Loading...
Logo TinLit
Read Story - XIII-A
MENU
About Us  

Ruang BK sore itu diselimuti cahaya hangat yang memudar, seperti perasaan yang tak tahu harus pulang ke mana. Tirai digeser setengah, membiarkan sinar matahari merayap ke permukaan meja kayu yang penuh goresan sejarah siswa-siswa sebelumnya. Di luar, suara-suara mulai sirna, tersisa hanya angin yang menyusup lewat celah ventilasi dan gema samar dari pengeras suara sekolah yang mengucapkan pengumuman tanpa semangat.

Atha duduk di kursi yang menghadap langsung ke Pak Surya. Tidak banyak siswa yang datang konsultasi langsung, apalagi soal proyek ini. Sebagian hanya sekadar menyetor tema dan format, lalu pergi, bahkan ada juga yang tidak peduli. Tapi tidak Atha. Ada sesuatu yang perlu ia bicarakan, sesuatu yang tidak bisa sekadar diketik dan dikirim lewat email atau pesan singkat.

“Pak,” katanya sambil membuka buku kecil yang sudah penuh dengan catatan di sana-sini, “saya ada beberapa alternatif judul. Tapi... saya belum yakin yang mana yang paling pas.”

Pak Surya mengangkat alis sedikit, tersenyum kecil, dan meletakkan pulpen yang tadinya ia putar-putar di antara jari. “Oke, coba tunjukin. Kita lihat bareng-bareng.”

Atha membuka halaman yang dimaksud. Tiga judul tertulis rapi, masing-masing diberi lingkaran dan catatan singkat di sampingnya.

“Yang pertama, ‘Pulang ke Diri Sendiri’. Saya tulis waktu lagi kepikiran soal titik balik, tentang waktu saya mulai berdamai sama kenyataan. Lalu yang kedua, ‘Sebelum Aku Memaafkan’. Ini lebih ke... prosesnya. Waktu saya sadar, ternyata saya paling susah memaafkan diri sendiri.”

Pak Surya mengangguk pelan, mengamati tulisannya. “Hmm. Keduanya reflektif. Dalam. Tapi ada satu lagi, kan?”

Atha menarik napas, agak ragu. “Iya. Yang terakhir ini agak beda. Judulnya cuma… ‘XIII-A’.”

Begitu nama itu keluar dari mulut Atha, suasana di ruangan mendadak berubah. Tidak ada suara apapun selama beberapa detik. Pak Surya tidak langsung merespons. Ia hanya menatap tulisan itu, lama. Seolah di balik huruf dan angka itu, ada lapisan makna yang sedang dibuka perlahan.

“XIII-A,” gumamnya. “Ini nama kelas kan, ya?”

Atha mengangguk. “Iya. Kelas 13, dan huruf A itu… ya, nama saya juga. Atha. Jadi... semacam identitas. Tapi juga luka. Sekaligus pelajaran.”

Pak Surya menyandarkan punggungnya ke kursi. “Menarik. Waktu kamu nyebut judul itu, saya langsung berhenti mikir soal yang lain.”

Atha menatapnya, sedikit kaget. “Kenapa, Pak?”

“Karena judul itu semacam... gak berusaha menjelaskan terlalu banyak. Tapi justru karena itu, dia kuat. Kayak kamu lagi ngasih ruang ke pembaca buat ngerasain sendiri. Dan jujur aja, waktu saya dengar ‘XIII-A’, saya langsung ngerasa terlempar ke ruang itu. Ke kelas yang penuh beban, tapi juga penuh harapan kecil-kecil yang susah banget dipertahankan.”

Ia menatap Atha lebih dalam, kali ini dengan tatapan seorang guru yang bukan hanya mengajar, tapi mengerti. “Kamu tahu kenapa kamu pilih judul itu. Dan itu cukup,” lanjutnya.

Atha terdiam. Tangannya menggenggam sudut buku kecilnya erat-erat. Lalu pelan-pelan ia mulai bicara, suara rendah tapi mantap.

“Saya sempat benci banget sama nama kelas ini, Pak. Setiap kali dengar ‘Kelas 13’, rasanya kayak diingatkan lagi sama kegagalan yang enggak bisa saya lupakan. Tapi sekarang... saya mulai mikir, mungkin justru dari kelas ini, saya belajar paling banyak.”

