"Soal kerjaan yang gue tawarkan." Ersa langsung pada intinya.
Binar terhenyak. Tidak menyangka Ersa masih akan membicarakan soal tawaran pekerjaan itu. Walau pun semalam sikap Binar tidak baik padanya.
Jujur Binar malu, sekaligus bersyukur. Ia pikir sudah kehilangan kesempatan sama sekali.
"Soal semalam gue minta maaf. Jujur gue lagi cape, kebawa emosi."
"Lo sok banget semalam. Berasa mau nonjok!"
Binar terkekeh. "Ya udah. Jadi ngasih tawaran kerjaan, nggak? Kalau emang lebih baik dari yang sekarang, ya gue mau. Gue juga cape tiap hari angkat-angkat semen."
"Seandainya gue nggak terpaksa, nggak bakal gue jatuhin harga diri dengan ngajak lo ngomong duluan. Harusnya lo yang ngajak gue ngomong duluan!"
"Ikhlas nggak? Kalau nggak ikhlas mending nggak usah, Sa. Gajinya buat beli obat soalnya. Takut jadi nggak manjur obatnya." Binar mengatakannya dengan datar. Tanpa ngegas. Ia serius soal lelahnya. Badannya kehabisan energi.
"Yang bilang nggak ikhlas siapa? Kan gue cuma bilang, harusnya lo yang ajak ngobrol duluan!"
Kali ini Binar tidak menjawab. Membiarkan Ersa lanjut bicara saja.
"Ini soal rangking kita. Gue nggak mau tahu. Semester ini gue harus rangking satu. Gue harus buktikan ke Papa, walau pun tanpa bimbel beruntun, gku tetap bisa kalahin lo!"
"Ya kan kita udah sepakat soal itu. Gue bakal ngalah sesuai permintaan lo. Asal lo nggak lupa sama janji lo juga. Soalnya gue harus relain beasiswa demi lo."
"Soal itu gue nggak akan ingkar janji. Maksudnya ... gue mau meraih rangking 1 dengan lebih terhormat. Lo nggak usah ngalah. Tetap kerahkan kemampuan lo seperti biasa. Kita bakal berkompetisi secara sehat!"
"Lo serius?"
"Lo remehin gue?"
"Nggak gitu! Jadi lo batal bayarin uang semester gue?"
"Kan aku udah janji. Gue cuma mau fair play aja. Nggak mau harga diri gue jatuh gata-gara lo ngalah."
"Ribet juga urusan sama lo, ya. Banyak maunya." Binar pusing sendiri.
"Gue kasih paham dulu. Jadi, kerjaan yang gue tawarkan ...." Ersa sampai menarik napas dalam.
Ia sudah lama memikirkan hal ini. Menyingkirkan segala gengsinya. Demi membuktikan pada Damata bahwa ia bisa, walau tidak mengikuti peraturan yang dibuat oleh ayahnya itu.
"Kerjaan itu ... jadi guru les privat," ucap Ersa akhirnya.
"Hah?"
"Iya. Jadi nanti lo visit ke rumah murid lo."
"Muridnya siapa?"
"Gue."
"Bentar-bentar ... lo minta gue jadi guru les privat. Terus tujuan lo adalah buat ngalahin ranking gue. Dan nanti kalau lo menang, kamu malah bayarin duit semester gue. Terus kalau lo kalah, guenya jadi beban. Soalnya gagal ngajarin murid gue." Binar jari makin pusing.
"Ya mau apa nggak? Kalau nggak mau nggak apa-apa. Lanjutin aja angkat-angkat semen setiap hari!"
"Heh ... yang bilang nggak mau siapa, sih? Emang lo bayar gue berapa?"
"Satu kali pertemuan 200 ribu. Seminggu 4 kali pertempuran. Jadi 16 kali pertemuan dalam sebulan, 200 ribu kali 16 total 3.200.000. Gue bulatkan jadi 3.500.000 per bulan!"
Mata Binar seketika membulat. "Serius? Itu jauh di atas UMR kota, lho!"
"Serius!"
"Satu kali pertemuan berapa jam?"
"Dua jam maksimal. Jangan lama-lama, takut mabok!"
"Oke gue mau!" sahut Binar secepat kilat.
Ersa tersenyum tipis sekali sampai tak terlihat. "Oke. Nanti gue buatin SOP-nya. Awas kalau sampai lo gagal bikin gue ranking 1!"
