Sebagai sepasang kekasih yang saling jatuh cinta, Natha dan Jihan meluangkan waktu ke taman hiburan, Jihan yang meminta dan Natha mengikuti kemauan pujaan hatinya. Jihan selalu tertawa lepas saat menaiki berbagai macam wahana yang ada terutama kora-kora, meski Natha tidak terlalu menyukai kora-kora karena Jihan lelaki itu ikut bahagia.
Memang, jika sedang jatuh cinta apa pun yang dilakukan pasangannya akan diikuti meski awalnya tidak terlalu suka.
Lalu dari sekian banyaknya wahana yang ada di taman hiburan, tinggal beberapa saja yang belum mereka naiki, tapi mereka sudah kelelahan.
"Ah, capek banget," ucap Jihan setelah mendudukkan tubuhnya di kursi kayu yang ada di taman hiburan dan di sebelahnya ada Natha yang tersenyum karena wajah perempuan itu terlihat bahagia. Raut wajah seperti ini yang Natha inginkan dan semoga wajah bahagianya tidak pernah pudar meski masalah akan datang menimpa pundaknya.
Tanpa mengatakan apa pun, Natha memberikan botol berisi air mineral dan Jihan menerima dengan senyuman. "Makasih."
Selain Jihan, Natha yang haus juga ikut minum di botol berbeda. Setelah keduanya selesai minum Natha pun berkata, "Kamu laper nggak?"
Sebagai jawaban Jihan mengangguk singkat.
"Ayo, kita cari makanan yang enak," ajak Natha dan segera beranjak dari tempatnya duduk begitu pula dengan Jihan.
Mencari restoran terdekat, keduanya berjalan berdampingan meski Natha memelankan langkahnya karena kakinya yang panjang harus menyesuaikan dengan langkahnya Jihan. Siang ini langit begitu cerah, bahkan indah. Awan-awan yang seperti gumpalan kapas itu terlihat menggemaskan, kalau saja awan memiliki mata dan mulut pasti mereka akan tersenyum karena suasana hati orang-orang di bawahnya sedang bahagia, termasuk dua orang yang beberapa hari menjadi sepasang kekasih.
"Hari ini saya senang banget," ujar Jihan sambil tersenyum lebar seakan-akan dirinya yang paling bahagia di dunia ini.
"Ya?"
Masih dengan senyumnya, Jihan menatap Natha dengan teduh. "Makasih ya, saya beruntung banget bisa ketemu kamu. Maaf ya kalau awalnya saya pernah ketus sama kamu." Jihan terkekeh sebentar. "Mungkin kalau kamu menyerah gitu aja, dunia saya nggak akan berwarna seperti sekarang, sekali lagi makasih ya."
Di dalam hati, perempuan itu berjanji untuk tidak akan pernah bosan mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada Natha.
Lalu ucapan terima kasih Jihan yang terdengar tulus tentunya membuat Natha senang sebab rencananya bisa dikatakan berhasil. Dia berhasil menarik Jihan dari dunia gelapnya yang tidak baik-baik saja.
Sampai kapan pun, Natha akan melindungi perempuan yang telah menjadi pujaan hatinya. Apa pun itu, akan dia lakukan hanya untuk Jihan.
***
"Saya izin ke toilet sebentar ya," ucap Natha yang lantas segera beranjak dari tempat duduknya.
Omong-omong, keduanya berada di restoran tempat saji lalu menunggu makanan yang sudah dipesan dua menit yang lalu. Jihan yang duduk sendirian memutuskan untuk mengambil ponselnya yang ada di tas, menurutnya daripada menunggu dengan bosan lebih baik Jihan melihat foto-fotonya bersama Natha.
Jika mengingat saat menaiki wahana kora-kora, Jihan tertawa sebab Natha yang ketakutan berteriak dengan kencang.
"Jihan?"
Dia menoleh dan senyum di wajahnya langsung menghilang karena entah muncul dari mana, ada sosok Albin yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Dia tersenyum seakan tidak mengingat rasa malu.
"Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini," ucapnya seraya mendudukkan diri di hadapan Jihan. Padahal itu tempat duduknya Natha, seenaknya saja orang itu mendudukinya.
"Kamu sendirian ya? Seharusnya kamu kasih tahu aku, biar aku temani."
Jihan yang kesal memilih berdecak, sungguh keberadaan Albin merusak suasana hatinya. Jihan harap orang itu segera pergi setelah mendengar ucapannya yang tajam. "Baik saya atau pun kamu, udah nggak ada urusan apa-apa lagi, jadi saya minta kamu jangan ganggu ketenangan saya."
Jihan berusaha tenang dan Jihan harap, Natha segera kembali.
"Tapi aku masih nunggu jawaban kamu, Han."
