Berhubung hari ini Jihan libur bekerja dan tidak ada jadwal kuliah, Jihan memiliki rencana untuk pergi keluar rumah sekadar menjernihkan pikiran dari kegiatan hariannya yang cukup melelahkan. Awalnya perempuan itu ingin pergi sendiri. Namun, ketika Jihan berada di luar rumah dengan pakaian sederhana dan terlihat rapi serta tote bag yang menggantung di pundak kanannya. Perempuan itu terkejut saat menyadari keberadaan Natha yang berada di depan rumahnya dengan senyuman lebar sementara tangannya melambai.
Sempat Jihan berpikir sejenak, bagaimana bisa Natha tahu jika hari ini Jihan ingin pergi? Padahal Jihan sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Apakah lelaki itu bisa membaca pikiran atau seorang peramal? Tapi sepertinya kedua hal itu tidak benar.
"Hayo. Dandannya rapi begini mau pergi ke mana?" Di akhir kata Natha terkekeh pelan.
Jihan memutar bola matanya malas, karena seharusnya Jihan lah yang bertanya seperti itu pada Natha.
"Seharusnya saya yang tanya begitu. Kenapa kamu ada di depan rumah saya?"
Natha cengar-cengir sementara tangan kanannya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Hng. Tujuan saya ke sini apalagi kalau bukan mau ketemu kamu. Saya mau ngajak kamu pergi jalan-jalan."
Lelaki dengan lesung pipi itu tersenyum singkat. "Tadinya sih saya nggak yakin kalau kamu bakalan ada di rumah, tapi ternyata dugaan saya salah."
Usai mendengar Natha selesai berbicara, Jihan menghela napas sedikit panjang. "Saya nggak mau ikut," ujarnya malas.
Sebelumnya Natha begitu yakin dan amat percaya diri jika Jihan menyetujui untuk pergi bersamanya seperti sebelum-sebelumnya. Karena penolakan dari Jihan itu wajah Natha terlihat kecewa.
"Kenapa? Kamu mau pergi ke mana memangnya?"
Sesaat Jihan mengangkat pundaknya. "Entah, saya nggak punya tujuan."
Lelaki yang masih duduk di atas motornya itu manggut-manggut sebentar setelah mencerna jawaban yang Jihan utarakan. Jalan-jalan tanpa tujuan, ya? Kalau boleh jujur, beberapa kali Natha pernah melakukannya. Di saat kepalanya ingin pecah karena tugas kuliah dia pergi tanpa tujuan dengan motor kesayangannya dan akibat dari jalan-jalan tanpa tujuannya itu, Natha menemukan taman serta danau yang indah. Dan terakhir Natha akan membeli dua kardus martabak manis sebelum pulang ke rumah. Tapi menurut Natha, pergi dengan tujuan akan lebih terasa jelas.
"Kamu yakin mau pergi tanpa tujuan? Kalau saya sih udah jelas punya tujuan mau pergi ke mana. Kamu yakin nggak mau ikut saya?" tanyanya sembari melipatkan kedua tangan di depan dada dan berharap perempuan itu mengubah keputusannya.
Tiga detik Natha selesai berbicara, perempuan itu menggeleng singkat. "Enggak."
Satu kata sebagai jawaban membuat Natha manggut-manggut. "Oke, kalau begitu. Saya yang ikut kamu."
Sesaat Jihan mendelik. "Saya lagi pingin sendiri."
"Anggap aja saya nggak ada. Eh tapi, jangan deh saya nggak suka dicuekin."
Jihan yang merasa Natha akan membuang-buang waktunya, perempuan dengan rambut terurai itu memilih meninggalkan Natha. Sementara Natha yang cukup terkejut karena ditinggalkan segera memanggil Jihan.
"Han! Jihan! Kamu beneran nggak mau ikut saya?"
Jihan tidak merespons, memilih untuk terus berjalan dengan seulas senyum yang singkat. Natha mendengkus dan cemberut di waktu yang sama. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Jihan, Natha kira Jihan tidak akan cuek lagi seperti sebelum-sebelumnya.
Dan benar, salahnya yang terlalu berharap.