"Gampang, tinggal ngalah aja gue nanti!"
"Awas kalau lo ngalah, gue pecat!"
"Duh, berat amat hidup gue, ya!"
***
Binar memarkir sepedanya, buru-buru masuk ke kedai setelah itu.
Ada pemandangan berbeda hari ini, yang membuat Binar sangsi. Sudah ada orang yang berdiri di balik meja kecil, yang biasanya Binar gunakan untuk membuat es.
Penampilannya agak urakan, padahal perempuan. Rambutnya ikal panjang, diwarnai merah menyala. Tatapannya tajam ketika menyorot pada Binar. Cantik sebenarnya. Tapi tertutupi oleh aura nakalnya. Cewek ini terlihat sulit diatur.
Dia siapa? Kenapa ia membuat es? Apa Binar sudah dipecat tanpa pemberitahuan oleh Mbah Siti?
"Maaf, lo siapa?" tanya Binar akhirnya.
Bukannya menjawab, gadis berambut merah itu menoleh pada Mbah Siti. "Mbah Uti ... ini pembantunya?"
Suaranya lantang dan melengking. Agak menakutkan. Binar sepertinya sudah bisa menarik kesimpulan soal siapa gadis ini. Ia memanggil Mbah Siti dengan sebutan Mbah Uti alias Mbah Putri. Cucunya Mbah Siti, kah?
Mbah Siti yang semula konsentrasi melayani pembeli, menoleh sejenak. "Namanya Binar."
"Pembantunya udah dateng. Aku masuk dulu." Ia menatap Binar sekilas, sebelum berjalan cepat masuk lebih dalam ke rumah.
Binar mengambil alih es teh dan es jeruk lagi. Lega ia ternyata tidak dipecat.
Ternyata gadis berambut merah itu bernama Tera. Cucu dari anak pertamanya Mbah Siti.
Tera dititipkan orang tuanya pada Mbah Siti. Sebab di Jakarta, Tera terlibat pergaulan bebas. Katanya Tera takut pada Mbah Siti. Orang tuanya berharap, dengan menitipkan Tera pada Mbah Siti ... gadis itu mau berubah.
"Cah wedok penampilannya kayak gitu. Nggak ada lembut-lembutnya. Ngomongnya persis kayak preman." Mbah Siti tampak susah.
Binar membatin, padahal cara bicara Tera agak mirip dengan Mbah Siti.
"Neira nggak diajak makan sekalian, Mbah?" Binar mencoba untuk peduli.
Maksudnya, di sini Tera lah yang cucunya Mbah Siti. Tapi malah Binar yang diajak makan bersama setelah kedai tutup.
Well, biasanya juga begitu. Tapi kan biasanya tidak ada Tera. Sekarang konteksnya sudah berbeda.
"Mana mau dia!"
Baru kali ini Mbah Siti frustrasi. Sudah ada lawan yang setimpal.
"Coba ditanya dulu, Mbah." Binar masih merasa tak enak. Takut Tera iri padanya, hanya perkara sederhana makan bersama neneknya. Tapi ia malah tidak diajak.
"Coba kamu yang ajak, Bin. Mbah cape. Takut malah emosi."
Binar beranjak, meninggalkan dulu mangkok berisi makanannya. "Aku izin masuk ya, Nek."
"Iya, masuk aja."
Binar agak bingung ke arah mana ia harus mencari Tera. Ia coba panggil namanya dulu saja.
"Tera?"
Sebelum Binar akhirnya menemukan gadis itu, sedang berbaring di depan televisi yang menyala.
"Kenapa manggil-manggil?" tanyanya ketus.
"Itu, lo diajak makan bareng sama Mbah Siti."
"Oh, gue juga diajak. Kirain enggak!" Jawaban Tera menyiratkan ia tadi sudah sempat melihat Binar dan Mbah Siti makan bersama.
"Lo diajak juga kok. Yuk, makan dulu," ajak Binar sekali lagi.
"Nggak, deh. Diajak belakangan, mending nggak usah ikutan," tolak Tera.
Binar tidak menyalahkan Tera atas penolakannya. "Mbah masih adaptasi dengan keberadaan lo di sini. Biasanya setelah kedai tutup, memang makan sama gue begini. Gue janji besok lo nggak akan diajak belakangan lagi. Gue balik ke depan, ya. Harus cepat-cepat, soalnya kudu ke tempat kerja gue yang lain setelah ini."
