Manusia memiliki hak untuk memutuskan apa yang ingin dilakukannya. Apapun keputusan yang diambil akan menentukan pilihan hidup mereka. Terkadang ada juga keputusan yang dapat melibatkan orang lain dan ada juga yang berjalan secara individu. Semuanya dapat terjadi karena manusia memiliki potensi memilih skenario dari jalur yang tak terbatas. Pada dasarnya, perkembangan mereka dipengaruhi oleh pengalaman yang mereka dapatkan selama hidup. Ibarat seperti alat, tergantung penggunaannya, ada cara 'baik' atau cara 'buruk' yang dapat digunakan.
Bagaimanapun juga, saat ini aku belum mengerti mengapa Mirza memutuskan untuk menjadikan dirinya sebagai 'bom kelas'. Yang pasti adalah, semua yang dilakukannya terkait dengan masalah individunya. Bahkan situasi permusuhan yang diciptakannya sendiri telah jelas menujukkan bahwa dia tidak peduli dengan apa yang akan terjadi dengan dirinya. Dia selalu bersikap arogan untuk menutupi ketidaknyamanannya. Kuakui bahwa dia cukup tangguh dengan mental seperti itu. Tapi... aku tidak merasa bahwa dia memang sengaja menjadi pusat perhatian. Ada sesuatu yang direncanakan olehnya... itulah yang kurasakan ketika melihat sorot matanya.
"Uh..."
Kupikir inilah yang terjadi jika aku lengah dalam menyembunyikan diriku. Di kejauhan, aku bisa melihat tatapan penuh pertanyaan dari salah seorang siswi di barisan anak perempuan.
"Sepertinya aku memang harus menjelaskannya sepulang sekolah nanti," pikirku, usai menghela nafas.
"Rafa, bukankah siswi itu... yang ada di kantin waktu itu?"
Pertanyaan demikian muncul ketika siswa yang duduk sebangku denganku, melihat tatapan yang sama secara kebetulan.
"Sepertinya begitu," kataku.
"Dia ternyata juga satu kelas ya..."
" ... Murid satu kelas saja sudah sebanyak ini, tidak perlu heran kan," kataku.
"Apa kau sudah tahu kalau dia itu sekelas?" tanya Fito.
"Tempo hari kebetulan aku melihatnya di kelas dengan beberapa temannya," jawabku.
"Begitu ya, aku justru baru melihatnya sekarang."
Setelah pembicaraan kami berakhir, Fito terlihat bersikeras berkontak mata dengan 'tatapan' siswi itu. Padahal aku sangat mengerti 'tatapan' itu sebenarnya tertuju ke 'siapa', tapi sisi baiknya, kurasa ini bisa membuatku mengurangi ketidaknyamanan. Lalu, beberapa saat kemudian siswi itu tidak kembali melihat ke arah kami karena teman di sampingnya terlihat sedang memanggilnya. Di saat yang sama, aku bisa melihat wajah kekecewaan Fito karena tidak mendapat perhatian lagi. Mungkin itulah yang dipikirkannya ... sangat absurd sekali.
***
"Huh... kenapa harus sekarang."
Sepulang dari sekolah, kupikir aku bisa segera kembali ke kamar dan bersantai sebelum hari itu tiba. Tapi... lagi-lagi sesuatu yang melelahkan sepertinya datang di saat ini juga.
"Ya ampun, apa ini akan mengganggumu kalau kita bicara sebentar di sini?"
Seorang siswi yang melontarkan pertanyaan itu kepadaku dengan tatapan, serta senyuman liciknya yang menjadi ciri khas darinya tidak lain adalah Sherly, perempuan jenius dari kelas IPA.
"Hanya untuk memastikan, apa ini terkait dengan waktu itu?" tanyaku.
"Itu juga termasuk-"
"Kalau begitu sampai jumpa."
"Apa kau tertarik dengan konflik kelas?"
Mendengar pertanyaan itu, langkahku seketika terhenti seolah dibekukan dengan kalimat 'konflik kelas' yang mana itu terkait dengan informasi yang saat ini sedang ku cari. Padahal tadinya aku sudah berhasil mengacuhkannya ... namun sekarang, aku merasa seperti harus mendengarkannya.
"Sama sekali tidak. Tapi dari caramu mengatakannya, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di kelasmu juga. Atau... kau hanya mendengar dari kabar lintas?"
"Seperti yang ku harapkan, dugaanmu memang sangat bisa diandalkan. Kita bisa membicarakan itu langsung ke intinya kalau kau mau," kata Sherly, seolah membuatku ditariknya secara tidak langsung.
" ... Baiklah. Tapi sebelum itu kita harus memikirkan tempatnya," kataku, melihat sekeliling.
Ini baru beberapa menit sejak KBM hari ini berakhir. Tentu saja akan ada banyak murid yang berkumpul di sekitar halaman, berniat mengobrol sampai petang. Disisi lain, ada juga pasangan laki-laki dan perempuan yang saling menghabiskan waktunya di sini.
"Bagaimana kalau di sana? sepertinya di sana lebih sepi?"
Sherly menujuk ke tempat duduk yang terlihat lebih sedikit keberadaan orang. Meskipun di sana cukup sepi karena tidak ada tempat duduk lain yang saling berdekatan, bukan berati suanasa disekitarnya juga sepi. Tapi... demi mendapatkan informasi itu, sepertinya ini adalah harga yang harus ku bayar sebagai gantinya.
"Terserah," kataku, lantas mengikutinya.
Sesampainya di tempat duduk itu, kami segera duduk. Dari apa yang ku lihat di lingkungan sekolah ini, sepertinya sengaja ditaruh spot tempat duduk ini sebagai hiasan, tempat berfoto, sekaligus fasilitas yang diberikan kepada murid untuk bersantai di jam istrahat maupun setelah pulang dari sekolah. Tempat duduk ini sendiri terdiri dari empat kursi yang letaknya memutar diantara satu meja, serta terdapat payung yang selalu terbuka tinggi di tengah-tengahnya. Bahkan, dibawahnya juga disediakan tempat sampah agar murid tidak perlu repot berdiri mencarinya.
"Lingkungan sekolah ini adalah yang terbaik, bukankah kau juga berpikir begitu?" tanya Sherly, membuka obrolan dengan basa-basi, sembari pipinya disenderkan di atas tangan. Senyuman liciknya juga tak luput dari tingkah lakunya yang misterius ini.
" ... Ini adalah sekolah futuristik, tentunya lingkungan di sini akan terasa jauh lebih baik dari sekolah setingkat manapun," jawabku.
"Jika mulai membandingkannya dengan sekolah-sekolah umum, tentunya sudah pasti begitu," katanya, masih fokus memperhatikan pemandangan sekitar.
Kupikir dia akan menganggapku orang yang membosankan setelah mendengar pendapatku yang sangat biasa. Tapi sepertinya itu tidak berlaku pada siswi jenius yang duduk di depanku saat ini.
"Hmm, kita mulai dari mana ya...?"
Seolah memberi isyarat hendak memulai inti pembicaraan, Sherly mengajukan pertanyaan seperti itu.
"Huh... kenapa tidak memulainya dari apa yang benar-benar ingin kau katakan?"
Walaupun saranku ini bisa saja memancingnya mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan masalah waktu itu, kupikir itu lebih baik daripada mendiamkannya. Bagaimanapun juga tujuanku menurutinya di sini hanyalah untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan 'konflik kelas'. Dalam upaya itu, aku harus melewati proses yang akan cukup melelahkan ini.
"Memangnya kau sungguh akan menerimanya?"
Sebelum melontarkan pertanyaan itu, dia sempat tertawa kecil, menertawai saranku.
"Tergantung penilaianku," kataku.
"Kau ini memang orang yang sulit di taklukkan ya," katanya, kali ini bicaranya benar-benar melihat ke arahku.
"Setidaknya untuk menjaga diri."
"Dari apa?"
"Dari serangan tak kasat mata yang dinilai cukup efektif untuk seorang laki-laki," kataku.
Meskipun sepanjang percakapan ini mata kami saling tertuju tajam, entah 'apa yang dipikirkan satu sama lain' akan menjadi sesuatu yang terkesan misterius. Bukan dari 'luar', melainkan dari 'dalam' masing-masing.
Lima menit telah berlalu dengan percakapan yang sangat melelahkan. Sepertinya sudah saatnya menanyakan inti dari semua ini.
"Langsung saja ke intinya. Bagaimana dengan konflik kelas yang kau singgung tadi?"
Aku segera menanyakan itu selang jeda beberapa detik dari pembicaraan kami sebelumnya.
"...."
Pada tahap ini, sepertinya dia bersikap seperti pura-pura tidak mendengar, namun terus menatapku dengan sangat tidak nyaman. Begitu menunggu beberapa detik tidak merespon, aku segera menambahkan beberapa kalimat.
" ... Karena sudah sejauh ini, kau tidak akan mengatakan bahwa kau lupa atau sejenisnya, kan?" tanyaku, memblokir kebohongannya.
"Tentu saja aku tidak lupa. Aku hanya ingin melihat seberapa besar antusiasmu terhadap masalah ini," jawabnya.
"Kalau kau sudah menganalisanya dari awal seharusnya kau sudah cukup mengerti, kan," kataku.
"Kalau aku merasa tidak ingin membahasnya sekarang, apa yang akan kau lakukan?"
Seolah mengatakan itu dengan sengaja, Sherly terus melihatku dengan tatapan liciknya. Karena selama ini aku terus menahan diri, dia mungkin telah melihat celah kelemahanku di situ. Membuatku kecewa dengan perkataannya? ... sayangnya cara seperti itu tidak akan efektif kepadaku. Untuk sekarang kupikir aku akan sedikit menanggapi permainannya, meskipun ini akan menjadi sesuatu yang tidak ingin kuingat.
"Bagaimana ya... jujur saja kau sudah membuatku penasaran karena sudah sampai sejauh ini untuk berbicara denganmu. Sepertinya kau cukup meremehkanku sebagai seorang laki-laki," kataku, dengan perlahan bediri.
"Itu... kau tahu, hanya memastikan saja, apa yang akan kau lakukan?"
Dia kembali menanyakan itu dengan ekpresi yang tak berubah, namun sikapnya sudah agak mirip seperti perempuan biasa. Tepat seperti dugaanku, dia adalah tipe orang yang bermain secara mental. Walapun umumnya itu tidak akan terlihat, tapi secara implisit itu dapat terlihat oleh lawan bicaranya jika memperhatikan perubahan itu secara intens.
"Bukankah kau itu siswi yang cukup jenius. Bisakah kau memikirkan apa yang lebih buruk dari sikap seorang laki-laki jika mendapatkan perlakuan keji dari perempuan yang suka bermain dari belakang?" ujarku.
Meskipun ini hanyalah akting, entah mengapa perasaanku cukup dalam saat menghayati tokoh antagonis yang sedang ku perankan ini. Ketika melihat Sherly yang tak berkutik, aku semakin merasa bahwa ini bisa melewati batas jika sampai keterusan.
"Kau tidak akan melakukan apapun dengan cara keji seperti laki-laki lainnya, kan," kata Sherly.
Bukannya menyerah, dia justru sengaja menuangkan bensin kedalam kobaran api. Awalnya aku berniat untuk sedikit mengancamnya karena merasa dia cukup menyebalkan. Tapi karena sejauh ini dia masih bertahan, dengan terpaksa aku akan sedikit serius memainkan peran ini.
"Kenapa kau begitu percaya diri sekali? ... bagaimanapun juga aku adalah manusia yang bisa membuat keputusan sendiri. Apapun yang akan ku lakukan, itu akan menjadi kebebasanku. Atau mungkin... kau berpikir jika aku tidak sanggup melakukannya? ... kalau seperti itu, bukankah analisamu kepadaku juga akan jadi meragukan," lanjut kataku.