Perkataan Albin menimbulkan senyuman kecut di wajahnya. "Jawaban apa? Bukannya jawaban saya sangat amat jelas ya? Mau sesering apa pun kamu bujuk saya, jawabannya tetap sama. Saya nggak mau kasih kamu kesempatan kedua."
Wajah serta ucapan Jihan yang terkesan tegas membuat Albin menunjukkan kekecewaannya. "Kenapa?"
Haruskah Jihan menjelaskannya secara jelas? Sepertinya otak Albin memang tertinggal di suatu tempat.
"Ibarat baca buku yang sama, endingnya tetap nggak akan berubah, kan? Saya nggak mau patah hati untuk kedua kalinya karena kamu. Dan satu hal yang harus kamu ingat." Sorot matanya tidak lagi menatap penuh hangat seperti Albin harapkan. "Saya udah menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dari kamu."
Jihan harap setelah mendengar ucapannya Albin benar-benar pergi karena jujur dirinya sudah muak menatap wajah orang itu lebih lama lagi.
"Kamu pasti bercanda, kan? Kamu sengaja bilang kayak gitu supaya aku nyerah? Sayang banget, aku sama sekali nggak percaya sama omongan kamu tuh." Di akhir katanya dia malah tertawa.
Pening di kepalanya tiba-tiba datang karena Jihan berusaha untuk menahan emosi, kalau saja tempat ini tidak ramai Jihan akan melayangkan satu tamparan agar Albin sadar.
Natha cepatlah datang karena di situasi seperti ini Jihan benar-benar membutuhkannya.
"Han?"
Suara seseorang yang diharapkan kedatangannya membuat Jihan lega, maka dengan memperlihatkan senyum manisnya Jihan menatap Natha dengan penuh kasih sayang dan dia segera bangkit dari duduknya.
"Ya ampun, Sayang. Kamu kok lama banget ke toiletnya? Aku nungguin dari tadi loh." Dia pura-pura cemberut seakan kesal pada Natha yang membuatnya menunggu.
Sebenarnya di dalam hati Jihan merasa geli sekaligus malu, tapi perempuan itu memang harus melakukannya agar Albin tidak lagi menganggapnya bohong.
Reaksi Albin tentunya kesal, lain halnya dengan Natha yang mengerjapkan mata terdiam karena barusan Jihan memanggilnya 'sayang' meski dirinya tahu ada alasan di baliknya, tapi tetap saja Natha tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang nampak malu-malu itu.
"Pacar kamu?" tanya Albin, tanpa adanya keraguan Jihan mengangguk.
Albin mendesis karena marah sekaligus kecewa dan reaksi itulah yang Jihan harapkan.
Karena situasi ini harus segera diselesaikan Natha yang tidak lagi salah tingkah itu berdeham sebentar. "Saya Natha, pacarnya Jihan."
Natha memperkenalkan diri dengan senyuman ramah, berbeda dengan Albin yang berlawanan sikap dengannya.
Lalu orang itu menatap Jihan dengan kecewa. "Aku nggak nyangka, kamu secepat itu lupain aku. Padahal aku udah minta maaf sama kamu, seharusnya kamu mau aku ajak balikan lagi, katanya kamu cinta dan nggak bisa hidup tanpa aku. Tapi apa nyatanya? Kamu bohong, aku kecewa sama kamu."
Sungguh, Jihan benar-benar muak dengan orang seperti Albin. Kenapa sih susah sekali menerima kenyataan? Padahal salah orang itu yang tiba-tiba meninggalkan Jihan.
"Maaf, tapi Anda duluan yang buat pacar saya kecewa. Jadi wajar kalau sekarang Jihan udah nggak cinta lagi sama Anda," sahut Natha mewakilkan Jihan yang bersembunyi di belakangnya.
Albin menatapnya tajam. "Jangan mentang-mentang pacarnya, lo jadi seenaknya ikut campur! Asal lo tahu, gue ini cinta pertamanya Jihan!" Intonasinya suaranya yang meninggi membuat orang-orang menatap ke arahnya dan Jihan meringis karena jujur, dirinya benci sekali menjadi pusat perhatian terlebih bisa saja sebentar lagi kedua lelaki itu akan bertengkar.
"Anda memang cinta pertamanya, tapi jangan pernah lupa kalau saya cinta terakhirnya. Dan menurut saya cinta terakhir yang selalu menang," ucap Natha dengan penuh kesadaran.
Beberapa orang ada yang berbisik seakan sedang menebak apa yang terjadi, Jihan yang benar-benar tidak ingin menjadi pusat perhatian mencengkeram kuat ujung baju Natha hingga Natha yang menyadari memilih untuk tidak melanjutkan meski ada banyak sekali perkataan bahkan sumpah serapah yang ingin dia ucapkan, karena menurutnya kenyamanan Jihan jauh lebih penting.
