Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Flowers Learn to Smile Again
MENU
About Us  

Hari Sabtu adalah hari Jihan bekerja di toko bunga, dari pagi sampai sore ini pembeli bunga tidak seramai biasanya, mungkin baru sepuluh orang saja yang baru datang membeli. Karena sepinya pembeli, Jihan jadi tidak terlalu sibuk dengan pekerjaannya, bahkan sekarang perempuan itu tengah duduk di dekat salah satu rak penyimpan bunga sekadar memperhatikan sekitarnya, karena sejatinya semua pekerjaan merapikan atau menata bunga-bunga sudah dia lakukan.

"Jihan?"

Karena di dalam ruangan toko bunga hanya ada dua orang pekerja. Sebenarnya, pekerja di toko bunga ini ada empat orang hanya saja dua orang sisanya mendapat jam kerja yang berbeda dengan dirinya.

Maka, Jihan bisa mendengar dengan jelas, jika karyawan bernama Beno sedang memanggilnya. Dan buru-buru sang pemilik nama membangkitkan dirinya dari posisi duduknya untuk menghampiri Beno.

Jihan yang berdiri di hadapan Beno langsung mengerutkan kening, pasalnya Beno terlihat sedang gelisah. Beno yang menyadari atensi Jihan langsung bersuara. "Tolong jagain meja kasir sebentar, ya. Saya ada urusan mendadak yang nggak bisa dianggap remeh."

Andai saja, jam kerjanya tidak sama dengan Jihan, mungkin Beno tidak akan terpaksa seperti ini meminta bantuan kepada Jihan, karena di saat melihat Jihan memasang tampang datar membuat rasa kegelisahan Beno semakin bertambah.

"Saya mau buang air besar dulu, kamu duduk di sana, kalau ada pembeli jangan lupa senyum. Senyumnya yang manis kayak begini."

Beno tersenyum, mencontohkan senyum manis saat datangnya pembeli, mungkin karena pengaruh dari rasa kegelisahan senyum yang Beno tampilkan terlihat aneh lebih tepatnya sangat aneh, tidak ada manis-manisnya sama sekali.

Beberapa detik kemudian, terdengar suara gas dengan berbau busuk, dengan kecepatan tidak lebih dari cepatnya cahaya, Beno langsung melesat ke tempat tujuannya. Kepergian Beno yang meninggalkan bau busuk, hampir saja membuat Jihan mengumpat. Baunya memang menusuk hidung, tapi untungnya bau busuk tersebut cepat menghilang saat Jihan mengibaskan tangan di depan hidungnya.

Lantas dirinya melangkah ke tempat meja kasir mendudukkan diri di kursi sana sembari menunggu datangnya pembeli. Mungkin sudah sekitar lima menit Jihan menunggu pembeli, tapi keadaan masih tetap sama, meski Jihan lihat di luar sana banyak orang yang berlalu lalang melewati toko bunga.

Karena sepinya pembeli pada sore ini membuatnya menghela napas seraya memejamkan mata beberapa saat, lalu fokusnya teralih ke mana-mana, pertama menatap beberapa detik pada rak-rak bunga, detik berikutnya pada lonceng di atas pintu, jam dinding, langit-langit toko, sampai brosur di atas meja. Namun, saat dirinya tengah menunduk memperhatikan kuku-kuku jarinya yang mulai memanjang, suara lonceng pertanda adanya orang yang datang terdengar.

Jihan segera mengangkat wajahnya untuk melayani pembeli yang kesebelas, dan betapa terkejutnya Jihan saat mengetahui siapa sang pembeli yang sedari tadi ditunggu-tunggu. Natha berdiri di depan pintu dengan seulas senyum dan lambaian tangan menyapa Jihan.

"Kenapa kamu ada di sini?" Begitu tanya Jihan ketika Natha sudah melangkahkan kakinya menghampiri Jihan yang terhalang oleh meja kasir. "Saya sudah bilang sama kamu, jangan ganggu saya lagi."

Cara Jihan berbicara dan sorot matanya, sama sekali tidak ada ramah-ramahnya sebagai penjual dalam melayani pembeli. Melihat Jihan yang terlihat kesal, malah menjadi undangan tawa kecil untuk Natha. Karena tawanya itu Jihan semakin kesal.

Selesai dengan tawanya, Natha berdeham pelan. "Selain galak, ternyata kamu itu kepedean banget, ya? Kedatangan saya ke sini nggak ada tujuan ganggu kamu kok," Natha tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya, "Saya mau beli bunga."

