Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kainga
MENU
About Us  

“Apa yang kamu rasakan ini trauma bonding, Ren! Bukan kasih sayang!” Terngiang-ngiang ucapan Petra kemarin sore. Kalimat itu mengular dalam pikiran Ren, meskipun kepalanya kini berada di bawah guyuran air shower, cukup lama sampai terdengar suara ketukan di pintu kamar mandi, lantas suara ayahnya memanggil-manggil. Bergegas mematikan keran, keluar dari pintu kamar mandi penuh cemas. Entahlah, bagi Ren suara ketukan ayahnya lebih seperti dentuman petasan berbentuk tabung. Hatinya langsung bertanya-tanya, “Apa lagi ini?”

 

Ren muncul dengan handuk di atas kepala, pada ruang dapur yang sekaligus ruang untuk makan, sebuah meja bar memisahkan tempat memasak dan menyajikan menu masakan. Punggung ayahnya terlihat membelakangi. Ia bersenandung sepertinya sedang senang.

 

“A-ayah mengetuk pintu kamar mandi?” tanya Ren terbata.

“Ya, eh. Habis kamu lama Ren,” jawab ayahnya sembari menoleh tersenyum.

 Ada yang berbeda di pagi ini. Penglihatan Ren memindai sekitar ruangan. Tak ada tanda-tanda kakak maupun ibu tirinya di rumah. Tanpa sadar Ren mengembuskan napas panjang. Pagi ini, ayahnya tak akan jahat dengannya.

 

“Nah, makanlah!” perintah ayahnya menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan omelet di atasnya.

Ragu Ren menarik kursi, sebenarnya ingin memakai seragam sekolah terlebih dahulu, tapi takut membuat ayahnya berubah pikiran untuk sarapan bersama. Ren mengangguk dan mengiyakan saja. Menyuapkan sesendok pertama dengan luapan rasa haru. Kurang lebih dua bulan ini, tidak ada waktu seperti ini. Hal itu dikarenakan selalu ada kakak tirinya di antara mereka. Motor Bang Aldo rusak parah setelah temannya meminjam motor itu dan terjadi kecelakaan. Bang Aldo tak mau motor baru dan memilih memperbaiki motor lama. Itu sebabnya mereka memakai motor Ren bergantian. Hari-hari Ren dipenuhi rasa mengalah sebab ayah dan ibu tiri selalu menganggap kuliah Bang Aldo lebih penting daripada Ren yang masih SMA.

“Motor Bang Aldo telah selesai diperbaiki, kini ia tak akan mengganggu motormu lagi!” jelas ayahnya tanpa Ren pinta. Mengangguk-anggukkan kepala berucap syukur dalam hatinya, kemudian Ren melahap sarapannya penuh semangat.

 

Sesekali ayahnya menanyakan sekolah Ren, sekaligus memberikan uang saku dalam jumlah banyak yang diletakkan di atas meja. Sebelum pergi ke tokonya, bahkan ayahnya berjanji akan mampir membelikan Ren helm baru, karena helm yang lama telah dibanting sang ayah dengan sengaja sampai pecah. Itu adalah peristiwa satu hari sebelum Petra datang ke rumah. Setelah Ren seharian menunggu Galang pulang dari rumah sakit, menunggu di teras rumah Galang karena tak berani pulang ke rumah tanpa membawa motor. Dalam hati Ren bertanya-tanya, apakah ayahnya mengingat seluruh tindakan kasarnya terhadap Ren―anak kandungnya. Jika memang itu perangainya, mengapa ia justru hanya kasar pada Ren, tidak pada ibu tiri dan anak yang dibawanya. Anak tiri yang bahkan sampai detik ini tak mau mengakui ayah sebagai bapak tiri dan terus memanggil dengan sebutan “Om”.

 

Ren dan ayahnya menikmati waktu pagi dengan santai. Memundurkan waktu cukup lama dari seharusnya berangkat ke sekolah, tapi Ren tenang sebab masih classmeet.

