Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 2 - Ark Kontroversi
MENU
About Us  

—Orang Ketiga
    Tepat disaat Rafa sedang perjalanan menuju ke area utama bagian tengah, sementara itu ditempat lain... di sekitar halaman belakang gedung sekolah, memperlihatkan anak kelas sepuluh IPS yang mulai terjadi bentrok dengan anak otomotif.
    "Apa maksudmu melakukan ini!?" Bentak Siswa dari kelas IPS.
    Dikutip dari kejadian sebelum itu, mereka sempat didatangi oleh beberapa anak otomotif yang diketuai oleh 'pengacau' dari kelas IPA... didalah Tomi.
    Dengan sikap sombong, Tomi melakukan pendekatan dengan cara yang amat blak-balakan. Tanpa ragu, dia menujukkan sikap persaudaraan, meski tahu komplotan mereka saat ini telah dianggap sebagai pendatang masalah.
    "Kalian pasti dari kelas sepuluh IPS kan," kata Tomi.
    "Sudah tahu kenapa tanya... kau mau apa di sini?" Tanya siswa kelas IPS bernama Mordi, menyambutnya dengan kasar.
    "Kami belum melakukan apapun sudah diperlakukan seperti ini... benar-benar menyakitkan ya," kata Tomi, sok memelas.
    "Semuanya tenang dulu. Mereka mungkin memang terlibat dalam masalah ini. Lebih baik sekarang jangan terlalu menekan mereka," kata Jaka, menasehati teman-temannya.
    "Ya tapi mereka itu..."
    "Sst, kalau kita terprovokasi, bisa jadi kita akan melakukan seperti yang mereka inginkan," bisik Jaka kepada salah satu temannya yang agak sulit bersabar.
    "Yah... apapun dugaan kalian, kami sangat mengerti kalau kehadiran kami memang tidak diterima." Tomi melihat mereka satu persatu yang menatap masam ke arahnya.
    "Tapi..."
    Sebelum melanjutkan perkataannya, tiba-tiba dari arah lain terlihat ada salah satu anak kelas IPS yang seharusnya ditugaskan membawa minuman, kini menumpahkan minuman itu dan mengenai jas salah satu anak otomotif yang berada di depannya. Tentu saja anak otomotif yang tidak terima, segera mendorong anak kelas IPS itu hingga jatuh kebawah, bersama dengan sisa minuman yang masih dibawa. Diketahui dia bernama Faris... siswa yang mentalnya paling lemah di antara teman-teman Jaka. Bahkan setelah menumpahkan minuman itu kepada anak otomotif yang mendorongnya, dia tidak bisa mengucapkan kata 'maaf' sangking takutnya.
    "Kau pasti sengaja kan! ayo jawab!" Bentak Anak Otomotif yang sebagian jasnya basah terkena tumpahan.
    Melihat keadaan itu, tanpa bepikir panjang Jaka bersama teman-temannya segera menghampiri Faris dan hendak menolongnya, keluar dari situasi itu.
    "Woi!! itu keterlaluan!" Teriak salah satu Anak Kelas IPS.
    "Ha? Dia sudah membuat jasku basah! bagaimana dia akan bertanggungjawab!" Gertak Anak Otomotif itu, sama-sama lantang.
    "Tidak... tadi ada yang mendorongku dari belakang. Setelah itu tanpa sengaja aku menjatuhkan minumannya," kata Faris, membuat pengakuan.
    "Itu pasti hanya alasanmu saja! beginikah sikap anak IPS?!"
    Seolah berniat menghancurkan citra kelas mereka... anak otomotif itu tanpa ragu meneriakkan kejelekan sikap Faris, sampai-sampai menyangkut pautkan asal kelas. Beberapa orang yang melintasi jalan sekitar situ, pasti akan mendengarnya begitu jelas. Dengan sendirinya, kerumunan mulai terbentuk disekitar mereka.
    "Keterlaluan...!"
    Bukannya merasa kesal dengan Faris, anak kelas IPS justru mengarahkan kekesalannya kepada anak otomotif yang berstatus korban. Mereka berpikir 'pasti ada yang menjebak dan membuat situasi ini terjadi'. Terlihat dari kejauhan, Tomi tampak senang mengamati situasi mereka. Salah satu anak dari kelas IPS yang melihat kejanggalan itu, lamgsung mengira bahwa Tomi yang merencanakan skenario tersebut.
    "Hei Tomi! Apa ini rencanamu? Beraninya menjebak teman kami!"
    "Kau menuduhku? Daritadi aku hanya berdiri di sini setelah menyapa kalian, ingat," kata Tomi, tersenyum tipis saat membela diri.
    "Dia itu... tidak bisa dipercaya."
    "Memangnya kalian punya bukti jika itu perbuatanku?" Tanya Tomi, terlihat semakin percaya diri.
    Sementara itu, Jaka yang berusaha menolong Faris menjauhkannya dari anak otomotif, masih terus berdebat dan mencarikan sesuatu untuk dinegosiasikan. Namun, anak otomotif itu sama sekali tidak tertarik ... bahkan, sepertinya sengaja menolak negosiasinya mentah-mentah.
    Ditengah kericuhan itu belangsung, dua menit berlalu. Seorang yang bisa dikatakan penyelamat telah muncul, ketika anak IPS sudah hampir mencapai batas. Sebelum kedua pihak saling adu kekerasan, anak OSIS telah lebih dulu datang, menerobos masuk kedalam kerumunan, menengahi mereka.
    "Berhenti! berhenti! sudah berhenti! tidak ada hal baik yang bisa diselesaikan dengan cara kekerasan," suara seorang perempuan yang merupakan anggota OSIS, terdengar dari balik kerumunan.
    Saat para murid memberikan jalan bagi OSIS lewat, di situ terlihat siapa sosok yang menghentikan mereka. Dia adalah Tia, murid tahun kedua dari jurusan kelas IPS.
    "Sebagai ketua divisi empat OSIS, kami yang akan membantu menyelesaikan masalah kalian langsung di sini," kata Tia, bersemangat.
    Melihat kemunculan sosoknya, Jaka dan teman-temannya terlihat amat lega dan bersyukur... disisi lain, Tomi yang seharusnya merasa tidak senang, berusaha tersenyum masam untuk menutupi kecurigaan OSIS.
    "Adakah yang bersedia menceritakan kronologinya?" Ujar Tia.
    Ketika Jaka hendak mengambil kesempatan itu untuk menjelaskannya, anak otomotif tadi yang seolah menjadi korban ketumpahan minuman, langsung menyaut inisiatifnya.
    "Mbak! aku korbannya di sini. Siswa ini... dia sengaja menumpahkan minumannya di jasku. Aku tidak tahu dendam apa yang dia punya, tapi ini sungguh keterlaluan," katanya, dengan menuding ke arah Faris.
    "Tidak, bukan... aku tidak bermaksud melakukannya." Karena sangking groginya, Faris tidak bisa menjelaskannya dengan benar.
    "Faris, tenanglah. Jika kau mengatakan yang sebenarnya, kau bisa membuktikan ketidaksalahanmu," saran Jaka, seraya menepuk pundaknya.
    Mendengar itu, Faris mulai merasa lebih tenang. Apalagi setelah melihat ke arah teman-temannya yang tersenyum ke arahnya. Mereka percaya bahwa Faris memang tidak pernah berniat melakukannya ... melainkan semua ini adalah siasat Tomi yang menjebak dirinya.
    Setelah mengumpulkan keberanian, Faris perlahan berdiri sambil mengepal kedua tangan. Mengabaikan intimidasi dari anak-anak otomotif, satu-satu pandangannya kini tertuju kepada Tia, menjadi harapan untuknya bisa keluar dari masalah
    "Mau apa kau? Mengakui kesalahan?"
    "Tidak, aku ingin membenarkannya," kata Faris.
    Mendengar jawaban itu, anak otomotif tadi merasa kesal seolah ingin memukul Faris yang kini berdekatan dengannya. Tapi dia tidak bisa melakukan itu karena di depan mereka ada kesiswaan OSIS.
    "Sebelum semuanya terjadi, aku menawarkan diri ingin membelikan teman-temanku minuman, karena mereka terlihat berusaha keras mencoba meredakan kekacauan. Sementara kupikir hanya itu yang bisa kulakukan untuk mereka. Tapi setelah kembali dengan membawa minuman yang penuh ditanganku, tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang mendorongku. Aku tidak tahu apakah itu memang kebetulan atau sengaja, tapi kondisi dia ada di depanku sangat pas ketika aku didorong," kata Faris, menjelaskan dengan detail, sambil menahan kegugupannya.
    "Dia hanya beralasan! itu pasti bohong. Kau sebenarnya tidak ingin bertanggungjawab kan," bentak anak otomotif yang bersikukuh menjadi korban.
    "Tidak, aku mengatakannya dengan jujur!" Bantah Faris, kehilangan ketenangannya sesaat.
    Melihat perdebatan adu mulut itu, Tia segera mengambil alih pembicaraan.
    "Baik, baik... aku sudah mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Dari penjelasan..." karena Tia tidak mengetahui namanya, Faris segera merespon.
    "Faris."
    "Ya, dari penjelasan Faris, sekarang aku semakin yakin siapa yang jujur dan siapa yang berbohong," kata Tia.
    " ...!!"
