SATURN INTERNASIONAL HIGH SCHOOL.
Sekolah yang mencetak banyak sekali lulusan terbaik dan berbakat. Prestasinya tak pernah turun dari posisi 3 besar. Berhasil menduduki peringkat ke 1 mengalahkan SMA ADIKARYA. Persaingannya yang ketat membuat seluruh murid enggan mengendurkan semangat belajarnya. Sistem ujian poin kerap kali di adakan demi memilah siswa mana saja yang dapat mengikuti ritme pembelajaran sekolah.
Di mata siswanya, SATURN INTERNASIONAL HIGH SCHOOL adalah neraka dunia. Sudah sangat terkenal dengan persaingannya yang gila. Pertemanan yang baik-baik saja bisa berubah menjadi hancur lebur hanya karena nilai. Semua hal bisa berantakan, semua hal yang di harapkan bisa utuh hanya angan-angan belaka. Persaingan, tekanan, bisa merusak semuanya. Di cap menjadi sekolah terbaik, membuat banyak orang tua mempertaruhkan segalanya untuk memasukkan anaknya ke sekolah neraka dunia. Apa lagi kalau bukan mengharapkan masa depan yang cerah?
Hal ini sudah terbukti pada salah satu angkatan 15. Danzel Lee Ghayari, seorang anak genius yang berhasil lulus hanya dalam waktu 2 tahun. Menjadi yang nomer satu dan menjadi lulusan terbaik yang menghantarkan langkahnya menuju masa depan yang berkilau. Terbukti, bahwa Danzel sudah berhasil menjadi pengusaha sukses di luar negeri. Danzel mengakui, SATURN SCHOOL adalah sekolah terbaik yang pernah ia masuki. Tapi, tidak dengan sisi gelapnya yang membuat dirinya terpaksa menghancurkan banyak hal.
Hari ini adalah hari di mana seluruh murid SATURN INTERNASIONAL HIGH SCHOOL menunggu hasil poin setelah ujian usai. Semuanya berkumpul sesuai angkatan masing-masing. Danzel ada di sana sebagai lulusan terbaik, mendapat kesempatan untuk membagikan hasil poin di 3 bulan pembelajaran awal. Dazzle, Dalila, Hanna, Gania, Haikal dan Rama membentuk barisan sendiri. Farhan dan Raga juga berada di sebelah angkatan Dazzle. Semua mata tertuju ke depan ke sebuah layar besar yang sudah berisikan kolom-kolom angkatan. Masih ada 30 menit lagi sebelum pengumuman tiba.
"Gimana guys, kalian oke?" tanya Danzel yang tiba-tiba saja turun dari podium dan menghampiri Dazzle juga teman-temannya.
Ada yang mengangguk ada juga yang hanya memberi senyum paksa. Dazzle hanya diam tanpa reaksi. Matanya masih lurus kedepan tanpa memperdulikan kehadiran Danzel.
"Kalian udah berusaha semampunya. Soal hasil, kalian tinggal berharap yang terbaik. Gak usah tegang,"
Hanna menegakkan bahunya, "aku sedikit khawatir, Kak Danzel. Aku gak mau ada persaingan yang sengit di antara kita. Yang bisa nerima aku sebagai temen yang beneran temen cuma mereka," Hanna melihat kearah teman-temannya satu persatu.
"Aku bisa jadi manusia yang sehat di lingkungan yang kayak neraka. Aku bisa lihat ada taman bunga di tengah-tengah panasnya neraka,"
Dazzle menoleh kearah Hanna, lalu tersenyum. Danzel paham. Mereka masih ingin menikmati masa SMA nya dengan sehat. Menikmati indahnya persahabatan juga cinta yang menyelip dalam masa pertumbuhannya.
"Kita sekarang berdoa aja, semoga hasilnya yang terbaik," ucap Gania yang di angguki oleh teman-temannya.
Danzel tersenyum dan mengusap pundak Dazzle untuk menyalurkan ketenangan. Dazzle hanya tersenyum sebagai jawaban.
Danzel kembali ke tempat semula. Matanya memindai ke seluruh wajah para murid. Wajah tegang tergambar sangat jelas di sana yang mengingatkannya tentang masa itu. Masa 2 tahunnya di SMA yang memperebutkan segala hal demi menjadi yang pertama dan yang terbaik.