Pak Surya mengangguk pelan, lalu mengambil pulpen dan menggambar lingkaran kecil di sekitar judul ‘XIII-A’.

“Kamu udah nemu tulang belakangnya,” katanya. “Tinggal kamu isi dagingnya.”

“Dagingnya pahit, Pak,” gumam Atha, setengah bercanda, setengah jujur.

“Tapi kalau kamu bisa masak yang pahit dengan baik,” jawab Pak Surya sambil tersenyum, “orang lain bisa kenyang juga dari pengalaman kamu.”

Mereka sama-sama tertawa pelan. Tertawa kecil yang tidak menghapus luka, tapi cukup untuk menandai bahwa hidup belum selesai. Atha kemudian membuka halaman baru di bukunya dan mulai menulis kembali judul itu dengan huruf besar dan rapi:

XIII-A

Dan tepat di bawahnya, ia menambahkan satu kalimat kecil yang keluar begitu saja dari mulut dan pikirannya:

“Bukan cerita pemenang. Tapi ini cerita orang yang enggak mau selesai sebagai pecundang.”

Saat ia selesai menulis, cahaya di luar jendela sudah mulai memudar, berganti warna kejinggaan. Tapi tak apa. Di dalam dirinya, sesuatu baru saja menyala.

Atha berpamitan pada Pak Surya untuk pulang. Sampai akhirnya dia sampai di rumah, kemudian kembali berkutat dengan buku catatan kecilnya. Dia melewatkan makan malam, bukan karena tidak nafsu makan, melainkan dia sedang tehanyut dalam proyeknya sendiri.

Atha duduk di depan meja belajarnya, lampu meja menyala lembut. Buku tulis yang baru dibeli pagi tadi terbuka di hadapannya. Atha memegang pulpen seperti seseorang yang memegang alat berat yang terlalu asing di tangan—bukan karena ia tidak tahu cara memakainya, tapi karena ia takut menghancurkan sesuatu yang ia sendiri belum tahu bentuknya.

Ia memandangi halaman itu lama. Tidak ada garis petunjuk. Tidak ada struktur. Tidak ada bab.

Lalu ia menulis satu kalimat.

[Gue gagal, tapi bukan berarti gue berhenti.]

Tangannya berhenti sejenak. Ia membacanya ulang. Ada sesuatu yang menggigil di dada, tapi bukan sedih. Lebih mirip lega. Seolah kata itu membuka pintu kecil ke ruang yang sudah lama terkunci rapat.

Ia menulis lagi.

[Terkadang, orang yang kelihatan paling kuat cuma lagi jago nyembunyiin runtuhnya.]

Lagi-lagi tangannya berhenti. Kali ini ia menyandarkan punggung ke kursi dan menatap langit-langit kamar. Kalimat itu seperti cermin—memantulkan gambarnya sendiri beberapa minggu lalu: menolak keluar kamar, memutus semua komunikasi, tidur tanpa arah, bangun tanpa semangat.

Atha tidak mencoba menyusun paragraf. Ia tahu ini belum waktunya menyusun. Ia hanya menuang. Menuang yang selama ini ia simpan di tempat yang terlalu dalam, yang terlalu lama ia pura-pura tidak lihat.

[Orang lain bisa bilang gue lemah, sombong, atau drama. Tapi cuma gue yang tahu rasanya jadi gue.]

[Maaf ya, Atha. Udah lama gak nanya: kamu baik-baik aja gak?]

[Gue dulu pengen sempurna biar semua orang seneng. Tapi ternyata gak ada yang peduli juga.]

Ia tertawa kecil setelah menulis yang terakhir. Bukan tawa bahagia, tapi semacam tawa pahit yang akhirnya keluar dari luka yang terlalu lama disegel rapat.

Beberapa kali ia berhenti, menatap keluar jendela. Angin malam menggeser tirai sedikit. Jalanan di depan rumah sudah sepi. Tapi ada satu suara di dalam dirinya yang perlahan kembali berbicara. Suara yang dulu selalu ia matikan. Suara dirinya sendiri.