"Hn... aktingmu itu boleh juga."
Setelah mendengar perkataanku yang sepertinya agak terasa mengintimidasi, Sherly tertawa kecil, lalu memujiku.
"Apa sekarang kau puas? sampai kapan kau akan menguji kesabaranku?" tanyaku, dengan segera kembali duduk sambil bernafas lega.
"Sampai kita bertemu lagi."
"Kalau begitu aku berharap kita tidak bertemu lagi."
"Bukankah itu agak kejam?"
"Kau tidak bisa membodohiku, si jenius."
"Bukankah itu berlaku untukmu juga? kenapa si jenius ini merendah?"
"Kalau kau melihatnya seperti itu, maaf mengecewakanmu. Aku hanyalah bagian dari entitas murid yang memiliki kemampuan standar," kataku.
"Standar, ya... maaf, sampai kapanpun sepertinya aku tidak akan bisa melihatnya seperti itu. Sayang sekali ya," katanya.
Seperti yang kupikirkan, dia adalah siswi yang sangat merepotkan. Aku bertanya-tanya, apakah seluruh murid yang memiliki kejeniusan sampai bisa menilai secara detail seseorang dari dalam memang begitu menyebalkan seperti ini?
"Terserah kau saja," kataku.
"Karena kau sudah bersedia menemani perempuan yang bagimu sangat merepotkan ini, sepertinya aku bisa memberikan hadiah informasi itu sekarang."
Mengesampingkan sikap menyebalkannya ini, sepertinya dia memang telah membaca isi pikiranku sampai tahap dimana dia telah merencanakan akan memberikan informasi dengan cara berbelit-belit. Sekali lagi... aku merasa ingin melumatkannya.
***
Jika menyangkut sebuah pertanyaan, ada hubungan apa sebenarnya antara Bu Milan dengan ayahnya Mirza, sampai saat ini beliau berusaha menutup-nutupi karena sepertinya itu menyangkut masalah pribadi mereka.
Yah, lagipula apapun yang jadi masalah diantara mereka, itu bukanlah urusanku. Hal yang menjadi tujuanku sebelumnya adalah mengakhiri kebohongan 'luar' Mirza, sekaligus mencari tahu rencana di balik tindakannya. Tapi, sampai tahap ini sepertinya masih sulit untuk mengamati informasi di balik tindakannya.
Kepura-puraannya bersikap arogan, serta tujuannya yang absurd, tentu saja semua itu hanyalah sekedar lapisan kebohongan diatas kebohongan lain. Dan... tidak lain semua itu dilakukan untuk menutupi rencananya.
"Seperti dugaanmu tadi, kelasku juga memiliki masalah konflik kelas," kata Sherly.
"Perkelahian antar kelompok laki-laki ... kau mengerti maksudku, kan," lanjut katanya.
"Itu berarti... di kelasmu anak laki-laki saling berkelahi? bagaimana kronologinya?" tanyaku.
"Sederhananya, itu seperti fenomena jika salah satu anak yang memiliki karisma tinggi di kelompoknya, bentrok dengan orang sejenis dirinya yang juga memiliki pengaruh atas kelompoknya sendiri ... menurutmu apa yang akan terjadi?"
"Mereka saling berebut kedudukan dan masing-masing dari mereka akan mendukung perwakilan yang berasal dari golongannya sendiri, begitu?"
"Tepat sekali, " kata Sherly, puas mendengar tanggapanku.
Jika apa yang dikatakan Sherly ini benar, maka kondisi kelasnya jauh lebih buruk dari kelas kami.
" ... Tapi kondisi itu sepertinya sudah berlalu hari ini," lanjut kata Sherly.
"Maksudmu semuanya telah usai?"
"Seperti dilanda badai yang tiba-tiba muncul dan pergi, sudah pasti kelas kami mendapat kerusakan setelahnya."
"Dan kerusakan itu...."
"Siswa yang 'menyatakan ingin memisahkan diri' dari kelas."
Pada saat yang sama... aku akhirnya menyadari sebuah hipotesis yang tidak pernah terpikirkan sama sekali sebelum mendengar fakta ini. Tidak salah lagi... bahwa semua ini adalah kudeta.
Apa yang terjadi didalam maupun di luar kelas-kelas lain adalah bentuk dari upaya itu sendiri. Seharusnya jika ada seseorang yang memiliki teman dari kelas lain, tentunya jika pengamatannya jeli, orang tersebut pasti akan lebih dulu menyadari bentuk keanehan ini. Tapi, karena sampai sekarang tidak ada yang menyadari hal itu atau memang mengira jika itu sebuah kebetulan, aksi kekacauan mereka bisa berjalan mulus diluar pengawasan pihak sekolah.
"Ini sudah dimulai."
"Sepertinya begitu," kataku.
"Ngomong-ngomong aku adalah tipe orang yang suka 'menonton semuanya dari tempat tinggi'. Jadi bagaimana denganmu?"
"Sayangnya, aku adalah tipe orang yang 'sangat protektif dengan kebebasan'. Jika ada hal yang mengganggu 'ruang pribadiku', aku akan menggunakan segala cara untuk melindunginya ... bahkan jika harus terlibat kedalam badai yang semakin besar ini," kataku.
"Apa itu termasuk kelas yang akan kau lindungi?"
"Itu tergantung dari apa yang mungkin menjadi kerusakannya," jawabku.
Dari awal tujuanku memang untuk melindungi 'ruang pribadiku' sendiri! wajar saja jika semua yang kulakukan hanya tertuju pada satu arah, menghentikan kekacauan yang semakin hari semakin menggangguku. Justru jika membicarakan hal yang tidak wajar, sekilas aku mengingat segala usaha yang telah dilakukan Amelia hingga mengorbankan dirinya menjadi ketua demi kelas yang seperti sekarang. Walaupun itu adalah hal yang patut dipuji, itu juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang naif, karena tidak melihat resiko lebih mendalam yang akan didapat ketika dirinya terlalu jauh melangkah. Seharusnya dia tidak perlu menekan dirinya menjadi ketua kelas yang sempurna. Mengingat apa yang sudah terjadi selama ini, sepertinya mentalnya pasti juga tidak akan siap mengadapi kekacauan yang mendadak akan terjadi setelah fase ini.
Ketika kami masih berada ditengah suasana serius bertukar pikiran, seseorang yang tak diduga menyela masuk obrolan kami, mendadak muncul di belakangku.
"Rafa?"
Seorang siswi yang sebelumnya memperhatikan meja kami di kelas, dia adalah Cika. Mengingat bahwa saat ini aku sedang bersama dengan siswi jenius selain dirinya, entah mengapa atmosfer di sini menjadi agak berat ketika mata mereka saling bertemu.
Sepertinya Cika tidak memandangnya dengan tatapan permusuhan, namun ekpresinya seolah bertanya-tanya 'siapa perempuan yang duduk di depanku ini'. Mengingat jika saat ini Cika masih memiliki keterbatasan dalam berinteraksi, aku segera mengambil alih pembicaraan.
"Dia temanku Sherly dari kelas IPA," kataku.
"Huh... padahal tadi aku ingin sedikit menjahilinya," kata Sherly, menghala nafas, tampak kecewa.
"Justru karena sikapmu yang seperti itulah yang harus ku hindari," kataku.
"Hei, bukankah kau berpikir jika dia ini membosankan?"
Kali ini, dia mengganti objek bicaranya langsung kepada Cika yang bahkan belum memperkenalkan diri satu sama lain. Sepertinya perempuan ini memang punya hobi ingin menjatuhkanku kedalam permainannya.
"Hm... bagaimana ya, aku tidak akan menyangkalnya karena memang terkesan seperti itu, setidaknya dari penilaianku, dia yang seperti itu tidak terlihat buruk," kata Cika, tampak begitu polos saat menjelaskannya.
"Maaf menyela, sebaiknya kau tidak perlu menjunjung nilai diriku didepannya," kataku kepada Cika.
"Aku hanya berkata jujur apa adanya, apa itu salah?" kata Cika, membuat mimik wajah heran.
Percuma! dalam kondisi seperti ini dia akan berkata terus terang setiap kali diberikan pertanyaan subjektif. Sepertinya, ini adalah situasi dimana aku akan terintimidasi oleh ekstensi kedua siswi jenius ini.
"Sepertinya kalian cukup akrab. Apa kalian satu kelas?" tanya Sherly.
"Begitulah, ketika aku melihatnya pagi ini," jawab Cika, menoleh ke arahku dengan maksud menyindir.
Karena enggan melihat ekpresinya saat ini, entah mengapa itu membuatku agak merinding hanya dengan merasakan auranya di belakang.
"Sepertinya dia sengaja mengelabuimu. Apa itu karena dia sedang tidak ingin bertemu denganmu?"
Dengan sengaja, Sherly mengajukan pertanyaan yang terdengar cukup memprovokasi. Disisi lain merinding, aku juga sedikit penasaran bagaimana respon Cika setelah mendengarnya?
"Kurasa itu... tidak mungkin, benarkan, Rafa?"
Menjawabnya dengan melontarkan respon itu kepadaku, sepertinya aku bisa merasakan kekhawatiran kuat dari beberapa kalimat yang keluar dari mulutnya.
"Kupikir begitu," kataku.
"Sepertinya kau orang yang cukup menarik. Siapa namamu?" tanya Sherly.
Yah, kupikir seperti inilah cara Sherly mendekatkan diri dengan orang lain. Lewat interaksi jahilnya, apapun bisa dia lakukan.
Jika itu adalah siswi koleris yang waktu itu, sudah pasti pendekatan seperti ini akan menjadi kesalahpahaman yang dapat memicu konflik sebelum mereka berkenalan.
"Aku Cika."
Bahkan setelah mendengar namanya, ekspresi Sherly tidak berubah sedikitpun.
"Begitu ya.... Aku Sherly, dari kelas sepuluh IPA," kata Sherly, memperkenalkan diri.
Setelah perkenalan ini berakhir, Sherly meninggalkan kami terlebih dahulu dengan alasan sudah waktunya dia kembali. Kupikir juga begitu, karena sekarang aku bisa melihat langit yang sudah berwarna jingga.
"Rafa."
Panggilnya yang tiba-tiba, saat kami dalam perjalanan kembali menuju asrama.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kenapa kau tidak berkata apapun tentang... kita berada di kelas yang sama?"
"Memangnya itu perlu? Meskipun nantinya kau tahu, bukan berarti kita akan mengobrol satu sama lain di kelas, kan."
"Itu... benar, tapi...."
"Selain itu bukannya sekarang kau sudah memiliki cukup banyak teman? di kelas tadi aku melihatmu ada banyak anak perempuan yang datang ke mejamu. Bukankah sekarang kondisimu sudah lebih baik dari sebelumnya? yang selalu sendirian. Kau sudah berjuang keras untuk mendapatkan teman ... dan aku mungkin adalah orang yang pertama kali tahu perjuanganmu di sekolah ini. Sekarang kau tidak perlu bergantung lagi kepadaku jika ingin mengobrol dengan seseorang, kan. Tergantung waktu, kau juga akan leluasa bisa berinteraksi lebih jauh dengan mereka."
"Jadi... sekarang kau menyuruhku untuk mengabaikanmu?"
" ... Jangan melihatku seperti itu. Kondisiku berbeda jauh denganmu. Sejak awal aku memang orang yang selalu sendirian. Bisa diibaratkan, aku seperti 'orang yang tak terlihat', meskipun sekarang kau masih bisa melihatku, suatu saat nanti ... mungkin saja kau sudah tidak akan lagi bisa melihatku. Berbeda denganmu, kau adalah 'orang yang tertimbun'. Jika suatu saat kau bisa keluar dari situ, maka kebebasannu akan kembali seutuhnya dalam dirimu. 'Bukankah sekarang aku jadi bisa melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa ku lakukan?' mungkin itulah yang akan langsung terpikirkan olehmu setelah 'bebas'. Benar begitu kan?"
