“Lo dicari orang tuh,” info itu kudapat dari Usa yang wajahnya tertekuk masam. Aku masih bisa mendengar dia menggerutu, “Repotin banget jadi orang.”
Aku menyimpan buku catatan yang tengah kukerjakan untuk menemui seseorang di luar kelas setelah beberapa waktu lalu jam pembelajaran terakhir usai. Lantas, siapa yang mencariku di saat tak ada teman untuk pulang bersama?
Anbi Sakardja.
Aku langsung mengenalinya saat aroma kayu cendana menguar dari kemeja putihnya yang memunggungiku. Aku menyukai wanginya yang mengingatkanku setiap kali memasuki perpustakaan lama ditemani buku-buku lawas yang usang dimakan usia. Garis bawahi, hanya aromanya yang kusuka.
Seolah menyadari keberadaanku, ia berbalik dengan wajah berserinya dan mengajak, “Liat eskul band bareng, yuk.”
Justru aku mempertanyakan mengapa harus pergi bersama ke sana? Sepertinya merepotkan untuk menyusulku ke kelas. Apa Anbi merasa seperti itu?
“Tunggu sebentar, ya,” ucapku. Dengan bergegas, kurapikan meja baris pertamaku dari buku-buku dan pena yang kumasukkan asal ke dalam tas. Lantas, kembali pada hadapan Anbi seraya bertanya dalam kepala, “Kenapa repot-repot harus bareng? Padahal nanti juga ketemu.”
Kami menuju tangga di samping kelas IPA 1 yang seberangnya adalah perpustakaan. Di belakang Anbi, kuperhatikan lengannya yang terdapat gelang tali hitam dengan bola billiard mini sebagai pemanisnya atau kupertanyakan pula keaslian jam tangan bermerk mahal itu.
“Lo suka makanan manis nggak?” tanyanya. Aku menapaki satu tangga di belakangnya, kemudian menjawab, “Suka, tapi kalau cheescake kurang.”
Dari samping, aku bisa melihat wajahnya yang menahan tawa. Iya iya, emang aneh. Hatiku menggerutu, lantas langkahku terhenti saat orang berwangi cendana di hadapanku ini berbalik dengan kepala menunduk. Aku hanya bisa melihat liontin ruby yang menyembul keluar dari balik kemaja putihnya.
“Ternyata tinggi lo nggak sedada gue ya? Padahal cewek pendek enak buat dipeluk.”
Keningku sedikit berkerut, tak mengerti apa yang diucapkan. Tiba-tiba sekali membicarakan hal canggung seperti itu.
“Apa karena sering olahraga?” dalihku, tak ingin terlihat konyol. Aku menengadah beberapa detik hanya untuk melihat ekspresinya yang menyombong.
“Sini, deh. Kita cek.” Anbi menggiringku untuk secepat mungkin berada di lantai dua, permukaan rata di mana dinding kelas bisa menjadi tolak ukur. Anbi menempelkan tubuhnya pada dinding dan meletakkan tangan di atas kepala, lalu tangannya yang lain menarikku untuk mendekat. “Sekarang giliran lo.”
Aku mengangguki, lalu menggantikan posisi Anbi untuk bersandar pada dinding putih dengan posisi tegap. Tangan bergelang Anbi masih berdiam diri pada tinggi badannya sendiri saat tangan kanannya mengukur tinggiku.
Aku tak bergeming, justru mataku yang tak bisa diam untuk mengalihkan tatap dari leher yang mengeluarkan aroma intens. Jika difilm bertemakan vampir, kupikir leher Anbi Sakardja bisa menjadi salah satu hal yang disorot saat adegan penghisapan darah.
Apa yang kupikirkan? Wajahku merona karenanya. Kuenyahkan dengan memikirkan hal lain, tetapi wangi hangat Anbi membuatku mengingat kejadian memalukan di koridor beranak tangga tiga itu.
“Hmm, emang nggak jauh beda.” Anbi mengeluhkan. Kedua tangannya berada di sisi kepalaku dan jarak kami hanya beberapa jengkal. Jika seseorang melihat kami dalam posisi seperti ini, mereka akan salah paham. Aku memandang Anbi tapa kedip dan dia malah cengegesan.
“Lo modus ya?” tuduhku hingga respons Anbi dengan tawa kianlah lebar. Aku segera menunduk dan melepaskan diri dari kedua tangan Anbi di tembok. Yang dia ucapkan hanyalah, “Yah ketahuan.”
Bisa-bisanya ambil kesempatan dalam kesempitan. Aku harus waspada pada cowok bertahi lalat di atas alis itu. Aku kembali mengikutinya di belakang dan dia tak henti-hentinya cengegesan. Sementara, aku malu sendiri merasa dicurangi. Tak seharusnya Anbi mengambil kesempatan mendekati seperti itu. Modus.
“Kenapa?” tanyaku yang tak lain karena langkah Anbi terhenti. Tanda tanyaku lebih besar saat tangan hangat Anbi meraih pergelangan tangaku. Wajahnya terlihat serius, sedetik kemudian mengulas senyum kecil yang tidak seperti biasanya.
“Lo bukan pengikut gue yang harus setia di belakang. Jadi, jalan di samping gue, Iffaa. Paham?”
Kepalaku mengangguk patuh dan akupun tak keberatan ditarik pelan untuk berdiri di sebelah Anbi yang ekspresinya lembut. Aku terpana untuk beberapa waktu. Jauh dilubuk hati, aku juga merasa disadarkan akan sesuatu atas kejadian masa lalu yang membuatku tak menyukainya setiap ditanya untuk bercerita.
Usa, teman sebangku waktu SMP yang mengusirku untuk pindah bangku itu sudah lama menyebut-nyebut diriku sebagai teman. Sampai detik ini, aku selalu bertanya-tanya mengapa aku tak merasakan timpal balik seperti yang kuberikan pada Usa. Entah itu membantu agar menggatikannya saat jadwal piket kelas, membantunya membawakan tas, dan akupun tak keberataan saat dititipkan untuk membeli makanan.
Aku mempertanyakan arti seorang teman. Kakiku selalu berada di belakang Usa, telingaku mendengar bagaimana dia bicara, mataku memerhatikan ekspresi wajahnya yang ekspresif dan tak segan menunjukkan ketidaksukaan. Lantas, pertanyaan ini muncul di benakku, “Apa Usa memerhatikanku juga?”
“Hei kalian.” Suara besar itu membuyarkan isi kepalaku yang murung. Dari koridor ruang yang mengeluarkan alunan musik, aku melihat senior di kantin waktu istirahat itu. “Ayo ke sini. Jangan pacaran terus, nanti ada waktunya buat pacaran. Sekarang, band dulu. Harus gabung, ya.”
Anbi tertawa. Aku harus mengoreksi ucapan senior berahang tajam itu, “Kami nggak pacaran, Kak.”
Senyum senior tampak mencurigakan. Aku mengikuti arah pandangnya yang ke bawah. Ternyata, Anbi masih memegang pergelangan tanganku. Kucoba lepaskan, tawa cowok di sampingku itu malah membuatku kebingungan.
“Boleh anggep kayak gitu, Bang. Otw lah,” ucapnya disertai cengiran lebar.
Akan menarik kata-kataku bahwa Anbi Sakardja memesona karena senyum lembutnya yang terjadi seperkian detik. Cengiran kali ini tak lain karena usil. Tolong lepasin tangan gue, Anbi.
“Lo modus, ya?” Aku berbisik setelah tangan hangat itu melepasku. Dia lagi-lagi mengeluhkan, “Yahh, ketahuan.”