Matahari berjalan lebih lama akhir-akhir ini. Beberapa orang bergerombol dan membicarakan apa yang baru saja mereka kerjakan selama setengah paruh pertama hari kerja itu. Obrolan-obrolan kecil tentang kegundahan, hubungan asmara atau mimpi yang menyatu menemani jam makan siang kami. Dinding-dinding setinggi tiga setengah meter yang jadi saksi bisu apa saja yang dimakan, seperti apa perasaan orang-orang yang ada disana setiap harinya.
"Apa mimpimu hari ini?"
Lagi-lagi aku membaca notifikasi yang sama setelah tujuh hari membacanya. Itu dari sebuah aplikasi journal sederhana yang sedang ku kembangkan. Prompt acak akan kamu dapatkan setiap harinya, sejauh ini itu sangat membantu kecuali di hari-hari yang terasa lebih berat.
"Makan apa hari ini?" Seorang gadis seusiaku menghampiriku. Dia kolegaku, Inaya.
"Sup ayam dan wortel," kataku.
Dia segera duduk di bangku depanku, menyimpan kotak bekalnya di meja. Dia selalu terlihat riang namun entah kenapa tatapan matanya selalu nampak kesepian. Aku tidak pandai membaca ekspresi namun jelas dia sedikit berbeda dari yang terlihat. Anehnya, tidak ada yang pernah menyadari itu atau mereka hanya diam sepertiku.
"Kamu selalu memakan wortel setiap hari. Apa kesehatan matamu sangat buruk?" Tanyanya saat dia mulai membuka kotak bekalnya dan memperlihatkan nasi Arrgoreng dengan berbagai macam toping seperti bakso dan sosis.
"Tidak. Minus di mata kanan dan kiriku tetap dua," kataku sambil mulai memakan makan siangku.
"Oh, begitu. Menurutmu apa minus matamu ini menganggu?" Tanyanya sambil menatapku dengan tatapan menunggu.
Aku menatapnya balik namun tidak langsung menjawab. Ada banyak hal yang kupikirkan dan ada lebih banyak jawaban yang bisa kuberikan padanya atau setidaknya jawaban yang lebih masuk ke dalam persepektifnya.
"Sudah kuduga, Arru ini terlalu memikirkan banyak hal," katanya sambil tertawa dan menggelengkan kepalanya dengan ekspresi geli di wajahnya.
Aku terdiam dan hanya memakan makananku sambil memandangnya yang tertawa hanya karena aku berpikir.