" ... Jadi, waktu itu kau bersedia berteman denganku hanya sekedar membantuku?"
"Jika harus mengatakan yang sejujurnya, waktu itu aku juga membutuhkan sesuatu darimu. Aku hanya memikirkan tentang kesepakatan dan bagaimana kita bisa saling menguntungkan. Bukankah waktu itu aku sangat berhutang budi kepadamu? bagiku, membantumu 'keluar dari sangkar' itu bukan masalah," kataku.
"Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"
"Karena aku tidak ingin... uh...."
Ketika hendak melanjutkan perkataanku yang seolah sudah terdengar seperti tokoh antagonis, mendadak mulutku terhenti, separuh kata-kata itu tersendat di tenggorokanku, tidak membiarkanku mengungkapkan semua isi kepalaku kepadanya. Disaat yang sama, aku... disadarkan kembali jika hampir semua yang kulakukan ketika berinteraksi dengan orang lain hanyalah akting. Peranku sebagai seseorang yang bernama Rafa, hanyalah peran yang kumainkan agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah saat ini.
Kupikir tadinya Cika akan kecewa setelah mendengar perkataanku yang begitu ironis. Tapi dengan cepat aku sadar, bahwa jika Cika bukanlah perempuan seperti yang lain, yang akan mundur setelah mengetahui kebenaran. Dia memiliki keunikan tersendiri, serta pemikiran idealisme yang cenderung kuat seiring dengan kesadaran dirinya.
"Jujur, jika waktu itu aku tidak bertemu denganmu, aku pasti masih merasa trauma sampai saat ini. Tapi... bukannya sekarang aku bisa seperti ini juga karena bantuanmu?" kata Cika, berbalik menujukkan ekpresinya, tersenyum lembut, memperlihatkan bola matanya yang bersinar bagaikan kilauan cahaya.
"Mungkin sekarang aku memang belum bisa memahami sosok sebenarnya darimu. Tapi setidaknya, aku ingin kau selalu mempercayaiku, walau sesulit apapun itu."
"Akan kuingatkan sekali lagi. Kau mungkin tidak akan mendapatkan hasil apapun meski aku telah mempercayaimu."
"Hn, aku sangat paham kok. Karena tidak mendapatkan apapunlah yang membuatku tertarik mengikutimu."
Sampai saat ini, detik ini, waktu yang terus berjalan ini, aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya dia harapkan dariku. Meskipun dia telah mencapai 'jalan untuk menelapak di skenarionya' sendiri, dia justru malah lebih memilih untuk mengikutiku yang dilihat dari segi manapun tidak ada keuntungan bagi-nya.
Tidak seperti manusia yang layaknya memiliki tingkah laku seiras dengan pemikirannya, Cika adalah spesies di luar pemahamanku yang tidak memiliki keseirasan itu, juga tidak dapat di tebak pemikirannya secara objektif. Tapi bagaimanapun juga, dari lubuk hatiku yang terdalam, aku semakin merasa bersalah ... karena dalam skenario ini, aku akan cenderung memliki lebih banyak kesempatan untuk menggunakannya di berbagai situasi.
***
Pada malam hari, seperti biasa aku menghabiskan waktu-ku dengan membaca novel sebelum beranjak ke hari selanjutnya. Namun, kali ini aku melakukannya di balkon... karena di sini tidak ada tempat duduk, aku membacanya sambil berdiri, bersender didekat pagar besi.
" ... Huh... entah apapun yang dilakukannya, pada dasarnya manusia itu memang egois," gumamku.
Novel yang ku baca di tanganku adalah cerita mengenai 'seseorang yang mencoba mengembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Tapi ironisnya, tanpa sadar dia telah memanipulasi orang-orang di dekatnya dan bahkan sampai membuat konflik berkelanjutan. Alhasil, dia mampu mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun disisi lain, dia juga kehilangan apa yang sebelumnya dimiliki selama proses itu'. Saat menyadari bahwa semua yang dilakukannya itu hanya untuk memenuhi rasa egonya, seketika dirinya diliputi oleh rasa bersalah dan menyesal.
"Aku penasaran... sebenarnya hati manusia itu terbuat dari apa?" pikirku, merenunginya.
Saat aku merasa akan hanyut dalam kesunyian di malam hari ini, suara pintu geser terdengar dari arah sampingku. Bau harum yang tiba-tiba mengusik hidungku, sontak membuatku kehilangan konsentrasi saat akan tenggelam kedalam dunia imajinasi.
"Apa yang kau baca?"
Tak lama setelahnya, suara seorang perempuan terdengar. Saat membuka kedua mataku, tanpa menoleh aku sudah tahu siapa yang bertanya itu.
"Bukan sesuatu yang menarik untuk dibahas," jawabku, dengan segera menutup novel yang barusan ku baca.
"Justru itu membuatku penasaran," katanya.
Tidak lain dia adalah Cika. Karena sepertinya dia sengaja datang ke balkon, kupikir setelah ini dia mungkin akan menanyakan sesuatu yang terkait dengan masalah Mirza atau juga keberadaanku di kelas. Bagaimanapun juga, itu adalah sesuatu yang tak bisa ku hindari sekarang.
" ... Kalau kau masih memikirkan yang tadi aku minta maaf," kataku.
"Apa maksudmu?! yang tadi apa?"
Seolah menyangkal perkataanku yang sedikit menyinggungnya, dia menunjukkan respon panik.
Karena tak dapat menjelaskannya dengan kata-kata, aku menoleh dan terus menatap matanya hingga dia mengerti maksudku... tidak. Seharusnya dia memang mengerti, tapi dia bersikeras menyembunyikannya.
"Baiklah, aku akan berhenti memikirkannya ... tolong jangan menatapku seperti itu," kata Cika, memalingkan wajahnya ketika memohon.
Ini hanya spekulasiku... tapi, dari perspektifnya mungkin aku terlihat seperti seseorang yang sedang mengintimidasinya. Aku sama sekali tidak menganggap itu kejam karena aku sendiri sama sekali tidak bermaksud melakukannya. Hanya saja, kupikir 'menjelaskan dengan sikap lebih mudah daripada kata-kata'.
"Rafa, mengenai kelas, apa kau masih ... itu, memikirkannya? ... bukan. Maksudku, memperbaikinya?"
"Tidak, aku sama sekali tidak bermaksud memperbaiki apapun. Aku hanya ingin melihat hasil saat ini sebelum beralih ke tahap selanjutnya."
"Eh, bukankah sebelumnya kau mengatakan akan melakukan sesuatu untuk kelas? kau bahkan mendorongku agar mencolok di kelas. Bisakah kau menjelaskannya?"
"Itu hanya langkah pertama, membuat sandiwara. Setelah kau melakukan sesuatu yang mencolok di kelas, orang-orang seperti Amelia dan kelompoknya pastinya akan langsung berinteraksi denganmu. Karena awalnya kau adalah keberadaan yang tak dapat dilihat orang lain sebelum kau sendiri yang mau memperlihatkannya, mereka mungkin dikejutkan dengan itu."
"Ya. Seperti yang kau katakan, Amelia menawarkanku posisi penting di kelas."
"Kau menerimanya?"
"Tidak. Aku menolaknya."
"Kalau begitu baguslah."
"Bagus?"
"Jika kau menerimanya sekarang, akan sulit bagiku untuk meminta bantuanmu setelahnya."
"Kau ini ya...."
"Lagipula peran yang ku berikan padamu itu hanya sebagai umpan."
"Walau sudah terbiasa dengan cara bicaramu itu, tetap saja aku merasa ingin sekali memukulmu. Biarkan aku memukulmu!"
"Itu tidak buruk. Kupikir aku memang pantas mendapatkannya."
"Aku bercanda. Lanjutkan," kata Cika, dengan acuh.
"Sebenarnya tujuan utama dari peranmu itu adalah mengalihkan objek, sekaligus menarik perhatian mereka," kataku.
"Mengalihkan objek?"
"Kau pasti menyadarinya kan, jika di kelas, Mirza dan kelompoknya seperti sengaja melakukan tindakan kenakalan."
"Tentu saja kebanyakan murid juga akan menyadari itu."
"Yah, ironisnya itu semua dilakukan untuk melemahkan Amelia."
"Jadi mereka sengaja menjadikan Amelia sebagai objek mereka?"
"Kelihatannya begitu. Dari apa yang bisa dilihat, mereka lebih condong menyerang mentalnya, karena itu lebih mudah dan sederhana."
"Begitu ya. Apa tidak ada hal lain untuk menghentikan mereka?"
"Dalam hal ini kita tidak bisa melakukan apapun. Amelia hanya bisa bersabar ... itulah satu-satunya cara menghadapi gangguan mereka. Jika orang luar ikut campur dengan permasalahannya, situasinya akan menjadi lebih buruk. Karena itu menyangkut masalah batinnya, hanya dirinya sendiri yang mampu mengatasinya."
"Tapi sampai kapan?!"
Setelah mendengar perkataanku, sontak Cika langsung menyela dengan intonasi sedikit tegas. Ekpresinya menujukkan kebingungan, dan perasaan gelisah seolah menyelimutinya.
"Begini... Rafa. Saat Amelia datang kepadaku dan menawarkanku agar menempati kedudukan penting di kelas, ketika melihat matanya dia seperti mengatakan 'ku mohon ikuti lah aku' atau lebih seperti ke 'permintaannya' secara pribadi. 'Di luarnya' kau tahu kan bagaimana sikap Amelia? ... itulah yang membuatku bingung. Dia seperti 'meminta bantuan', tapi tidak bisa mengatakannya secara langsung. Aku rasa itu ada kaitannya dengan posisinya di kelas," kata Cika.
"Tepat sekali. Memang begitulah dirinya," kataku.
"Apa maksudmu?"
"Sebagai seorang pemimpin, wajar jika dia merasa harus memberikan contoh kepada bawahannya. Kemungkinan besar yang telah dialaminya adalah dia mencoba bersikap tegas, walau sebenarnya merasa tersakiti. Dia terpaksa harus bangkit, walau sebenarnya merasa lelah. Kau pasti tahu kan seberapa besar tanggung jawab seorang pemimpin itu. Yah... kupikir karena dia telah mengatakan impiannya yang cukup berlebihan itu makanya dia menjadi seperti sekarang. Dia terlalu fanatik hingga terburu-buru ingin menjadi sosok pemimpin yang sempurna."
"Jika itu diteruskan maka..."
"Itulah letak dari kesalahannya."
"Eh...."
"Dia seharusnya belajar bagaimana harus mengandalkan orang lain ... walaupun merasa tidak benar-benar ingin melakukannya."
Lalu, beberapa saat kemudian, setelah kami selesai membicarakan topik mengenai permasalahan Amelia, selanjutnya kami menyusun rencana sebagai persiapan 'apa yang akan terjadi besok', sekaligus berbagi informasi yang belum tersampaikan dari sebelum-sebelumnya
***
Pagi hari ini aku berangkat lebih awal. Jika ada yang bertanya mengapa jam terbang ku ke sekolah hari ini ku percepat... hanya satu alasan untuk menjelaskannya.
"Kenapa harus aku?" tanyaku, dengan intonasi mengeluh ketika melihat buku-ku di atas meja yang dikerubungi oleh duo pemalas dari sirkelnya Doni.
"Tidak apa-apa, kan. Bukannya kita ini teman?" kata Retno, si pencair suasana di kelompoknya, begitu kata mereka.
Menyontek dengan dalih berteman... itu sungguh cara yang klasik. Bagaimanapun juga, sekarang nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mencegahnya menyontek dalam situasi ini. Adakalanya sistem pertemanan itu menjadi efisien dan tidak efisien. Contohnya seperti saat ini... ini adalah bentuk dari ketidakefisien itu.
