Asap knalpot dan bau oli sudah jadi makan siang Renata atau yang kerap disapa Rei. Ia menyapa ramah pelanggan yang baru saja datang untuk menambal ban. Di depan bengkel kecil milik pamannya, ia berusaha tersenyum menjalankan pekerjaan. Jalanan sempit yang berisik oleh suara kendaraan dan klakson hingar bingar di telinga. Di belakangnya, suara logam diketuk dan obrolan kasar bercampur tawa renyah bibinya yang sedang mengobrol dengan tetangga.
"Rei, ambilin kunci pas nomor sepuluh!" seru Paman Munar, tangannya penuh oli, wajahnya bercucuran keringat meski hari baru saja dimulai.
Rei beranjak cepat, menyerahkan kunci pas lalu kembali duduk menekuni ban motor. Usianya baru enam belas, tapi pundaknya terasa seperti menanggung beban dua kali lipat usianya. Hal seperti ini sudah menjadi rutinitas setiap hari.
"Rei!" teriak Bibi Maria. "Udah makan?"
Rei menggeleng. “Belum!” jawabnya singkat.
Maria berdiri menjulang di sampingnya. Baju daster pudar yang seharusnya berwarna merah itu menggelayut di bawah lutut Maria. “Nanti habis nambal, makan, ya. Sekalian ada yang mau Bibi omongin.”
“Iya, Bi,” Rei menjawab singkat.
Butuh waktu dua puluh menit untuk menambal ban hingga pengendara motor pergi dan kembali melanjutkan perjalanan. Rei masuk ke dapur, mencuci tangannya, lantas pergi ke meja makan membuka tudung saji. Lauk pertama yang menyambutnya adalah ikan asin dan sayur tumis kangkung. Tentu saja nasi putih berkadar gula rendah hasil perebutan warga di warung pak Karya.
Rei menghela napas, menyelipkan rambut ke belakang telinga lalu duduk menyantap makanan. Di suapan pertama, bibinya menghampiri dan ikut duduk di seberangnya.
“Maaf, Bibi cuma bisa masak itu,” ucap Maria lembut.
“Apaan, sih, Bi? Begini aja udah enak, kok.” Ia tidak sedang jujur. Kebosanan merupakan sesuatu yang dapat membuat orang lain sakit hati bila ditunjukkan secara terang-terangan. Itu yang pernah Rei baca dari buku filosofi di perpustakaan sekolah.
Maria tersenyum. “Rei, Bibi dapat kabar dari uwak di Surabaya. Katanya kakek sakit keras. Jadi sore ini jam lima Bibi sama Paman harus berangkat. Mungkin besok siang udah pulang. Kamu nggak apa-apa sendirian di rumah?”
Kakek yang bibinya maksud adalah ayah dari paman Munar. Usianya memang sudah sangat tua, hampir satu abad. Di benak Rei, mungkin ini saatnya manusia uzur itu meninggalkan dunia. Itu sebabnya ia ingin semua anak-anaknya yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia datang berkumpul di saat-saat terakhir.
Rei menandaskan makannya cepat lalu meneguk air putih. “Nggak apa-apa, Bi. Rei bisa jaga diri, kok. Kakek pasti butuh paman.”
“Atau kamu mau ikut?”
“Nggak usah.” Tolong, bisa-bisa Rei yang mati kebosanan di sana. “Rei di sini aja, jagain bengkel. ‘Kan ada Ujong sama Ipan yang nemenin.” Ia bangkit dan berjalan ke wastafel mencuci piring kotornya. Hal yang selalu ia lakukan setiap selesai makan karena ia menyukai kebersihan. “Kalau Paman butuh waktu lebih lama, nggak apa-apa, Bi. Mumpung lagi libur ajaran baru sekolah juga, Rei bisa jagain bengkel.”