Waktu telah tiba, Danzel berdiri bersama dengan para guru dan petinggi SATURN INTERNASIONAL HIGH SCHOOL, semua mata tertuju pada layar besar dan menunggu hasil poin sementara dari setiap angkatan.
Layar besar itu menyala, dan memperlihatkan nama juga hasil poin dari tiap angkatan. Sorak gembira terdengar jelas dari salah satu angkatan yang mendapatkan nilai tertinggi. Dan poin tersebut berhasil di raih oleh angkatan 17 dengan jumlah 695 poin. Berhasil. Target awal angkatan 17 berhasil.
"AAAAA KITA BERHASIL!!!!" ucap Hanna yang langsung memeluk teman-temannya dengan sangat bahagia. Deruan napas lega terdengar jelas dari mereka semua.
Danzel mengambil alih mic, dan menyebutkan beberapa siswa yang berhasil menduduki peringkat 10 teratas.
"Halo semuanya, saya Danzel Lee Ghayari seorang lulusan terbaik tahun lalu, akan membacakan peringkat 2 teratas dalam ujian poin kali ini.
Peringkat pertama, dari kelas 10A jurusan..... BAHASA DAN SASTRA, dengan poin 570 di dapat kan oleh, HAIKAL YUDHA ARDANA. Peringkat kedua, masih dari kelas yang sama dan jurusan yang sama dengan poin 569 di raih oleh, adik saya sendiri DAZZLE LEE GHAYARI ROZH,"
Baik Haikal dan Dazzle keduanya diam dan tak menyangka. Hasil yang mereka dapatkan sangatlah tipis. Suara tepuk tangan juga ucapan selamat terdengar dengan riuh dari angkatan 17. Bisa kita simak, angkatan 17 ini berbeda dengan angkatan yang lain. Sisi suportif nya tetep mereka junjung meski dengan caranya sendiri. Tapi kali ini, mereka akan menunjukkan diri dan membuktikan persaingan yang sehat tetep bisa di lakukan.
Peringkat 3-10 di umumkan di layar besar, selisih poinnya cukup baik. Cukup sedikit dan sangat memuaskan. Hanna menjadi nomer 3, Gania nomer 4, Dalila nomer 5 dan Rama menjadi nomer 6 . Mereka saling berbagi peluk dan menyemangati satu sama lain. Perebutan poin selanjutnya mereka cukup belajar dengan giat dan memahami materinya dengan baik.
"Kita keren. Keren banget. Selisihnya tipis semua. Gapapa, kita udah hebat," ucap Hanna yang memeluk teman-temannya.
"Kita harus pepet Haikal sama Dazzle biar poin kita stabil," ucap Gania yang di setujui oleh Rama dan Dalila.
...
"Kal, ini serius gak sih? Aku tinggi banget poinnya," ucap Dazzle yang masih tak menyangka. Kedua tangannya masih memegang selembar kertas nilai dengan poin terbaiknya.
"Selisih 1 poin doang. Kamu pinter loh, Dazz," ucap Haikal yang sepertinya bangga dengan pencapaian Dazzle.
Dazzle mencari keberadaan Kakaknya untuk memastikan bahwa nilainya ini sungguhan. Sebelumnya, Dazzle sudah pasrah dengan hasil poinnya. Melihat suasana kelas yang begitu kompetitif membuat nya sedikit kehilangan percaya diri. Tapi ternyata semesta memihak kepada nya kali ini. Di saat Lee Han pergi menjalani bisnis luar negeri, prestasi Dazzle meningkat cukup baik di awal masuk sekolah.
Danzel muncul di hadapan Dazzle dengan Tatapan bangga. Di peluk nya adik kesayangan satu-satunya itu.
"Selamat ya, kamu hebat banget,"
"Kak, ini serius? Aku beneran dapet nilai sebagus ini? Kamu gak marah, Kak?"
Danzel menggeleng, "Mana mungkin aku marah? Usaha kamu udah keren banget, kamu udah maksimalin semuanya, kamu hebat, mau ada di peringkat 10 atau 20 besar sekalipun, aku tetep bangga,"
Dazzle menatap Kakak nya haru. Matanya berkaca-kaca, ia tak pernah merasakan kehangatan yang penuh rasa tulus sebelumnya.