"Terimakasih ya, sudah mau membantu kami," kata Gilang, salah satu siswa berbadan besar di kelas yang juga ikut berbaur di sirkelnya Doni.
"Tidak masalah. Tapi lain kali sebaiknya kalian lebih memperhatikan tugas yang diberikan guru. Itu semua juga untuk kalian sendiri kan," kataku.
"Kau ini sudah seperti murid teladan saja. Jangan lupa kalau kita sebagai anak muda juga harus mempunyai kesenangan sendiri," kata Retno.
"Seperti hobi?" sahutku.
"Yah... kurang lebih seperti itu. Ngomong-ngomong apa yang biasanya kau lakukan?" lanjut tanya Retno.
"Membaca novel."
"Yang lain?"
"Belajar."
"Bukankah belajar itu kewajiban?" sahut Gilang.
"Disisi lain hobi, juga kewajiban" jawabku.
Mendengar perkataanku, ekpresi keduanya terlihat bingung. Kupikir itu wajar karena mereka pasti lebih cenderung menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.
Setelah aksi menyontek mereka selesai, keduanya langsung kembali ke tempat duduk masing-masing sebelum lonceng berbunyi.
"Sepertinya kau sudah akrab berbaur dengan mereka," kata Fito, sepertinya sempat melihat keduanya berbicara denganku.
"Hanya kebetulan," kataku.
"Huh... andai saja aku bisa seberuntung dirimu yang mendadak mendapat teman," kata Fito, mengeluh, lalu membenamkan wajahnya.
Disaat yang sama, ketika menoleh ke kanan, aku baru sadar jika Cika dari tadi terus melihatku dari kejauhan. Hanya untuk memastikan, dengan segera aku mengeluarkan ponselku dan membuka aplikasi chat, lalu menuju kontaknya. Kemudian aku mengirimkannya pesan...
"Apa kau masih ragu melakukannya lagi?"
Setelah menunggu beberapa detik, pesan itu sudah memiliki tanda baca, lalu diatas muncul keterangan 'sedang mengetik'. Tak lama kemudian, muncul sebuah pesan yang baru dikirimnya.
"Sejujurnya begitu. Aku merasa tidak bisa melakukannya lebih baik dari kemarin," katanya.
Karena sepertinya lonceng masuk akan berbunyi sebentar lagi, aku meresponnya dengan mengetik cepat, lalu segera mengirimkannya...
"Lakukan saja sesuai kemampuanmu. Aku tidak akan menyuruhmu melakukannya dengan sempurna. Selama itu bisa membuatmu menjadi pusat perhatian, maka itu sudah cukup."
Tanpa mempedulikan balasan seperti apa yang akan dia kirimkan, buru-buru aku memasukkan ponselku kembali kedalam saku. Lonceng tanda masuk seketika berbunyi.
***
[POV Cika]
Setelah membalas pesannya dengan emot 'menyebalkan', lonceng tanda masuk berbunyi.
Mengingat bahwa hari ini ada mapel matematika, tidak heran jika dia akan memasukkan bagian ini kedalam rencananya.
Kupikir hari ini aku memiliki peran yang lebih besar daripada kemarin ... dari lubuk hatiku, tentu saja aku merasa sangat gugup. Jika diingat kembali, aku memang sudah terbiasa melakukan sesuatu yang menurut murid lain tidak wajar saat SMP. Tapi, entah mengapa rasa gugup ini baru terasa hebat ketika dihadapkan oleh fakta, bahwa kemampuanku ternyata dibutuhkan oleh orang lain.
"Cika? apa kau baik-baik saja?"
"Ya... tentu saja, memangnya kenapa?"
"Keringatmu..., padahal ini masih pagi. Apa kau tadi berlari terburu-buru? "
"Ya... begitulah."
Bagaimanapun juga aku tidak bisa mengatakan bahwa sekarang, aku dalam kondisi dilanda kepanikan.
"Huh... tenanglah diriku," gumamku, lalu menepuk kedua pipi secara bersamaan.
Yah... aku hanya akan melakukannya seperti dulu. Panik hanya akan membuatku kehilangan konsentrasi. Mungkin kedengarannya agak aneh, tapi kupikir rasa panik ini sudah lama tidak ku rasakan... atau memang dulunya aku tidak pernah mengalaminya. Karena itulah... ini menjadi hal baru untukku. Rasa panik ini, maupun ketegangan secara mental yang saat ini kurasakan... aku akan melaluinya, demi memenuhi peran ini!
Tak lama kemudian, guru mapel matematika, Bu Alina masuk ke kelas kami. Sebelum mengawali pelajaran, beliau dengan sikap diam menaruh buku tebalnya di atas meja terlebih dahulu. Sesaat melirik ke arah kami, seolah mencurigai sesuatu... tidak menemukan adanya kegaduhan, lantas beliau berbicara setelahnya.
"Sepertinya di sini juga sama," kata beliau, terdengar seperti sedang berbicara sendiri.
Kemudian, beliau mengambil remote dari sakunya dan segera menghidupkan layar papan belajar.
"Buka buku kalian," kata beliau, sementara juga membuka aplikasi matematika di layar papan belajar.
Para murid segera mengeluarkan buku tulis, serta buku pelajarannya masing-masing. Disaat itu, sesuatu yang terlintas dalam bidang pengelihatanku ketika menoleh ke belakang, Mirza sepertinya tidur dengan membenamkan wajahnya, sementara kedua temannya diam-diam bergaduh sendiri disaat Bu Alina tidak memperhatikan murid. Karena beliau telah menyadarinya, kupikir inilah yang menjadi alasan mengapa beliau sempat menggumamkan hal tadi ketika melihat seisi kelas.
Seperti yang hampir kami semua ketahui, Bu Alina juga merupakan guru yang cukup tegas. Namun beliau tidak setegas seperti Bu eko, guru geografi. Faktanya, beliau mengajar dengan suara lantang, meskipun ekpresinya yang mirip seseorang membuatnya sulit dimengerti. Dari cara beliau mengajar, seolah beliau hanya mengutamakan tugas dan perannya saja sebagai pengajar. Tidak seperti wali kelas kami Bu Milan, beliau seperti tipe guru yang tidak akan menggunakan empati ketika sedang mengajar. Karena itu, apapun yang disampaikan, beliau tidak akan mengulanginya kembali. Kalaupun ada murid yang ingin bertanya sesuatu, aku yakin beliau bukanlah orang yang tepat untuk ditanyai. Sayangnya, sampai sekarang belum ada satupun anak yang berani melakukannya. Bahkan Amelia sendiri yang menjadi sosok ketua kelas kami paling berani, tidak pernah sekalipun berinisiatif bertanya ketika beliau sedang menjelaskan pelajaran. Disisi lain, beliau sendiri juga tidak pernah memberikan pertanyaan kepada murid. Inilah yang membuat suasana kelas menjadi sangat canggung ketika masuk jam pelajaran beliau.
" ... Memangnya aku bisa melakukannya?!" pikirku dengan panik.
Bagaimanapun juga, sejujurnya aku tidak mempunyai keberanian untuk memulai inisiatif. Meskipun aku mungkin akan mencoba untuk bertanya, ini akan terlihat seperti upaya bunuh diri.
"Rafa bodoh...!" aku bertanya-tanya, mengapa aku yang melakukan ini? ... memang benar jika aku berinisiatif ingin membantu rencananya setelah melihat usahanya melakukan semua sendiri sejauh ini... tapi... bukankah bagianku ini terlalu sulit? bahkan rasanya sudah seperti mustahil!
Beberapa saat kemudian, ketika jam pelajaran matematika sudah berjalan selama hampir setengah jam, terdengar suara gaduh dari barisan belakang. Bisa ditebak, sumbernya tidak lain pasti dari kelompoknya Mirza. Awalnya Bu Alina terlihat seperti membiarkannya. Namun....
"Bu! bolehkah aku bertanya?"
Seseorang yang mengatakan itu dengan jelas bukanlah Amelia maupun murid teladan lain di kelas, melainkan Mirza. Apa yang akan dilakukannya lagi kali ini?
Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Mirza, ekpresi beberapa murid seketika berubah drastis, suram. Begitu juga dengan Amelia yang terlihat sangat amat membenci suara laki-laki itu.
" ... Kalau tidak salah namamu Mirza, kan? bagian mana yang ingin kau tanyakan?"
Ini sungguh mengejutkan mendengar Bu Alina merespon ajuan pertanyaan dari Mirza. Seharusnya beliau telah menduga bahwa pernyataannya tidak pernah sekalipun serius.
"Pertanyaanku sangat sederhana... Bisakah ibu mengulang apa yang dibahas saat ini?"
Perkataan itu sungguh jelas dan seharusnya terdengar oleh beliau. Bahkan, ada sedikit respon dari Amelia yang sepertinya tidak bisa menahan kekesalannya dan hendak naik pitam. Tapi dengan sigap, Sifa langsung berusaha menenangkannya. Entah apa yang akan direspon Bu Alina, kelihatannya ini akan menjadi sesuatu yang buruk bagi kelas kami. Meskipun seharusnya pertanyaan tersebut bisa jadi hal yang wajar ditanyakan oleh seorang murid, tapi sikap Mirza yang dari intonasinya saja terdengar seperti meremehkan, itu seketika menjadi hal yang mengganggu. Sikapnya, bahkan sopan santun, dari awal dia sama sekali tidak berniat merubahnya.
"Hmp... kalau begitu, diantara kalian apa ada yang bersedia menjelaskan pelajaran yang saya sampaikan tadi?"
Memberikan penawaran itu seolah memaksa seluruh murid ikut terlibat, sepertinya inilah cara Bu Alina menghadapi murid seperti Mirza. Huh... tunggu. Jika dipikirkan kembali, alasan mengapa dari awal beliau tidak melakukannya... mungkin beliau sudah memprediksi jika ditengah pelajarannya pasti akan ada murid yang bosan karena dipaksa terus mendengarkan. Jika benar seperti itu, cara beliau terkesan agak kejam, dan juga cukup agresif hanya demi mempertahankan alur pembelajaran kelas.
Seketika itu, seluruh murid terlihat begitu tegang setelah beliau memberikan ajuan. Bahkan Amelia juga terlihat seperti tenggelam didasar laut dan terus membenamkan wajahnya ke bawah. Mungkin karena sudah tak dapat menangani keberadaan sosok laki-laki bernama Mirza di kelas, itulah yang membuatnya sangat depresi.
Kemarin malam, ketika sedang berbicara dengan Rafa, laki-laki itu berkata jika tidak ada cara untuk menghentikan Mirza memanfaatkan Amelia yang sudah terikat kuat dengan kelas. Kupikir ini cukup ironis. Seseorang seperti Amelia yang seharusnya memegang peran sebagai pemimpin kelas harus dimanfaatkan Mirza secara tidak langsung untuk mencapai tujuannya. Alhasil... seperti yang dialaminya sekarang, Amelia terus menerima tekanan yang dirasakan seluruh kelas. Karena posisinya, dia pasti akan berpikir jika semua yang terjadi adalah tanggung jawabnya. Bahkan dalam hal mendisiplinkan Mirza pasti juga begitu.
[Berdiri.... ]
Itu berarti... hanya inilah kesempatan untuk membalikkan keadaan. Mungkin setelah ini apa yang terjadi tidak membawa perubahan di kelas, tapi setidaknya, ini bisa menjawab perlawananku kepada Mirza dan menyelamatkan Amelia dari situasi ini.
" ... Saya bersedia menjelaskan!" kataku usai berdiri.
Dalam sesaat, pandangan seluruh murid di kelas seketika tertuju ke arahku. Kegugupanku mungkin belum sepenuhnya teratasi, tapi... rasa kesal yang kurasakan saat ini jauh lebih besar dibandingkan rasa gugupku.