Karena tujuannya datang adalah menemui Jihan sekaligus mengajak perempuan itu pergi. Maka usaha Natha untuk membujuk Jihan tidak sampai di sini saja. Terlebih dahulu Natha membuka pagar rumah Jihan memasuki motornya untuk ditaruh di halaman rumah itu. Selesai menaruh motornya, Natha berlari kecil mengejar Jihan yang dia rasa tidak terlalu jauh meninggalkan dirinya.
Sejenak Natha menghentikan langkahnya, dia tersenyum lebar saat di persimpangan jalan mendapati Jihan yang berjalan dengan santai.
"Jihan, tunggu!"
Karena namanya disebut, perempuan itu menoleh menatap Natha yang berlari kecil untuk menghampirinya.
"Kamu ngapain?"
"Ikut kamu lah. Kan tadi saya udah bilang. Kalau kamu nggak mau ikut sama saya. Saya yang ikut kamu."
Jihan mendengkus sedangkan Natha malah cengengesan, padahal Jihan ingin pergi sendiri. Tapi ya sudahlah, sudah terlanjur juga. Mengusir Natha pun rasanya percuma karena dia cukup keras kepala. Dan beberapa detik kemudian Jihan tersadar akan sesuatu hal. Tentang Natha yang tidak membawa motor kesayangannya.
"Motor kamu di mana?"
"Saya taruh di halaman rumah kamu. Karena hari ini saya mau ikut kamu jadi saya nggak bawa motor," jawabnya sembari tersenyum lebar.
"Terserah lah." Begitu katanya yang kemudian kembali melanjutkan langkah kakinya yang sempat terjeda.
"Jadi hari ini kita mau ke mana?" tanya Natha penasaran.
***
Tadinya sih, Jihan benar-benar tidak ada tujuan ingin pergi ke mana. Namun, setelah berpikir kurang lebih sepuluh menit Jihan tahu dirinya akan pergi ke mana dan tentunya dengan Natha yang masih mengikutinya.
Tujuan Jihan kali ini adalah pergi ke tempatnya berbagai macam hewan laut yang berada di balik akuarium raksasa. Alasannya karena sudah lama sekali dia tidak pergi ke sana, terakhir saat masih SMP itu juga pergi bersama orang tuanya, dan alasan kedua entah kenapa selain melihat bunga-bunga, melihat akuarium berwarna biru yang diisi oleh berbagai macam ikan membuatnya lebih tenang.
"Saya pikir kita bakalan pergi ke mal." Natha berujar tiba-tiba saat mereka sudah membeli tiket.
Lalu mereka pergi ke tempat pertama yaitu melihat atraksi ikan-ikan piranha yang akan diberi makan.
Tanpa menoleh dan terus berjalan, Jihan menyahut. "Saya nggak terlalu suka pergi ke mal, kalau nggak terpaksa."
Natha manggut-manggut, baru pertama kali ini dia menemukan perempuan yang tidak suka pergi ke mal jika bukan terpaksa. Dan itu tandanya mal bukanlah tempat yang bagus untuk mengajak Jihan pergi.
Oke, mulai sekarang Natha akan mengingatnya.
Mereka telah sampai di tempat pertama, pada akuarium besar berbentuk silinder yang menjadi tempat tinggal para piranha.
Piranha Feeding Show adalah nama atraksinya, dan bisa dikatakan jumlah piranha di dalam akuarium silinder itu mencapai ratusan atau mungkin ribuan? Lalu akuarium itu juga dilengkapi timer agar dapat menghitung kecepatan ikan-ikan ganas itu dalam menghabiskan makanannya.
Omong-omong, selain mereka cukup banyak orang-orang yang berkumpul dengan tujuan yang sama. Atraksi memberi makan ikan piranha belum dilakukan karena seorang petugas masih berbicara tentang piranha. Sekitar dua menit kemudian, hal yang mereka semua tunggu akan diperlihatkan dalam hitungan beberapa detik lagi dan sebagian dari mereka telah siap untuk merekam atraksi ikan-ikan piranha dengan handphone masing-masing.
Sekumpulan ikan piranha itu berkerumun memperebutkan makanan dan habis dalam hitungan yang terbilang singkat. Saat menyaksikan banyak dari mereka yang terkejut maupun takjub.