Sempat, Jihan bergeming bukan karena terpesona oleh senyuman Natha, tapi karena perkataan Natha sebelumnya. Kenapa Jihan mempunyai pemikiran jika kedatangan Natha hanya untuk mengganggunya saja sih? Dirinya benar-benar bodoh. Sebenarnya Jihan agak malu, hanya saja rasa malunya bisa Jihan sembunyikan dengan baik, tidak mengikuti saran dari Beno, Jihan menyambut kedatangan Natha yang merupakan pembeli masih tidak memperlihatkan senyuman manisnya.

"Bunga apa?"

"Agapanthus. Tempatnya di sebelah mana, ya?"

"Di sana." Jihan menoleh seraya menunjuk ke tempat bunga-bunga agapanthus berada, tempatnya berada di rak nomor dua samping rak bunga mawar.

Natha langsung mengetahui keberadaan bunga yang ingin dibeli, namun sebelum langkahnya tertuju pada bunga tersebut, Natha melontarkan satu pertanyaan untuk Jihan. "Kamu nggak tanya, kenapa saya mau beli bunga itu?"

Dengan mantap, Jihan menggeleng pelan. "Enggak, karena menurut saya itu nggak penting."

Natha terkekeh pelan karena laki-laki itu berpikir jika semakin hari Jihan semakin lucu. Kemudian Natha bergerak, melangkahkan kakinya mengambil agapanthus yang tertanam pada pot berwarna cokelat dengan diameter lima belas sentimeter.

Menyesuaikan dengan ukuran pot, bunga agapanthus tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil, maka Natha tidak kesusahan saat membawa bunga tersebut.

Agapanthus berasal dari bahasa Yunani, diambil dari dua kata berbeda yaitu 'agape' yang memiliki arti cinta dan 'anthos' yang artinya bunga. Jadi, jika kedua kata tersebut disatukan menjadi agapanthus yang bisa diartikan bunga cinta. Tanaman yang dikenal dengan nama bakung biru itu sangat menawan jika sedang bermekaran, karena bunganya akan mekar secara berurutan dari yang paling luar hingga bagian dalam.

Jika sudah besar nanti agapanthus memiliki tangkai yang panjang dan kuat, agapanthus menghasilkan struktural bunga yang menawan dengan gradasi warna biru ke ungu, namun agapanthus juga memiliki warna lain, yaitu warna putih. Dalam satu tangkai agapanthus bisa menghasilkan bunga yang lebih dari dua puluh. Dan satu lagi, bunga agapanthus itu mirip seperti bintang biru.

Natha yang telah kembali, berlanjut meletakkan agapanthus di atas meja kasir. Sebenarnya agapanthus di toko ini ada dua warna yang dijual, warna biru keunguan dan putih. Namun, tanpa pikir panjang Natha memilih warna putih karena selain warna hijau dan kuning, seseorang yang ingin dia hadiahi bunga agapanthus menyukai warna putih.

"Meski kamu bilangnya nggak penting, tapi saya mau kasih tahu aja. Kalau agapanthus itu buat nenek saya. Sebenarnya nenek saya lebih suka anggrek daripada agapanthus, tapi saya sengaja beli karena arti dari bunga tersebut."

Jihan bergeming, tidak merespons apa-apa. Karena diamnya Jihan, Natha kembali berbicara. "Karena setiap saya bertemu nenek saya. Saya nggak pernah berhenti jatuh cinta sama beliau."

Senyumnya terlihat tipis dan pandangan matanya lurus ke depan, seperti tengah melamun karena menerawang yang berhubungan dengan sang nenek beserta masa lalunya.

"Semuanya jadi seratus ribu rupiah," ujar Jihan sekadar menyadarkan Natha dari lamunannya.

Natha mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, lantas mengambil dompet kulitnya yang tersimpan di saku kanan celana jeans-nya, mengeluarkan uang lembaran berwarna merah untuk ditukarkan dengan agapanthus pilihannya. Jihan menerimanya, meletakkan alat tukar berupa uang senilai seratus ribu rupiah di dalam mesin kasir, tanpa menarik kedua sudut bibirnya ke atas atau mengucapkan kata-kata ramah seperti 'terima kasih, semoga datang kembali' sambil memberi gestur dua tangan menyatu. Jihan malah menatap Natha yang bergeming di tempatnya dengan ekspresi wajah andalannya.

Natha yang bergeming, tidak lama kemudian meraba-raba pakaiannya, seperti seseorang tengah mencari sesuatu. Dari raut wajah yang Natha perlihatkan laki-laki itu begitu panik, entah barang apa yang tengah dia cari. Namun, batin Jihan berkata bahwa barang tersebut merupakan barang yang amat penting. Jihan masih mengamati Natha, sadar jika dirinya diamati secara terang-terangan, jujur saja membuat dirinya agak gugup. Berhenti meraba, Natha menghilangkan kegugupan yang hinggap dengan cara mengusap ceruk lehernya pelan.

"Hm, saya boleh pinjam handphone kamu sebentar?"

Sebelah alis Jihan terangkat, meski hanya sedikit. "Untuk apa?"

"Handphone saya," Natha menghela napas seraya memasang raut wajah memelas, "Saya lupa taruh di mana. Boleh saya pinjam? Kalau kamu nggak pinjamkan, saya nggak akan pergi dari sini."

Jihan mendengkus kesal, karena seperti itu kah caranya meminjam barang kepada orang lain? Memaksa. Tapi daripada laki-laki itu tidak pergi, hal tersebut tidak bisa dibiarkan, selain Jihan tidak ingin menatap wajah pemuda itu lama-lama, kehadiran Natha yang berdiri di depan meja kasir bisa mengganggu pembeli yang lain. Jadi, untuk saat ini biarkan Jihan meminjamkan ponselnya. Toh, katanya juga hanya sebentar.

Tanpa bersuara, Jihan mengeluarkan ponselnya yang tersimpan di saku celana kerjanya, menyodorkan ponsel hitam miliknya pada Natha, lalu dengan senang hati nan riang Natha menerimanya. Ponsel Jihan yang tidak dikunci memudahkan Natha untuk pergi ke ikon telepon yang ada dipojok kiri bawah, lalu menekan dua belas digit angka yang merupakan nomor teleponnya. Sambungan telepon terhubung, beberapa detik kemudian suara teriakan ponsel yang diyakini milik Natha terdengar.

Natha memutuskan sambungan telepon, dengan tersenyum sebagai tanda terima kasih, pemuda tampan itu mengembalikan ponsel pada sang pemilik. "Ternyata handphone saya ada di saku jaket dalam."

Usai berkata, Natha mengeluarkan ponselnya sekadar menunjukkannya pada Jihan, masih dengan senyuman Natha kembali berkata, "Omong-omong, terima kasih sudah kasih tahu nomor telepon kamu ke saya secara sukarela, jadi saya nggak perlu repot-repot minta sama kamu deh."

Natha tertawa kecil karena rencana serta aktingnya berjalan dengan mulus, semulus aspal jalan raya yang baru diperbaiki. Menyadari sesuatu hal Jihan mendelik, ternyata Natha hanya berpura-pura. Karena Natha, kebodohan Jihan berlanjut, merutuk dalam hati, kenapa dirinya tidak terpikir sampai ke sana? Jihan tahu, pasti karena wajah memelas Natha yang berhasil melumpuhkan kinerja otaknya dalam hal berpikir.

Jika sudah dibodohi seperti ini, Jihan harus berhati-hati pada pemuda jangkung yang masih tertawa kecil itu. Benar-benar menyebalkan.

"Oiya, besok-besok jangan kaget kalau saya sering muncul di hadapan kamu," Natha berdeham, "Saya permisi dulu, kalau kangen saya, kamu bisa telepon saya kok. Nomor saya masih ada di riwayat panggilan terakhir di handphone kamu."

Begitu ucapnya sebelum pergi membawa agapanthus dan meninggalkan Jihan yang masih terlihat kesal.

Saat Natha benar-benar telah pergi dari hadapannya, Jihan masih memegang ponselnya dengan tatapan tidak percaya tercampur kesal. Tanpa diberi perintah jari-jarinya bergerak menekan ikon panggilan terakhir, dan benar nomor telepon asing yang sudah jelas milik Natha terpampang jelas di sana, paling atas.

Jihan mencibir dengan kesal perempuan itu menaruh ponselnya di atas meja kasir. Maksudnya Natha itu apa sih? Dari sikap juga ucapannya sudah sangat jelas jika Jihan tidak suka diganggu, tapi laki-laki itu masih keras kepala untuk mendekatinya.

"Akhirnya sampah-sampah di perut keluar juga." Suara Beno yang terdengar membuat Jihan menoleh ke arah laki-laki bertubuh gempal itu. "Makasih, Jiㅡ"

Saat mata Beno bertemu dengan mata Jihan, entah kenapa Beno langsung merinding ngeri. Meski Jihan menatapnya tanpa ekspresi tapi dari cara Jihan menatap, sorot matanya semakin lama semakin terlihat horor.

Kemudian Beno memundurkan langkahnya, berjaga-jaga supaya mudah kabur, takut tiba-tiba Jihan berubah menjelma menjadi hantu. Sebab di dalam pikiran jeleknya, Beno menerka jika Jihan kerasukan roh jahat.

Beno terlihat agak ketakutan, tapi Jihan tidak peduli. Karena Beno sudah selesai dengan urusannya di toilet. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Jihan mengambil ponselnya yang ada di atas meja kasir, perempuan itu memutuskan untuk tidak lagi menjaga kasir. Jihan pergi dari meja kasir tentunya dengan membawa kekesalan karena ulah Natha yang menurutnya semakin lama semakin menyebalkan.

Lain halnya dengan Jihan yang kesal, Natha justru berseri-seri sambil mengendarai mobil miliknya laki-laki jangkung itu dengan setia masih mengembangkan senyum saat dirinya melangkah pergi dari toko bunga tempat Jihan bekerja.

Di pikirannya. Selain galak, kepedean, lucu, ternyata Jihan itu juga polos. Kenapa bisa perempuan itu tidak berpikir ke arah Natha yang ingin mengetahui nomor telepon Jihan dengan cara yang klasik? Padahal berpura-pura kehilangan ponsel cukup sering digunakan oleh sebagian orang.

Karena sudah mengetahui nomor telepon Jihan, nanti malam Natha berencana untuk mengirim pesan singkat meski dirinya tahu kemungkinan Jihan membalas pesan singkatnya hanya sebesar biji semangka.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
6202      1247     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Ken'ichirou & Sisca
14341      3002     1     
Mystery
Ken'ichirou Aizawa seorang polisi dengan keahlian dan analisanya bertemu dengan Fransisca Maria Stephanie Helena, yang berasal dari Indonesia ketika pertama kali berada di sebuah kafe. Mereka harus bersatu melawan ancaman dari luar. Bersama dengan pihak yang terkait. Mereka memiliki perbedaan kewarganegaraan yang bertemu satu sama lain. Mampukah mereka bertemu kembali ?
Cinta (tak) Harus Memiliki
5666      1434     1     
Romance
Dua kepingan hati yang berbeda dalam satu raga yang sama. Sepi. Sedih. Sendiri. Termenung dalam gelapnya malam. Berpangku tangan menatap bintang, berharap pelangi itu kembali. Kembali menghiasi hari yang kelam. Hari yang telah sirna nan hampa dengan bayangan semu. Hari yang mengingatkannya pada pusaran waktu. Kini perlahan kepingan hati yang telah lama hancur, kembali bersatu. Berubah menja...
Perempuan Beracun
68      63     5     
Inspirational
Racuni diri sendiri dengan membawanya di kota lalu tersesat? Pulang-pulang melihat mayat yang memilukan milik si ayah. Berada di semester lima, mengikuti program kampus, mencoba kesuksesan dibagian menulis lalu gagal. Semua tertawa Semua meludah Tapi jika satu langkah tidak dilangkahinya, maka benar dia adalah perempuan beracun. _________
Old day
581      426     3     
Short Story
Ini adalah hari ketika Keenan merindukan seorang Rindu. Dan Rindu tak mampu membalasnya. Rindu hanya terdiam, sementara Keenan tak henti memanggil nama Rindu. Rindu membungkam, sementara Keenan terus memaksa Rindu menjawabnya. Ini bukan kemarin, ini hari baru. Dan ini bukan,Dulu.
Dira dan Aga
550      378     3     
Short Story
cerita ini mengisahkan tentang perjalanan cinta Dira
Khalisya (Matahari Sejati)
2874      961     3     
Romance
Reyfan itu cuek, tapi nggak sedingin kayak cowok-cowok wattpad Khalisya itu hangat, tapi ia juga teduh Bagaimana jika kedua karakter itu disatukan..?? Bisakah menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi..?? Semuanya akan terjawab disini. Ketika dua hati saling berjuang, menerobos lorong perbedaan. Mempertaruhkan hati fan perasaan untuk menemukan matahari sejati yang sesungguhnya &...
Sugar Baby Wanna be
497      378     2     
Romance
Kalian punya Papa posesif, yang terus mengawasi dan mengikuti ke mana pun? Sama! Aku benci Papa yang membuntuti setiap pergerakanku, seolah aku ini balita yang nggak bisa dibiarkan keluyuran sendirian. Tapi, ternyata saat Papa pergi, aku sadar kalau nggak bisa melakukan apa-apa. Penyesalanku terlambat. Kehilangan Papa menjadi pukulan terbesar bagiku. Hidupku berubah dan menjadi kacau. Aku bahk...
Gebetan Krisan
516      366     3     
Short Story
Jelas Krisan jadi termangu-mangu. Bagaimana bisa dia harus bersaing dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana mungkin keduanya bisa menyukai cowok yang sama? Kebetulan macam apa ini? Argh—tanpa sadar, Krisan menusuk-nusuk bola baksonya dengan kalut.
Hello, Me (30)
20446      1117     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...