***
[POV Rafa]
Ditengah suasana menegangkan, aku bisa mengamati hampir semua murid menjadi resah setelah mendengar perkataan Bu Alinda yang sengaja diprovokasi oleh Mirza. Alhasil, beliau meresponnya dengan cara menyeret satu kelas yang seolah bermaksud bahwa 'semua juga harus sama-sama berpikir'.
Dan... beberapa saat kemudian, seseorang yang ku tunggu akhirnya menampakkan diri. Dalam sekejap... dia langsung berdiri. Walaupun dari genggaman tangannya tampak jelas bahwa dia amat gugup, dia masih bisa berkata bahwa dirinya bersedia menjelaskan pelajaran yang tadinya disampaikan Bu Alina.
"Kalau begitu kemarilah," kata Bu Alina, dengan ketus mempersilahkan perempuan itu maju ke depan.
"Baik," ujar perempuan itu, segera maju ke depan.
Setelahnya, perempuan itu mulai menjelaskan dari awal seperti yang disampaikan oleh Bu Alina. Dalam sekejap, suasana tegang yang dirasakan seluruh murid di kelas seolah mencair ketika perempuan itu mulai ada perkembangan dalam memperjelaskan materi tadi. Awalnya, dapat terlihat bahwa dirinya juga gugup seperti murid pada umumnya, tapi... semakin lama, dia semakin cepat beradaptasi, menguasai tekanan kondisi tersebut. Meski agak kurang dibagian penyampaiannya, dia masih berupaya terus menjelaskan secara detail dengan caranya sendiri sambil mengikuti konsep mengajar Bu Alina ... seolah-olah dirinya menyalin ucapan beliau dengan cukup akurat. Jika sebelumnya ada bagian yang terasa sulit dipahami dengan cara sederhana, perempuan itu akan menjelaskan inti caranya menurut rangkaian subjektifnya sendiri dan bagaimana cara mengerjakannya agar lebih mudah dipahami dari sudut pandang murid. Beberapa kata istilah sepertinya juga dia selipkan agar memudahkan mereka yang memang hampir memahami keseluruhannya. Bagi mereka yang benar-benar melihat ini, tak dapat dipungkiri, dialah sosok perempuan jenius sebenarnya di kelas ini.
Beberapa saat kemudian, ada seorang siswi yang memberikan pertanyaan kepadanya dengan intonasi seolah sudah saling kenal. Awalnya perempuan itu sedikit kaget, tapi setelah mengatur nafasnya sejenak, dia bisa menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang sudah disampaikan. Siswi yang bertanya itu adalah Nida, bendahara di kelas kami. Setelah puas mendapatkan jawaban yang diinginkan, tak lupa Nida memberikan pujian kepadanya karena penjelasannya sangat mudah dipahami. Selang beberapa saat, dari barisan anak perempuan satu persatu mereka ikut bertanya. Begitu juga dengan barisan anak laki-laki terdepan yang akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
Dilihat dari manapun, inilah bakat alaminya. Perempuan itu memiliki kemampuan mengingat, serta menjawab berbagai pertanyaan yang seolah sudah seperti teknologi mesin pencarian saat ini. Bukan hanya sebatas pengetahuannya saja yang luas, dia bahkan masih bisa mengembangkan potensinya untuk menjadi seseorang yang lebih bersinar, sosok dari sang ahli segala bidang ilmu pengetahuan (multitalenta). Pemandangan ini... seperti yang ku harapkan, dia telah berubah 90 derajat dibandingkan saat pertamakali kami bertemu dulu.
"Sepertinya beban di punggungku sudah agak berkurang. Cika... sekarang dia akhirnya bisa mengabulkan harapan yang sulit digapainya waktu itu hanya dalam beberapa bulan," pikirku.
Disisi lain, Mirza yang telah gagal melancarkan serangannya sepertinya terlihat tidak menyukai pemandangan di sekitar perempuan itu. Meskipun dari ekpresinya tidak memperlihatkan demikian, dia tidak bisa membohongi tatapannya yang terus menerus tertuju ke arah perempuan yang sedang menjelaskan pelajaran saat ini. Sekarang dia fokus melihat perempuan itu... menatap menyelidik, seolah penasaran.
Untuk sekarang yang perlu kulakukan hanyalah menunggu hasil. Apakah Mirza akan terpancing... itu akan menjadi opsi yang lebih mudah jika bisa terjadi, dan juga hasil sempurna yang kuinginkan dari langkah ini. Sampai sejauh ini, perempuan itu sudah memberikan kemajuan besar dengan melakukan perannya sesuai ekspektasi. Sepertinya sekarang... mulai dari sinilah bagian peranku selanjutnya dimulai. Manusia memiliki hak untuk memutuskan apa yang ingin dilakukannya. Apapun keputusan yang diambil akan menentukan pilihan hidup mereka. Terkadang ada juga keputusan yang dapat melibatkan orang lain dan ada juga yang berjalan secara individu. Semuanya dapat terjadi karena manusia memiliki potensi memilih skenario dari jalur yang tak terbatas. Pada dasarnya, perkembangan mereka dipengaruhi oleh pengalaman yang mereka dapatkan selama hidup. Ibarat seperti alat, tergantung penggunaannya, ada cara 'baik' atau cara 'buruk' yang dapat digunakan.
Bagaimanapun juga, saat ini aku belum mengerti mengapa Mirza memutuskan untuk menjadikan dirinya sebagai 'bom kelas'. Yang pasti adalah, semua yang dilakukannya terkait dengan masalah individunya. Bahkan situasi permusuhan yang diciptakannya sendiri telah jelas menujukkan bahwa dia tidak peduli dengan apa yang akan terjadi dengan dirinya. Dia selalu bersikap arogan untuk menutupi ketidaknyamanannya. Kuakui bahwa dia cukup tangguh dengan mental seperti itu. Tapi... aku tidak merasa bahwa dia memang sengaja menjadi pusat perhatian. Ada sesuatu yang direncanakan olehnya... itulah yang kurasakan ketika melihat sorot matanya.
"Uh..."
Kupikir inilah yang terjadi jika aku lengah dalam menyembunyikan diriku. Di kejauhan, aku bisa melihat tatapan penuh pertanyaan dari salah seorang siswi di barisan anak perempuan.
"Sepertinya aku memang harus menjelaskannya sepulang sekolah nanti," pikirku, usai menghela nafas.
"Rafa, bukankah siswi itu... yang ada di kantin waktu itu?"
Pertanyaan demikian muncul ketika siswa yang duduk sebangku denganku, melihat tatapan yang sama secara kebetulan.
"Sepertinya begitu," kataku.
"Dia ternyata juga satu kelas ya..."
" ... Murid satu kelas saja sudah sebanyak ini, tidak perlu heran kan," kataku.
"Apa kau sudah tahu kalau dia itu sekelas?" tanya Fito.
"Tempo hari kebetulan aku melihatnya di kelas dengan beberapa temannya," jawabku.
"Begitu ya, aku justru baru melihatnya sekarang."
Setelah pembicaraan kami berakhir, Fito terlihat bersikeras berkontak mata dengan 'tatapan' siswi itu. Padahal aku sangat mengerti 'tatapan' itu sebenarnya tertuju ke 'siapa', tapi sisi baiknya, kurasa ini bisa membuatku mengurangi ketidaknyamanan. Lalu, beberapa saat kemudian siswi itu tidak kembali melihat ke arah kami karena teman di sampingnya terlihat sedang memanggilnya. Di saat yang sama, aku bisa melihat wajah kekecewaan Fito karena tidak mendapat perhatian lagi. Mungkin itulah yang dipikirkannya ... sangat absurd sekali.
***
"Huh... kenapa harus sekarang."
Sepulang dari sekolah, kupikir aku bisa segera kembali ke kamar dan bersantai sebelum hari itu tiba. Tapi... lagi-lagi sesuatu yang melelahkan sepertinya datang di saat ini juga.
"Ya ampun, apa ini akan mengganggumu kalau kita bicara sebentar di sini?"
Seorang siswi yang melontarkan pertanyaan itu kepadaku dengan tatapan, serta senyuman liciknya yang menjadi ciri khas darinya tidak lain adalah Sherly, perempuan jenius dari kelas IPA.
"Hanya untuk memastikan, apa ini terkait dengan waktu itu?" tanyaku.
"Itu juga termasuk-"
"Kalau begitu sampai jumpa."
"Apa kau tertarik dengan konflik kelas?"
Mendengar pertanyaan itu, langkahku seketika terhenti seolah dibekukan dengan kalimat 'konflik kelas' yang mana itu terkait dengan informasi yang saat ini sedang ku cari. Padahal tadinya aku sudah berhasil mengacuhkannya ... namun sekarang, aku merasa seperti harus mendengarkannya.
"Sama sekali tidak. Tapi dari caramu mengatakannya, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di kelasmu juga. Atau... kau hanya mendengar dari kabar lintas?"
"Seperti yang ku harapkan, dugaanmu memang sangat bisa diandalkan. Kita bisa membicarakan itu langsung ke intinya kalau kau mau," kata Sherly, seolah membuatku ditariknya secara tidak langsung.
" ... Baiklah. Tapi sebelum itu kita harus memikirkan tempatnya," kataku, melihat sekeliling.
Ini baru beberapa menit sejak KBM hari ini berakhir. Tentu saja akan ada banyak murid yang berkumpul di sekitar halaman, berniat mengobrol sampai petang. Disisi lain, ada juga pasangan laki-laki dan perempuan yang saling menghabiskan waktunya di sini.
"Bagaimana kalau di sana? Sepertinya di sana lebih sepi?"
Sherly menujuk ke tempat duduk yang terlihat lebih sedikit keberadaan orang. Meskipun di sana cukup sepi karena tidak ada tempat duduk lain yang saling berdekatan, bukan berati suanasa disekitarnya juga sepi. Tapi... demi mendapatkan informasi itu, sepertinya ini adalah harga yang harus ku bayar sebagai gantinya.
"Terserah," kataku, lantas mengikutinya.
Sesampainya di tempat duduk itu, kami segera duduk. Dari apa yang ku lihat di lingkungan sekolah ini, sepertinya sengaja ditaruh spot tempat duduk ini sebagai hiasan, tempat berfoto, sekaligus fasilitas yang diberikan kepada murid untuk bersantai di jam istrahat maupun setelah pulang dari sekolah. Tempat duduk ini sendiri terdiri dari empat kursi yang letaknya memutar di antara satu meja, serta terdapat payung yang selalu terbuka tinggi di tengah-tengahnya. Bahkan, dibawahnya juga disediakan tempat sampah agar murid tidak perlu repot berdiri mencarinya.
"Lingkungan sekolah ini adalah yang terbaik, bukankah kau juga berpikir begitu?" tanya Sherly, membuka obrolan dengan basa-basi, sembari pipinya disenderkan di atas tangan. Senyuman liciknya juga tak luput dari tingkah lakunya yang misterius ini.
" ... Ini adalah sekolah futuristik, tentunya lingkungan di sini akan terasa jauh lebih baik dari sekolah setingkat manapun," jawabku.
"Jika mulai membandingkannya dengan sekolah-sekolah umum, tentunya sudah pasti begitu," katanya, masih fokus memperhatikan pemandangan sekitar.
Kupikir dia akan menganggapku orang yang membosankan setelah mendengar pendapatku yang sangat biasa. Tapi sepertinya itu tidak berlaku pada siswi jenius yang duduk di depanku saat ini.
"Hmm, kita mulai dari mana ya...?"
Seolah memberi isyarat hendak memulai inti pembicaraan, Sherly mengajukan pertanyaan seperti itu.
"Huh... kenapa tidak memulainya dari apa yang benar-benar ingin kau katakan?"