"Heh, TMI banget!"
"TMI apaan?"
"Too much information!"
Binar tersenyum. Binar jadi malu. Ia terbiasa bicara dengan Pijar. Ia dan Pijar jarang bertemu walau tinggal serumah. Makanya tiap kali ada kesempatan ngobrol, Binar dan Pijar sekalian saling bercerita, banyak menjelaskan soal apa saja yang mereka alami selama tidak bertemu.
Jadinya tercipta lah TMI alias too much information seperti yang Tera bicarakan.
Sepeninggal Binar, diam-diam Tera memperhatikan. Sorot matanya melunak.
***
Ersa masih di halte. Ia terlalu fokus memantau kedatangan bus, sampai-sampai tidak menyadari ada mobil warna hitam yang baru saja berhenti tak jauh dari sana.
Seseorang turun dari saja dengan raut murka. Ia mendekati Ersa, mencekal lengan pemuda itu. Membuat Ersa seketika menoleh.
Elang ingin emosi karena ada orang yang memegang paksa tangannya. Tapi amarah itu berubah menjadi rasa takut, setelah tahu pelakunya. "P-Papa ...."
Damara menariknya. Ersa tidak mau pasrah seperti di minimarket. Tahu Ersa melakukan perlawanan, Damara menatapnya tajam.
"Pa ... sebaiknya kita ngobrol yang baik. Aku nggak mau diseret-seret lagi. Memangnya Papa mau bawa aku ke mana? Kita ngobrol aja di sini, dengan kepala dingin." Ersa memberanikan diri bicara.
Ia juga tidak mau terus-menerus hidup dalam kekangan ekspektasi Damara. Kalau ia tidak mengutarakan kemauannya, Damara juga tidak akan pernah tahu.
"Udah berani ngajarin Papa kamu?"
"Aku cuma mau ngobrol. Apa salahnya ayah sama anak ngobrol? Maksud aku, ngobrol yang benar-benar bicara. Bukan berdebat."
"Bukannya kamu sendiri ya memancing emosi Papa?"
"Udah ... nggak usah mulai, Pa! Papa mau nggak ngobrol sama aku? Kalau nggak mau ya udah. Aku lanjut nunggu bus. Papa pulang aja." Ersa kembali duduk.
Damara mendengkus kesal. Enggan ikut duduk. Tapi ia melepaskan tangan Ersa. Tidak mencengkeramnya lagi.
"Papa mau kasih aku kesempatan, nggak?"
"Kesempatan apa?"
"Kesempatan buat meraih impian kita, tapi dengan caraku sendiri."
"Impian kita yang mana?"
"Yang mana lagi? Katanya Papa mau aku jadi ranking 1. Itu bukan cuma keinginan Papa. Itu juga keinginan aku sekarang. Tapi ... aku ngerasa tertekan sama cara yang Papa paksakan. Aku ... mau coba pakai caraku sendiri. Aku minta tolong sama Papa buat kasih aku kesempatan. Sekali aja kasih aku kepercayaan buat hidup dengan caraku sendiri."
"Bisa apa kamu hidup tanpa Papa?"
"Sebenarnya yang terjadi akhir-akhir ini udah bisa jadi bukti, Pa. Aku lepas dari Papa. Nggak tinggal di rumah kita. Bahkan kartu kreditku diblokir. Mobilku juga nggak kebawa. Aku tetap bisa hidup sampai sekarang."
"Sombong kamu, ya! Terus kamu jadi naik bus begini. Kalau kamu sama Papa, nggak perlu menderita begini."
"Aku nggak ngerasa menderita kok. Aku malah seneng. Bisa rasain apa yang dilakukan orang-orang pada umumnya. ekarang aku sama Mama, Pa. Sebenarnya aku sedih ... karena aku baru tahu. Hubungan Mama sama Papa udah nggak harmonis."
"Kami udah nggak sejalan. Kamu udah gede. Pasti bisa memahami kerumitan dunia orang dewasa. Kami nggak bisa cerai. Demi reputasi."
"Itu yang belum bisa aku pahami. Rela menderita demi reputasi. Aku sebenarnya bingung dengan dunia orang dewasa. Tapi oke. Aku sedang coba memahami. Jadi, apa salahnya Papa juga mulai memahami dunia anak muda yang sedang cari jati diri seperti aku? Tolong, Pa. Apa lagi Papa juga pernah muda"
"Justru karena Papa pernah muda ... makanya Papa sudah tahu dunia anak muda yang mudah terjerumus. Maka dari itu, Papa menerapkan banyak aturan ke kamu."
