuk seperti hati. Lesung di kedua pipi yang enggan muncul tanpa senyum, menambah kesengitan dari binar legam cowok itu.

“Fikar?” tebak Nura setengah yakin.

Cowok itu terkekeh. “Baru kemarin ketemu, masih nanya?”

Astaga. Astaga. Astaga.

Nura gagal mengerti. Apa karena kemarin cowok itu mengenakan helm? Sekarang ini, cowok itu terlihat ... ia tak yakin bagaimana ia harus mengatakannya.

“Kok tampan?” celetuk Nura terperangah sendiri. “Kok sesuai harapan? Kemarin nggak gini, deh, penampakannya. Kok bisa?!”

Fikar tergelak. “Lah, ke mana aja lu baru sadar?”

Selagi Nura masih kelimpungan, cowok itu santai membuka pintu lalu mendorong pelan bahu Nura agar melewati garis batas masuk, sedangkan Dego tertinggal di belakang. Suasana kelas yang semula gaduh sontak meredam. Seluruh pasang mata tertuju pada mereka berdua.

Batin Nura telah meneguhkan tekad untuk tidak berupaya memperbaiki kekacauan sehari lalu. Pada dasarnya, karakter Dego disetel selalu terabaikan. Lebih baik Nura tidak bersikap menonjol hari ini.

Setidaknya, begitulah rencana awal Nura sampai salah seorang murid berceletuk, “Dih, kirain guru.”

Disusul oleh sorakan meledek murid-murid lain yang merasa kekhawatiran mereka sia-sia. Meskipun ini adalah hari pertama Fikar masuk di tahun ajaran baru kelas sebelas, cowok itu alami bertukar canda dan melebur bersama para murid cowok di kelas itu.

Di sisi lain, Nura terus bungkam dan memilih cepat-cepat pergi ke tempat duduknya. Tanpa direncanakan pun, ternyata peristiwa kemarin membuat Nura sulit berinteraksi dengan mereka. Dego setia berdiri di sebelahnya, memperhatikan setiap detail gerak-gerik Nura.

“Woy, Ori, gimana? Udah sembuh sembelitnya?” tegur seorang murid berkacamata.

“Katanya hari pertama datang bulan juga, ya?” Siswi lain menanggapi, duduk di barisan ketiga lalu menengok ke arahnya. “Gila, nggak karuan banget pasti itu sakitnya.”

“Kalau gue jadi elo, Ri. Bukan cuma bego, semua kata-kata kasar udah pasti gue keluarin.”

“Itu, sih, emang dasar mulut kamu aja yang kayak kebun binatang!”

“Hahaha!!!”

Nura melongo, mencoba mencerna alur pembicaraan. Gema sukacita menggaung layaknya paduan suara. Beberapa siswa bahkan ikut menimpali obrolan mereka; santai mengajak Nura berbicara meski tak kunjung mendapatkan balasan dari perempuan itu. Padahal Nura sudah siap lahir batin jika hari ini ia akan kembali menjadi sosok yang terpinggirkan. Kalau Nura menjadi Dego, sikap seperti apa yang akan anak laki-laki itu tampilkan?

“Emang ada apaan, dah? Sembelit? Datang bulan? Nggak karuan? Kata-kata kasar?” tanya Fikar sukses mengambil seluruh atensi.

“Itu … si Ori kemarin numpahin susu sambil ngatain si Mahda. Kirain sengaja, ternyata emang mendadak sembelit katanya.”

“Kata siapa?” Fikar kembali bertanya yang mewakili isi pikiran Nura.

“Mahda.”

“Mahda?” Kali ini Nura turut angkat bicara.

“Iya, Mahda. Kemarin dia sibuk ceritain soal itu ke anak-anak sampe semua pada ngetawain elo seharian.”

Dalam diam, Nura mendengus panjang.

Dasar, cewek naif itu.

Pantas saja keadaan terasa aman sentosa. Tampaknya, Nura menciptakan Mahda terlalu berpikiran positif sampai-sampai tak berkeinginan menyalahkan orang. Sampai terasa sangat tidak manusiawi. Bagi Nura, menjadi terlalu baik adalah sebuah kelainan.

“Ngomong-ngomong soal Mahda ....” Nura melempar pandangan ke sekitar. “… dia di mana?”

**

Cangkul ditaruh dalam gudang usai digunakan untuk menggemburkan tanah ladang belakang sekolah, lokasi yang biasa dijadikan pembelajaran tanam jagung untuk mata pelajaran Muatan Lokal. Beberapa siswa tampak melapor pada Pak Tono, dijuluki sebagai Pak Botak, bahwa hukuman telah selesai dilakukan. Mereka adalah para siswa yang terlambat, salah satunya Mahda.

Peluh kentara membanjiri seluruh badan gadis manis itu, seragamnya mencetak pola kaos lengan pendek bergambar kucing yang digunakan sebagai dalaman. Kering di ujung tenggorokan membuat Mahda ingin segera menenggak habis air botolan. Sayang seribu sayang, tempat minum gadis itu ditaruh bersama tas-tas murid terlambat di pos satpam. Jaraknya cukup jauh dari ladang; benar-benar ujung ke ujung.