Walaupun saranku ini bisa saja memancingnya mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan masalah waktu itu, kupikir itu lebih baik daripada mendiamkannya. Bagaimanapun juga tujuanku menurutinya di sini hanyalah untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan 'konflik kelas'. Dalam upaya itu, aku harus melewati proses yang akan cukup melelahkan ini.
"Memangnya kau sungguh akan menerimanya?"
Sebelum melontarkan pertanyaan itu, dia sempat tertawa kecil, menertawai saranku.
"Tergantung penilaianku," kataku.
"Kau ini memang orang yang sulit di taklukkan ya," katanya, kali ini bicaranya benar-benar melihat ke arahku.
"Setidaknya untuk menjaga diri."
"Dari apa?"
"Dari serangan tak kasat mata yang dinilai cukup efektif untuk seorang laki-laki," kataku.
Meskipun sepanjang percakapan ini mata kami saling tertuju tajam, entah 'apa yang dipikirkan satu sama lain' akan menjadi sesuatu yang terkesan misterius. Bukan dari 'luar', melainkan dari 'dalam' masing-masing.
Lima menit telah berlalu dengan percakapan yang sangat melelahkan. Sepertinya sudah saatnya menanyakan inti dari semua ini.
"Langsung saja ke intinya. Bagaimana dengan konflik kelas yang kau singgung tadi?"
Aku segera menanyakan itu selang jeda beberapa detik dari pembicaraan kami sebelumnya.
"...."
Pada tahap ini, sepertinya dia bersikap seperti pura-pura tidak mendengar, namun terus menatapku dengan sangat tidak nyaman. Begitu menunggu beberapa detik tidak merespon, aku segera menambahkan beberapa kalimat.
" ... Karena sudah sejauh ini, kau tidak akan mengatakan bahwa kau lupa atau sejenisnya, kan?" tanyaku, memblokir kebohongannya.
"Tentu saja aku tidak lupa. Aku hanya ingin melihat seberapa besar antusiasmu terhadap masalah ini," jawabnya.
"Kalau kau sudah menganalisanya dari awal seharusnya kau sudah cukup mengerti, kan," kataku.
"Kalau aku merasa tidak ingin membahasnya sekarang, apa yang akan kau lakukan?"
Seolah mengatakan itu dengan sengaja, Sherly terus melihatku dengan tatapan liciknya. Karena selama ini aku terus menahan diri, dia mungkin telah melihat celah kelemahanku di situ. Membuatku kecewa dengan perkataannya? ... Sayangnya cara seperti itu tidak akan efektif kepadaku. Untuk sekarang kupikir aku akan sedikit menanggapi permainannya, meskipun ini akan menjadi sesuatu yang tidak ingin kuingat.
"Bagaimana ya... jujur saja kau sudah membuatku penasaran karena sudah sampai sejauh ini untuk berbicara denganmu. Sepertinya kau cukup meremehkanku sebagai seorang laki-laki," kataku, dengan perlahan bediri.
"Itu... kau tahu, hanya memastikan saja, apa yang akan kau lakukan?"
Dia kembali menanyakan itu dengan ekpresi yang tak berubah, namun sikapnya sudah agak mirip seperti perempuan biasa. Tepat seperti dugaanku, dia adalah tipe orang yang bermain secara mental. Walapun umumnya itu tidak akan terlihat, tapi secara implisit itu dapat terlihat oleh lawan bicaranya jika memperhatikan perubahan itu secara intens.
"Bukankah kau itu siswi yang cukup jenius. Bisakah kau memikirkan apa yang lebih buruk dari sikap seorang laki-laki jika mendapatkan perlakuan keji dari perempuan yang suka bermain dari belakang?" ujarku.
Meskipun ini hanyalah akting, entah mengapa perasaanku cukup dalam saat menghayati tokoh antagonis yang sedang ku perankan ini. Ketika melihat Sherly yang tak berkutik, aku semakin merasa bahwa ini bisa melewati batas jika sampai keterusan.
"Kau tidak akan melakukan apapun dengan cara keji seperti laki-laki lainnya, kan," kata Sherly.
Bukannya menyerah, dia justru sengaja menuangkan bensin kedalam kobaran api. Awalnya aku berniat untuk sedikit mengancamnya karena merasa dia cukup menyebalkan. Tapi karena sejauh ini dia masih bertahan, dengan terpaksa aku akan sedikit serius memainkan peran ini.
"Kenapa kau begitu percaya diri sekali? ... Bagaimanapun juga aku adalah manusia yang bisa membuat keputusan sendiri. Apapun yang akan ku lakukan, itu akan menjadi kebebasanku. Atau mungkin... kau berpikir jika aku tidak sanggup melakukannya? ... Kalau seperti itu, bukankah analisamu kepadaku juga akan jadi meragukan," lanjut kataku.
"Hn... aktingmu itu boleh juga."
Setelah mendengar perkataanku yang sepertinya agak terasa mengintimidasi, Sherly tertawa kecil, lalu memujiku.
"Apa sekarang kau puas? Sampai kapan kau akan menguji kesabaranku?" tanyaku, dengan segera kembali duduk sambil bernafas lega.
"Sampai kita bertemu lagi."
"Kalau begitu aku berharap kita tidak bertemu lagi."
"Bukankah itu agak kejam?"
"Kau tidak bisa membodohiku, si jenius."
"Bukankah itu berlaku untukmu juga? Kenapa si jenius ini merendah?"
"Kalau kau melihatnya seperti itu, maaf mengecewakanmu. Aku hanyalah bagian dari entitas murid yang memiliki kemampuan standar," kataku.
"Standar, ya... maaf, sampai kapanpun sepertinya aku tidak akan bisa melihatnya seperti itu. Sayang sekali ya," katanya.
Seperti yang kupikirkan, dia adalah siswi yang sangat merepotkan. Aku bertanya-tanya, apakah seluruh murid yang memiliki kejeniusan sampai bisa menilai secara detail seseorang dari dalam memang begitu menyebalkan seperti ini?
"Terserah kau saja," kataku.
"Karena kau sudah bersedia menemani perempuan yang bagimu sangat merepotkan ini, sepertinya aku bisa memberikan hadiah informasi itu sekarang."
Mengesampingkan sikap menyebalkannya ini, sepertinya dia memang telah membaca isi pikiranku sampai tahap dimana dia telah merencanakan akan memberikan informasi dengan cara berbelit-belit. Sekali lagi... aku merasa ingin melumatkannya.
***
Jika menyangkut sebuah pertanyaan, ada hubungan apa sebenarnya antara Bu Milan dengan ayahnya Mirza, sampai saat ini beliau berusaha menutup-nutupi karena sepertinya itu menyangkut masalah pribadi mereka.
Yah, lagipula apapun yang jadi masalah di antara mereka, itu bukanlah urusanku. Hal yang menjadi tujuanku sebelumnya adalah mengakhiri kebohongan 'luar' Mirza, sekaligus mencari tahu rencana di balik tindakannya. Tapi, sampai tahap ini sepertinya masih sulit untuk mengamati informasi di balik tindakannya.
Kepura-puraannya bersikap arogan, serta tujuannya yang absurd, tentu saja semua itu hanyalah sekedar lapisan kebohongan diatas kebohongan lain. Dan... tidak lain semua itu dilakukan untuk menutupi rencananya.
"Seperti dugaanmu tadi, kelasku juga memiliki masalah konflik kelas," kata Sherly.
"Perkelahian antar kelompok laki-laki ... kau mengerti maksudku, kan," lanjut katanya.
"Itu berarti... di kelasmu anak laki-laki saling berkelahi? Bagaimana kronologinya?" tanyaku.
"Sederhananya, itu seperti fenomena jika salah satu anak yang memiliki karisma tinggi di kelompoknya, bentrok dengan orang sejenis dirinya yang juga memiliki pengaruh atas kelompoknya sendiri ... menurutmu apa yang akan terjadi?"
"Mereka saling berebut kedudukan dan masing-masing dari mereka akan mendukung perwakilan yang berasal dari golongannya sendiri, begitu?"
"Tepat sekali, " kata Sherly, puas mendengar tanggapanku.
Jika apa yang dikatakan Sherly ini benar, maka kondisi kelasnya jauh lebih buruk dari kelas kami.
" ... Tapi kondisi itu sepertinya sudah berlalu hari ini," lanjut kata Sherly.
"Maksudmu semuanya telah usai?"
"Seperti dilanda badai yang tiba-tiba muncul dan pergi, sudah pasti kelas kami mendapat kerusakan setelahnya."
"Dan kerusakan itu...."
"Siswa yang 'menyatakan ingin memisahkan diri' dari kelas."
Pada saat yang sama... aku akhirnya menyadari sebuah hipotesis yang tidak pernah terpikirkan sama sekali sebelum mendengar fakta ini. Tidak salah lagi... bahwa semua ini adalah kudeta.
Apa yang terjadi didalam maupun di luar kelas-kelas lain adalah bentuk dari upaya itu sendiri. Seharusnya jika ada seseorang yang memiliki teman dari kelas lain, tentunya jika pengamatannya jeli, orang tersebut pasti akan lebih dulu menyadari bentuk keanehan ini. Tapi, karena sampai sekarang tidak ada yang menyadari hal itu atau memang mengira jika itu sebuah kebetulan, aksi kekacauan mereka bisa berjalan mulus diluar pengawasan pihak sekolah.
"Ini sudah dimulai."
"Sepertinya begitu," kataku.
"Ngomong-ngomong aku adalah tipe orang yang suka 'menonton semuanya dari tempat tinggi'. Jadi bagaimana denganmu?"
"Sayangnya, aku adalah tipe orang yang 'sangat protektif dengan kebebasan'. Jika ada hal yang mengganggu 'ruang pribadiku', aku akan menggunakan segala cara untuk melindunginya ... bahkan jika harus terlibat kedalam badai yang semakin besar ini," kataku.
"Apa itu termasuk kelas yang akan kau lindungi?"
"Itu tergantung dari apa yang mungkin menjadi kerusakannya," jawabku.
Dari awal tujuanku memang untuk melindungi 'ruang pribadiku' sendiri! Wajar saja jika semua yang kulakukan hanya tertuju pada satu arah, menghentikan kekacauan yang semakin hari semakin menggangguku. Justru jika membicarakan hal yang tidak wajar, sekilas aku mengingat segala usaha yang telah dilakukan Amelia hingga mengorbankan dirinya menjadi ketua demi kelas yang seperti sekarang. Walaupun itu adalah hal yang patut dipuji, itu juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang naif, karena tidak melihat resiko lebih mendalam yang akan didapat ketika dirinya terlalu jauh melangkah. Seharusnya dia tidak perlu menekan dirinya menjadi ketua kelas yang sempurna. Mengingat apa yang sudah terjadi selama ini, sepertinya mentalnya pasti juga tidak akan siap mengadapi kekacauan yang mendadak akan terjadi setelah fase ini.
Ketika kami masih berada ditengah suasana serius bertukar pikiran, seseorang yang tak diduga menyela masuk obrolan kami, mendadak muncul di belakangku.
"Rafa?"
Seorang siswi yang sebelumnya memperhatikan meja kami di kelas, dia adalah Cika. Mengingat bahwa saat ini aku sedang bersama dengan siswi jenius selain dirinya, entah mengapa atmosfer di sini menjadi agak berat ketika mata mereka saling bertemu.
Sepertinya Cika tidak memandangnya dengan tatapan permusuhan, namun ekpresinya seolah bertanya-tanya 'siapa perempuan yang duduk di depanku ini'. Mengingat jika saat ini Cika masih memiliki keterbatasan dalam berinteraksi, aku segera mengambil alih pembicaraan.
"Dia temanku Sherly dari kelas IPA," kataku.
"Huh... padahal tadi aku ingin sedikit menjahilinya," kata Sherly, menghala nafas, tampak kecewa.
"Justru karena sikapmu yang seperti itulah yang harus ku hindari," kataku.