[Gue bukan siapa-siapa. Tapi mungkin, dengan kata-kata, gue bisa jadi sesuatu buat seseorang.]

Ia menulis itu sambil menggigit bibirnya. Air matanya hampir tumpah, tapi tidak jadi. Bukan karena ia menahan, tapi karena kali ini ia tidak ingin menutup emosi itu. Ia ingin mengenalinya.

[Yang hancur di dalam belum tentu pengen diperbaiki. Kadang cuma pengen dimengerti.]

[Kalau nanti buku ini selesai, dan cuma gue yang baca—gak apa-apa. Setidaknya, gue udah nolong satu orang: diri gue sendiri.]

Kata demi kata itu tidak lahir dari rencana. Ia hanya mengalir, seperti darah yang kembali menemukan jalurnya setelah lama terhambat. Tidak semuanya bagus. Tidak semuanya puitis. Tapi semuanya jujur. Dan itu yang penting.

Atha menutup bukunya perlahan. Tangannya masih gemetar sedikit, tapi kali ini bukan karena takut. Tapi karena semangat yang kembali muncul—semangat yang belum tahu akan dibawa ke mana, tapi cukup untuk menghidupkan satu malam.

Ia menatap halaman itu sekali lagi sebelum tidur. Tak banyak, baru tujuh atau delapan kutipan. Tapi semuanya terasa seperti serpihan tubuhnya yang tersebar dan akhirnya kembali dipungut satu per satu.

Lampu meja ia matikan. Gelap menyelimuti kamar. Tapi di dalam dirinya, kata-kata itu masih menyala.

Kata-kata itu masih menyala di dalam dirinya saat pagi datang perlahan. Bukan nyala yang membakar, tapi lebih seperti bara kecil yang hangat—cukup untuk membuat Atha bangun tanpa rasa berat seperti biasanya. Ia memasukkan buku kecil berisi kutipan ke dalam tas, seolah ingin membawanya seperti jimat. Entah kenapa, hari itu ia merasa ingin bicara. Bukan soal pelajaran, bukan soal gosip sekolah—tapi soal apa yang sedang ia coba bangun kembali dari reruntuhan dirinya.

Maka ketika Bu Indri menyapanya setelah kelas selesai dan mengajaknya ke kantin, Atha tidak menolak. Mereka duduk di bangku paling pinggir, dekat jendela, tempat suara riuh siswa lain hanya terdengar samar.

Bu Indri memesan dua gelas teh manis. Ia membuka percakapan dengan pelan, nyaris seperti orang yang sedang meminta maaf tanpa kata maaf.

“Saya kemarin kecewa banget sama kamu, Tha.”

Atha menunduk. Ia tahu kalimat itu bukan serangan. Justru terasa seperti pengakuan yang jujur.

“Tapi kamu gak pernah hilang dari radar saya,” lanjut Bu Indri. “Saya lihat kamu makin jarang senyum, makin diam, makin menjauh. Saya kira kamu cuma lagi bandel, atau lagi pengin perhatian. Tapi ternyata kamu lagi jatuh, ya.”

Atha mengangguk pelan. Tangannya menggenggam gelas teh, padahal minum pun belum sempat.

“Maaf, Bu… saya emang sempat… hilang arah.”

“Kita semua pernah, Tha,” jawab Bu Indri. “Dan saya senang kamu nulis. Saya dengar dari Pak Surya. Judulnya, ‘XIII-A’, ya?”

Atha tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tadinya saya kira judulnya harus keren atau puitis. Tapi ternyata yang paling jujur justru yang paling sederhana.”

“Dan yang paling jujur biasanya juga yang paling nyakitin, kan?” sahut Bu Indri sambil tersenyum kecil. “Tapi juga paling nyembuhin.”

Mereka terdiam sejenak. Heningnya bukan karena canggung, tapi karena sama-sama sedang mengingat sesuatu.

“Kamu tulis aja semuanya,” lanjut Bu Indri. “Gak usah mikirin nilai dulu. Kamu punya suara yang gak semua orang bisa dengar, Tha. Tapi kalau kamu tulis dengan jujur, orang akan denger. Mungkin gak semua... tapi cukup.”

Sore itu, bukan hanya teh yang menghangatkan Atha. Tapi juga pengakuan—dan pengampunan—yang datang dari arah yang tidak ia duga.

Dan kali ini, untuk pertama kalinya setelah lama, ia percaya bahwa tulisannya memang bisa menjadi sesuatu. Bukan sekadar proyek. Bukan pelarian. Tapi cara untuk pulang—ke dirinya sendiri.

Atha sudah pulang, dan senja pun sudah lama pergi ketika Atha kembali duduk di meja belajarnya. Cahaya dari lampu meja jatuh lembut di atas buku kecil yang mulai menebal oleh kutipan-kutipan yang ia tulis tiap malam.

Di halaman yang baru, ia menulis satu kalimat pembuka dengan tangan kanan yang sedikit gemetar. Bukan karena dingin. Tapi karena kata-katanya kali ini terasa seperti jalan pulang yang ia takuti namun tetap ia tempuh juga.

Atha bergumam sambil tangannya tetap menulis, “Kalau mereka baca ini, gue pengin mereka tahu…”

Tangannya berhenti. Ujung pulpen menggantung di udara, menggoyang pelan, seperti ragu untuk mendaratkan akhir kalimat. Ia memandangi kata-kata itu lama, lalu perlahan meletakkan pulpennya di meja. Tak ada kelanjutan. Tapi ia tahu persis siapa ‘mereka’ yang dimaksud.

Wajah Niko terlintas duluan, dengan gitar di pangkuan dan nada-nada yang menyakitkan tapi jujur. Lalu Dero, duduk di pojokan kelas, dengan tatapan yang selalu dalam seolah menyimpan dunia lain di baliknya. Dua sosok yang begitu berbeda, namun keduanya pernah hadir begitu dekat, nyaris seperti cermin retak yang menampilkan bagian-bagian dirinya yang tak sanggup ia lihat sendiri.

Atha membuka halaman baru. Ia mengambil kertas kosong dari laci dan dengan hati-hati menempelkannya di tengah buku catatannya. Lalu ia menulis di bagian atas, huruf demi huruf, seolah takut menodai kesunyian:

[Untuk kalian yang pernah duduk di samping gue,

dan mungkin gak bakal duduk di situ lagi.]

Ia tidak menangis. Tapi dadanya sesak, seperti sedang mengubur sesuatu yang masih bernapas. Lalu, di bawahnya, dengan tulisan yang sedikit lebih kecil, ia tambahkan:

[Niko & Dero.

Nama kalian tetap ada di sini,

meskipun sekarang nggak di bangku yang sama.]

Ia menatap tulisan itu cukup lama. Tidak tahu pasti kenapa ia tetap mencantumkan nama mereka. Mungkin karena harapan yang belum mati. Mungkin karena luka yang belum selesai. Tapi yang jelas, buku ini bukan hanya tentang dirinya sendiri. Buku ini tentang tiga remaja yang berjuang dalam sunyi masing-masing, dan pernah saling sentuh meski akhirnya saling menjauh.

Tangannya bergerak pelan, membuka halaman paling belakang buku kecil itu. Di sana, ia mulai menulis daftar kasar—kerangka—yang bisa jadi fondasi buku proyeknya nanti.

[Daftar Bab:

1. Jatuh

2. Diem

3. Lawan

4. Teriak

5. Hidup]

Setiap kata itu membawa makna yang tajam, hampir seperti luka yang diberi nama. “Jatuh” adalah hari ia dinyatakan gagal. “Diem” adalah minggu-minggu penuh tudingan. “Lawan” adalah saat ia berani berdiri lagi. “Teriak” adalah keputusannya untuk bicara lewat tulisan. Dan “Hidup”... adalah ini. Momen ini. Saat ia memilih untuk tidak lagi hanya bertahan, tapi juga berjalan.

Ia menuliskan satu baris terakhir di bawah daftar itu:

[Judul Buku: XIII-A

Penulis: Atha – dan dua nama yang gak pernah benar-benar pergi (Niko dan Dero)]

Tak ada tawa. Tak ada air mata. Tapi senyum tipis itu muncul juga, pelan, seperti matahari kecil yang menyelinap masuk lewat celah tirai.

Atha menggeser buku kecilnya ke samping. Lalu, perlahan, ia buka laptop yang sudah dua bulan tak disentuh. Layarnya gelap sejenak, sebelum akhirnya menyala, menampilkan pantulan samar wajahnya yang lebih tenang dari sebelumnya.

Malam itu, ia tidak menulis banyak. Hanya satu halaman pembuka, satu judul, dan satu harapan besar: bahwa dari sisa-sisa dirinya yang runtuh, akan lahir sesuatu yang bisa menolong orang lain—atau setidaknya, menolong dirinya sendiri.

Atha menulis beberapa kalimat yang sudah ia yakini untuk benar-benar ditunjukkan, sampai ia menekan tombol ‘save’ dan menamai dokumen itu:

XIII-A (Draf 1)

Dan dengan itu, langkah pertama pun resmi dimulai.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • eagleon

    arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii

    Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN
  • eagleon

    orang-orang itu lucu, ya? pas seseorang masih di atas, sibuk ngejilat. giliran orangnya jatuh ke bawah, sibuk nginjek2.
    hadehhh

    Comment on chapter BAB 2: MUAK
Similar Tags
Mentari Diujung Senja
1425      804     2     
Fan Fiction
Dunia ini abu untuk seorang Verdasha Serana Kana. Hidupnya ini seperti dipenuhi duri-duri tajam yang tak ada hentinya menusuknya dari seluruh penjuru arah. Ibunya yang tak pernah menghargai dirinya, hanya bisa memanfaatkan Sasha. Lelaki yang di kaguminya pada pandangan pertama malah jadi trauma baginya. Dia tak tahu harus lari kemana lagi untuk mencari perlindungan Philopophy series : Ba...
Slash of Life
8337      1761     2     
Action
Ken si preman insyaf, Dio si skeptis, dan Nadia "princess" terpaksa bergabung dalam satu kelompok karena program keakraban dari wali kelas mereka. Situasi tiba-tiba jadi runyam saat Ken diserang geng sepulang sekolah, kakak Dio pulang ke tanah air walau bukan musim liburan, dan nenek Nadia terjebak dalam insiden percobaan pembunuhan. Kebetulan? Sepertinya tidak.
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
194      135     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
When I\'m With You (I Have Fun)
664      385     0     
Short Story
They said first impression is the key of a success relationship, but maybe sometimes it\'s not. That\'s what Miles felt upon discovering a hidden cafe far from her city, along with a grumpy man she met there.
Batagor (Menu tawa hari ini)
381      244     4     
Short Story
Dodong mengajarkan pada kita semua untuk berterus terang dengan cara yang lucu.
Bee And Friends
2985      1171     1     
Fantasy
Bee, seorang cewek pendiam, cupu, dan kuper. Di kehidupannya, ia kerap diejek oleh saudara-saudaranya. Walau kerap diejek, tetapi ia memiliki dunianya sendiri. Di dunianya, ia suka sekali menulis. Nyatanya, dikala ia sendiri, ia mempunyai seseorang yang dianggap sebagai "Teman Khayalan". Sesosok karakter ciptaannya yang ditulisnya. Teman Khayalannya itulah ia kerap curhat dan mereka kerap meneman...
Jalan Menuju Braga
366      283     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Last October
1879      747     2     
Romance
Kalau ada satu yang bisa mengobati rasa sakit hatiku, aku ingin kamu jadi satu-satunya. Aku akan menunggumu. Meski harus 1000 tahun sekali pun. -Akhira Meisa, 2010. :: Terbit setiap Senin ::
Ada Apa Esok Hari
201      155     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Gino The Magic Box
4166      1297     1     
Fantasy
Ayu Extreme, seorang mahasiswi tingkat akhir di Kampus Extreme, yang mendapat predikat sebagai penyihir terendah. Karena setiap kali menggunakan sihir ia tidak bisa mengontrolnya. Hingga ia hampir lulus, ia juga tidak bisa menggunakan senjata sihir. Suatu ketika, pulang dari kampus, ia bertemu sosok pemuda tampan misterius yang memberikan sesuatu padanya berupa kotak kusam. Tidak disangka, bahwa ...