“Nih, ambil.”

Keterkejutan terjadi dalam manik besar gadis itu, Mahda memekik tertahan kala sebuah tangan terjulur tepat ketika ia akan belok di perempatan koridor. Itu Nura, yang menyodorkan minuman kepadanya.

“Kok kamu di sini?”

“Sendirinya?” timpal Nura enteng. “Sejak kapan pernah terlambat?”

“Sejak hari ini …?”

Mereka tertawa singkat, tetapi tidak dipungkiri, masih terbersit kekakuan; membayangi keduanya tentang hal-hal yang terjadi kemarin pagi.

“Abis ini Bahasa Inggris, ‘kan?”

Nura mengangguk. “Anak-anak lain langsung ke Lab. Bahasa.”

“Tapi kamu malah nyamperin aku?”

“Yah ....” Perempuan itu tak yakin harus menanggapi apa. “Sekalian aja, sih.”

Alasan Nura mencari Mahda bukanlah karena peduli, ia hanya ingin memastikan alasan di balik keterlambatkan gadis manis itu. Sejauh ingatannya, Nura berani bertaruh bahwa ia menjadikan Mahda dinobatkan sebagai murid paling rajin dengan jumlah kehadiran sempurna. Boro-boro telat, Mahda justru selalu datang paling pagi yang terkadang mendahului satpam.

Dipikir-pikir, terlalu banyak peristiwa–yang terkesan tidak krusial–tetapi terus saja membelakangi alur cerita ini, termasuk kemunculan Fikar sore kemarin. Seharusnya, cowok itu sudah ada sejak seminggu atau dua minggu lalu. Putaran momen sebulan belakang lantas menggiring Nura pada satu pertanyaan besar.

Kalau benar takdir mengalami perubahan, akankah ada harga yang perlu ia bayar?

“Ori!” Mahda buka suara usai menaruh tasnya di kelas, kini mereka dalam perjalanan menuju Lab. Bahasa. “Soal kemarin–“

“Ah, thank you banget, ya. Aku dengar dari anak-anak tentang apa yang kamu lakuin buat ngejelasin kejadian kemarin. Aku nggak bisa bilang alasan sebenarnya, tapi aku beneran nggak bermaksud bersikap kasar ke kamu, Mahda.”

Penjelasan Nura menghadirkan lengkung terukir di sudut-sudut bibir Mahda, meneguhkan pesona manis dari mata besar yang berbinar girang.

Nura sendiri tidak yakin perihal tindakan seperti apa yang semestinya ia ambil. Dego kukuh menuntut Nura agar hidup di dunia ini mengikuti alur cerita, tetapi cowok itu tetap enggan jika Nura menyakiti Mahda. Padahal kedua poin itu takkan bisa dipisahkan; sudah menjadi satu-kesatuan. Penderitaan Dego didasari oleh prasangka-prasangka buruk yang menggerogoti sekujur benak. Prasangka itu pula yang akhirnya akan membawa beratus-ratus kesakitan untuk Mahda.

Omong-omong soal Dego, anak laki-laki itu kembali bersembunyi. Malu, katanya. Padahal wujudnya saja tidak kelihatan, apa gunanya tersipu? Jatuh cinta saat remaja memang sesuatu yang membuat orang menjadi gila.

“Tapi, Ori, kamu ternyata nggak disangka-sangka, ya, anaknya.”

“Yang ternyata asyik?” tebak Nura kelewat percaya diri.

“Itu juga, sih, tapi bukan itu maksud aku.” Mahda kepayahan menahan senyum. “Bisa dibilang, kamu agak … alay? Jujur, aku kaget banget pas baca ketikan kamu di chat kemarin.”

Nura melongo. “Ketikan? Chat?

Firasat tidak baik bertandang tanpa diminta, Nura lekas memeriksa ponselnya. Kalau diingat-ingat, ia sempat menyuruh Dego membalas pesan gadis manis itu saat menjaga konter, sementara Nura bahkan belum memeriksa ponsel sehari semalam kemarin.

Nura: Iy, M4hD@...

Nura: GaX pa2

Nura: Aq jgA mnt4 maff y

Nura: Kmu jgn ngr@s4 g4x enk gtu

Nura: Emx aqU yg slAhh

Telinga Nura perlahan memerah bersama satu alis bergoyang-goyang tidak nyaman, rahangnya mengeras, sedangkan bibirnya terkatup rapat-rapat namun agak bergetar–mirip orang tengah menahan umpatan yang sudah tiba di ujung tenggorokan–sebelum akhirnya tersenyum; senyum yang sarat akan ancaman.

Si Bego ini ....

“Aish!” maki Nura nyaris membanting ponselnya.

Memangnya ini tahun 2000-an awal? Nura dapat menjamin ia sendiri tidak se-jamet itu saat pertama kali memiliki ponsel. Maksudnya, please, Dego? Bagaimana bisa nama seorang Nura justru tercemar dengan cara konyol seperti ini?

