Sesungguhnya, aku ingin kembali menggunakan trik duduk dengan mengosongkan kursi dekat jendela. Namun, pada jam saat matahari terbenam bus kota selalu ramai dan tempat duduk dipenuhi orang-orang. Bahkan yang menggenggam handle grip pun dipenuhi sesak.
Aku menghela napas, mengeluh dalam pikiran.
“Pegangan, Iffaa. Nanti lo jatuh.”
Kuiyakan peringatan Anbi Sakardja. Namun, aku harus membalas pesan saudariku yang juga dalam perjalanan pulang. Aku bisa merasakan bus mulai bergerak perlahan dan aku mengetikkan balasan, “Gue belum pulang, jadi nggak tau Mama masak apa. Tanya orang rumah aja dan boleh titip beli pe—“
Keseimbanganku hilang saat kendaraan melewati polisi tidur. Kepalaku membentur dagu Anbi hingga keluhan sakit terdengar di telinga. Lagi-lagi, aroma tubuh cowok ini yang bernuansa hangat menyapa indera penciumanku. Aku mengeluh jika fokusku akan hilang seketika karena wanginya.
“Untung ada gue. Makanya kalau dibilangin nurut dulu, ponsel bisa nanti kalau udah turun.”
Anbi mengomel, aku sedikit tak suka dan hanya bisa mendecak dalam hati seraya meraih handle grip atau gantungan bus. Kuakui perasaan marah ini adalah kesalahanku, jadi karena menyadarinya dan ditegur oleh Anbi membuatku sedikit kesal. Aku harus menetralkan emosi seperti ini.
Anbi cukup membantu. Entah itu di tiga anak tangga koridor IPA 5 untuk menggapaiku agar tak terjatuh bahkan sampaimengikatkan tali sepatuku, justru aku dengan tak tahu dirinya belum mengucapkan terima kasih sekalipun.
Sungguh memalukannya diriku.
Seketika itu juga, perasaan bersalah menggerogoti hati. Kulirik Anbi yang memerhatikan pemandangan luar jendela, hanya sebentar tetapi membuat darahku berdesir aneh. Seharusnya, aku melupakan sensasi tangan hangat Anbi di pinggangku saat di koridor kala itu.
Pemberitahuan halte selanjutnya diumumkan. Aku mengantongi ponsel dan bersiap turun. Kalimat seperti apa yang cocok untuk berpamitan. Aku bahkan sadar jarang melakukannya dengan Usa. Jadi, aku cukup canggung untuk mengucapkan, “Sampai nanti, Anbi.”
Kutatap wajah cowok ini yang kedua sudut bibirnya tertarik membuat sebuah lengkungan tipis. Ekspresinya melembut disertai tutur kata yang diucapkan dengan bangga, “Baru kali ini lo nyebut nama gue. Gue senang.”
Apakah iya?
Kutarik juga sudut bibirku. Tanganku terangkat di dada dan melambai ringan. Anbi tampak mengangguk. Aku sendiri segera berbalik dan menyentuh dadaku yang berdebar. Apa caraku berpamitan sudah benar? Aku senang mengatakan kalimat ‘sampai nanti’ yang tak pernah kuucapkan sebelumnya.
Atas perasaan yang membuncah itu, aku tidak memerhatikan tali sepatuku yang tak terikat. Saat menuruni tangga bus, aku memasrahkan diri akan terjatuh pada jalanan. Aku masih bersyukur sebab area halte cukup sepi, tetapi rasa maluku tetap hadir kala bisik-bisik penumpang bus terdengar ramai.
Aku segera berbalik dengan posisi terduduk untuk meyakinkan bahwa aku baik-baik saja pada sopir bus yang mengkhawatirkanku. Aku justru berharap bus itu cepat pergi. Rasanya cukup memalukan, tetapi lebih memalukan jika ada yang melihatku seperti Anbi di koridor kala itu.
“Hari ini belum cukup ya seharian sama gue? Atau jangan-jangan lo modus biar gue anterin sampai rumah?”
Aku mendongak. Cowok yang ada dalam pikiranku berdiri di sini dengan tangan menyilang di dada, ditambah ekspresi menyebalkan seolah menebak isi kepalaku. Padahal perkiraannya tidak benar.
“Nggak.” Harga diri ini kubela. Anbi hanya cekikikan. Saat hendak berdiri, aku mengaduh sakit saat kaki kananku tak bisa berpijak dengan benar. Aku bisa melihat kakiku membengkak dan saat kuraba, itu cukup hangat. Kenapa harus terkilir di saat seperti ini?
“Jangan-jangan ini juga modus biar lo bisa gue gendong sampai rumah?”
"Nggak."
Mengapa Anbi menyebalkan sekali. Aku takkan melakukan hal seperti itu dan mungkin seharusnya aku yang mencurigainya. Anbi tak harus turun hanya untuk mengejekku. Namun, cowok berjaket denim itu berjongkok dan memerhatikan kakiku. Tangannya bergerak mengikat tali sepatu, lantas melirikku dengan senyum simpul terukir di wajahnya.
“Sama seperti waktu itu, jadi akan gue ajukan pertanyaan … apa lo baik-baik aja?”
Wajahku memerah mendengarnya. Anbi sengaja sekali menggoda. Pasti begitu.