 

 Sampai akhirnya dalam deru angin jalanan, di atas motor yang melaju kencang. Ren bergumam sendiri akan sikap sang ayah, yang sebentar baik, sebentar kasar. Membuat hati Ren tak nyaman. Memunculkan rasa ketakutan tak terkendali pada suara keras, entah ini yang dinamakan trauma atau bukan, Ren tak tahu pasti. Yang jelas, setiap ada suara menutup pagar dengan keras, suara mengetuk atau menggedor pintu … membuat debar jantung Ren bagai menaiki shinkansen.

 

Jika benar apa yang dikatakan Petra mengenai hubungan dengan ayah merupakan trauma bonding, lantas mau apa? Ren tak pernah bisa membuang sang ayah dalam hidupnya, karena dia satu-satunya keluarga yang Ren miliki. Mungkin karena alasan itu juga, Ren selalu memaklumi tindak kekasaran yang ayahnya lakukan.

 

Ada banyak orang tua di dunia ini, tetapi tak semua anak beruntung untuk mendapatkan orang tua yang bertindak sebagaimana sebaik-baiknya orang tua.

 

Ini berlebihan bukan? Hmm, perasaan yang membuncah. Ingin disayang sekaligus takut terluka. Tak berdaya karena hidup dalam mimpi, bahwa ini cinta. Menyadari ada yang tidak benar, tapi sulit sekali ingin keluar. Rasa berkecamuk ini. Memberontak, terbentur lagi, melepas ikatan … tapi mengikat lagi dengan sendirinya.

 

Sejak awal ini sudah salah. Ayah tidak menganggapku sebagai buah hati melainkan narapidana pribadinya. Hubungan yang keliru. Memuakkan bagiku, tapi tidak bagi ayah. Melelahkan bagiku, tapi mengasyikkan baginya.

 

Ciiit!

Suara ban motor mendecit. Melirik jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi. Sangat terlambat bila bukan masa classmeet. Dari kejauhan, Ren telah dapat melihat … persiapan pameran lorong yang mencapai seratus persen.

 

Kanan kiri, di mana dirinya melangkah … terpajang epik lukisan teman-teman jurusan lukis sebagai penyambutan pertama. Biasa terjadi di tiap pameran angkatan. Lukisan-lukisan indah akan menjadi pembuka jalan untuk karya seni selanjutnya.

 

Pembukaan pameran lorong masih nanti siang, namun antusias siswa dan wali murid telah terasa sejak pagi. Ren sengaja tak memberitahu ayah perihal pameran lorong. Entahlah, Ren hanya enggan mendengar penolakan. Ayahnya tak menyukai seni. Ren ingin menjaga hatinya sendiri dari rasa sakit. Biarpun pagi tadi berjalan baik, sekarang Ren tak mudah lagi terbius dengan kasih sayang sesaat yang ayahnya embuskan.

***

 

“Magang besok??” Mata Ren melotot tak percaya, sementara Bu Neena memberikan jawaban dengan anggukan.

 

“Soalnya pihak studio butuh orang cepat, kondisikan teman-temanmu Ren. Kalian mulai berangkat besok pagi!”  perintah  Bu Neena tak ingin dibantah.

 

Tangan Bu Neena sibuk mencatat alamat studio animasi tempat Ren dan kawan-kawan magang nantinya. Memberikan sehelai kertas pada Ren, beserta kartu nama studio animasi yang menerima kelompok tujuh magang di kantornya.

“Alamat jelasmya sudah ibu catat ya, Ren. Sekalian nomor mentor yang nggak ada di kartu, mentor itu yang bisa membantu tim kamu sesampai di sana,” ujar Bu Neena menerangkan sejelas-jelasnya.

 

Ren terdiam. Pastinya Bu Neena tak ingin mendengar penolakan. Dalam hatinya terus bersyukur, untunglah problem motor bersama Bang Aldo telah berakhir, jika tidak runyam sudah … apabila terpaksa bolak-balik mengajukan izin pada pihak studio. Ren tidak bisa membayangkan, rasa malu yang harus diterima akibat gagal berangkat kerja dengan alasan tak ada motor. Paling yang dia lakukan menggunakan kendaraan umum tiap pagi, itu pun artinya harus berani meminta uang saku pada ayahnya.  Jika tidak, pastinya Ren akan banyak merepotkan timnya, seperti Petra dan Galang yang tentunya ngotot datang menjemput. Malu dua kali lipat bila datang bersama Petra, orang-orang baru akan mengira Ren adik Petra. Suatu hal yang paling ingin Ren hindari.

 

Keluar dari ruang guru, Petra dan Galang telah berdiri menunggunya. Tak melihat Chiya, Vanila dan si kembar membuat Ren celingak-celinguk. Ingin menyampaikan info secara langsung setelah tim kelompok tujuh kumpul. Supaya tidak diulang-ulang.

“Gimana Ren,  kapan berangkat magang?” tanya Galang tak mau menunggu lama.

“Mana lainnya?” Ren justru balik bertanya.

“Di koridor tuh, sibuk di pameran lorong,” jawab Galang sembari menunjukkan arah koridor dengan dagunya.

 

Petra diam saja. Ini tak luput dari perhatian Ren. Masih diingatnya kata-kata Petra kemarin, luka di sudut bibir Ren telah mengering. Lalu apa luka di sudut hati ikut mengering.

 

Tatapan Petra memang seolah menembus ke dalam jantung Ren. Memperhatikan saksama. Ada yang berbeda pagi ini. Suram di wajah Ren, menghilang. Tak sepenuhnya hilang, tapi cukup membuat Petra lega. Setidaknya pagi ini, Ren tidak mereka temui dalam keadaan suram dan mencengkeram perut karena lapar.

***

“A-apa???  Mulai magang besok???” Reaksi berlebihan dilontarkan Chiya, sedang asyik-asyiknya menjadi tim sibuk di pameran lorong, buatnya enggan memulai magang sesuai perintah.

“Kalau aku sih senang saja,” ucap Vanila.

 Kama dan Jaya bengong tidak bereaksi. Membuat Petra ingin tertawa dengan duo kribo yang biasa berisik mendadak melongo, gamang memikirkan sesuatu.

 

“Heh, apa sih yang bikin kalian bengong?” tanya Petra penasaran. Tak biasanya dua ceria itu tidak heboh menerima suatu informasi.

“Baju,” jawab Kama.

“Kenapa, ada apa dengan baju?” Petra tak mengerti.

“Baju kita selalu kembar, malu!” seloroh Jaya. Petra mulai paham. Tapi masih tak mengerti mengapa hal sepele begitu dipusingkan.

“Lebay …!” ledek Petra. Tawanya langsung menghilang ketika air muka si kembar tak juga berubah cair. Masih kaku mirip kanebo kering. Petra berdeham, sadar kesalahannya menyepelekan hal sulit bagi temannya itu.

 

“Petra, kamu nggak tahu ya, Kama dan Jaya sudah memusingkan masalah baju sejak pertama pengumuman magang,” ujar Galang.

“Ketika kamu bilang aku punya trauma, nah … begitulah Kama dan Jaya, situasinya hampir mirip,” ucap Ren menambahkan.

“Ya, nggak sama dong, Ren. Masalah kamu itu serius,” kilah Petra.

“Nah, baju itu juga hal serius untuk Kama dan Jaya. Bertahun-tahun mereka berjuang mengatasi rasa malu karena memakai baju kembar. Ledekan orang-orang seperti kamu tadi, membuat tidak nyaman,” ujar Ren lagi.

 

 Petra terhenyak. Dia memang asal bicara, tanpa berpikir. Menertawakan hal yang ia anggap remeh. Bagi Petra yang  biasa hidup di panti, memakai baju apa pun, kembar atau tidak, bekas atau baru, yang terpenting adalah masih layak pakai. Namun, situasi akan berbeda jika diterapkan pada diri si kembar. Apalagi kemudian Petra tahu mereka memiliki kenangan buruk tentang itu. Jadi, memang tidak boleh menganggap remeh trauma orang lain, kadar dan masalah hal yang memicu traumatis itu berbeda-beda.

 

Akhirnya Kama dan Jaya menceritakan awal mula masalah pakaian menjadi hal serius bagi mereka. Terus terang Kama dan Jaya lebih senang memakai seragam. Sebab bukan hanya mereka berdua yang memakai baju serupa. Chiya menanyakan mengapa tidak memakai baju berbeda. Walaupun memiliki banyak baju kembar, jika berbeda hari dalam pemakaian tidak akan ada bedanya dengan baju  biasa.

 

“Sebenarnya canggung mengatakan ini, karena ini soal keluarga. Namun, ini benar terjadi pada kami. Sampai sebesar sekarang, bunda masih mengatur pakaian yang dikenakan tiap hari. Terlalu terobsesi dengan anak kembar, entahlah apa yang dipikirkan bunda,” ucap Kama.

 

Semua mengernyitkan kening, tidak mengerti. Terkecuali Jaya tentunya. Lantas Jaya mulai mengisahkan bahwa dulu bundanya sangat berusaha melakukan program bayi tabung sampai akhirnya berhasil memiliki putra kembar. Saat TK kejadian tidak menyenangkan terjadi. Bundanya yang amat terobsesi dengan pakaian lucu, memakaikan baju pink berenda pada keduanya. Yeah, baju perempuan untuk kembar lelaki, suatu tindakan kebodohan yang menjerumuskan. Alih-alih si anak disanjung karena lucu. Orang-orang justru mencemooh, menertawakan beserta bunda yang turut tergelak di antara mereka. Seketika perasaan si kembar yang saat itu hampir enam tahun, merasa bagai topeng monyet yang diolok-olok. Lebih sakitnya lagi, hal tersebut dilakukan berulang kali oleh bunda mereka tanpa merasa bersalah bahwa itu perbuatan yang membuat anaknya malu. Perasaan moment ditertawakan itulah yang masih terbawa hingga saat ini. Seolah menjadi kembar demi kepuasan bunda semata, seakan hidup mereka hanya pelampiasan lelucon sang bunda.

 

Tak jarang si kembar meminjam jaket atau hoodie Galang dan Ren saat main di luar rumah. Rencananya, untuk magang pun si kembar ingin mengatur pakaian mereka agar tidak terlihat sama. Karena bisa dipastikan bunda akan menyiapkan yang sama, maka mereka akan ubah di luar rumah dengan bantuan teman-temannya. Sebab Kama dan Jaya terlalu sayang untuk membuat bunda mereka kecewa. Berkali-kali mereka dengar cerita, harta bunda yang habis karena program bayi tabung yang membutuhkan biaya tak sedikit itu. Ayah dan bunda memulai lagi dari nol usaha berdagangnya sambil merawat Kama dan Jaya penuh kasih sayang. Untuk itu, si kembar berat hati jika harus melakukan penolakan pada bunda meski hati mereka tersiksa.

 


”Apa kalian bersedia membantu kami?” desak Kama dan Jaya merengek pada Galang dan Ren. Baru lega setelah melihat anggukan kedua temannya.

“Aku pun akan membantu kalian, maaf aku nggak peka, ya!” ujar Petra akhirnya.

 

Menyimak cerita si kembar, juga kisah lebam di pipi Ren membuat Petra tahu bahwa, orang yang memiliki orang tua tidak melulu dilimpahkan kasih sayang. Ada hal lain, ujian sesuai takaran masing-masing. Masalah pasti ada saja, namanya orang hidup. Menuntaskan trauma atau sakit hati akibat ulah orang tua sendiri ternyata jauh lebih rumit dari yang Petra kira.

 

“Hmm, kalau aku sih pasti senang diperhatikan seperti itu,” ujar Vanila menggerutu.

Semuanya melirik pada Vanila. Yang dilirik tak peduli, kepalanya ditidurkan pada meja kantin. Bibirnya mengomel seperti ikan koi.

“Disiapkan baju, didandanin, itu semua yang aku inginkan … apa kita tukar saja bunda kita?” celotehnya pada Kama dan Jaya.

“Memangnya kamu nggak diperhatikan?” tanya Chiya memonyongkan bibirnya, nada bicaranya tak percaya.

“Hmm, boro-boro … sibuk ngurusin adik-adik,” ujar Vanila ketus.

“Adikmu berapa?” tanya Ren kemudian. Dua tahun berteman, baru kali ini teman-temannya mulai membuka diri mengenai cerita keluarga masing-masing.

 

“Empat, yang paling kecil masih tiga bulan,” jawab Vanila merengut. Lantas diteruskan lagi ceritanya, “kalian bayangin, sudah SMA punya adik bayi!” geramnya.

 

“Aku juga punya banyak adik, ada kali 20-an anak … mereka semua sama sepertiku, sama-sama dibuang!”  seru Petra, menimbulkan rasa tidak enak hati pada diri teman-temannya.

“Petraaaaa …!!!!” pekik mereka berbarengan. Petra terkekeh kecil. Mungkin di antara teman-temannya hanya Petra yang telah berdamai dengan dirinya, bisa melakukan dark jokes pada sakit hati terbesar dalam hidupnya―perasaan dicampakkan, perasaan terbuang.

 

“Makanya aku betah di rumah Galang!” seru Kama.

“Iya, masakan ibunya enak-enak,” ujar Ren setuju.

 

Sekilas ada senyum sinis di sudut bibir Galang. Ren menangkap hal itu. Jadi teringat hari di mana, Ren diantarkan ke rumah oleh ayah Galang. Hampir sepanjang perjalanan mereka―Galang dan ayahnya―tak saling bicara, hanya Galang dan Ren yang bersuara. Suara ayah Galang justru baru terdengar ketika, menemui dan berpamitan dengan ayah Ren. Terlihat ramah dan baik hati, seolah peri penolong yang menawarkan jasa agar anak-anak itu dapat pulang ke rumah dengan selamat. Padahal yang Ren tahu, sebetulnya ibu Galang yang merencanakan itu semua. Sampai-sampai menghubungi semua wali murid dari kelompok tujuh supaya tidak khawatir. Ren juga tahu, peran Galang yang berbicara pada ayahnya untuk minta tolong, karena ibu Galang tidak berani mengatakan langsung dengan alasan tertentu.

 

“Apa ada yang kamu sembunyikan, Lang?” tanya Ren, memancing Galang mengungkapkan isi hatinya. Memang seperti ada yang tersembunyi.

 

Galang menggeleng lemah. Dibukanya ikat kepala―mirip kain tenun―kemudian dipakainya lagi. Salah tingkah.

****

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3035      1167     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Glitch Mind
46      43     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Ilona : My Spotted Skin
586      422     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
241      164     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Me vs Skripsi
2131      918     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
What If I Die Tomorrow?
426      272     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
Broken Home
32      30     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Resonantia
401      339     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Tetesan Air langit di Gunung Palung
449      312     0     
Short Story
Semoga kelak yang tertimpa reruntuhan hujan rindu adalah dia, biarlah segores saja dia rasakan, beginilah aku sejujurnya yang merasakan ketika hujan membasahi
Surat untuk Tahun 2001
5423      2199     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...