Ketika Natha menoleh untuk menatap Jihan, reaksinya tidak terlalu berbeda dari orang-orang yang baru menyaksikan atraksi tersebut. Berhubung atraksi memberi ikan piranha sudah selesai, satu persatu dari pengunjung mulai meninggalkan tempat.
Jihan dan Natha beralih ke tempat kedua, jellyfish atau ubur-ubur adalah tempat selanjutnya. Menatap sekumpulan ubur-ubur dari akuarium rasanya benar-benar menyenangkan sebab hewan yang memiliki sengat itu terlihat lucu, naik turun, mengembang mengempis, bergerak ke berbagai arah. Karena terdapat lampu di dekat akuarium itu, jika dilihat dari jauh mereka seperti sekumpulan lampu-lampu kecil.
Jihan takjub matanya berbinar-binar, dia senang dan saking senangnya perempuan itu tidak menyadarinya jika sedari tadi Natha sudah lama menatapnya sambil tersenyum.
Bagi Jihan, ubur-ubur itu menarik perhatiannya tapi bagi Natha justru Jihan yang menarik perhatiannya.
"Kalau saya perhatiin mereka mirip sama lampu tidur punya adik saya," ucap Natha seolah-olah dia melakukan hal yang sama seperti Jihan, fokus menatap ubur-ubur padahal nyatanya dia hanya fokus menatap pada perempuan yang kini menoleh padanya.
"Kenapa? Kamu mau bilang kalau saya mirip ubur-ubur?" celetuknya asal sambil terkekeh pelan lalu satu detik kemudian Jihan juga ikut terkekeh, masih terkekeh Jihan kembali menatap ubur-ubur yang masih memikat perhatiannya.
Cukup puas melihat ubur-ubur dan ingin melihat ke tempat-tempat yang lain, Jihan lebih dahulu meninggalkan tempat itu dan seperti biasa Natha mengikutinya dari belakang.
Omong-omong, tempat yang memang wajib di datangi adalah menelusuri terowongan bawah air. Antasena Tunnel Aquarium, terowongan kaca dengan panjang sekitar delapan puluh meter. Dikatakan wajib di datangi karena ikan-ikan akan berenang tepat di atas kepala, menyaksikan diver yang sedang menyelam. Dan di setiap sisi terowongan terdapat papan informasi agar pengunjung bisa mencari tahu jenis hewan laut yang mereka lihat.
Terowongan kaca besar itu biasanya menjadi tempat favorit para pengunjung untuk mengabadikan momen, mengambil beberapa jepret foto dengan latar ikan-ikan dari dalam kaca sepertinya adalah hal yang harus Natha lakukan sebagai kenang-kenangan yang tidak akan pernah terlupakan.
"Jihan."
Namanya disebut, Jihan yang sebelumnya menatap ikan-ikan yang berenang bebas menoleh. Seketika perempuan itu melebarkan matanya saat mendapati Natha memegang handphone yang mengarah ke wajahnya.
"Senyum, Han."
Jihan tahu Natha ingin mengambil foto dirinya, hanya saja Jihan malah terdiam karena masih terkejut dan beberapa detik kemudian kedua sudut bibirnya perlahan terangkat, entah senyumnya terlihat aneh atau tidak.
Tapi baginya rasanya aneh, hal pertama karena Jihan harus tersenyum dan kedua sudah lama sekali dia tidak di foto seperti sekarang ini. Dan pastinya hasil foto itu tidak bagus karena menunjukkan senyumnya yang terlihat kaku.
Lalu ada satu hal yang Jihan lupakan, tentang dirinya yang belajar untuk tersenyum lagi.
Natha tersenyum saat melihat hasil jepretannya kemudian lelaki bertubuh jangkung itu mengambil langkah agar posisi mereka dekat. Dengan metode memilih kamera depan Natha mengarahkan handphone-nya itu ke wajah dirinya dan Jihan.
Jihan menatap Natha sebentar dengan perasaan canggung tercampur gugup, sekadar menghilangkan kedua hal tersebut Jihan memalingkan wajahnya ke arah lain sembari menenangkan hati juga pikirannya.
"Ayo, Han. Kita foto bareng."
