πππ
Kita harus tetap sabar menjalani hidup. Karena, semua memang butuh proses. Dan, hasil tidak akan mengkhianati usaha bila kita melakukannya dengan sepenuh hati.
πππ
"Maaf... Kak. Aku nggak bermaksud buat--" Nada bicara Libby sedikit bergetar, takut bila Razel akan memarahinya. Terlebih, ia masuk ke dalam kamar itu disaat yang tidak tepat.
"Nggak apa-apa, tapi lain kali tolong ketuk pintu dulu." Razel sembari menatap Libby yang terlihat takut pada dirinya.
Libby menghela napas, merasa lega mendapat respon tidak seperti yang dipikirkan. Padahal, bukan salahnya mencoba masuk ke dalam kamar itu. Karena, ia sudah mengetuk pintu kamar sahabatnya beberapa kali. Namun, tidak mendapatkan respon. Sehingga, memberanikan diri mengecek keadaan kamar itu.
Akan tetapi, Libby tidak mau situasi semakin rumit. Sehingga, ia memilih tidak memprotes perkataan Razel.
"Nyari Sera, ya?" Razel sudah bisa menebak bila gadis itu pasti ingin bertemu dengan Sera. Adiknya. Karena, ia cukup mengingat bila adiknya memang berteman dengan Libby. Meskipun, sebagian ingatannya telah hilang akibat kecelakaan yang dialami.
Libby menganggukkan kepala sebagai respon dari pertanyaan Razel.
"Dia ada di kamar sebelah." Razel memberitahu keberadaan adiknya pada Libby. Kemudian, Libby melangkah meninggalkan Razel. Walaupun, seingatnya tempat itu merupakan kamar Sera. Namun, entah kenapa justru ia bertemu dengan Razel bukan Sera di sana. Akan tetapi, hal itu bukan urusannya.
Tak mau ambil pusing, Libby melangkah menuju kamar yang ditunjukan oleh Razel. Lalu, ia mencoba mengetuk pintu sembari memanggil nama Sera. Agar, sahabatnya bisa mengetahui kedatangannya. Sehingga, ia tidak terjadi kesalahan.
"Eh... Sori, Libby. Pasti lo tadi ke kamar gue dulu, ya?" Sera merasa bersalah lupa memberitahu keberadaannya pada Libby. Karena, ia memang diminta pindah ke kamar kakaknya secara mendadak. Meskipun, di sana ia hanya duduk lalu berbaring.
Libby mengangguk sembari tersenyum, tak mempermasalahkan hal itu. Yang terpenting, sekarang ia sudah bertemu dengan sahabatnya. "Oh iya, aku udah bawain novel yang kamu mau pinjem, Ser."
"Huah... Makasih banget, Libby. Gue pinjem dulu, ya. Soalnya, gue butuh bahan bacaan di rumah sering bosen. Jadi, kayaknya baca novel bakalan bikin hidup lebih berwarna." Sera senang bisa mempunyai sahabat sebaik Libby. Tidak hanya itu, Libby juga bisa diandalkan. Sepertinya, ia sangat beruntung bisa bersahabat dengan Libby.
Libby tersenyum, merasa bahagia bisa berguna untuk orang lain. Terlebih, itu bagi sahabat terbaiknya. "Kalo gitu, aku balik dulu, Ser. Soalnya, ini udah lumayan malam. Takut nanti Papaku marah."
"Eh... Bentar. Lo yakin mau langsung pulang? Padahal, baru sampai lho." Sera menjadi tak enak hati pada Libby. "Mending lo duduk-duduk dulu, deh. Nanti biar nanti gue antar lo pulang. Ehm... Atau nggak, minta Kak Razel anterin lo kalo takut kemalaman."
Libby menggelengkan kepalanya. Tak mau merepotkan orang lain. "Nggak perlu, Ser. Aku bisa pesan taksi online, tenang aja."
"Nggak baik, cewek pulang sendirian malam-malam." Sera tahu, sering terjadi kejahatan pada wanita ketika malam hari. Jadi, ia tak mau itu terjadi pada Libby. Sehingga, dengan cepat Sera berlari hendak menemui Razel. Karena, ia ingin meminta bantuan kakaknya untuk mengantar Libby. Meskipun, sahabatnya akan menolak. Namun, ia tetap akan memaksa Razel untuk menuruti permintaannya.
Kini, Libby hanya bisa pasrah dengan kelakuan Sera. Walaupun, sedari awal ia sudah menolak tawaran sahabatnya itu.
Beberapa menit kemudian, Sera kembali menghampiri Libby. Kali ini, gadis itu sudah bersama Razel.
"Kak Razel udah setuju mau antar lo pulang, Bby. Jadi, nggak usah sungkan sama dia. Lagipula, pasti Kakak gue bakalan jagain lo sepenuh hati. Kalo sampai nggak, biar itu jadi urusan gue." Sera tersenyum, senang sudah bisa membujuk Razel bersedia mengantar Libby.
Libby beralih menatap Razel, merasa tak enak hati. Pasti Sera sudah memaksa kakaknya. "Beneran nggak usah, Ser. Aku bisa pulang sendiri, kok."
"Nggak apa-apa, Bby. Ayo ... Gue antar pulang." Tanpa diduga, Razel mulai berbicara. Seakan, ia tidak mempermasalahkan apapun. Ia bersedia mengantarkan Libby.