"Hei, bukankah kau berpikir jika dia ini membosankan?"
Kali ini, dia mengganti objek bicaranya langsung kepada Cika yang bahkan belum memperkenalkan diri satu sama lain. Sepertinya perempuan ini memang punya hobi ingin menjatuhkanku kedalam permainannya.
"Hm... bagaimana ya, aku tidak akan menyangkalnya karena memang terkesan seperti itu, setidaknya dari penilaianku, dia yang seperti itu tidak terlihat buruk," kata Cika, tampak begitu polos saat menjelaskannya.
"Maaf menyela, sebaiknya kau tidak perlu menjunjung nilai diriku didepannya," kataku kepada Cika.
"Aku hanya berkata jujur apa adanya, apa itu salah?" kata Cika, membuat mimik wajah heran.
Percuma! Dalam kondisi seperti ini dia akan berkata terus terang setiap kali diberikan pertanyaan subjektif. Sepertinya, ini adalah situasi dimana aku akan terintimidasi oleh ekstensi kedua siswi jenius ini.
"Sepertinya kalian cukup akrab. Apa kalian satu kelas?" tanya Sherly.
"Begitulah, ketika aku melihatnya pagi ini," jawab Cika, menoleh ke arahku dengan maksud menyindir.
Karena enggan melihat ekpresinya saat ini, entah mengapa itu membuatku agak merinding hanya dengan merasakan auranya di belakang.
"Sepertinya dia sengaja mengelabuimu. Apa itu karena dia sedang tidak ingin bertemu denganmu?"
Dengan sengaja, Sherly mengajukan pertanyaan yang terdengar cukup memprovokasi. Disisi lain merinding, aku juga sedikit penasaran bagaimana respon Cika setelah mendengarnya?
"Kurasa itu... tidak mungkin, benarkan, Rafa?"
Menjawabnya dengan melontarkan respon itu kepadaku, sepertinya aku bisa merasakan kekhawatiran kuat dari beberapa kalimat yang keluar dari mulutnya.
"Kupikir begitu," kataku.
"Sepertinya kau orang yang cukup menarik. Siapa namamu?" tanya Sherly.
Yah, kupikir seperti inilah cara Sherly mendekatkan diri dengan orang lain. Lewat interaksi jahilnya, apapun bisa dia lakukan.
Jika itu adalah siswi koleris yang waktu itu, sudah pasti pendekatan seperti ini akan menjadi kesalahpahaman yang dapat memicu konflik sebelum mereka berkenalan.
"Aku Cika."
Bahkan setelah mendengar namanya, ekspresi Sherly tidak berubah sedikitpun.
"Begitu ya.... Aku Sherly, dari kelas sepuluh IPA," kata Sherly, memperkenalkan diri.
Setelah perkenalan ini berakhir, Sherly meninggalkan kami terlebih dahulu dengan alasan sudah waktunya dia kembali. Kupikir juga begitu, karena sekarang aku bisa melihat langit yang sudah berwarna jingga.
"Rafa."
Panggilnya yang tiba-tiba, saat kami dalam perjalanan kembali menuju asrama.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kenapa kau tidak berkata apapun tentang... kita berada di kelas yang sama?"
"Memangnya itu perlu? Meskipun nantinya kau tahu, bukan berarti kita akan mengobrol satu sama lain di kelas, kan."
"Itu... benar, tapi...."
"Selain itu bukannya sekarang kau sudah memiliki cukup banyak teman? Di kelas tadi aku melihatmu ada banyak anak perempuan yang datang ke mejamu. Bukankah sekarang kondisimu sudah lebih baik dari sebelumnya? yang selalu sendirian. Kau sudah berjuang keras untuk mendapatkan teman ... dan aku mungkin adalah orang yang pertama kali tahu perjuanganmu di sekolah ini. Sekarang kau tidak perlu bergantung lagi kepadaku jika ingin mengobrol dengan seseorang, kan. Tergantung waktu, kau juga akan leluasa bisa berinteraksi lebih jauh dengan mereka."
"Jadi... sekarang kau menyuruhku untuk mengabaikanmu?"
" ... Jangan melihatku seperti itu. Kondisiku berbeda jauh denganmu. Sejak awal aku memang orang yang selalu sendirian. Bisa diibaratkan, aku seperti 'orang yang tak terlihat', meskipun sekarang kau masih bisa melihatku, suatu saat nanti ... mungkin saja kau sudah tidak akan lagi bisa melihatku. Berbeda denganmu, kau adalah 'orang yang tertimbun'. Jika suatu saat kau bisa keluar dari situ, maka kebebasannu akan kembali seutuhnya dalam dirimu. 'Bukankah sekarang aku jadi bisa melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa ku lakukan?' mungkin itulah yang akan langsung terpikirkan olehmu setelah 'bebas'. Benar begitu kan?"
" ... Jadi, waktu itu kau bersedia berteman denganku hanya sekedar membantuku?"
"Jika harus mengatakan yang sejujurnya, waktu itu aku juga membutuhkan sesuatu darimu. Aku hanya memikirkan tentang kesepakatan dan bagaimana kita bisa saling menguntungkan. Bukankah waktu itu aku sangat berhutang budi kepadamu? Bagiku, membantumu 'keluar dari sangkar' itu bukan masalah," kataku.
"Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"
"Karena aku tidak ingin... uh...."
Ketika hendak melanjutkan perkataanku yang seolah sudah terdengar seperti tokoh antagonis, mendadak mulutku terhenti, separuh kata-kata itu tersendat di tenggorokanku, tidak membiarkanku mengungkapkan semua isi kepalaku kepadanya. Disaat yang sama, aku... disadarkan kembali jika hampir semua yang kulakukan ketika berinteraksi dengan orang lain hanyalah akting. Peranku sebagai seseorang yang bernama Rafa, hanyalah peran yang kumainkan agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah saat ini.
Kupikir tadinya Cika akan kecewa setelah mendengar perkataanku yang begitu ironis. Tapi dengan cepat aku sadar, bahwa jika Cika bukanlah perempuan seperti yang lain, yang akan mundur setelah mengetahui kebenaran. Dia memiliki keunikan tersendiri, serta pemikiran idealisme yang cenderung kuat seiring dengan kesadaran dirinya.
"Jujur, jika waktu itu aku tidak bertemu denganmu, aku pasti masih merasa trauma sampai saat ini. Tapi... bukannya sekarang aku bisa seperti ini juga karena bantuanmu?" kata Cika, berbalik menujukkan ekpresinya, tersenyum lembut, memperlihatkan bola matanya yang bersinar bagaikan kilauan cahaya.
"Mungkin sekarang aku memang belum bisa memahami sosok sebenarnya darimu. Tapi setidaknya, aku ingin kau selalu mempercayaiku, walau sesulit apapun itu."
"Akan kuingatkan sekali lagi. Kau mungkin tidak akan mendapatkan hasil apapun meski aku telah mempercayaimu."
"Hn, aku sangat paham kok. Karena tidak mendapatkan apapunlah yang membuatku tertarik mengikutimu."
Sampai saat ini, detik ini, waktu yang terus berjalan ini, aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya dia harapkan dariku. Meskipun dia telah mencapai 'jalan untuk menelapak di skenarionya' sendiri, dia justru malah lebih memilih untuk mengikutiku yang dilihat dari segi manapun tidak ada keuntungan bagi-nya.
Tidak seperti manusia yang layaknya memiliki tingkah laku seiras dengan pemikirannya, Cika adalah spesies di luar pemahamanku yang tidak memiliki keseirasan itu, juga tidak dapat di tebak pemikirannya secara objektif. Tapi bagaimanapun juga, dari lubuk hatiku yang terdalam, aku semakin merasa bersalah ... karena dalam skenario ini, aku akan cenderung memliki lebih banyak kesempatan untuk menggunakannya di berbagai situasi.
***
Pada malam hari, seperti biasa aku menghabiskan waktu-ku dengan membaca novel sebelum beranjak ke hari selanjutnya. Namun, kali ini aku melakukannya di balkon... karena di sini tidak ada tempat duduk, aku membacanya sambil berdiri, bersender didekat pagar besi.
" ... Huh... entah apapun yang dilakukannya, pada dasarnya manusia itu memang egois," gumamku.
Novel yang ku baca di tanganku adalah cerita mengenai 'seseorang yang mencoba mengembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Tapi ironisnya, tanpa sadar dia telah memanipulasi orang-orang di dekatnya dan bahkan sampai membuat konflik berkelanjutan. Alhasil, dia mampu mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun disisi lain, dia juga kehilangan apa yang sebelumnya dimiliki selama proses itu'. Saat menyadari bahwa semua yang dilakukannya itu hanya untuk memenuhi rasa egonya, seketika dirinya diliputi oleh rasa bersalah dan menyesal.
"Aku penasaran... sebenarnya hati manusia itu terbuat dari apa?" pikirku, merenunginya.
Saat aku merasa akan hanyut dalam kesunyian di malam hari ini, suara pintu geser terdengar dari arah sampingku. Bau harum yang tiba-tiba mengusik hidungku, sontak membuatku kehilangan konsentrasi saat akan tenggelam kedalam dunia imajinasi.
"Apa yang kau baca?"
Tak lama setelahnya, suara seorang perempuan terdengar. Saat membuka kedua mataku, tanpa menoleh aku sudah tahu siapa yang bertanya itu.
"Bukan sesuatu yang menarik untuk dibahas," jawabku, dengan segera menutup novel yang barusan ku baca.
"Justru itu membuatku penasaran," katanya.
Tidak lain dia adalah Cika. Karena sepertinya dia sengaja datang ke balkon, kupikir setelah ini dia mungkin akan menanyakan sesuatu yang terkait dengan masalah Mirza atau juga keberadaanku di kelas. Bagaimanapun juga, itu adalah sesuatu yang tak bisa ku hindari sekarang.
" ... Kalau kau masih memikirkan yang tadi aku minta maaf," kataku.
"Apa maksudmu?! yang tadi apa?"
Seolah menyangkal perkataanku yang sedikit menyinggungnya, dia menunjukkan respon panik.
Karena tak dapat menjelaskannya dengan kata-kata, aku menoleh dan terus menatap matanya hingga dia mengerti maksudku... tidak. Seharusnya dia memang mengerti, tapi dia bersikeras menyembunyikannya.
"Baiklah, aku akan berhenti memikirkannya ... tolong jangan menatapku seperti itu," kata Cika, memalingkan wajahnya ketika memohon.
Ini hanya spekulasiku... tapi, dari perspektifnya mungkin aku terlihat seperti seseorang yang sedang mengintimidasinya. Aku sama sekali tidak menganggap itu kejam karena aku sendiri sama sekali tidak bermaksud melakukannya. Hanya saja, kupikir 'menjelaskan dengan sikap lebih mudah daripada kata-kata'.
"Rafa, mengenai kelas, apa kau masih ... itu, memikirkannya? ... bukan. Maksudku, memperbaikinya?"
"Tidak, aku sama sekali tidak bermaksud memperbaiki apapun. Aku hanya ingin melihat hasil saat ini sebelum beralih ke tahap selanjutnya."
"Eh, bukankah sebelumnya kau mengatakan akan melakukan sesuatu untuk kelas? Kau bahkan mendorongku agar mencolok di kelas. Bisakah kau menjelaskannya?"
"Itu hanya langkah pertama, membuat sandiwara. Setelah kau melakukan sesuatu yang mencolok di kelas, orang-orang seperti Amelia dan kelompoknya pastinya akan langsung berinteraksi denganmu. Karena awalnya kau adalah keberadaan yang tak dapat dilihat orang lain sebelum kau sendiri yang mau memperlihatkannya, mereka mungkin dikejutkan dengan itu."
"Ya. Seperti yang kau katakan, Amelia menawarkanku posisi penting di kelas."