Perempuan itu kembali menoleh karena gugup serta canggung yang dia rasakan sebelumnya agak berkurang. Melihat Natha tersenyum dan siap mengambil foto, Jihan juga ikut tersenyum dan kali ini senyumnya tidak terlihat kaku seperti sebelumnya.
***
Setelah puas melihat ikan-ikan di akuarium besar, kini mengisi perut adalah tujuan mereka. Berhubung Natha yang mengikuti ke mana Jihan pergi, otomatis Jihan lah yang menentukan mereka akan makan di mana. Dan tidak sampai lima belas menit, Jihan telah menentukan makanan apa yang akan mereka makan.
Mi ayam pedagang kaki lima di rasa bukanlah pilihan yang buruk. Jihan memesan dua mangkuk mi ayam, satu ekstra bakso untuk Natha dan satu ekstra sayur untuk Jihan. Setelah semangkuk mi ayam sudah berada di tangan masing-masing, fokus Jihan tertuju ke depan atau mungkin pada sekelilingnya. Sembari makan ada beberapa hal yang Jihan lihat seperti langit yang cukup cerah, jalan raya yang terlihat ramai, pembeli mi ayam bukan hanya mereka saja, dan kehadiran tanaman bougenville yang membuat sebelah alisnya terangkat.
"Kenapa?" Natha bertanya setelah melihat Jihan yang raut wajahnya begitu berbeda ketika melihat tumbuhan yang berada di samping mereka, atau mungkin lebih tepatnya ada di antara mereka.
Karena memandangi bougenville posisi duduk Jihan jadi berubah sedikit. "Saya baru sadar kalau ada bougenville di sini."
"Itu karena tadi kamu terlalu serius tatap gerobak mi ayam." Natha tertawa meledek, Jihan merespons dengan tatapan kesal. Dan untung saja lelaki itu sudah menelan mi ayamnya kalau tidak mungkin bisa membuatnya tersedak.
Bougenville adalah salah satu tanaman cantik yang memiliki duri lalu yang membuatnya unik adalah bunganya yang tipis seperti kertas. Bougenville itu termasuk tanaman liar yang memiliki banyak mitos yang beredar.
"Oiya, ngomong-ngomong kamu tahu tentang mitos bougenville?" tanya Natha.
Jihan yang baru menelan bakso langsung mengangguk singkat. "Tahu, tentang rumor yang bilang kalau bougenville itu tanaman pembawa sial."
"Terus katanya kalau ada yang tanam bougenville di depan rumah bisa bikin pemilik rumah itu kena sial, kayak sering bertengkar, susah dapat jodoh atau perselingkuhan. Katanya juga ujung bunga bougenville itu bisa memancarkan aura negatif," sahut Natha.
Mungkin dari rumor yang berkembang itu banyak orang-orang tidak memilih bougenville untuk ditanam di pekarangan rumah.
"Kamu percaya?"
Tanpa banyak berpikir, Natha menggeleng singkat. "Enggaklah, namanya juga mitos. Tapi kalau mitosnya tentang tanaman itu bisa melukai orang baru saya percaya. Karena di ranting tanaman itu banyak durinya."
Benar, jika seseorang tidak hati-hati maka dirinya akan terluka tertusuk duri yang berada di ranting bougenville. Padahal bunga kertas itu memiliki arti yang baik, seperti perlindungan, kelembutan, serta kepercayaan diri. Tapi kenapa bisa orang-orang menyebarkan hal negatif ya?
Lalu tidak ada lagi percakapan tentang bougenville di antara mereka karena mi ayam harus mereka habiskan melihat semakin banyak pembeli datang dan bisa saja ada yang ingin makan di tempat.
Beberapa menit kemudian, makanan habis dan Natha yang memaksa untuk membayar dua mangkuk mi ayam.
Sebelum pergi Jihan menatap Natha lekat seakaj ingin berbicara. Natha yang mengerti arti tatapan itu segera bertanya. "Kenapa?"
Perempuan itu tidak langsung menjawab sempat ragu untuk mengatakannya, tapi Jihan ingin sekali pergi ke tempat itu. Maka sambil tangannya dia menjawab. "Kamu masih mau ikut saya ke tempat terakhir, sebelum kita pulang?"