"Ibu, ibu marah gak Kak,"
Dazzle menangis, Danzel mengerti akan ketakutan yang Dazzle rasakan. Dengan satu tarikan, Danzel membawa Dazzle dalam dekapannya memberikan rasa tenang dalam hati nya yang sedikit kacau.
"Aku bukan jadi yang pertama, Kak. Kamu serius gak marahin aku? Papah kalau ada di sini pasti aku di marahin. Papah kan gak mau kalau anaknya gak di nomer satu. Kak Zel, kamu boleh marahin aku, Kak gapapa. Aku salah aku kurang giat belajarnya,"
Tubuh Dazzle bergetar hebat. Keringat bercucuran dengan hebat di pelipisnya. Air matanya tak henti menumpahkan segala kesedihan. Dazzle ketakutan hebat. Danzel hanya bisa memeluknya tanpa henti mengusap lembut punggung adiknya yang masih bergetar. Tak memberikan afirmasi apapun selain pelukan. Di ujung sana, suara pukulan juga teriakan mulai terdengar. Kekisruhan terjadi antar murid anak kelas 11 yang rata-rata poin nya jatuh. Dazzle semakin mengeratkan pelukannya dalam tubuh Danzel seperti meminta pertolongan agar dirinya di lindungi. Hal seperti ini sudah biasa terjadi, bagi siapapun yang poinnya jatuh maka akan menyalahkan satu sama lain. Entah dengan sebuah tuduhan atau hal lainnya. Para staff Saturn hanya diam mengawasi, selama masih dalam tindakan wajar mereka tak akan turun tangan.
Rama, Dalila, Gania, Hanna bahkan Farhan juga Raga menghampiri tempat di mana Dazzle, Danzel dan Haikal berada. Ada raut wajah khawatir di sana.
"Kak Danzel, Dazzle kenapa?" Hanna datang lebih dulu, kepanikan tergambar jelas di wajahnya di ikuti dengan kehadiran yang lainnya.
"Gapapa, Dazzle cuma ketakutan. Di keluarga Lee Han, papah selalu ingin anaknya jadi nomer 1. Setipis apapun poinnya Papa tetep kasih teguran. Kemarin, waktu Dazzle ada di posisi 5, papa juga negur tapi dengan cara yang halus karna Papa pikir ini baru awal masih ada kesempatan yang lain. Tapi ini udah 3 bulan, ujian poin udah berjalan, kalau ada papa, Dazzle gak akan lolos,"
Semuanya tercengang dengan penuturan Danzel. Ternyata, semengerikan itu keluarga Lee Han.
"Keluarga kalian....." Dalila tak sanggup melanjutkan ucapannya, ia juga merasakan hal yang sama. Bedanya, Ibu nya bertindak seperti monster dan Papa nya lah yang selalu membelanya
"Iya, gue harap kalian gak jauhin Dazzle setelah ini ya? Sejak dia SMP, belum pernah gue liat dia bawa temennya dateng kerumah. Baru kali ini, gue liat ada temen-temennya yang mau temenan sama Dazzle,"
Hanna yang posisi nya dekat dengan Dazzle mengusap punggungnya pelan
"Dazzle, kamu tenang aja. Kita bakalan tetep temenan sama kamu. Kita tetep mau saingan sama kamu secara sehat," Hanna menitikkan air matanya ada rasa sesak di dadanya
Farhan yang melihat kejadian ini depannya pun hanya bisa diam. Hal serupa juga pernah ia lihat pada Danzel, di mana ia melihat Danzel berlutut di hadapan Papah nya demi meminta ampunan.
"Danzel, Dazzle cuma punya lo sama Ibu Anjani temenin dia. Gue gak mau liat dia kayak waktu gue liat lo di toilet,"
Danzel melihat ke arah Farhan dan mengangguk.
"Gue akan berusaha sebisa gue, tolong temenin Dazzle di sekolah kalau di rumah dia merasa berantakan,"
Rama, Raga, Dalila, Gania, Haikal juga Farhan mengiyakan.
....
