"Kadang, pelarian terbaik hanyalah sebuah pertemuan."
Mentari pagi kembali menyapa dengan sinarnya yang lembut, menyelinap melalui sela tirai kamar Amerta. Ia termenung di tepi ranjang, menatap langit yang menggantung diam di luar jendela, seolah ikut menyimpan harapan yang menggebu. Bayangan tentang pertemuannya dengan Harsa memenuhi pikirannya. Ada degup yang sulit dijelaskan, campuran antara takut dan rindu.
Segalanya sudah ia siapkan termasuk hatinya yang mulai membiasakan diri untuk menerima luka, "Aku siap jika papa nantinya membuatku terluka lagi,” bisiknya lirih. "Karena luka bukan hal baru bagiku. Dan jika luka tetap datang, setidaknya aku menerimanya dengan bahagia." Sebab dalam diri Harsa, Amerta menemukan cahaya yang telah lama padam dalam hidupnya.
Sementara itu, dari balik dinding tebal rumah besar itu, suara-suara asing terdengar.
“Tuan, robot itu akan dioperasikan dua bulan lagi,” lapor seorang pria bersetelan hitam, wajahnya tertutup topeng metalik tanpa emosi.
“Terus sempurnakan,” balas Arlan Fernando, pria paruh baya itu. “Buat robot itu semirip mungkin dengan gadis itu setiap detailnya.”
Amerta menahan napas di balik pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Tubuhnya ia sandarkan ke tembok. Kata ‘robot’ bergema di pikirannya. “Robot? Gadis itu?” gumamnya, bulu kuduknya berdiri. Ia segera mundur perlahan, takut jika sosok di luar sana tiba-tiba menyadari kehadirannya.
Pikiran Amerta dipenuhi tanda tanya. Robot macam apa lagi yang sedang dirancang papa? Dan untuk apa harus menyerupai seseorang, siapa? Dirinya?
Langkahnya berat saat kembali ke ranjang. Kepalanya penuh kecurigaan, tapi tak ada ruang untuk bertanya. Dunia di sekitarnya semakin terasa sempit, kamar itu kini lebih mirip sangkar dari emas berkilau di luar, menyakitkan di dalam. Ia lelah. Bosan. Muak.
Ia menghela napas panjang, ia singkirkan hal-hal yang mengganggunya, senyum kecil terukir di wajahnya. Ia duduk perlahan dan mulai mencari-cari tablet usang yang dulu membawanya pada kebahagiaan kecil bernama Harsa. Ia mengacak-acak laci, menyingkap tirai, meraba bagian bawah ranjang. Kosong. Benda itu telah raib.
"Papa pasti menyembunyikannya..." gumamnya, rahangnya mengeras.
Tapi ia takkan menyerah. Apa pun caranya, ia harus bisa keluar dari jeruji ini. Ia akan mengambil kembali alat itu, atau membobol semua sistem jika perlu. Dan yang paling penting, ia tahu siapa yang bisa membantunya, Harsa.
~
Di sisi lain kota, Arlan berdiri di dalam ruang observasi yang penuh layar dan grafik. Robot itu kini berdiri di hadapannya tanpa emosi, tanpa ekspresi, tanpa jiwa, tapi secara visual sangat menyerupai Amerta, anaknya.
“Kau akan menggantikannya,” ucap Arlan dengan suara dingin. “Dan kau tidak akan pernah mencintai siapapun. Kau akan menjadi versi sempurna dari Amerta, tanpa kelemahan, tanpa hati.” Dirinya mengagumi robot yang berada di depannya, robot itu adalah bukti bahwa dirinya berhasil mengembangkan perusahaan dan sebentar lagi semua mata akan melihat kehebatannya.
Asisten berjas hitam menunduk. “Proses emosi sudah mulai dihapus dari program utama, Tuan. Tapi ada satu hal yang mengganggu.”
Mendengar hal itu, laki-laki paruh baya yang terobsesi dengan kejayaannya menoleh kearah asistennya, “Apa itu?”
“Setiap kali kami mendekatkan pemicu kebahagiaan, performa sistem robot menurun drastis. Seolah kebahagiaan adalah virus bagi sistemnya.”
Arlan terdiam. Tangannya mengepal. “Harsa…” desisnya. “Dialah sumber kerusakan itu.” Napasnya menggebu-gebu, ia terlihat frustrasi.
“Pastikan anak itu hancur bersama dengan Amerta, kalau mau hancurkan lebih dulu apa pun caranya!” perintah Arlan pada asistennya.
“Kembali ke robot tiruan itu, bagaimana dengan program memorinya?” tanya Arlan.
“Telah diisi dengan semua data kehidupan Amerta sejak kecil. Suara, cara tertawa, nada bicara, bahkan kebiasaannya saat gugup.”
“Bagus,” jawab Arlan. “Dua bulan lagi, dunia akan melihat versi sempurna dari Amerta. Versi yang bisa aku kontrol sepenuhnya.”
~
Sore mulai turun, langit perlahan berubah jingga. Di atas bukit kecil yang menghadap ke kota, Harsa dan Amerta duduk beralaskan jaket milik Harsa. Mereka tidak banyak berinteraksi. Diam yang terjadi di antara mereka bukan karena canggung, melainkan karena kenyamanan.