    Hanya mendengar kata Tia saja, semua yang ada di situ sontak terlihat penasaran dan kaget dengan jawaban yang akan diberikan. Bahkan, Faris yang telah mengatakan semuanya dengan jujur masih merasa takut mendengar jawabannya ... 'dia sebenarnya tidak ingin merepotkan teman-temannya dan merusak citra kelasnya', Karena itulah dia sangat tidak ingin menjadi yang tertuduh.
    Sebenarnya, Tia memang sengaja mengulur waktu, memberikan jawaban sebagai bentuk menakut-nakuti mereka yang ada ditempat. Meskipun hal yang dilakukannya bukan berdasarkan kesenangan pribadi, dia merasa terhibur karena 'orang yang bersalah' sikapnya cukup tenang memperhatikan jalannya debat.
    "Kau yang di situ, siapa namamu?" Tanya Tia, tiba-tiba menuding Tomi.
    "Tomi. Apa ada masalah?" Tomi memastikan kejanggalannya.
    "Kau ini cerdas ya ... atau mungkin... licik," kata Tia, sesaat tersenyum subjektif.
    "Apa... yang Mbak katakan? Kenapa tiba-tiba..." Tomi mulai sedikit terguncang.
    "'Menciptakan sebuah kondisi dimana semuanya bisa terjadi secara alami dengan melibatkan orang lain sementara dirinya menjadi perantara'... kau sungguh perhitungan ya," kata Tia, jelas tuduhan itu diberikan kepada Tomi, dalam bentuk sindiran.
    Sementara itu, Tomi yang mendapatkan tuduhan, syok... tidak meduga bahwa ada kemungkinan rencananya bisa terbaca. Dia pikir jika bukan Faris, anak otomotif sendiri yang menjadi korban menerima tuduhan itu. Namun diluar ekspektasinya, ternyata OSIS jauh lebih cerdas dari yang dia kira.
    "Kenapa Mbak berpikir jika aku yang melakukannya?" Tanya Tomi, bukan untuk pembelaan, melainkan sekedar ingin mendengar pendapatnya.
    "Sepertinya kau terlalu meremehkan jaringan OSIS. Ataukah kau sendiri tidak menyadarinya?"
    "Kalau itu bagaimana ya..."
    Tidak mau mengatakannya secara langsung, Tomi justru memperlihatkan sikap 'sulit ditebak'.
    "Meski kami memang tidak bisa menanggulangi kekacauan ini dalam waktu singkat, setidaknya, kami telah menyebar sampai ke segala penjuru area sekolah untuk berbagi informasi. Seperti kasus ini, jika rekan terdekat kami melewatkan hal kecil yang belum diselidiki secara mendalam, mungkin aku tidak akan tahu siapa pelaku sebenarnya. Dan bisa jadi, aku justru akan menuduh murid yang tidak bersalah," kata Tia, menjelaskan cara kerja OSIS menanggulangi masalah kekacauan.
    "Begitu ya. Dalam hal ini sepertinya aku kalah telak. Tidak kusangka cara bertarung OSIS adalah 'memakai dua gerakan secara bersamaan'. 'Cepat, namun tidak terlihat, lambat, tapi menjamin'. Sepertinya aku telah melihat sesuatu yang menarik," kata Tomi, masih tepat tenang, meskipun menyerah.
    Mengetahui bahwa Tomi telah menyerah, anak otomotif yang tersisa segera membubarkan diri menjauhi OSIS. Tia tidak menghentikan mereka, justru dengan tenang melihat Tomi yang sama sekali tidak ikut melarikan diri.
    "Kau tidak ingin kabur bersama mereka?" Tanya Tia.
    "Tidak ada gunanya. Selama mereka masih berada di lingkungan sekolah ini, tidak ada murid yang bisa kabur. Itu kan yang Mbak pikirkan," kata Tomi, menggunakan logikanya.
    "Aku senang kau cepat memahaminya," kata Tia, tersenyum seraya menepuk beberapa kali punggung laki-laki itu.
    Setelah kondisi sudah lebih tenang, anak kelas sepuluh IPS merapat, lalu mendekati Tia yang kini berada di dekat Tomi.
    "Mbak! Terimakasih atas bantuannya. Kalau tadi mbak tidak datang, entah apa yang terjadi selanjutnya," kata Jaka, mewakili teman-temannya mengucapkan terimakasih.
    "Apa kau ini... yang namanya Jaka?"
    "Eh...! K—kenapa Mbak bisa tahu namaku? Apa aku seterkenal itu?" Jaka tidak bisa menyembunyikan keterkejutan, serta perasaan senangnya.
    "Mana mungkin begitu. Kita ini baru sebulan di sini lho," kata salah satu temannya, mengacaukan kesenangannya.
    "Ah... benar juga. Mana mungkin secepat itu terkenal ya," kata Jaka, berpura-pura sedih karena disadarkan oleh fakta.
    "Tenang saja! Seiring berjalannya waktu kelas kita pasti juga akan terkenal," kata temannya yang lain, menyemangati.
    Sementara itu, Faris yang berada di antara mereka, terlihat hanya bersungut-sungut, sepemikiran dengan yang lain.
    "Itu sudah pasti!" Kata Jaka, bersemangat kembali.
    Melihat kedekatan kelas mereka, sontak membuat Tia menahan tawa geli mengetahui Rafa memiliki kenalan seperti mereka.
    "Ada apa Mbak? Kok malah ketawa?" tanya Jaka, heran.
    "Tidak, tidak ada apa-apa. Hanya saja keakraban kalian membuatku agak tersentuh. Di antara anak kelas dua belas, jarang-jarang ada siswa seperti kalian yang begitu optimis, bergerak sebagai kesatuan kelas. Kuharap kalian bisa menjaga persahabatan kalian sampai tiga tahun kedepan. Karena ada banyak rintangan yang akan kalian hadapi. Yah... bagaimanapun juga kalian masih baru di sini. Nikmatilah masa muda yang menyenangkan selagi bisa," kata Tia.
    "Pastinya! Terimakasih sarannya, Mbak," kata Jaka.
    "No problem."
                                                        ***
—Rafa
    Menuju ke area utama bagian tengah, secara fisik itu telah menguras staminaku yang ingin kusimpan. Bagaimana tidak ... pasalnya, area tersebut berada di atas dataran tinggi yang ketinggiannya hampir sama seperti mendaki jembatan yang menjulang, setinggi empat puluh lima derajat ke atas. Meskipun sudah terdapat anak tangga dengan pegangan besi ditengahnya, aku tetap berharap pihak sekolah mau menggantinya dengan elevator, tapi itu tidaklah mungkin. Kalaupun bisa diusahakan, itu tidak akan bisa digunakan dalam waktu dekat.
    Sampai di atas membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua menit jika berjalan normal. Karena itulah setiap aku kembali ke asrama yang terletak tak jauh dari area ini, biasanya aku tidak akan pergi kemanapun setelahnya. Selain melelahkan, juga tidak efisien. Kecuali jika ada kebutuhan khusus atau keadaan darurat, seperti mengembalikan buku ke perpusatakaan, itu adalah saat dimana aku harus memaksakan tubuhku untuk bergerak.
    Sebelumnya aku memang tidak pernah mencoba keluar, melihat apa saja yang ada di area itu, karena merasa tidak tertarik saja. Yang ku ketahui, di situ terdapat gedung panorama yang bisa dilihat dari mana saja, serta Hypermarket yang memang seperti sudah wajib dikunjungi murid setiap hari. Lalu ada restoran, distro, dan tempat karaoke yang kudengar berada disatu lokasi. Sayangnya, di sana tidak ada toko buku maupun kios yang didirikan. Itulah yang membuatku tidak memiliki alasan untuk kesana. Pusat dari bangunan operasional itu sendiri berada di sekitar taman yang merupakan satu dari lima taman besar yang ada di sekolah futuristik ini. Taman yang ada di area utama bagian tengah itu dikenal dengan nama taman skyland. Namanya memang terdengar cukup mencolok, tapi menurutku, taman itu tidak berbeda jauh dari taman-taman lain seperti yang ada pusat perkotaan. Jika ada yang membedakannya, itu adalah hiasan serta dekorasi yang ada ... itu wajar karena memang sudah menjadi ciri khas sebuah taman dengan subtema masing-masing.
    "Huh, pemandangan yang biasa."
    Ketika melihatnya langsung untuk pertama kali di sekitar taman itu, seperti yang ku pikirkan, fasilitas umum yang ada di sana tidak berbeda jauh dengan yang sudah ada. Disitu terdapat keran air, serta bangku panjang taman yang memang seharusnya ada. Pohon besar yang rindang, juga rerumputan lembut disekitarnya.
    Dulu aku memang pernah membayangkan diriku membaca buku di bawah tempat seperti itu ... akan tetapi, pemikiran semacam itu dengan cepat berubah, setelah mengetahui fakta bahwa tempat tersebut ternyata adalah salah satu taman bermain para ekstrovert. Itu bukanlah tempat yang cocok untukku, dalam pengertian 'tempat bersantai sebagai tempat menyendiri'.
    Seperti yang kulihat sekarang ini, di sekitar taman itu sekarang di penuhi oleh sekumpulan siswa bermasalah. Ditengah kekacauan ini, mereka mengira bahwa tidak ada konsekuensi yang akan menjadi pertimbangan atas penyimpangan mereka sebagai siswa sekolah. Setiap orang memang memiliki berbagai cara menikmati hidupnya masing-masing. Tapi meskipun begitu, ada batasan yang seharusnya menjadi hal yang wajar diterapkan, dalam upaya mencegah terjadinya 'kebebasan yang berlebihan'. Alasannya tidak lain adalah karena hal tersebut, dapat merusak moral mereka di masa depan.