“Biar gue bantu bawa tasnya,” tawarnya. Aku menolak dengan alasan, “Yang terkilir kaki, bukan bahu gue.”
Itu refleks terucap tanpa pikir panjang. Aku hanya tak ingin begitu merepotkan.
“Udah sini. Nurut aja kalau dibilangin. Beban atas juga kasih beban yang di bawah. Kalau kaki lo lebih parah, besok bisa-bisa kita nggak ketemu. Pamitan tadi jadi kurang bagus.”
Apa boleh buat jika tasku direbut paksa, kemudian aku menerima bantuannya meski tak enak hati. Perlahan tapi pasti, aku bisa berdiri dan bisa merasakan rasa sakit kakiku lebih jelas. Langkah-langkah kecil kumulai, Anbi menyeimbangi. Tanganku mulai pegal untuk memegang bahu cowok di sampingku setelah melewati gang besar dan memasuki jalan kecil yang muat untuk kendaraan bermotor.
Butuh keberanian besar untuk meminta izin, “Boleh gue pegang tangan lo aja?”
Kepala Anbi menoleh. Senyumnya kian lebar bahkan telapak tangannya terulur padaku. “Genggam tangan gue juga boleh,” katanya.
Aku mengerti maksudnya, kutepis pelan tangannya yang hangat kemudian mengucapkan, “Modus.”
“Yah … ketahuan.” Anbi terbahak.
Suara klakson motor membuatku menepi sejenak, lalu aku terkejut melihat saudariku duduk diboncengan dengan ekspresi mempertanyakan cowok di sebelahku. “Jangan nakal,” peringatnya.
Aku mengangkat alis, apanya yang jangan nakal?
“Siapa?” Anbi bertanya, kembali melangkah kecil setelah motor berbelok pada jalan lain. “Kakak gue,” jawabku. Dan, cowok berjaket denim ini masih menanyakan saat langkah kami berbelok, “Dua-duanya kakak lo?”
“Kakak gue yang cewek, kalau satunya lagi pacarnya.” Aku menghela lega, akhirnya rumah berpagar putih di sisi kiri terlihat sebagai tempatku pulang. Pagarnya terbuka dan kedua orang yang melewati kami masih di sana tengah bercengkrama dengan pemilik rumah yang membuka pagar.
“Tuh Iffaa. Marahin Ma karena pulang malam. Masih kecil udah berani keluyuran.” Hima Fadilla, Kakakku mengadu. Kulihat hati-hati pandangan Mama yang menelisik dari bawah hingga atas, sampai menanyakan siapa cowok di sebelahku yang memamerkan senyum santun.
“Ini Anbi, temen sekolah. Kaki Iffaa terkilir, jadi Anbi bantu Iffaa pulang.” Semoga penjelasanku tidak menimbulkan kecurigaan, tetapi aku tak mengerti Hima yang menyenggol-nyenggol lenganku. Aku baru paham saat matanya tertuju pada lengan.
Aku hanya bisa nyengir dan melepaskan peganganku pada Anbi dengan pelan, berharap ia tak tersinggung.
“Biar tas Iffaa saya bawakan. Makasih udah repot bantu Iffaa. Kalau kamu nggak keberatan, kamu mau bergabung makan malam bersama kami? Anggap saja sebagai ucapan terima kasih.”
Anbi tak langsung menjawab tawaran Mama. Ia sampai menoleh padaku seakan bertanya apa ia diperbolehkan untuk bergabung? Aku tak begitu keberatan, hanya saja canggung sekali membawa seseorang memasuki rumah yang tidak pernah dimasuk temanku.
Mama mengajak Anbi dan pacar Kakakku—Hanif Hasan—untuk segera masuk, sedangkan Hima menutup gerbang dan segera mempersilakan tangannya untuk digandeng olehku. Ia cengegesan.
“Lo temenan sama cowok? Tumben?”
Pertanyaan Hima seolah membuatku tampak menyedihkan tak memiliki seorang teman. Itu fakta, maka aku tak memiliki alasan untuk menyangkal.
“Jadi, kenapa bisa terkilir?”
Barulah pertanyaan itu kuladeni kala memasuki rumah. “Jatuh dari bus.” Aku takkan menyalahkan jika itu adalah alasan yang konyol. “Ini karena sepatu tali yang lo beliin, Kak. Dua kali jatuh, rasa malunya tahan bertahun-tahun.”
Hima berdecak-decak setelah membuatku duduk di sofa cokelat ruang tengah yang menyatu dengan ruang makan. Aku bisa melihat Anbi menawarkan bantuan untuk membawa alat makan dan menyusunnya di meja.
“Harus bersyukur dibeliin, Dek. Mama pasti nggak bakal kasih karena nggak ada duit.” Dalam hati aku memang berterima kasih. Jadi, akan kuhitung berapa lama aku terjatuh karena mengenakan sepatu ini. “Gue ambil es batu dulu.”
“Makasih,” ucapku atas bantuannya.
Aku kembali melirik area meja. Anbi bercengkrama santai dengan Kartika Rosa—Adikku—sesekali saling bersahutan dengan Hanif. Apa tak ada topik lain selain cinta monyet yang dialami adikku? Dan, mata kami saling bertemu. Aku memiringkan kepala seolah bertanya mengapa dan Anbi malah melakukan hal serupa, lalu cengegesan entah karena apa.