Ia tersenyum, kembali berjalan ke samping bibinya lalu merangkulnya hingga Maria bisa mendengar napas yang keluar dari hidung keponakannya itu. "Keponakan Bibi ini sekarang udah gede, Rei bisa membedakan mana yang pantas dan nggak pantas. Bibi yang selalu mengajarkan Rei untuk tahu memilih,” katanya.
"Kurasa udah waktunya kamu tinggalkan kebiasaan ngemil crackers sebagai bukti bahwa kamu memang bener-bener udah gede." Mereka tertawa.
"Bibi ...," ujarnya manja. "Yang itu jangan dong ...."
Maria telah menyadari dengan sangat perubahan yang kian hari kian menonjol pada diri keponakanya. Satu-satunya buah hati yang ia miliki. Beberapa minggu lagi Rei akan naik ke kelas sepuluh, tapi Maria dan suaminya sama sekali belum merencanakan akan dilempar ke mana anak itu untuk menginjakkan sepatu sekolahnya di lantai kelas baru.
Apakah dia akan senang-senang saja bila Maria menyekolahkannya di SMA sederhana? Yang uang bulanannya tak berkesempatan menghabiskan jatah belanja sehari-hari. Atau di sekolah yang bisa memberikannya beasiswa untuk siswa kurang mampu. Suaminya Munar tak punya pekerjaan lain kecuali membongkar pasang motor orang di bengkel yang mereka tumpangi untuk dijadikan tempat tinggal dengan bayaran sewa satu juta rupiah perbulan.
Mereka tak punya mata pencaharian lain untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan biaya belanja yang semakin hari semakin mahal. Maria harus lebih berusaha lagi untuk membuat keluarga kecilnya bahagia dan utuh. Dia bisa bekerja sebagai tukang cuci, buruh pabrik keripik, tukang kebun panggilan, atau tukang cuci piring di hajatan warga desa. Nilai rupiah sekecil apa pun akan menjadi sangat berharga untuknya.
Begitu paman dan bibinya masuk ke dalam angkutan umum untuk bisa sampai ke terminal bis, Rei kembali ke bengkelnya untuk beberes peralatan sebelum tutup. Dua rekannya, Ujong dan Ipan turut membantunya. Akan tetapi, seorang pengendara motor bebek yang berbadan tinggi berkulit hitam berhenti tepat di bengkelnya.
Pria itu turun dari motor, membuka helm dan menghampiri Rei. “Bisa bongkar mesin, Mbak? Tapi saya mau selesai malam ini.”
Rei dan Ujong berpandangan seakan berkomunikasi melalui telepati. “Kita udah mau tutup, Bang. Udah sore, maaf,” ucap Rei santun.
“Waduh, saya minta tolong, Mbak. Soalnya besok saya harus ngojek pagi-pagi. Ini satu-satunya motor buat saya cari makan.”
“Memangnya apanya yang rusak?” tanya Ujong sedikit keras.
“Eh … anu, mungkin dinamo starternya soalnya susah dinyalain. Rem muka belakang juga, sama spul kayanya juga minta ganti, Mas.”
Rei keberatan menerima keluhan sebanyak itu. Ia dan dua rekannya sudah kelelahan bekerja seharian, tidak akan bisa menyelesaikan motor itu dalam waktu singkat. Belum lagi kerusakannya lain yang belum terdeteksi.
“Saya bayar dua kali lipat, deh, Mbak. Hitung-hitung sama jasa lembur. Saya bayar tujuh puluh persen dulu juga nggak apa-apa.”
Ipan mengangkat tangan tanda menyerah. Sedangkan Ujong cuma geleng-geleng seakan menyerahkan keputusan pada Rei. “Serius kalian nggak mau bantuin gue?”
“Gue udah janji sama cewek gue mau nonton,” jawab Ipan. “Dari pada dia marah terus gue diputusin?”
Rei menaikkan sebelah bibirnya kesal. Ujong juga membuat alasan yang sulit ditolak. Mau tak mau, Rei mengambil tawaran pria yang memperkenalkan dirinya dengan nama Sopan. Untuk meringankan Rei, Sopan minta agar motornya diantar besok pagi-pagi sekali jam lima subuh.