Di bawah pohon rindang di halaman rumah Dazzle, Dazzle duduk termenung di sebuah ayunan. Pandangannya menatap lurus kedepan. Keadaannya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Sepulang sekolah tadi, ia di sambut dengan hangat oleh sang ibu, di berikan pelukan juga kecupan ringan. Danzel menceritakan apa yang terjadi pada Dazzle di sekolah, Ibu Anjani hanya tersenyum dan memberikan usapan penuh kasih.
"Jangan ngelamun," Danzel datang membawa sepiring buah melon dingin kesukaan Dazzle juga segelas air lemon.
Dazzle menoleh dan tersenyum, "Enggak ngelamun. Cuma lagi mikir aja,"
"Apa yang nyonya muda pikirkan?"
Dazzle tersenyum dengan ucapan Danzel barusan, ia memanggil nya Nyonya Muda.
"Kamu pernah mikir gak sih, Kak. Kenapa di dunia ini kita harus jadi yang sempurna dan paling hebat? Padahal udah jelas, kesempurnaan bukan milik manusia. Tapi dunia seolah-olah kayak nuntut, kamu gak sempurna kamu gagal. Padahal udah jelas hidup gak cuma tentang kesempurnaan, tapi tuntutan untuk jadi sempurna selalu ngehantuin,"
Danzel diam, ikut merenungi apa yang Dazzle katakan
"Kenapa, orang-orang kayak kita gak bisa hidup damai. Ada aja salah satu yang kasih tuntutan besar. Kan, gak semuanya mampu dan bisa meski udah di coba berkali-kali. Kenapa, dunia yang indah kayak taman bunga ini harus terasa seperti neraka,"
Sekarang, Danzel benar-benar diam. Dazzle menoleh ke arah di mana kakaknya berada, lalu tersenyum. Mengambil satu potong melon untuk menyegarkan tenggorokannya sebelum menggoda Danzel.
"Jangan ngelamun tuan muda,"
Danzel menoleh dan tertawa simpul. Ia mengikuti apa yang Dazzle lakukan, mengambil satu potong melon untuk menyegarkan pikirannya.
"Kapan ya, Kak, kita bisa di rayakan dengan tulus sama Papa? Kapan, Papa stop memperalat kita untuk jadi yang paling sempurna. Capek, Kak. Cuma pengen hidup dengan damai, tanpa tekanan. Kamu pasti berasa kan, tekanan kita yang sesungguhnya ada sama Papa. Ibu gak pernah nuntut anaknya macem-macem. Ibu cuma minta kita jadi anak yang baik, udah,"
Danzel masih diam, tangannya sibuk mengambil potongan melon. Dazzle sedikit kesal dan menghentikan pergerakan Danzel
"Kak, ngomong kek gantian,"
"Aku juga mikirin yang kamu pikirin, Ay. Aku juga ngerasain hal yang sama. Dari awal aku hidup, didikan papah ke aku jauh lebih kejam dari didikan papah ke kamu. Mental ku udah di bantai habis-habisan sama Papa selama kamu masih kecil. Aku gak ngira, kalau kamu juga bakalan ngerasain hal yang sama tapi dengan porsi yang beda," Danzel menenggak air lemon yang ia bawa untuk Dazzle sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Aku cuma bisa berharap, kita bisa sehat. Dan bisa sama-sama berani ngadepin Papa pas pulang nanti. Kita belajar buat saling merayakan satu sama lain. Walaupun Papa gak ikut, tapi seenggaknya kita masih punya satu sama lain,"
Dazzle mengangguk membenarkan
"Sekarang kita cuma perlu memperbaiki diri yang sempet hancur. Gak ngira, kalau Papa yang bakalan ngancurin,"
Dazzle sangat menyayangkan. Papa yang ia anggap seperti super hero nya mendadak berubah menjadi monster yang sangat menyeramkan.
"Kita bisa gak, Kak?"
Danzel mengangguk pasti, "Bisa, asal kita mau,"
Seperti ada harapan, Dazzle tersenyum.
"Semangat!!!"
Kedua Kakak beradik ini saling melempar senyum dan kembali menatap taman rumahnya yang indah. Keindahannya sama seperti taman sekolah mereka, taman bunga di neraka. Indah tapi penuh dengan persaingan yang bisa menghancurkan siapa saja. Meraka yang gagal, maka mereka yang akan kalah.