    Selain dapat menumbuhkan rasa egois, mereka akan belajar mencari kebebasan yang utuh dan tak terkira jumlahnya. Jika sudah seperti itu, manusia tidak akan bisa disebut sebagai manusia lagi karena prinsip mereka telah menjadi layaknya hewan yang hanya ingin mencari kebebasan saja. Setidaknya, begitulah perspektifku dalam menilai mereka.
    "Siapa itu?!"
    Salah seorang siswa yang kuperhatikan dari kejauhan, mulai merasa curiga dan terganggu, dengan kehadiranku yang terus mengamatinya daritadi.
    Siswa berjas hitam itu dengan santainya duduk di bangku panjang taman bersama beberapa temannya, menghirup sepotong lintingan bau tembakau yang dikenal sebagai rokok.
    Mereka mengobrol seolah berada didalam dunianya sendiri. Seperti diriku yang hanya bisa mengobrol banyak dengan barang yang disebut karya sastra novel, samar-samar aku bisa merasakan rasa kesepian dari dalam diri mereka. Berbeda dengan perokok aktif kebanyakan yang tinggal di daerah perkotaan, mereka tampak seperti mendefinisikan rokok sebagai kebutuhan hidup, bukan kesenangan.
    "Hei! Sekali lagi aku bertanya, siapa di sana?! Kalau tidak ada jawaban, aku sendiri yang akan datang ke arahmu dengan tinjuku!" Tegas siswa berjas hitam itu.
    Karena sengaja ku abaikan, mereka perlahan berjalan ke arahku. Meskipun aku memilih kabur dari sini, mereka pasti tidak akan membiarkanku pergi begitu saja, bahkan setelah melihat bentuk penyimpangan mereka. Bagaimanapun juga, bagi mereka sekarang, aku telah menjadi seorang saksi yang mengancam keberadaan mereka di sekolah ini.
    "Huh... kau siswa tahun pertama kan," kata siswa berjas hitam itu, ketika melihat jelas sosokku yang terus memandanginya.
    Sekilas, dari tinggi badan serta perawakannya, aku bisa menebak jika orang ini adalah kakak kelas.
    "Kau kesini mau mencari masalah atau kebetulan lewat?" Tanya Kakel itu, memberi opsi sesuai dugaannya, melotot mengintimidasi.
    "Aku mencari seseorang," kataku.
    "Seharusnya di sini tidak ada banyak siswa tahun pertama kecuali mereka yang berasal dari jurusan otomotif. Memangnya siapa yang kau cari?" Tanya Kakel itu, masih terlihat waspada melototiku, sembari menghirup, menghembuskan asap rokoknya yang panjang sekali.
    "Mirza," jawabku.
    Saat menyebutkan namanya, Kakel ini merespon dengan tatapan tajam ... lantas meninggalkanku tanpa mengatakan apapun, selain meninggalkan asap rokoknya yang masih mengembun di atas. Aku memutuskan untuk menunggu. Meskipun ada kemungkinan jika Kakel itu sudah tidak berminat kepadaku dan pergi begitu saja tanpa menggubris keberadaanku, aku memiliki cara efektif lain seperti langsung masuk kedalam gedung panorama, dan menemui pelaku utama dari kekacauan ini. Tentunya sambil membereskan mereka yang mencoba menghalangi. Tapi... sepertinya itu tidak terjadi sekarang. Karena Kakel itu kini telah kembali, membawa orang yang memang sedang ku cari. Sungguh aku tidak menduga akan semudah ini menemuinya.
    "Tch, memangnya siapa yang berani ingin menemuiku disaat seperti ini."
    Ditengah dia mengeluh dalam perjalanan, sontak dia langsung kaget ketika melihatku berdiri seorang diri, menunggu kedatangannya. Meskipun ekspresinya tidak menunjukkan, aku bisa tahu dari sikapnya yang seketika berubah serius menatapku.
    "Dialah yang memanggilmu. Sebaiknya cepat urus dia jika tidak ingin melewatkan 'persiapan terakhir'," kata Kakel itu, meninggalkan kami berdua begitu saja dalam kecanggungan.
    "Siapa kau?"
    Dari pertanyaan yang dia lontarkan, jelas dia tidak mengingat siapa aku di kelas.
    "Aku Rafa, siswa yang berada satu kelas denganmu," kataku.
    "Aku tidak peduli darimana kau. Cepat katakan, apa urusanmu denganku? ... Jangan bilang, kau bermaksud ingin membawaku kembali ke kelas, memintaku agar meminta maaf kepada Amelia?"
    "Kau tidak bisa melakukannya kan," kataku, membantah asumsinya.
    " ... Itu... Ah...! Pokoknya cepat katakan tujuanmu! Aku tidak punya waktu untuk meladenimu."
    Sepertinya dia memang berada dalam posisi sulitnya sendiri. Itu terbukti dari ekspresi wajahnya yang tampak setengah menyesal.
    "Menurutku kau tidak perlu memaksakan diri mengikuti aksi ini," kataku.
    "Memangnya apa yang kau mengerti! Kau pasti tidak tahu semua ini kulakukan demi apa kan!"
    "Demi kelas, benar?"
    "Bagaimana kau..." Mirza tersontak kaget.
    "Sekarang aku sudah tahu kenana arah tujuanmu melakukan deklasi itu. Sejak mengamatimu didalam kelas, perlahan-lahan aku mulai menyadari peran antagonis yang kau mainkan."
    " ... Meskipun kau tahu, memangnya apa yang bisa kau lakukan. Kau bahkan baru muncul sekarang, dan mengatakan kebenarannya saat semua sudah terjadi."
    "Kalau kau mau, aku bisa menggantikan peranmu, menghentikan kekacauan ini dari dalam. Tidak. Dari luar juga tidak masalah."
    "Kau mengatakannya dengan sangat mudah. Kuberitahu, Gesa itu orang yang mengerikan. Kalau dia sudah berani bertindak sampai sejauh ini, itu berarti dia sudah membuat ketetapan yang kuat ... tidak ada yang bisa menghentikannya sampai ambisinya redup. Justru dia akan semakin merasa tertantang, andaikan pihak sekolah ikut campur tangan ... meski semua yang dia lakukan ini hanya untuk sementara waktu," kata Mirza, menekan setiap perkataannya, menjelaskan siswa bernama Gesa yang kemungkinan besar adalah pelaku utama.
    "Aku kesini hanya untuk menghentikannya. Aku juga punya tujuan sendiri," kataku.
    "Kau ini dengar kataku atau tidak! Jika aku saja tidak bisa menghentikan dia, aplagi orang sepertimu!"
    "Kau tidak seharusnya membandingkan diriku denganmu."
    "Oke ... kalau begitu sebagai pembuktian, ayo hadapi aku, pukul! ... Dan semisal aku kalah, aku akan membiarkanmu sesuka hati menemuinya. Tapi kalau kau yang kalah, pergilah dari sini. Jangan kembali sampai kekacauan ini reda. Tch, sejujurnya ini tidak menyenangkan. Kau sama sekali tidak terlihat seperti orang yang bisa berkelahi. Aku yakin, kau pasti tipe orang yang lebih suka mengikuti pelajaran daripada mengobrol sendiri di kelas, benar kan," kata Mirza, memasang kuda-kuda, siap berkelahi.
    Sepertinya dia memang serius ingin menguji kekuatan fisikku. Mungkin wajar karena dia sendiri pasti butuh kepercayaan kuat, sebelum membiarkan orang lain terlibat masalah lewat jalurnya. Secara subjektif, jelas bahwa itu memperlihatkan bentuk kepeduliannya ... meskipun aku yakin dia tidak akan bisa mengutarakannya secara langsung, tetap saja tindakannya itu bisa diartikan sebagai bentuk 'upayanya dalam melakukan kebaikan'. Untuk kalimat bagian akhir, aku agak terkejut dengan fakta bahwa, 'ternyata dia bukan hanya sekedar siswa tampang berandalan saja'.
    "Itu lebih mending daripada melibatkan diri kedalam masalah yang merepotkan," sindirku.
    "Apa yang ingin kau katakan?" Tanya Mirza, semakin geram menatapku.
    "Menurutmu dengan menjadi bayangan yang melindungi kelas sampai-sampai bergabung menjadi 'pembuat masalah' itu adalah opsi yang tepat? ... Kalau kau mengatakan bahwa 'itu hanyalah satu-satunya cara', kau membuat kesalahan besar. Bahkan lebih besar daripada pengorbanan yang selama ini kau lakukan demi kelas," kataku.
    "Diam! Kau ingin terus mengoceh atau akan berkelahi?!" Bentak Mirza, kehilangan kesabaran.
    "Huh... haruskah menyelesaikan ini dengan berkelahi?" Kataku, menanggapinya dengan sangat malas.
    "Sepertinya kau memang harus dibuat babak belur dulu ya."
    Tak dapat menahan kesabarannya lagi, Mirza mulai berlari ke arahku. Kutebak dia akan menendangku dari jarak menengah, mengambil sedikit ancang-ancang melompat, mengincar perutku. Itu adalah cara pembukaan umum bagi mereka yang terbiasa berkelahi di jalanan.
    "Uh...!"
    Saat aku memegang kakinya sebelum mengenai perut, Mirza tampak sedikit terkejut karena mungkin tidak sesuai perhitungan. Tak berhenti di situ, dia mencari titik lain untuk menyerang. Dengan gerakan cepat, dia mengayunkan kaki satunya lagi yang tadinya dijadikan tumpuan.
    "Huf...!"
    Aku mengindari tendangannya itu dengan melekukkan tubuh condong ke belakang, sehingga serangan yang seharusnya dapat mengenai bagian samping kepalaku, meleset bagaikan angin yang menerpa kencang di atas pundak. Mirza dengan kasar menarik kakinya yang masih kupegang ... dan untuk sesaat, dia berhasil menjaga jarak dariku.
    "Kelihatannya kau bisa berkelahi, tapi jangan merasa tenang. Ini baru permulaan!"
    Dengan wajah yang penuh tekanan, Mirza melakukan serangan brutal dengan tinjuan. Memusatkan titik fokus, aku melihat dan mengimajinasikan beberapa celah yang memiliki potensi menangkis dan menghindar. Jarak kontak fisik kami semakin dekat, sehingga dia mulai menarikku kesana kemari. Meski belum mendapat satupun pukulan, dia mulai bisa mempersempit jarak, kemudian dapat menahan kedua tanganku.
    "Kau cukup mahir mengindar... tapi jika kau tidak balas menyerang, cepat atau lambat kau pasti akan kalah!"
    Dengan teriakan itu, dia menggunakan kakinya dari jarak dekat untuk mendorongku. Kemudian, ketika pada momentum kehilangan keseimbangan, dia menggunakan kesempatan itu untuk melancarkan pukulannya ke wajahku.
    [Bam!]
    Pukulannya mengenai pipi kiriku dengan cukup keras, membuatku terpaling dalam sekejap. Mundur satu langkah dengan sedikit terhuyung ... aku memegang bekas pukulannya yang masih baru di wajahku. Sementara Mirza berhenti sejenak, ketika mengetahui bahwa pukulannya berhasil mengenaiku. Mungkin saja dia merasa bersimpati karena telah memukul orang yang bahkan belum melukainya.
    "Hah... bagaimana? Sakitkan?" Mirza yang terhenga-henga, menanyakan itu dengan ekspresi seolah senang.
    "Apa kau ragu saat memukulku?" Tanyaku, masih memalingkan wajah, namun tidak mendesis kesakitan sama sekali.
    "Ha...?!" Mirza semakin geram.
    Meski tidak melihat, aku tahu tangannya pasti gemetaran sekarang. Bukan karena merasa takut terintimidasi, melainkan takut karena merasa akan melewati batas, bila menghajar habis-habisan siswa yang dianggapnya berpenampilan lemah.
    "Dengan niat setengah-setengah seperti itu, apa kau yakin mampu mengatasi semuanya sendirian?" Tanyaku, kali ini melihat jelas ke arahnya.
    Bekas pukulannya memang sedikit terasa, namun itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perjuangan yang selama ini kulakukan, demi suatu hal yang remeh di mata orang lain.
    "Diam!"
    Mirza yang seakan terprovokasi, kembali melancarkan pukulannya. Kali ini, aku berupaya akan membalas serangannya seperti yang dia minta. Sebelumnya, aku hanya bertahan guna menganalisis gerakan, serta cara dia berkelahi. Memang itu bisa disebut gaya bertarung anak zaman sekarang ... menggunakan taktik yang sama, menguatkan dirinya seiring berjalannya waktu. Semua itu bergantung pada kekuatan fisiknya. Tidak ada variasi khusus, serta gerakannya selalu di titik pusatkan pada cara alami dirinya menyerang ... mengabaikan pertahanannya yang memiliki peluang delapan puluh persen kemungkinan bisa di serang balik. Kalau begitu.... 
    [Pow...! slam!]
    Menghindar cepat dalam satu gerakan, aku melanjutkannya dengan memberikan pukulan kuat yang sengaja kutahan selama melakukan pertahanan. Cara itu sama seperti orang bernafas... setiap mengumpulkan kekuatan tangan di satu titik dan melepaskannya, itu akan menjadi pukulan kuat. Tentu saja cara ini mengutamakan taktik, mengabaikan batas kekuatan fisik. Yang itu berarti, semuanya tergantung dari pemikiran kreatif si penyerang. Melakukan variasi serangan dan hindaran, mengikuti prediksi gerakannya, itu membutuhkan fokus yang sangat tinggi. Bukan teknik yang bisa ditiru dalam sekali lihat.
    "Huf! Hah... boleh juga... ternyata kau bisa serius rupanya," kata Mirza, tersenyum garang melihatku.
    "Aku hanya melakukan seperti yang kau minta. Kau tidak ingin aku menahan diri kan," kataku.
    "Ya... tetaplah seperti itu!"
    Mirza kembali menyerang. Gerakannya sudah lebih melambat dari sebelumnya, mungkin karena sudah agak kelelahan akibat terus melakukan serangan. Sepertinya ini kesempatanku untuk mengakhirinya.
    "Hah...."
    Setelah cukup menghindari dan menangkis serangannya, sekarang aku menyerang dengan teknik tipuan. Kupikir dia mungkin sudah lebih waspada dengan pukulanku yang selalu dapat mengenai bagian tubuhnya. Jika seperti itu... melakukan sedikit tipuan akan menjadikan seranganku lebih efektif.
    "Uf! Ergh! Ha... Arck!"
    Semua pukulan beruntun yang disertai tipuan, berhasil mengenainya tanpa meleset satupun. Itu cukup mudah karena dia tidak berusaha menghindar ataupun menangkis. Sepertinya, dia telah kehilangan semangat bertarungnya.
    [Bam!]
    Untuk serangan penutup, sekuat tenaga aku melepaskan kepalan tangan kananku, mengenai tepat dibagian dada Mirza. Tak dapat mengawal keseimbangannya, dia terjatuh dengan nafas tidak beraturan, seperti seseorang yang habis tenggelam dari dasar laut, kemudian muncul kepermukaan.
    "Uhuk...! uhuk!"
    Sementara dia terbatuk di bawah, aku melihatnya sambil meretakkan leherku, serta memutar lenganku. Sudah lama aku tidak merasakan keringat sebanyak ini bercucuran dari dalam tubuhku. Yah, itu wajar karena biasanya aku memang jarang menggunakan staminaku sampai batas ini.
    "Masih lanjut?" Tanyaku, menunggunya.
    "Tidak... sekarang aku paham 'kenapa kau bisa setenang itu'. aku akan mengakuinya. Kau orang yang pantas menghadapinya. Meski begitu, tidak kusangka kau bisa berkelahi. Tadinya aku sempat meragukan penampilanmu, tapi sekarang kau telah membuktikannya langsung dihadapkanku. Aku suka gayamu ... apa kau pernah mengikuti sejenis beladiri?"
    "Tidak. Aku hanya mengimajinasikannya," jawabku.
    "Ha? Kau membodohiku?" Seperti yang kuduga, Mirza tidak bisa mempercayainya.
    "Aku berkata jujur. Biar ku koreksi, dari awal kau terlalu banyak melakukan pergerakan yang tidak berguna," kataku.
    "Itu sudah menjadi caraku berkelahi selama ini. Tidak perlu kau pedulikan," kata Mirza, agak dingin meresponnya.
    Tiba-tiba saja ditengah percakapan kami, ponselku berdering. Saat ku buka, ternyata itu pesan dari Doni, siswa yang memiliki ekstensi mencolok di kalangan anak laki-laki kelas. Dari apa yang dia sampaikan di pesan, sepertinya dia menginformasikan bahwasannya sirkel mereka, berhasil membangun hubungan kerjasama dengan sirkelnya Jaka. Mereka telah melakukan pekerjaan dengan baik, dengan ikut menanggulangi kerusuhan di beberapa tempat. Itu mungkin menjadi berita bagus bagi mereka, namun untukku ... itu hanya sebagai pengalihan guna menekan kerusuhan yang dilakukan siswa dari jurusan otomotif, terutama dari kalangan murid tahun pertama yang sangat rawan membuat masalah di masa depan, bila ikut terlibat. Mempersempit ruang mereka dengan membangun hubungan antar kelompok dari kelas lain, itu dapat membuat mereka terhindar dari strategi adu domba, serta mengkambing hitamkan yang mungkin saja bisa terjadi.
    Tak lama kemudian, dari arah gedung panorama, dua orang siswa yang wajahnya sudah tak asing selalu menemani Mirza, menghampiri kami dalam kondisi ini.
    "Bukankah kau... siswa yang waktu itu?" Dari caranya menanyakan, siswa yang jika tidak salah namanya Nafi, mengingatnya.
    "Ah...! Sekarang aku ingat! ... Ternyata memang dia yang dulu pernah menggagalkan usahaku mendapatkan babu di kantin. Jangan pura-pura tidak tahu ya!" Seru Arga, menuding ke arahku, ketika baru mengingatnya.
    "Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa bos babak belur begitu?" Tanya Nafi, agak terkejut melihat penampilan Mirza.
    "Hanya kalah berkelahi dengannya saja. Tidak perlu khawatir," jawab Mirza, masih bisa tersenyum garang, lantas berdiri seolah-olah ingin memperlihatkan kegagahannya.
    "Ha? Kau berkelahi dikalahkan oleh orang seperti dia? Aku tidak bisa percaya," kata Arga, menggeleng.
    "Tadinya aku juga sempat tidak percaya sebelum melihatnya langsung. Siapa sangka, orang yang terlihat sangat biasa mendadak bisa memiliki kekuatan dan taktik seperti petarung kelas atas... tidak, mungkin sebenarnya bisa lebih berbahaya dari itu," kata Mirza, melirikku skeptis.
    "Kau berniat menghentikan Gesa kan?" Lanjut tanya Mirza, memastikan.
    Lantas, aku menjawabnya dengan anggukan.
    "Hmp, kau memang orang yang sulit diajak bicara. Terserah. Seperti janjiku tadi, kau bebas menemuinya. Yah, setelah melihat langsung kemampuan berkelahimu, kupikir tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan," kata Mirza.
    "Kau memang benar khawatir?"
    "Tch, sudahlah!"
    Sementara Mirza menanggapi perkataanku, Nafi dan Arga yang berdiri melihat kami dari belakang, hanya diam memperhatikan.
    "Apapun itu, kalau kau memang ingin melakukannya, maka lakukanlah sendiri. Kau benar, aku hanya memiliki niat setengah-setengah, karena aku tidak yakin bisa menanganinya. Kalau ada yang lebih cerdik dan licik darinya, mungkin itulah yang mampu menghentikannya," lanjut kata Mirza.
    "Aku mengerti," kataku, melangkah melewati Mirza dari samping kanan.
    "Sejujurnya aku sudah lelah mengikutinya. Hmp, padahal awalnya juga tidak seperti ini," kata Mirza, terdengar seperti sedang bergumam sendiri, seolah menyesali sesuatu.
    Setelah meninggalkan kata terakhir itu, tanpa sadar aku sudah melangkah jauh meninggalkan mereka di taman skyland. Sekarang... aku berdiri tepat di depan gedung panorama. Saat ini yang kupikirkan hanyalah menuntaskan sumbernya. Jika yang apa dikatakan Mirza itu benar, posisi siswa bernama Gesa tersebut seharusnya berada didalam gedung yang terbengkalai ini. Meski ada kemungkinan bahwa dia telah menyiapkan tempat persembunyiannya, asal bisa mengetahuinya lebih cepat, itu tidak akan jadi permasalahan jangka panjang. Sepertinya aku masih sedikit kelelahan, setelah berkelahi beberapa saat yang lalu dengan Mirza. Ini memang merepotkan.
                                                    ***
    "Hei, kau siapa?!" Bentak salah satu anak otomotif yang melihatku datang.
    "Kau bukan bagian dari kami kan... semuanya! Tangkap dan ringkus dia!"
    Mereka datang ke arahku secara serentak dengan perasaan tidak senang. Berkelahi dengan banyak orang itu bukanlah hal yang dapat kulakukan... jadi sekarang, aku memutuskan untuk kabur dari mereka lebih dulu.
    Kira-kira ada sekitar enam sampai sepuluh orang yang mengejarku... tapi angka itu bisa saja berubah setelah mereka memberitahu siswa lain terkait keberadaanku yang hendak menyusup. Sambil menyelinap di beberapa tempat sekitar bangunan operasional, aku mengelabuhi mereka satu persatu. Tanpa menurunkan kewaspadaan, aku juga memasang pendengaranku setajam mungkin agar dapat mengetahui suara langkah kaki mereka yang mendekat.
    Yah, mereka juga tidak bodoh. Ketika kembali melihat pintu depan gedung panorama, di sana telah dijaga tiga orang siswa, berdiri waspada. 'Apakah menerobos memang hal yang perlu kulakukan...?' mempertimbangkan bahwa itu tidaklah efektif dengan kondisiku saat ini, kupikir aku harus membuat rencana lain yang cenderung bisa mengelabui mereka.
    Akan tetapi, disaat masih memikirkan bentuk rencana lain tersebut, seseorang lebih dulu melakukan apa yang ku tolak pada gagasan awal.
    Dengan gerakan yang cukup terampil, dia menerjang, serta menumbangkan ketiga siswa penjaga sekaligus. Sementara aku melihatnya dari kejauhan, entah mengapa aku merasa bahwa dia sudah mengetahui keberadaanku yang bersembunyi tak jauh dari tempatnya berdiri.
    "Memang, tidak ada cara yang lebih tepat ketika membuat keputusan di tengah situasi terburu-buru," mengatakan itu, siswa tersebut seolah menyindir keberadaanku yang sedang bersembunyi.
    Dari penampilan jasnya, tidak salah lagi dia adalah kakak kelas. Selain itu, di lenganmya juga terdapat bad tanda keanggotaan OSIS.
    Setelah melihat ketiga siswa tersebut dibuatnya pingsan, aku baru keluar dari tempat persembunyian. Bagaimanapun juga, ini terlalu cepat jika aku menyerah dan membiarkan kakel OSIS ini menanganinya.
    Wajar saja jika para OSIS sudah mengetahui posisi si pelaku utama, karena mereka pasti memiliki jaringan informasi yang sangat luas hingga mencakup seluruh area sekolah. Itu adalah sesuatu yang tak bisa kumiliki untuk mencapai titik ini.
    "Kau anak tahun pertama ya," kata Kakel yang dikonfirmasi sebagai salah satu anggota OSIS, melihatku dengan analisis.
    "Apa kau tersesat? Di sini hampir tidak ada siswa kecuali mereka lho. Apa mungkin kau juga bagian dari mereka?"
    "Sungguh tuduhan yang terdengar cukup kejam. Tapi aku tidak akan menyalahkan kakak 'kenapa bisa berpikir seperti itu'," kataku.
    "Bukan ya. Lalu kenapa?" Tanya Kakel ini.
    "Mungkin kurang lebih kita memiliki tujuan yang sama," jawabku.
    "Siswa tahun pertama sepertimu bermaksud ingin menangkapnya? Jangan bercanda. Lalu darimana kau mendapat informasi lebih dulu?" Tanyanya heran.
    "Dari Mbak Tia. Kakak mengenalnya?"
    Kupikir lebih mudah jika memakai namanya saja karena itu akan lebih efisien tanpa perlu menjelaskan panjang lebar, 'darimana sumber informasi yang kudapat ini berasal'. Bila kakel ini mengenalnya, tak perlu waktu lama aku yakin dia pasti akan memahaminya sendiri.
    Yah... kupikir akan lebih baik jika aku menyembunyikan kebenaran bahwa informasi ini kudapatkan sendiri dari hasil hipotesis, serta penyelidikan kecil sebelum bertemu Mbak Tia di halaman belakang gedung sekolah.
    " ... Oh dia ya. Jadi perempuan cerewet itu yang memberitahunya. Tunggu...? Kenapa dia bisa memberitahumu?"
    ... Kurasa kakel yang satu ini cukup merepotkan. Tidak salah lagi ... dari caranya menyelidik perkataanku, serta analisanya yang cukup akurat, itu telah membuktikan bahwa dirinya memang layak menjadi anggota OSIS. Pasti ada banyak siswa seperti kakel ini yang berada dikalangan OSIS.
    "Lebih baik kakak tanyakan saja kepada orangnya sendiri. Aku sendiri juga tidak terlalu paham dengan pola pikirnya," kataku, berkata jujur dalam arti lain.
    "Benar juga, dia memang perempuan yang agak random tingkah lakunya. Kuakui dia memiliki keunggulannya sendiri jika menjadi ketua OSIS selanjutnya."
    Kali ini, dia berbicara sendiri. Kupikir ini bukan saatnya mempertimbangkan bakal calon OSIS yang akan terpilih di situasi seperti ini... karena sekelompok anak otomotif yang sebelumnya mengejarku, sekarang telah kembali.
    "Itu dia di sana!" Seru salah satu dari mereka.
    "Tunggu, lihat dulu orang yang berdiri di sampingnya," temannya menghentikan.
    "Bad di lengannya itu, bukankah dia dari OSIS?" Kata temannya yang lain, sontak terkejut, tidak menduga.
    "Alah...! Memangnya kenapa? Mereka hanya dua orang dan satunya tampak seperti orang yang tidak bisa berkelahi. Jika kita serang bersama pasti bisa melumpuhkannya," kata temannya yang naif dan tidak sabaran.
    Sementara itu, kakel di depanku ini kelihatannya cukup santai memperhatikan mereka. Dia memainkan tangannya.
    "Jika tidak ingin terlibat, tetaplah di belakang, atau lebih baik lagi, pergilah dari sini," ujar kakel OSIS.
    "Maaf, aku tidak bisa menerima kedua tawaran itu," kataku, sedikit lancang.
    "Kau lumayan pintar berbicara ya. Tapi memangnya apa yang bisa kau lakukan?" Tanya kakel OSIS di depanku, menunggu.
    Memang akan cukup mencolok jika aku membantunya ikut berkelahi di sini. Tapi kupikir kakel ini juga bisa menghadapi mereka sendirian. Sebelumnya, melihat dari caranya berkelahi, seharusnya tidak ada yang perlu di khawatirkan. Aku juga tidak melihat mereka membawa benda tajam. Kemungkinan kakel ini dapat mengalahkan mereka bisa dipastikan 100â„….
    "Seperti tujuanku di awal, aku akan masuk kedalam gedung ini lebih dulu. Untuk yang ada di sini, aku serahkan kepada kakak," kataku, berbalik membelakanginya.
    "Apa? Kau serius? Berhenti woi!" Itulah kata dari kakel OSIS itu yang sempat kudengar, usai memberinya jawaban.
    Tanpa menunggu lagi, aku masuk kedalam gedung panorama. Sementara kakel OSIS itu yang mengira bahwa perkataanku hanya sebatas bercanda, dibelakang hanya bisa melihatku pergi tanpa berusaha menghentikan, seperti yang umumnya diucapkan kebanyakan orang ketika melihat orang lain akan melakukan tindakan naif. Mungkin dia pikir aku tidak bisa melakukannya ... justru itulah yang membuat dirinya naif, mempertimbangkan orang seperti apa aku ini.
                                                 ***
    Setelah masuk kedalam, kulihat tempatnya sangat berantakan seolah sengaja dibuat seperti ini untuk menandai basecamp mereka. Tak ada seorangpun di lantai satu ini... namun, samar-samar aku bisa mendengar suara kehebohan mereka di lantai dua. Kelihatannya mereka sedang bersenang-senang. Itu terdengar jelas dari tawa mereka, menggema di langit-langit gedung.
    Sebelum beranjak ke atas sana, aku lebih dulu menyelidiki, apa yang bisa kutemukan di sini. Mungkin ada sesuatu yang bisa kujadikan senjata saat menghadapi mereka... tentu saja aku tidak berniat menggunakan benda-benda tajam seperti pecahan kaca atau pipa besi. Melainkan aku mencari sesuatu yang lebih tepatnya untuk menghambat mereka, seperti semprotan atau semacamnya.
    "Uh..."
    Saat aku mencoba memasuki salah satu ruangan yang ada di situ, terdengar suara seseorang dibalik pintu yang terkunci. Apa mungkin mereka juga menculik seseorang? Entah apa yang mereka pikirkan, bukankah itu sudah kelewatan?
    Karena didalam ruang tersebut memiliki pintu ketat, dan letaknya sedikit menjorok turun ke bawah, seharusnya itulah yang membuat tempat ini remang, juga kedap suara meski ada yang berteriak dari dalam. Tapi untungnya aku memasuki ruangan yang pertama... jadi aku segera tahu jika ada seseorang di situ.
    Mencari sesuatu untuk membukanya, kutemukan pipa besi berukuran besar, tergeletak di antara pipa-pipa yang lain, tampak berserakan. Sekarang aku curiga jika anak otomotif yang terlibat mengumpulkan semua pipa, akan menjadikan ini sebagai senjata mereka. Kemungkinan seperti itu juga ada.
    Mengesampingkan itu, aku mengambil pipa paling besar dengan sedikit terhuyung. Kemudian membawanya ke depan pintu besi karat yang tertutup rapat. Kulepaskan tenagaku, mengayunkannya dan berusaha mendobrak. Namun, tidak sesuai harapanku, pintu karat tersebut masih cukup kokoh meski aku berusaha merusaknya. Lantas, aku melihat gembok lusuh yang terpasang di gagang pintunya. Kenapa aku tidak menyadarinya ya? ... Mungkin karena gembok tersebut tampak berkamuflase dengan pintu berkarat, jadi tidak bergerak sebelum aku berusaha mendobraknya barusan.
    Kuperhatikan gembok tersebut seharusnya masih bisa digunakan. Itu artinya, salah satu dari mereka pasti membawa kuncinya. Tapi yang menjadi masalah, siapa yang membawanya? Terlalu banyak orang-orang seperti mereka di sini.
    Ketika sedang memikirkan cara untuk mendapatkan kuncinya, tiba-tiba dari belakang, aku dikejutkan oleh seseorang yang sengaja meredamkam suara langkah kakinya.
    "Apa yang kau lakukan di sini?"
    Sempat kukira itu adalah anak otomotif yang mendengar suara dobrakan keras yang ku buat. Tapi saat berbalik badan, dengan segera aku tahu siapa yang mengejutkanku dari belakang.
    "Oh, kakak ya. Cepat juga mengalahkan mereka," kataku.
    Yah... dia adalah kakel OSIS yang sebelumnya sengaja ku manfaatkan keberadaannya untuk menahan mereka di luar gedung. Tapi sepertinya dia sudah membereskan mereka kurang dari sepuluh menit, dan sekarang justru berada di sini, memergokiku.
    "Sebelumnya aku cukup terkejut dengan keberanianmu memasuki gedung ini begitu saja. Sepertinya kau memang bukan tipe orang yang mudah menurut," kata kakel OSIS ini.
    "Kuharap kakak memahaminya. Aku juga memiliki kondisi tersendiri," balasku.
    "Kalau begitu jelaskan sekarang juga di sini, kondisi yang kau maksud itu," menegaskannya, kakel ini terus memaksaku membuka mulut.
    "Sebelum itu ada hal yang lebih penting..."
    "Jangan mengalihkan," katanya, memotong penjelasanku.
    " ... Didalam ruangan ini ada seseorang yang dikurung. Jika dibiarkan mungkin saja akan terjadi hal yang buruk," kataku, sesaat dalam keheningan saling menatap, lantas menunjuk ke arah ruangan itu.
    Mendengar ucapanku, Kakel ini yang semula terus menatapku dengan kedua tangan disilangkan, menghela nafas dalam-dalam. Kemudian berjalan mendekati pintu ruangan yang kumaksud.
    "Mungkin saja salah satu dari mereka membawa kuncinya," kataku, melihatnya menginteraksi gembok yang terpasang di pintu berkarat.
    Setelah mengamati gembok itu selama hampir satu menit, kakel OSIS mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Itu seperti peniti. Ah... sekarang aku paham apa yang hendak dia lakukan. Solusi yang ideal daripada harus mencari kunci yang entah dimana.
    Menggunakan peniti itu, kakel OSIS mencoba mengotak-atiknya. Kutunggu hingga hampir dua menit, gembok itu akhirnya terbobol. Membuang gembok di lantai begitu saja, dia langsung membuka pintu yang sudah berkarat itu dengan dorongan kuat, sangking macetnya dibuka.
    Ketika masuk kedalam, seperti dugaanku, ada seseorang yang disekap. Dia tampak frustrasi.
    "Siapa itu?!" Perempuan yang ada didalam tampak waspada, memperhatikan pintu terbuka.
    Saat melihat sosok perempuan itu, sekilas aku langsung mengenalinya. Rupanya dia adalah Sania, siswi dari kelas IPA.
    "Apa kau tawanan mereka?" Tanya kakel OSIS, cekatan.
    "Ya, itu benar. Apa kau... kakak kelas... OSIS?" Tanya Sania, menatap tajam ke arah kami.
    Meski ruangan ini agak gelap, Sania sepertinya bisa menyimpulkan sendiri bahwa seseorang yang saat ini berdiri menyelamatkan, mungkin saja adalah kakak kelas OSIS. Tidak perlu melihat bad di lengan.
    "Meski begitu tidak kusangka mereka sampai berbuat seperti ini," kata kakel OSIS, justru tenggelam di dalam pemikirannya sendiri.
    "Kau...! Kenapa kau juga ada di sini?" Sudah kuduga Sania tampak tak menduga, bereaksi berlebihan saat melihatku ditempat ini, apalagi bersama kakel OSIS.
    "Banyak hal yang terjadi," kataku, singkat.
    Yah, tidak heran jika perempuan ini masih mengingatku. Karena beberapa hari yang lalu sebelum semua terjadi, kami sempat bertemu dan sedikit berinteraksi di ruang UKS. Jika kuingat lagi, waktu itu dia sedang menolong salah satu temannya yang kakinya terkilir di jam olahraga.
    "Kau sendirian?" Tanyaku, asal mengucap.
    "Aku sendirian. Kenapa?"
    Meski aku hanya bertanya sesuatu yang simpel, dia segera menyemprotku dengan pertanyaan balik. Jika dipikir lagi, mungkin inilah sifatnya. Bahkan disaat dia berdebat dengan Sherly didalam ruang tes, ketika diadakan konten 'tes tertutup' pertama kali, dari gaya bicaranya, serta mimik wajahnya, jelas menujukkan ciri bahwa dia tipe pribadi koleris.
    "Tidak ada," jawabku.
    Setelah mengeluarkan Sania dari dalam, kakel OSIS segera mengumpulkan kami.
    "Kalian bisa kembali sekarang. Andaikan aku bisa meyakinkan seperti itu..." kakel OSIS diam-diam melirik ke arahku, yang dia tahu bagian dari sisi pembangkang.
    "Aku tidak ingin kembali."
    Sekarang, anggota sisi pembangkang bertambah satu. Sepertinya Sania juga memiliki alasan tersendiri di sini.
    "Hah... sudah kuduga. Kalau begitu terserah kalian saja. Kalau merasa dalam bahaya, jangan ragu untuk kabur. Bagaimanapun, kalian bisa di sini sebab kesialan."
    Oh ya? Tapi sayangnya aku tidak bisa melihat kesialan yang dimaksud itu. Apa mungkin makna perkataan tersebut di gambarkan pada kondisi Sania yang terkurung di sini? Kelihatannya kakel OSIS ini menggunakan perumpamaan yang sedikit menarik.
    "Siapa namamu?" Kakel OSIS tiba-tiba menoleh ke belakang, ke arahku.
    "Rafa," jawabku.
    "Kau?" beralih melihat Sania.
    "Sania," perempuan itu masih bersikap ketus.
    "Kalau begitu sekalian saja ku beritahu identitasku. Yah, tapi kalian mungkin sudah menyadarinya," kata kakel OSIS, menunjukkan secara jelas bad keanggotaan OSIS yang ada di lengan kanan.
    "Namaku Reno, anggota divisi dua OSIS. Kalian bisa memanggilku kak Ren," lanjut katanya, memperkenalkan diri.
    Ini pertamakalinya aku mendengar jika OSIS juga dibagi menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil ... menurut kata 'divisi' yang kak Ren baru ucapkan. Kurasa itu wajar karena mengingat ini adalah sekolah futuristik, sudah pasti murid yang ada lingkungan sekolah ini tergolong banyak. Mungkin bisa diperkirakan dari banyaknya dua sampai tiga sekolah negeri.
    "Kak Ren, apa hanya kau yang bergerak di sini sendirian?" Tanyaku.
    "Kurasa begitu. Sebelumya kami terpisah karena berusaha menangkap mereka yang kabur tanpa arah. Lalu setelah mendengar informasi dari salah satu temanku, ada dugaan jika ketua mereka ada di dalam gedung ini. Kebetulan posisiku saat itu berada di kawasan paling dekat," kata Kakel Ren, menjelaskan.
    Kemungkinan besar, orang yang telah menyebarkan informasi mengenai keberadaan siswa bernama Gesa adalah ketua OSIS. Tapi tidak menutup kemungkinan jika informasi itu didapatkan dari anggota OSIS lain, setelah mendengar langsung dari salah satu anak otomotif yang dipaksa buka mulut.
    "Siapa di situ!"
    Ditengah situasi ini, salah satu dari mereka sepertinya telah menemukan keberadaan kami.
    "Uh..."
    Ketika lampu terang dinyalakan, tampak jelas bahwa seseorang yang menciduk kami adalah salah satu dari mereka. Selain itu, sungguh kebetulan aku mengenalinya. Dia adalah siswa yang memiliki penampilan seperti anak tahun kedua dengan jenggotnya yang sedikit lebat, serta tubuhnya yang sedikit gemuk. Sebelumnya, dialah orang yang kuperhatikan merokok di bangku sekitar taman skyland, serta memanggilkan Mirza untuk menemuiku. Waktu itu tatapannya seakan tak peduli dengan keberadaanku. Tapi setelah melihat kami bertiga, matanya langsung terbelak.
    "Kau... apa yang terjadi. Kenapa perempuan itu bisa keluar. Apa jangan-jangan kalian-" sebelum kakak kelas itu menyelesaikan perkataannya, Kakel Ren memotong.
    "Apa kau yang mengurung siswi ini didalam?" Tanya Kakel Ren, menuding ke arah Sania.
    "T-tidak, aku hanya menjaganya. Anak tahun pertama... siswa bernama Gesa yang membawanya kemari."
    Dengan perkataannya yang tergelagap, kakel itu semakin terintimidasi. Mungkin karena telah menyadari bahwa yang memberinya pertanyaan adalah anggota OSIS. Ini membuktikan jika anggota OSIS saja sudah memiliki pandangan kesetaraan yang berbeda dengan murid biasa ... tidak bisa kubayangkan reaksi seperti apa jika mereka dihadapkan langsung dengan ketua OSIS.
    Karena kakek ini telah sampai membongkar identitas sang dalang, sepertinya siswa bernama Gesa itu tidak memiliki kekuasaan yang mutlak. Aku penasaran bagaimana cara dia mengumpulkan banyak orang dan melibatkan mereka dalam aksi pemberontakan. Selain itu bukan hanya satu angkatan saja yang terlibat, melainkan sebagian kakak kelas juga mengikutinya.
    "Kalau begitu... hanya untuk memastikan, apakah kalian telah melakukan sesuatu kepadanya saat mengurung dia di dalam?" bahkan, pertanyaan seperti itu juga diajukan oleh Kakel Ren.
    Tentu saja Sania yang mendengar ini langsung tertegun, serta berekspresi rumit seolah ingin menyangkal pertanyaan Kak Ren.
    "Kenapa kau bereaksi seperti itu? Kak Ren hanya memastikan apakah kau sudah dilukai secara fisik oleh mereka atau tidak," kataku, heran memperhatikan.
    "A-aku juga tahu itu! Memangnya apa yang sempat kau pikirkan?!" Dia meresponku dengan sikap marah-marah, seolah berusaha menutupi rasa malu.
    "Hanya seperti yang dipikirkan Kak Ren," jawabku.
    Mendengarnya, dia langsung menutup mulut, kembali memperhatikan Kak Ren yang maaih menginterogasi Kakel tersangka.
    "Aku ingin berbicara dengan siswa bernama Gesa itu. Bisakah kau memandu menunjukkan dimana dia?" Tanya Kakel Ren, langsung berterus-terang.
    "Baiklah. Tapi kau akan melepaskanku kan? Aku hanya sekedar mengikuti mayoritas kelasku saja," kata Kakel itu.
    "Kau dari kelas mana?"
    "Kelas sebelas OTO. Seharusnya OSIS sendiri sudah tahu, kan. kondisi kelas kami," kata kakel itu, berusaha meminta pembebasan.
    Seperti yang dikatakan kakel ini, kelasnya lah yang sudah pasti diduga menjadi sumber dari anak-anak bermasalah. Melihat kondisi yang memang sudah terjadi, itu menjadi hal yang umum bagi sebuah kelas yang berisikan murid-murid dengan tampang dan sikap seperti anak berandalan. Sejenius apapun mereka di kelas tersebut, jika dirinya melakukan sesuatu yang melanggar, hukuman pasti dijatuhkan tanpa pilih-pilih. Sudah pasti hukuman tersebut akan sesuai dengan tindakan pelanggaran yang telah dilakukan.
    "Aku bukanlah orang yang tepat untuk kau mintai pembebasan hukuman. Setidaknya bisa ku katakan, ketua OSIS lah yang memiliki hak memutuskan hukuman yang sesuai untuk kalian, para pengikutnya," kata Kak Ren.
    "Kecuali murid bernama Gesa itu. Dia diduga telah melakukan banyak hal yang meresahkan bagi sekolah ini. Jika dugaan itu benar, mungkin tidak ada keringanan baginya selain harus angkat kaki dari sekolah ini," lanjut kata Kak Ren.
    "Siswa seperti itu memang sudah pasti harus dikeluarkan ya?" Tanyaku, memastikan.
    "Kemungkinan besar itulah yang sudah pasti terjadi. Mengingat tahun lalu juga pernah terjadi hal seperti ini, tidak mungkin siswa yang menjadi pelopornya masih memiliki muka di sekolah ini," jawab Kak Ren.
    "Memangnya dulu ada berapa siswa yang dikeluarkan?" Tanya Sania blak-blakan.
    "Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu. Kami para OSIS telah sepakat untuk tidak pernah mengungkitnya kembali, maupun memberitahukannya kepada murid lain," jawab Kak Ren.
    Dengan kata lain, informasi detail mengenai kerusuhan, serta peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi tahun lalu telah menjadi rahasia para OSIS dan guru. Bahkan sepertinya jika ada murid yang pernah terlibat dengan salah satu kasus, atau melihat sendiri kasus tersebut, mereka mungkin tidak akan berani mengatakannya secara jelas dihadapan publik.
    Mungkin diluar sana masih ada minoritas orang yang diam-diam menyebarkannya, namun, umumnya itu akan segera dianggap sebagai berita bohong karena tidak ada bukti yang jelas, serta karena nama besar sekolah ini, bisa dipastikan akan menjadi pertimbangan yang sulit dipercaya oleh publik.
    Faktanya, sekolah ini juga menggunakan kebohongan untuk melindungi nama baik. Kemudian memanfaatkan kebohongan itu sebagai delusi, alih-alih pembelajaran bagi siswa yang melakukan tindakan kenakalan di luar batas. Intinya, semua hal yang mereka lakukan pada akhirnya juga akan sia-sia. Tidak ada yang mereka dapatkan dari aksi kerusuhan ini, kecuali satu hari tanpa KBM.
                                                     ***
    Setelah mengoreksi cukup banyak informasi dari Kakel tahun kedua yang ikut terlibat, Kak Ren memaksanya menujukkan jalan ke lantai atas untuk menemui Gesa.
    "Hei, sebenarnya apa ya, yang kita lakukan ini. Memicu kerusuhan demi mendapatkan kebebasan sementara ... kalau dipikirkan lagi itu terdengar konyol kan," kata salah satu dari mereka, tampak seperti sedang bermain kartu.
    "Yah... apapun itu sudah pasti kita semua akan dihukum," kata temannya, juga bermain kartu bersama di satu meja.
    "Mungkin itu tidak sepenuhnya salah. Dulu kupikir sekolah ini adalah tempat yang paling menyenangkan karena bisa bersantai sambil belajar mandiri secukupnya. Tapi setelah  muncul 'berbagai konten jenis pembelajaran baru', aku semakin merasa sulit mengikutinya. Bahkan kurikulum sekarang juga sudah berbeda dengan tahun sebelumnya. Intinya, semua hal yang mempersulit itu membuatku muak!" Siswa itu melampiaskannya dengan memukul meja.
    Mendengar percakapan mereka sebelum memergoki, ini membuatku berpikir andaikan aku berada di posisi mereka. Sulit mengikuti pembaruan dari segi belajar dan memiliki permikiran yang cenderung terbatas. Beruntungnya, aku tak pernah mengalami kesulitan semacam itu, bahkan setelah masuk ke sekolah ini. Menghabiskan hari-hari yang membosankan dengan membaca buku, mengembang potensi yang telah menjadi keunggulanku dalam satu bidang, yaitu sastra.
    Perlu banyak waktu untuk dikorbankan sebelum semuanya bisa terwujud secara naluriah. Dan sekarang, kondisi mereka ini mencerminkan seseorang yang baru menyadari ketidakmampuannya. Kurangnya potensi untuk dikembangkan dalam salah satu bidang umum, juga terlalu naif menyambut masa depan yang indah.
    Sekarang aku mengerti alasan mereka memilih jurusan OTOMOTIF.
    Mereka yakin bahwa umumnya seorang siswa seperti mereka mampu menyelidik potensi dengan memilih cara termudah seperti praktek langsung di lapangan daripada lebih banyak mempelajari mapel umum. Seperti yang telah diketahui banyak orang, mapel umum itu memiliki banyak manfaat di masa depan. Itu adalah sesuatu yang wajib dipelajari. Tapi ada juga beberapa orang yang memiliki pemikiran, 'sudah cukup dengan mempelajarinya saja tanpa mengembangkannya', kecuali ada salah satu atau beberapa mapel yang memang menjadi kebanggaan tersendiri. Sepertiku yang hanya menempa ilmu kesastraan, siswa lain juga memiliki keunggulan dalam bidangnya masing-masing.
    Pembelajaran dengan cara 'praktek' mungkin secara interaksi memang lebih mudah dipahami. Tapi jika hanya mengandalkan cara tersebut, itu hanya akan menjadi sesuatu hal yang terkesan 'dicoba-coba saja', tanpa mempedulikan konsep dan tanpa memandang kegagalan atau keberhasilan. Maka itu berarti, resiko mereka terletak di akhir. Jika mereka tidak mendapatkan hasil apapun, mereka pasti akan menyadari betapa kurangnya ilmu yang suatu saat pasti akan digunakam dalam lingkungan masayarakat.
    Mengesampingkan itu, Kak Ren yang seharusnya mendengar curhatan mereka seolah tampak tak peduli, justru sedang sibuk berkutat dengan ponselnya sendiri. Mungkin bagi murid seperti Kak Ren yang telah berhasil menjadi bagian dari OSIS, 'usaha' pasti adalah kata pertama yang muncul di benaknya. Sesulit apapun mereka bertahan di sekolah ini, mereka harus menerima keterpaksaan dalam belajar ilmu pengetahuan umum. Meski tidak disuruh, pemikiran 'harus belajar' pasti akan terus membayang-bayangi mereka sampai bisa keluar dari sekolah ini guna mendapatkan rekomendasi pekerjaan. Inilah tantangan murid yang bersekolah di sekolah futuristik. Jika tidak dapat bersaing dengan yang lain, secara alami keberadaannya pasti akan tersingkirkan.
    "Kalian sepertinya terlalu naif berada di sekolah futuristik ini."
    Merasa sudah cukup mengamati mereka, Kak Ren menampakkan dirinya yang seolah baru naik ke lantai dua dari arah tangga. Kemudian disusul Sania denganku di belakang, lalu paling terakhir ada Kakel tahun kedua yang telah menjadi tahanan kami.
    "Wah... sepertinya waktu bersenang-senang kita sudah habis," kata salah satu dari mereka yang melihat, langsung terdengar pasrah tanpa merasa terkejut dengan kehadiran kami.
    Beberapa siswa di situ yang melihat kami, menujukkan reaksi yang berbeda-beda. Kecewa, kurang puas, benci, dan ada juga yang pasrah.
    "Kalian siswa tahun kedua yang terlibat, kan. Bagi yang masih bisa diatur, segeralah berkumpul di bawah!" Kata Kak Ren dengan tegas.
    "Hmp, kalian anak OSIS memang hanya bisa mengatur-atur! Memangnya kami ini budak kalian? Ha? ... tunggu, bukankah lebih lucu membayangkan kalian selama ini berperan seperti anjing sekolahan?"
    Mendengar lelucon sarkas tersebut dari salah satu siswa di situ, hampir semua siswa yang mendengarnya tertawa terhibur. Disisi lain, kulihat Kak Ren yang menjadi objeknya, terlihat tidak bergeming dan menghiraukan cacian mereka. Dengan sikap dewasanya itu, dia hanya memandang mereka tanpa melibatkan perasaan pribadi. Tidak diketahui apakah didalam hatinya saat ini dipenuhi oleh amarah dasyat yang merasa harus ditahannya ... namun satu hal yang pasti, Kak Ren tidak menujukkan tanda-tanda itu sekarang.
    Kemudian, mereka yang merasa sudah tidak tertarik mencaci, sebagian besar yang sudah tidak memiliki rasa keberatan perlahan berjalan turun ke bawah. Ada salah satu siswa yang sengaja menyenggol bahunya sebagai bentuk kebencian, dan ada juga yang merasa hampir meludahinya. Namun, meski begitu Kak Ren tetap diam tidak menegur, ataupun mengatakan sesuatu yang menyatakan rasa terganggu. Sebagai salah satu anggota OSIS, tindakannya patut di contoh. Tapi sayangnya, pemikiran orang yang hidup di zaman sekarang rata-rata sudah tidak menganut pada konsep kuno tersebut.
    Kami hanya bisa melihat perlakuan kasar mereka itu kepada Kak Ren. Begitu juga dengan Sania, dia secara alami telah menujukkan ekpresi kesal kepada mereka.
    Sekarang ada empat siswa yang tersisa, masih berdiri di hadapan kami, menolak perintah turun ke bawah. Menyatakan keberatan, mereka memandang Kak Ren bagaikan musuh yang harus dihadapi.
    "Kupikir... setelah berada di sini selama satu tahun, aku merasa bahwa tempat ini sudah tidak cocok untukku. Kemegahannya, serta fasilitas yang ditawarkan ... itu hanya ilusi semata agar kami bisa dipaksa untuk belajar," kata siswa 'A'.
    "Jika kau melihatnya seperti itu, maka memang begitulah hasil yang kau dapatkan. Tidak ada manusia yang bisa melewati proses dengan mudah. Jika kesusahan yang kau lihat itu tidak segera dibiasakan, aku pastikan ... selamanya kau tidak akan berhasil walaupun sudah lulus dari sini," kata Kak Ren.
    "Tch..."
    Mendengar itu, siswa 'A' yang tampak masih tidak puas, dengan muka masam memandang Kak Ren sebelum akhirnya turun ke bawah.
    Kak Ren sedang melanjutkan untuk mendengarkan keluhan dari ketiga siswa yang tersisa.
    Di tengah kondisi ini entah bagaimana tiba-tiba aku teringat dengan situasi Cika. Perempuan itu belum memberiku kabar selama ini. Sedikit khawatir semisal 'rencanaku' tidak sesuai harapan, aku menyempatkan diri membuka ponsel, kemudian mengirimnya pesan yang intinya 'menanyakan kondisi'.
    Tak lama ku kirim, pesan tersebut segera memiliki tanda 'sudah dibaca'. Kurasa ini bukti bahwa dia baik-baik saja. Kemudian, aku juga mengirimkan pesan yang menyatakan bahwa 'semua yang terjadi ini sudah hampir mencapai ending' ... mengingat rencana 'penyatuan', rupanya juga berjalan mulus di luar sana.
    Sementara itu, di sela-sela menunggu balasan, aku sempat dikejutkan dengan infomasi yang kebetulan muncul di laman 'informasi sekolah'. Perihal tersebut menyatakan bahwa 'kondisi kekacauan' telah berhasil di tanggulangi, serta peringatan bagi mereka yang telah terlibat, untuk segera berkumpul di masing-masing tempat yang akan di atur oleh anggota OSIS di lokasi setempat.
    Sepertinya inilah yang membuat Kak Ren memerintah mereka untuk berkumpul di bawah. Karena jika sekilas meninjau dari beberapa saat yang lalu, dia tampak sempat melihat informasi ini dari ponsel miliknya.
    Mengesampingkan informasi yang bersumber dari laman sekolah, setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Cika membalas juga pesanku. Menurut isi pesannya, saat ini dia bersama dengan Sherly yang membawa sebagian besar anak kelas sepuluh IPA, juga Bu Milan yang kebetulan datang besama salah satu Kakel OSIS.
    Tentu saja ini berita yang melegakan. Selain semuanya dapat berjalan sesuai rencana, tidak ada kesalahan dalam 'skenario' yang telah ku buat.
    Tampaknya, sampai sejauh ini semua rencana yang ku rancang telah berhasil dijalankan di masing-masing tempat. Seperti peran Jaka dengan anak kelas IPS, serta peran Doni dengan sirkelnya dalam rencana 'penyatuan'. Lalu disisi lain ada Sherly dengan anak kelas IPA dalam rencana 'penyelamatan'.
    Sejujurnya agak mengejutkan, mengetahui fakta bahwa Sherly rupanya juga bisa dimintai bantuan. Ini menjadi pertanyaan, 'apa mungkin dia memang tertarik dengan kesepakatan yang ku tawarkan...?' memikirkan itu akan menjadi hal yang cukup merepotkan, aku berniat melupakannya untuk sementara waktu.
    Sekarang, aku bisa menebak letak ending dari 'drama kekacauan' ini. Mulai dari awal hingga akhir dari penangkapan, sesuatu yang terlihat serius ternyata tidaklah seserius itu. Anak OSIS telah membuat semua lebih mudah.
    Setelah sebelumnya aku menginformasikan posisiku saat ini kepada Cika, kulihat jam menujukkan pukul empat sore kurang dari beberapa menit di ponselku.
    Yeah, kurasa ini adalah perjuangan yang sudah cukup panjang, untuk mengetahui identitas sebenarnya tersangka yang diketahui bernama Gesa, rupanya anak dari kelas otomotif tahun pertama seangkatan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Call(er)
1096      628     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...