Bukan hal yang menyulitkan menurut Rei. Selain upah jasa yang sangat lumayan, Ujong juga bersedia ditelepon jika ada hal yang tidak diketahui Rei. Urusan bongkar pasang bukanlah perkara sulit.
Di usianya yang masih beranjak lima belas tahun, tinggi badannya mencapai hampir lima kaki. Ia punya pergelangan tangan yang padat, persis atlet renang. Teman-teman perempuannya sempat iri dengan bentuk buah dadanya yang hampir mendekati kategori sempurna. Liuk tubuhnya semakin lama semakin tampak molek. Demikian juga dengan perkembangan cara berpikirnya yang terkesan cepat memahami situasi dan kondisi. Semua orang yang mengenalnya tahu betul bagaimana cara dia bekerja meski terkadang ia lebih suka mengandalkan dua rekannya yang lain.
Kini Rei memasukkan empat motor yang telah siap diservis ke dalam bengkel dibantu kedua teman seperjuangannya. Tepat jam enam sore mereka menutup bengkel kecil itu.
Sesuatu yang menuntut ia untuk memasukkan makanan ke dalam perutnya membuat Rei harus mencari apa saja yang bisa mengenyangkan. Sebelum maghrib Rei membersihkan tubuh dari bau-bau minyak yang menyengat kemudian pergi ke warung untuk membeli beberapa butir telur dan mie instan untuk dia lahap malam ini.
Gadis bertubuh ramping dan tinggi itu melaju santai dengan motor maticnya―motor pinjaman lebih tepatnya. Rambut sebahunya yang hitam lebat dan lembut tersibak oleh terpaan angin. Senyumnya merona dan memesona, setiap ada orang di jalan yang ia kenal disapanya dengan sangat ramah dan hangat. Semua orang di kampung mengenalnya dengan sangat baik.
Setelah menyadari matahari sudah bersembunyi di sebelah barat, Rei kembali melajukan motornya sambil membawa belanjaan yang digantungkan di stang sebelah kiri.
Rei segera bergegas untuk sampai di rumah supaya tidak ketinggalan waktu shalat. Ia melajukan motornya sedikit kencang, kemudian sedikit mengerem ketika ada tikungan tajam di hadapannya.
Tiba-tiba, Rei menarik pedal remnya dengan sekuat tenaga ketika hampir menabrak seorang gadis yang sedang berjalan dari arah berlawanan. Gadis itu pun jatuh terkejut dan tersungkur. Dengan jantung yang hampir copot, Rei segera turun dari motornya, kemudian menghampiri gadis bertubuh ramping dan mengenakan jaket hitam tebal.
"Mbak, maafin saya. Saya nggak sengaja. Mbak nggak apa-apa, kan?" Gadis itu merintih kesakitan sambil memegangi lututnya yang terluka. Cairan merah menodai celana krim tepat di bagian lutut. Rei panik kemudian membantunya berdiri dengan tangan gemetar sembari bersyukur orang yang ditabraknya masih sadar dan sanggup berdiri.
Gadis itu menengadahkan kepalanya menatap Rei bermaksud untuk marah, tapi tiba-tiba saja tatapan mata di antara mereka tak bisa terlepas. Rei terkejut setengah mati dengan apa yang didapatinya. Wajah gadis itu, wajah gadis itu membuat seluruh tubuhnya kaku seketika.
"Elo?" sentak mereka bersamaan.
Ibarat cermin di depan mata. Wajah mereka begitu mirip, sangat persis. Mereka berpikir kalau ini tidaklah mungkin. Mana mungkin ada orang yang tiba-tiba datang tanpa sengaja di kehidupan mereka dengan wajah dan tubuh yang sama persis.
Kegilaan macam apa ini?
Ema ... sial banget kamu ketemu dopleganger T_T
Comment on chapter Chapter 3 - Darah dan Pelarian3 bab nya bikin penasaran, selanjutnya ?