Harsa duduk di samping Amerta, membiarkan angin sore mengusap wajah mereka. Sinar matahari yang mulai meredup memancarkan kehangatan yang menenangkan, seakan dunia tak beranjak dari tempatnya. Keduanya menikmati senja bersama seperti yang Amerta inginkan meskipun senja itu tak terlalu nampak jika dibandingkan ketika ia melihat melalui tablet usang saat Harsa menunjukkan waktu itu.
"Ini taman yang kamu maksud?" tanya Harsa pelan, suaranya serupa bisikan angin yang datang dari kejauhan.
Amerta mengangguk, senyum tipis merekah di bibirnya. "Iya. Rasanya seperti tempat yang bisa menyembuhkan banyak hal." Matanya menatap jauh ke arah bunga-bunga yang mekar, warna-warninya berbaur dengan lembut dalam cahaya senja. "Kadang aku merasa, hidup bisa jadi lebih ringan jika ada tempat seperti ini. Sayangnya aku harus berkelahi dengan ketakutan dan trauma.”
“Aku terkekang, aku seperti dikendalikan, dan aku tak punya ruang untuk tumbuh menjadi diriku sendiri. Aku banyak dituntut untuk menjadi sempurna di mata papa.” ujar Amerta. Netranya terlihat menahan air mata yang ingin keluar.
Harsa mengamati wajah Amerta, bukan hanya dalam diam, tapi juga dalam pengertian. “Kadang kita hanya butuh ruang untuk berhenti, bukan untuk melarikan diri, tapi untuk menemukan kembali apa yang hilang.”
Amerta menoleh, sedikit terkejut dengan kata-kata Harsa yang terasa begitu tepat. Ia tersenyum tipis, “Aku rasa begitu.”
Amerta menunduk sejenak, mencoba menahan gelombang perasaan yang datang begitu saja. “Kamu hari ini tidak sibuk, Harsa?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.
"Tidak untuk saat ini, memangnya kenapa?” balas Harsa dengan lembut, matanya menyelami jauh ke dalam mata Amerta.
Senyum terukit jelas di wajah Amerta, ia menghela napas panjang. "Tidak apa-apa, aku senang sekali kamu menepati janji untuk bertemu denganku.”
Harsa tak langsung membalas. Ia hanya tersenyum tipis, lalu perlahan menyentuh tangan Amerta yang tergeletak di atas rerumputan. Sentuhan itu ringan, tapi cukup untuk membuat waktu seolah melambat.
“Jadi, gimana kamu bisa keluar hari ini?” tanyanya pelan. “Bukannya kamu pernah bilang nggak bisa kemana-mana karena ayahmu?”
Amerta menatap tangan mereka yang kini bersentuhan, lalu menoleh ke langit senja yang mulai berwarna jingga keemasan. Di sana, ia menemukan ketenangan sesuatu yang selama ini jarang ia rasakan.
“Entahlah,” gumamnya. “Mungkin aku cuma lagi beruntung atau semesta memang lagi berpihak sebentar.”
“Jadi,” Harsa bersandar ke belakang, menopang tubuhnya dengan kedua tangan, “kamu kabur hari ini hanya untuk bertemu dengan aku?”
Amerta memutar bola matanya, pura-pura kesal. Tapi tidak bisa ia pungkiri, ia merasa senang, rasa yang selama ini ia rindukan. “Siapa bilang aku kabur buat kamu?”
Harsa menyipitkan mata. “Jangan pura-pura. Tadi kamu senyum ketika aku datang.”
“Aku senyum karena akhirnya bisa lihat langit dari luar jendela kamar,” jawab Amerta, lalu mencibir kecil. “Bukan karena kamu.”
“Yakin?” Harsa sedikit mencondongkan tubuhnya. Ia suka melihat bagaimana Amerta jadi salah tingkah, walau tetap berusaha menjaga gengsinya. Perempuan itu tampak seperti teka-teki, tapi semakin ditebak, semakin menyenangkan.
Amerta menatapnya tajam, tawanya tak bisa ia sembunyikan lagi. Bukan karena lelucon Harsa yang luar biasa, tapi karena kehadirannya yang selalu berhasil memecah beku di dadanya.
“Kamu tahu tidak?” ujarnya setelah tawanya reda, “Setiap kali aku bertemu dengan kamu, rasanya seperti keluar dari penjara.”
“Oh ya, berarti aku ini pelarian kamu dong?” Harsa menatapnya sambil tersenyum menggoda.
“Lebih tepatnya, tempat persembunyian,” bisik Amerta, lirih, lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya.
~
Tapi jauh di bawah menara rumah besar tempat Arlan tinggal, suara sistem pengunci berbunyi. Ruangan gelap terbuka perlahan, memperlihatkan barisan robot yang belum aktif. Di ujung ruangan, satu tabung besar menyala.
Di dalamnya, sosok robot Amerta membuka matanya perlahan dan di layar hologram yang berada di depan Arlan, terpampang gambar Amerta dan Harsa yang diambil dari kamera tersembunyi yang tak pernah mereka sadari. Arlan duduk, menyesap kopi hangat. “Kamu mulai, Amerta.”
“Apa perlu saya jemput paksa, Tuan?” tanya asisten itu.
“Biarkan saja mereka bersenang-senang sekarang,” kata laki-laki paruh baya itu dengan suara pelan. “Dua bulan lagi, gadis itu akan tahu akibat melanggar peraturan ini.”