"Aku ngerti maksud Papa baik. Tapi aku juga butuh dikasih kepercayaan. Anak muda yang gampang terjerumus itu cuma kalangan IQ rendah. Papa kan tahu aku nggak segoblok itu. Aku juga bisa mikir mana yang baik sama enggak buat aku. Sampai rapor semester ini keluar. Aku buktikan ke Papa, aku bisa ngalahin Binar dengan caraku sendiri."
Damara tak langsung menjawab. Lelaki itu sedang berpikir keras. "Misal ternyata kamu tetap kalah gimana?"
"Aku bersedia pulang, dan kembali mengikuti cara main Papa." Ersa dengan lantang mengatakannya. "Tapi misal aku bisa ngalahin Binar, berarti aku tetap boleh hidup dengan caraku sendiri."
"Oke. Silakan kamu lakukan sesukamu. Buktikan jika kata-katamu bisa dipercaya. Papa mengawasi kamu dari jauh."
Ersa tersenyum. "Makasih, Pa."
"Papa mau bilang sesuatu."
"Apa?"
"Menurut orang yang Papa suruh memantau kamu ... katanya kamu sekarang dekat sama Binar?"
"Nggak dekat juga."
"Papa harap kamu jangan terlalu dekat sama dia!"
"Kenapa aku nggak boleh dekat sama dia?"
"Ya Papa nggak suka aja. Dia kan saingan kamu!"
Ersa mengeryit. Mana mungkin hanya alasan sederhana itu, lantas membuat ayahnya begitu membenci seorang anak manusia yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa, kan? Aneh sekali!
***
Ini akan menjadi malam terakhir Binar kerja di proyek. Ia mau pamitan dulu pada atasannya, dan juga rekan kerjanya yang lain.
Binar bekerja keras dulu seperti biasanya. Rencananya baru akan pamit saat mendekati waktu pulang.
Binar kelupaan lagi minum obatnya tepat waktu. Ia terlambat 30 menit dari jadwal seharusnya. Ia masih butuh adaptasi dengan proses baru dalam hidupnya ini.
"Bin ... saya lihat kamu jadi sering ngobat sekarang. Kenapa? Padahal udah lebih dari 2 minggu pasca opname."
"Iya, Pak. Saya harus minum obat terus."
"Kamu sakit apa, Bin? Nggak parah, kan?"
"Lambung saya lagi bermasalah, Pak. Kata dokter misal diobati dengan tepat, saya bisa cepet sembuh."
Binar menceritakan hasil diagnosis 50 persennya saja. Sisanya ia simpan sendiri. Jujur hingga detik ini pun Binar belum sepenuhnya percaya dengan hasil diagnosis itu.
Pak Mandor turut prihatin dengan apa yang dijelaskan Binar. "Kamu kerja terlalu keras. Harusnya kamu jangan terlalu forsir tubuh kamu."
"Sebelumnya saya mohon maaf, Pak. Ada hubungannya sama nasihat Pak Mandor barusan." Binar menunduk, tak berani menatap Pak Mandor. "Padahal saya yang maksa supaya bisa kerja di sini. Tapi setelah tahu kondisi saya, saya ternyata memang nggak diperbolehkan kerja terlalu berat. Saya mau pamit malam ini. Alhamdulillah saya sudah dapat kerjaan baru yang lebih ringan dan lebih pendek jam kerjanya."
Pak Mandor tak tunggu lama untuk menyetujui permohonan berhenti Binar. "Kalau memang demi kebaikan, nggak apa-apa, Bin. Saya salut banget sama kegigihan kamu. Saya yakin kelak kamu jadi orang sukses."
"Aamiin. Terima kasih, Pak. Saya nggak akan lupa sama semua kebaikan Pak Mandor."
"Iya. Gaji kamu nanti saya kasih sekalian. Saya doakan kamu betah di kerjaan yang baru. Semoga kamu cepat sembuh juga."
"Aamiin." Binar sekali lagi mengaminkan doa dan harapan Pak Mandor untuknya.
Meski ia kurang yakin, apa ia bahkan masih bisa sembuh?
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor