"Ersa, hari ini jadwal saya piket. Tapi belum ada yang minta dispensasi. Takutnya Binar absensinya alfa. Karena ini udah hampir masuk, kamu sekalian ikut saya ke tempat guru piket aja. Saya buatin surat dispennya Binar. Nanti sekalian kamu bawain ke kelas."
Selesai pembicaraan soal olimpiade, Bu Aisyah malah menunjukkan perhatiannya pada Binar.
'Astaga ... Binar lagi ... Binar lagi!'
"Iya, Bu."
Padahal tadi ia sengaja menyuruh Roy untuk meminta surat dispensasi Binar. Eh, sekarang tetap Ersa sendiri yang harus berurusan dengan hal itu.
Bu Aisyah dan Ersa berjalan beriringan menuju lokasi guru piket. Ternyata sudah ada seseorang yang menunggu -- Roy.
Roy rela menunggu guru piket, hanya untuk meminta surat dispensasi Binar.
Ersa iri sebenarnya dengan persahabatan Roy dan Binar. Mereka sangat dekat, sudah seperti saudara.
Sementara Ersa ... sejak lahir Ersa belum pernah punya teman dekat.
Roy asyik bicara dengan seseorang via telepon. Sampai-sampai tidak menyadari kedatangan Bu Aisyah dan Ersa.
Bu Aisyah mengkode Ersa untuk tidak mengganggu Roy. Membiarkan Roy meyelesaikan obrolannya dengan seseorang ... Binar.
Bu Aisyah tahu, selain karena Roy baru saja menyebut-nyebut nama 'Bin'. Juga karena seantero sekolah juga tahu ... Binar ke mana-mana selalu bersama Roy. Mereka berdua adalah sepasang konco kenthel.
Tanpa bertanya pun, Bu Aisyah juga sudah tahu sebab Roy nongkrong di guru piket. Yang pasti bukan karena gabut.
Baru lah setelah Roy selesai bicara dengan Binar, Bu Aisyah sengaja berdeham kecil. Supaya Roy menyadari kehadiran mereka.
Roy menoleh. Ia cengengesan tahu ada Bu Aisyah di belakangnya.
Tapi senyum Roy langsung hilang, ketika tahu siapa yang sedang bersama guru cantik itu. Seseorang yang menjadi vitamin E untuk Roy -- vitamin emosi!
"Bu Aisyah ... udah lama di sini?"
"Barusan kok, Roy. Tadi kamu ngobrol sama Binar, kan?"
"Iya, Bu. Binar adiknya lagi sakit. Makanya tadi pergi. Saya mau minta surat dispensasi buat dia, Bu." Sekalian Roy memberi tahukan maksud keberadaannya.
"Iya. Saya tahu. Ersa tadi saya ajak sekalian ke sini, mau saya titipin. Eh, ternyata kamu di sini. Saya senang murid-murid memiliki jiwa sosial yang baik."
Roy langsung melirik Ersa. Tadi bocah itu ogah-ogahan dimintai tolong minta surat dispensasi. Eh, giliran yang minta Bu Aisyah ... malah pasrah saja. 'Si Cemen emang!'
"Ya udah, saya buatin surat dispennya dulu." Bu Aisyah mengambil lembar surat dispensasi.
Bel masuk baru saja berbunyi. Saat itu lah Ersa jadikan kesempatan untuk segera pergi duluan. "Bu, karena sudah ada Roy ... saya pamit ke kelas duluan."
"Iya boleh, Sa. Makasih, lho. Besok jangan lupa ... kamu sama Binar temui saya, untuk membicarakan soal olimpiade."
"Iya, Bu. Permisi." Ersa buru-buru pergi dari sana.
Ia bahkan tidak mau repot-repot melirik balik Roy, yang sedang meliriknya dengan sengit.
"Jadi urusannya ada kepentingan keluarga ya, Roy?" Bu Aisyah bertanya untuk memastikan.
"Iya, Bu," sahut Roy yang segera pasang tampang ramah pada Bu Aisyah.
"Rangkap 2 yang, Roy. Satunya buat kelas. Satunya buat Pak Sastro." Bu Aisyah menyerahkan 2 lembar surat dispensasinya.
"Baik, terima kasih, Bu."
***
Keesokan harinya ....
Setelah bel istirahat berbunyi, Binar tidak terburu-buru menemui Bu Aisyah. Ia mampir ke kantin dulu beli roti. Sejak semalam perutnya belum terisi apa pun.
Ia tetap kerja walau pun Pijar opname. Namanya juga anak buah, harus menurut pada juragan kalau tak mau dipecat.
Pijar tak masalah ditinggal. Karena anak itu sudah biasa sendiri. Toh ia sebenarnya tidak benar-benar sendirian. Ya begitu enaknya kalau punya asuransi kelas 3. Di kamar jadi banyak teman. Walau pun kekurangannya ... privasi seolah menghilang dari muka bumi.
Meski begitu Binar sebenarnya tetap tak tega meninggalkan adiknya. Tapi mau bagaimana lagi.
Biasanya di rumah sebelum berangkat sekolah, Pijar selalu sudah menyiapkan makanan. Juga memaksanya untuk makan. Pagi ini tidak ada siapa-siapa di rumah. Mau membuat makanan juga sudah terlambat. Makanya sekarang mau tak mau Binar harus mengisi perutnya. Supaya lambungnya tidak makin rewel.
Binar sempat bersimpangan dengan Ersa tadi. Ia buru-buru sekali menuju ke ruang guru. Sementara Binar masih menyantap sarapannya.
***
"Lho, Binar mana, Sa?" Bu Aisyah langsung menanyakan Binar, bahkan hanya selangkah sejak Ersa masuk ruang guru.
Belum-belum suasana hati Ersa sudah dibuat jelek. Tapi demi olimpiade, Ersa tahan-tahan emosinya.
"Tadi beres pelajaran saya lihat dia langsung keluar kelas. Saya pikir udah ke sini duluan." Ersa menjawab apa adanya.
"Kalian ini satu kelas lho, harusnya ke sini barengan."
Ersa hanya tersenyum tipis. Hampir tak terlihat, saking terpaksanya.
"Permisi ...." Suara seseorang yang baru saja masuk.
Bu Aisyah, Ersa, dan beberapa guru lain di dalam sana langsung menoleh ke sumber suara. Binar ternyata.
"Maaf ya, Bu. Saya baru datang. Sarapan dulu tadi." Binar membungkuk sopan sebelum duduk di sebelah Ersa.
"Oalah ... iya nggak apa-apa, Bin. Gimana adik kamu? Sudah sehat?"
"Alhamdulillah, sudah lebih baik, Bu. Tapi masih opname."
"Semoga cepet baikan adiknya."
"Aamiin. Terima kasih doanya."
Ersa melihat ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan oleh Binar. Kentara bahwa Binar sangat menyayangi adiknya. Sebuah perasaan yang tidak dipahami oleh Ersa.
Karena Ersa tidak punya saudara.
"Kamu pasti sudah dengar dari Ersa atau Roy, soal olimpiade itu, kan?"
Binar mengangguk. "Iya, Bu."
"Syukur lah kalau begitu. Saya jadi nggak perlu menjelaskan lagi. Kalian berdua akan jadi perwakilan sekolah. Ibu harap, salah satu dari kalian bisa lanjut ke tingkat nasional. Atau lebih baik, kalau dua-duanya berhasil lolos nasional."
Bu Aisyah tertawa kecil mengakhiri kata-katanya. Binar ikut tertawa bersamanya. Sementara Ersa tidak. Bahkan hanya pura-pura tertawa pun terlalu sulit untuk Ersa.
"Mulai besok, pihak sekolah akan memberikan pembekalan dan bimbingan khusus untuk kalian, supaya persiapan menjelang olimpiade lebih matang. Kalau perlu di luar jam pembekalan, kalian juga bisa belajar bersama. Supaya lebih maksimal lagi. Kalian ini sama-sama genius. Kalau kapasitas otak kalian kompak disatukan, niscaya akan menghasilkan perpaduan yang hebat. Bukan begitu?"
Binar masih mempertahankan senyumnya. Dan Ersa masih dalam mode batu, alias diam tak bergerak.
"Bu, terima kasih sebelumnya. Untuk bimbingan dan perbekalannya ... waktunya kapan, ya? Maksudnya apakah setelah sekolah? Atau ketika akhir pekan? Atau ada waktu lain?" Binar yang bertanya.
"Sepertinya akan lebih fleksibel pulang sekolah, Bin. Kenapa? Kamu keberatan?"
"Uhm ... selain karena adik saya masih opname, saya sebenarnya juga punya kegiatan yang harus dilakukan setelah pulang sekolah." Binar nampak tak enak.
"Padat jadwal kamu, Bin. Sejak dulu setiap kali menjelang olimpiade dan pembekalan, alasan kamu konsisten. Kalau bukan soal adikmu, ya kegiatan lain di luar sekolah."
"Iya, Bu. Karena memang itu yang saya lakukan secara konsisten."
"Kalau boleh tahu, kesibukan kamu itu apa, Binar? Apa sebegitu pentingnya, sampai nggak bisa ditinggalkan sama sekali?"
"Iya, Bu. Itu penting. Sebenarnya saya kerja paruh waktu," jawab Binar jujur.
Ia tahu, cepat atau lambat ia memang harus jujur soal kegiatannya sehari-hari. Kalau tidak, Bu Aisyah bisa salah paham. Bisa-bisa ia dianggap tidak menghargai bantuan pihak sekolah dalam memberi pembekalan dan bimbingan.
"Kenapa kamu harus bekerja, Binar? Kamu kan masih sekolah. Apa uang saku dari orang tua kurang?"
Binar menggeleng. "Sebenarnya orang tua saya sudah meninggal, Bu. Saya mau nggak mau harus kerja."
"Innalilahi wa innailairajiun. Maaf, saya nggak tahu, Binar. Bisa-bisanya setelah sekian lama -- bahkan kamu sering ikut olimpiade saya dampingi juga -- tapi saya nggak tahu soal ini. Pantas saja kemarin kamu yang kalang kabut saat adikmu sakit. Saya turut berduka cita, Bin."
"Terima kasih, Bu."
"Ya sudah, nanti bimbingan dan pembekalannya nggak usah lama-lama. Kalau sudah jadwal kerja, kamu bisa izin pulang duluan."
Binar mengangguk setuju. "Sekali lagi terima kasih."
Ketika Bu Aisyah dan Binar banyak bicara ... Ersa masih bertahan dalam mode batu. Namun semakin lama ia jadi mirip batuan vulkanik. Karena emosi dalam hatinya hampir membuatnya meletus.
Ia kesal sekali. Ia menganggap Binar sedang menjual cerita sedih untuk cari muka pada Bu Aisyah.
Gak di next kak?
Comment on chapter Hari Pembagian Rapor