"Tuh... Dengar kan lo, Kakak gue nggak keberatan. Gas aja, tanpa pikir panjang. Mumpung dia belum berubah pikiran." Sera kembali menyakinkan Libby agar setuju dengan penawarannya.
Menghela napas sejenak, lalu dengan pasrah Libby menuruti permintaan Sera. Meskipun, ia merasa tak enak. Akan tetapi, ia tak mau membuat sahabatnya kecewa bila menolak permintaannya. "Oke. Sebelumnya, makasih, Ser, Kak Razel."
Sera tersenyum, senang sahabatnya mau menuruti penawarannya. Razel mengangguk, mendengar persetujuan Libby.
Setelah itu, Razel mengantarkan Libby pulang dengan selamat. Meskipun, dalam perjalanan pulang tidak banyak pembicaraan tercipta. Namun, Libby merasa nyaman serta beruntung diantar oleh kakak dari sahabatnya itu.
"Sekali lagi, aku makasih banget kakak udah mau antar pulang. Maaf... Kalo aku jadi ngerepotin. Selamat malam." Libby berpamitan sembari hendak keluar dari mobil milik Razel.
"Tunggu..." Razel menahan lengan Libby. Sepertinya, ada sesuatu yang dibicarakan.
Libby menoleh, sembari menatap heran kepada Razel. "Kenapa, Kak?"
"Terima kasih udah mau jadi sahabatnya Sera. Soalnya, kadang gue ngerasa dia ngerasa kesepian. Tapi, dia nutupin itu dari orang terdekatnya." Razel senang bisa melihat adiknya ceria seperti sekarang saat sudah berteman dengan Libby.
"Iya sama-sama, Kak. Kalo gitu, aku masuk dulu." Libby kembali berpamitan pada Razel. Kemudian, cowok itu melepaskan lengan Libby.
Seusai kepergian Libby, Razel bergegas meninggalkan area rumah Libby.
πππ
Seperti biasa, suasana kelas sebelum bel masuk berbunyi selalu dipenuhi suara bersautan satu sama lain diantara siswa maupun siswi. Itu sudah menjadi bukan rahasia.
"Yum... Hebat peringkat lo selalu bagus tiap ujian. Gue yakin, semester depan nilai lo bakalan tetap bagus. Bahkan, bisa naik sekaligus lebih baik lagi. Pantas saja, bokap sama nyokap lo bangga banget. Keluarga lo harmonis banget." Salah satu siswi kelas XI IPA 1 seraya memuji sosok Yumika.
Melihat itu, Libby menghela napas sadar bila memang benar yang dikatakan teman sekelasnya tentang Yumika. Bahkan, sepertinya tidak ada yang tahu bila dia dan Yumika merupakan saudara tiri. Karena, ia memang tidak pernah membicarakan atau menunjukan keluarganya di depan umum. Hanya beberapa orang saja yang mengetahui tentang keluarganya. Papanya saja seperti tidak pernah menganggap nya ada. Selalu memuji serta membandingkan prestasi Yumika dengan dirinya.
"Makasih, ya. Semua juga karena dukungan orang tua gue. Jadi, gue lebih semangat buat belajar. Dan, mungkin itu yang bikin nilai gue semakin membaik. Nggak usah berlebihan gitulah mujinya. Lo juga nanti bisa dapat nilai bagus. Mari berjuang bareng-bareng. Karena, semua orang pasti bisa berprestasi." Seperti biasa, Yumika terlihat lemah lembut disertai senyuman manis saat berbicara dengan orang lain.
Tanpa disadari, perasaan tak nyaman mulai muncul dalam diri Libby. Karena, ia ingin merasakan kasih sayang dari Papanya. Akan tetapi, itu mustahil didapatkan. Mengingat, Papanya sangat membenci dirinya sejak kematian Mamanya. Itu cukup membuat Libby trauma. Terbukti, sekarang tangannya mulai bergetar. Jujur, Libby terkadang memang merasa ingin mendapatkan perlakuan yang sama seperti kasih sayang yang didapatkan oleh Yumika dari Papanya. Akan tetapi, ia harus bisa menahan diri serta membuang perasaan itu sejauh mungkin sadar bila sulit mendapatkannya.
"Nggak usah didengerin kalo itu bikin lo kurang nyaman. Karena, gue tau lo nggak selemah itu. Dan, lo jauh lebih baik dari orang lain. Semangat, ya. Semua akan indah pada waktunya. Gue tahu, apa yang lo rasain, Bby." Tiba-tiba, Semesta menepuk bahu Libby. Tahu, apa yang dirasakan gadis itu. Hanya saja, mungkin Libby cukup pandai menutupi rasa sakit itu. Tidak pernah mendapatkan kasih sayang orang yang disayangi memang menyedihkan.
Libby menatap sedikit heran, kenapa Semesta berkata seperti itu. Seakan cowok itu, mengetahui isi pikiran serta perasaannya. Sepertinya, Semesta memang cukup peka dengan sekitarnya.
"Jalani aja apa yang ada sekarang. Berusaha sekaligus berjuang mendapatkan apa yang diinginkan memang perlu. Jadi, jangan pernah menyerah, ya." Semesta tersenyum, lalu melangkah menuju tempat duduknya.
Mendengar perkataan Semesta, bisa membuat perasaan Libby lebih tenang. Sepertinya, tingkat kepekaan tinggi tanpa diduga-duga. Padahal, ia jarang mengobrol dengan cowok itu. Namun, Semesta tahu apa yang dirasakan Libby.
- To Be Continue -