“Pfffttt, nggak papa, Ori.” Lihat saja, saking memalukannya, orang sekalem Mahda sampai tak kuasa membendung tawa. “Aku juga pernah begitu, kok ….”

Nura mengigit bibir bawahnya, masih mengendalikan gejolak batin dalam dada.

“... meski nggak separah itu, sih, hihihi.”

Satu pukulan ringan Nura daratkan di lengan Mahda. Alih-alih protes, Mahda malah semakin tergelak hingga Nura bersungut-sunggut tidak terima. Atmosfer hangat itu menyebar luas, menggulirkan gersang sengat mentari menjadi lebih bersahabat.

“Mahda, kamu bisa ikut Bapak sebentar?”

Belum lima menit mereka masuk Lab. Bahasa, salah seorang guru sekaligus wali kelas XI SOSIAL 1 mengetuk ruangan. Suaranya rendah namun tetap ramah, senyum formalitas dilayangkan untuk guru pengampu Bahasa Inggris sebelum pamit bersama Mahda. Entah Nura terlalu sensitif atau semacamnya, tetapi seperti ada kehati-hatian dalam intonasi sang guru saat memanggil Mahda barusan.

Lab. Bahasa disetel dengan sekat-sekat layaknya ruang komputer. Deretan headphone dan mikrofon menggantung rapi di tiap meja. Serupa urutan duduk di kelas, Nura mengambil tempat persis di belakang Mahda sementara Fikar di sampingnya.

“Sejak kapan lu akrab sama si Mahda?” tanya cowok itu sembari merapatkan kursi pada Nura.

Sekadar mengangkat bahu, Nura lanjut menuruti arahan guru untuk menyalakan monitor. Ruang kedap suara tersebut semakin hening usai satu per satu anak mulai menutupi telinga dengan headphone, larut dalam suara-suara latihan yang hanya bisa didengar oleh mereka sendiri. Tiada lagi perbincangan, buku catatan mulai dibubuhi tulisan bersama wajah-wajah serius para siswa.

Masing-masing memusatkan seluruh konsentrasi pada indra pendengaran, harap-harap minim kesalahan atas apa pun yang mereka simak.

Lalu–BRUK!

Bunyi keras terdengar dari ujung ruangan. Bukan jatuh, lebih seperti benda sengaja dibanting secara beringas. Semua kepala kontan menoleh, beberapa mengelus dada seolah jantungnya jatuh mengikuti suara tadi, sebagian lagi refleks mencabut headphone, sedangkan sisanya terlonjak kecil dari kursi.

Ketegangan mengoyak sepi, terutama bagi Nura, yang kini membelalak tak percaya. Perih menjalar ke telinga setelah Dego, sekonyong-konyong datang dan melepas paksa headphone dari kepalanya, lalu mengakibatkan ujung kabel membeset pipi di bawah mata kiri perempuan itu.

“Nona Penulis!” Nada bicara Dego menyimpan jutaan murka, lalu meluap bersama cengkeraman pada kedua pundak Nura. “Rumah Mahda kebakaran!”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tumbuh Layu
382      253     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Bajak Darat
707      483     0     
Humor
Setelah mengalami kecelakaan laut hingga kehilangan sebelah tangan dan kakinya, seorang bajak laut pulang kampung demi mendengar kampung halamannya akan dibuat menjadi kota mandiri dengan konsep terakota. Ia mencuri peta kuno, satu-satunya yang dapat menyelesaikan perdebatan batas wilayah antara Pemda Jakarata dengan Pemda Jataraka, dan bernilai fantastis yang cukup untuk membeli sawah dan trakto...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
179      157     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
The Adventure of KANDINI
14073      2717     5     
Fantasy
Kandini adalah pejuang wanita yang banyak mengalami pengalaman yang sangat mengagumkan. Ikuti petualangannya ya!!!
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
197      138     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
The Maze Of Madness
5254      1887     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Khalisya (Matahari Sejati)
2783      939     3     
Romance
Reyfan itu cuek, tapi nggak sedingin kayak cowok-cowok wattpad Khalisya itu hangat, tapi ia juga teduh Bagaimana jika kedua karakter itu disatukan..?? Bisakah menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi..?? Semuanya akan terjawab disini. Ketika dua hati saling berjuang, menerobos lorong perbedaan. Mempertaruhkan hati fan perasaan untuk menemukan matahari sejati yang sesungguhnya &...
Lavioster
4026      1126     3     
Fantasy
Semua kata dalam cerita dongeng pengiring tidurmu menjadi sebuah masa depan
Andai Kita Bicara
574      458     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
A Story
306      245     2     
Romance
Ini hanyalah sebuah kisah klise. Kisah sahabat yang salah satunya cinta. Kisah Fania dan sahabatnya Delka. Fania suka Delka. Delka hanya menganggap Fania sahabat. Entah apa ending dari kisah mereka. Akankah berakhir bahagia? Atau bahkan lebih menyakitkan?