"Kalau Anda masih punya rasa malu silakan pergi dari sini," ucapnya tegas.
Albin yang kalah menendang kursi sebagai bentuk pelampiasan kekesalannya dan sebelum pergi dari restoran cepat saji ini orang itu menatap Jihan yang sayangnya Jihan segera memalingkan wajahnya.
Kcewa, kesal, dan sedih. Albin membawa ketiganya dan semua orang seakan tidak peduli dengan hatinya karena memang orang itu tidak pantas diberi kesempatan.
***
Kalau Albin tidak muncul di hadapan mereka, Jihan akan menobatkan bahwa hari ini adalah hari paling menyenangkan selain taman bunga. Karena Albin, Jihan merasa tidak enak hati pada Natha dan sempat dia meminta maaf meski lelaki itu mengatakan bahwa bukan seharusnya Jihan yang meminta maaf.
Dan kini, hari sudah malam dan waktu kebersamaan mereka akan segera berakhir hari ini. Natha sudah mengantar pujaan hatinya pulang, keduanya berada di teras rumah Jihan sekadar mengucapkan selamat malam atau mengobrol sebentar sebelum Natha pergi.
"Makasih udah antar saya pulang," ucap Jihan dengan senyumannya.
Benar, semenjak Natha berhasil membantunya perempuan itu sering tersenyum. Senyum yang sebelumnya pernah dia sembunyikan selama beberapa tahun.
"Sama-sama, Han."
Sebenarnya Natha tidak ingin berpisah secepat ini karena di setiap detiknya dia selalu merindukan pujaan hatinya, tapi waktu yang terus berjalan serta hari yang semakin malam, mau tidak mau mereka memang harus berpisah.
Sebelum pergi Natha menatap wajah cantik itu dengan lekat hingga mengakibatkan Jihan salah tingkah dan Natha merespons dengan kekehan singkat.
"Oiya, saya lupa," ucap Natha seraya menepuk keningnya pelan.
"Lupa apa?" tanya Jihan penasaran.
Natha tidak menjawab, justru tersenyum dengan penuh arti. "Tunggu sebentar ya, ada yang mau saya ambil di mobil."
Usai berkata dia membalikkan badannya, melangkah menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah Jihan. Tidak terlalu lama menunggu, Natha kembali membawa buket bunga yang sudah pasti untuk Jihan.
Buket itu terdapat bunga mawar merah muda, lavender, bunga matahari, serta lily putih.
"Buat kamu," ucap Natha seraya menyerahkan buket bunga cantik untuk pujaan hatinya.
"Makasih," balas Jihan tidak lupa tersenyum manis.
Bunga-bunga berwarna-warni yang cantik dan harum membuat suasana hatinya ikut bermekaran, lalu di antara bunga-bunga itu terselip surat yang tentu membuatnya penasaran.
"Baca suratnya nanti aja ya, saya malu soalnya." Begitu kata Natha sambil cengengesan, sementara itu Jihan mengangguk singkat.
"Kalau gitu, saya pulang dulu ya."
"Hm, hati-hati di jalan."
Meski rasanya berat Natha melangkah pergi untuk pulang, sebelum lelaki itu memasuki mobilnya dia melambaikan tangan pada kekasihnya dan Jihan membalas lambaian itu.
Natha telah pergi bersama mobilnya dan Jihan yang masih berdiri di teras rumahnya segera membaca surat yang Natha tuliskan untuknya.
Untuk Jihan.
Saya memberi setangkai mawar pink untuk mewakilkan cinta yang hangat dan lembut, setangkai lavender yang membawa ketulusan serta ketenangan hati, lalu bunga matahari yang melambangkan harapan dan kebahagiaan yang terus bersinar. Dan terakhir lily putih untuk cinta yang murni serta abadi.
Lalu semua ini saya rangkai untuk menyampaikan satu hal : Cinta saya untuk kamu adalah ketulusan, tidak tergoyahkan, dan selalu tumbuh mekar. Dalam sinarmu, saya menemukan versi terbaik dari dalam diri ini. Terima kasih telah menjadi cahaya, rumah, serta alasan saya untuk tersenyum.
Dengan sepenuh hati,
Natha.
Tanpa sadar air matanya menetes, bersama senyuman dia menangis haru. Natha berhasil membuatnya tersentuh, karena Natha dirinya merasa dihargai dan cintai dengan tulus. Sungguh, sebanyak apa pun dirinya mengucapkan terima kasih sepertinya tidak akan cukup mengukur rasa bahagianya yang teramat besar.
"Terima kasih, Tha. Karena kamu sukarela menjadi cahaya dalam hidup saya dengan hati yang utuh," gumamnya menatap buket bunga seolah bunga-bunga itu adalah Natha.
SELESAI.