"Kau menerimanya?"
"Tidak. Aku menolaknya."
"Kalau begitu baguslah."
"Bagus?"
"Jika kau menerimanya sekarang, akan sulit bagiku untuk meminta bantuanmu setelahnya."
"Kau ini ya...."
"Lagipula peran yang ku berikan padamu itu hanya sebagai umpan."
"Walau sudah terbiasa dengan cara bicaramu itu, tetap saja aku merasa ingin sekali memukulmu. Biarkan aku memukulmu!"
"Itu tidak buruk. Kupikir aku memang pantas mendapatkannya."
"Aku bercanda. Lanjutkan," kata Cika, dengan acuh.
"Sebenarnya tujuan utama dari peranmu itu adalah mengalihkan objek, sekaligus menarik perhatian mereka," kataku.
"Mengalihkan objek?"
"Kau pasti menyadarinya kan, jika di kelas, Mirza dan kelompoknya seperti sengaja melakukan tindakan kenakalan."
"Tentu saja kebanyakan murid juga akan menyadari itu."
"Yah, ironisnya itu semua dilakukan untuk melemahkan Amelia."
"Jadi mereka sengaja menjadikan Amelia sebagai objek mereka?"
"Kelihatannya begitu. Dari apa yang bisa dilihat, mereka lebih condong menyerang mentalnya, karena itu lebih mudah dan sederhana."
"Begitu ya. Apa tidak ada hal lain untuk menghentikan mereka?"
"Dalam hal ini kita tidak bisa melakukan apapun. Amelia hanya bisa bersabar ... itulah satu-satunya cara menghadapi gangguan mereka. Jika orang luar ikut campur dengan permasalahannya, situasinya akan menjadi lebih buruk. Karena itu menyangkut masalah batinnya, hanya dirinya sendiri yang mampu mengatasinya."
"Tapi sampai kapan?!"
Setelah mendengar perkataanku, sontak Cika langsung menyela dengan intonasi sedikit tegas. Ekpresinya menujukkan kebingungan, dan perasaan gelisah seolah menyelimutinya.
"Begini... Rafa. Saat Amelia datang kepadaku dan menawarkanku agar menempati kedudukan penting di kelas, ketika melihat matanya dia seperti mengatakan 'ku mohon ikuti lah aku' atau lebih seperti ke 'permintaannya' secara pribadi. 'Di luarnya' kau tahu kan bagaimana sikap Amelia? ... Itulah yang membuatku bingung. Dia seperti 'meminta bantuan', tapi tidak bisa mengatakannya secara langsung. Aku rasa itu ada kaitannya dengan posisinya di kelas," kata Cika.
"Tepat sekali. Memang begitulah dirinya," kataku.
"Apa maksudmu?"
"Sebagai seorang pemimpin, wajar jika dia merasa harus memberikan contoh kepada bawahannya. Kemungkinan besar yang telah dialaminya adalah dia mencoba bersikap tegas, walau sebenarnya merasa tersakiti. Dia terpaksa harus bangkit, walau sebenarnya merasa lelah. Kau pasti tahu kan seberapa besar tanggung jawab seorang pemimpin itu. Yah... kupikir karena dia telah mengatakan impiannya yang cukup berlebihan itu makanya dia menjadi seperti sekarang. Dia terlalu fanatik hingga terburu-buru ingin menjadi sosok pemimpin yang sempurna."
"Jika itu diteruskan maka..."
"Itulah letak dari kesalahannya."
"Eh...."
"Dia seharusnya belajar bagaimana harus mengandalkan orang lain ... walaupun merasa tidak benar-benar ingin melakukannya."
Lalu, beberapa saat kemudian, setelah kami selesai membicarakan topik mengenai permasalahan Amelia, selanjutnya kami menyusun rencana sebagai persiapan 'apa yang akan terjadi besok', sekaligus berbagi informasi yang belum tersampaikan dari sebelum-sebelumnya
***
Pagi hari ini aku berangkat lebih awal. Jika ada yang bertanya mengapa jam terbang ku ke sekolah hari ini ku percepat... hanya satu alasan untuk menjelaskannya.
"Kenapa harus aku?" tanyaku, dengan intonasi mengeluh ketika melihat buku-ku di atas meja yang dikerubungi oleh duo pemalas dari sirkelnya Doni.
"Tidak apa-apa, kan. Bukannya kita ini teman?" kata Retno, si pencair suasana di kelompoknya, begitu kata mereka.
Menyontek dengan dalih berteman... itu sungguh cara yang klasik. Bagaimanapun juga, sekarang nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mencegahnya menyontek dalam situasi ini. Adakalanya sistem pertemanan itu menjadi efisien dan tidak efisien. Contohnya seperti saat ini... ini adalah bentuk dari ketidakefisien itu.
"Terimakasih ya, sudah mau membantu kami," kata Gilang, salah satu siswa berbadan besar di kelas yang juga ikut berbaur di sirkelnya Doni.
"Tidak masalah. Tapi lain kali sebaiknya kalian lebih memperhatikan tugas yang diberikan guru. Itu semua juga untuk kalian sendiri kan," kataku.
"Kau ini sudah seperti murid teladan saja. Jangan lupa kalau kita sebagai anak muda juga harus mempunyai kesenangan sendiri," kata Retno.
"Seperti hobi?" sahutku.
"Yah... kurang lebih seperti itu. Ngomong-ngomong apa yang biasanya kau lakukan?" lanjut tanya Retno.
"Membaca novel."
"Yang lain?"
"Belajar."
"Bukankah belajar itu kewajiban?" sahut Gilang.
"Disisi lain hobi, juga kewajiban" jawabku.
Mendengar perkataanku, ekpresi keduanya terlihat bingung. Kupikir itu wajar karena mereka pasti lebih cenderung menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.
Setelah aksi menyontek mereka selesai, keduanya langsung kembali ke tempat duduk masing-masing sebelum lonceng berbunyi.
"Sepertinya kau sudah akrab berbaur dengan mereka," kata Fito, sepertinya sempat melihat keduanya berbicara denganku.
"Hanya kebetulan," kataku.
"Huh... andai saja aku bisa seberuntung dirimu yang mendadak mendapat teman," kata Fito, mengeluh, lalu membenamkan wajahnya.
Disaat yang sama, ketika menoleh ke kanan, aku baru sadar jika Cika dari tadi terus melihatku dari kejauhan. Hanya untuk memastikan, dengan segera aku mengeluarkan ponselku dan membuka aplikasi chat, lalu menuju kontaknya. Kemudian aku mengirimkannya pesan...
"Apa kau masih ragu melakukannya lagi?"
Setelah menunggu beberapa detik, pesan itu sudah memiliki tanda baca, lalu diatas muncul keterangan 'sedang mengetik'. Tak lama kemudian, muncul sebuah pesan yang baru dikirimnya.
"Sejujurnya begitu. Aku merasa tidak bisa melakukannya lebih baik dari kemarin," katanya.
Karena sepertinya lonceng masuk akan berbunyi sebentar lagi, aku meresponnya dengan mengetik cepat, lalu segera mengirimkannya...
"Lakukan saja sesuai kemampuanmu. Aku tidak akan menyuruhmu melakukannya dengan sempurna. Selama itu bisa membuatmu menjadi pusat perhatian, maka itu sudah cukup."
Tanpa mempedulikan balasan seperti apa yang akan dia kirimkan, buru-buru aku memasukkan ponselku kembali kedalam saku. Lonceng tanda masuk seketika berbunyi.
***
—Cika
Setelah membalas pesannya dengan emot 'menyebalkan', lonceng tanda masuk berbunyi.
Mengingat bahwa hari ini ada mapel matematika, tidak heran jika dia akan memasukkan bagian ini kedalam rencananya.
Kupikir hari ini aku memiliki peran yang lebih besar daripada kemarin ... dari lubuk hatiku, tentu saja aku merasa sangat gugup. Jika diingat kembali, aku memang sudah terbiasa melakukan sesuatu yang menurut murid lain tidak wajar saat SMP. Tapi, entah mengapa rasa gugup ini baru terasa hebat ketika dihadapkan oleh fakta, bahwa kemampuanku ternyata dibutuhkan oleh orang lain.
"Cika? Apa kau baik-baik saja?"
"Ya... tentu saja, memangnya kenapa?"
"Keringatmu..., padahal ini masih pagi. Apa kau tadi berlari terburu-buru? "
"Ya... begitulah."
Bagaimanapun juga aku tidak bisa mengatakan bahwa sekarang, aku dalam kondisi dilanda kepanikan.
"Huh... tenanglah diriku," gumamku, lalu menepuk kedua pipi secara bersamaan.
Yah... aku hanya akan melakukannya seperti dulu. Panik hanya akan membuatku kehilangan konsentrasi. Mungkin kedengarannya agak aneh, tapi kupikir rasa panik ini sudah lama tidak ku rasakan... atau memang dulunya aku tidak pernah mengalaminya. Karena itulah... ini menjadi hal baru untukku. Rasa panik ini, maupun ketegangan secara mental yang saat ini kurasakan... aku akan melaluinya, demi memenuhi peran ini!
Tak lama kemudian, guru mapel matematika, Bu Alina masuk ke kelas kami. Sebelum mengawali pelajaran, beliau dengan sikap diam menaruh buku tebalnya di atas meja terlebih dahulu. Sesaat melirik ke arah kami, seolah mencurigai sesuatu... tidak menemukan adanya kegaduhan, lantas beliau berbicara setelahnya.
"Sepertinya di sini juga sama," kata beliau, terdengar seperti sedang berbicara sendiri.
Kemudian, beliau mengambil remote dari sakunya dan segera menghidupkan layar papan belajar.
"Buka buku kalian," kata beliau, sementara juga membuka aplikasi matematika di layar papan belajar.
Para murid segera mengeluarkan buku tulis, serta buku pelajarannya masing-masing. Disaat itu, sesuatu yang terlintas dalam bidang pengelihatanku ketika menoleh ke belakang, Mirza sepertinya tidur dengan membenamkan wajahnya, sementara kedua temannya diam-diam bergaduh sendiri disaat Bu Alina tidak memperhatikan murid. Karena beliau telah menyadarinya, kupikir inilah yang menjadi alasan mengapa beliau sempat menggumamkan hal tadi ketika melihat seisi kelas.
Seperti yang hampir kami semua ketahui, Bu Alina juga merupakan guru yang cukup tegas. Namun beliau tidak setegas seperti Bu eko, guru geografi. Faktanya, beliau mengajar dengan suara lantang, meskipun ekpresinya yang mirip seseorang membuatnya sulit dimengerti. Dari cara beliau mengajar, seolah beliau hanya mengutamakan tugas dan perannya saja sebagai pengajar. Tidak seperti wali kelas kami Bu Milan, beliau seperti tipe guru yang tidak akan menggunakan empati ketika sedang mengajar. Karena itu, apapun yang disampaikan, beliau tidak akan mengulanginya kembali. Kalaupun ada murid yang ingin bertanya sesuatu, aku yakin beliau bukanlah orang yang tepat untuk ditanyai. Sayangnya, sampai sekarang belum ada satupun anak yang berani melakukannya. Bahkan Amelia sendiri yang menjadi sosok ketua kelas kami paling berani, tidak pernah sekalipun berinisiatif bertanya ketika beliau sedang menjelaskan pelajaran. Disisi lain, beliau sendiri juga tidak pernah memberikan pertanyaan kepada murid. Inilah yang membuat suasana kelas menjadi sangat canggung ketika masuk jam pelajaran beliau.
" ... Memangnya aku bisa melakukannya?!" pikirku dengan panik.
Bagaimanapun juga, sejujurnya aku tidak mempunyai keberanian untuk memulai inisiatif. Meskipun aku mungkin akan mencoba untuk bertanya, ini akan terlihat seperti upaya bunuh diri.
"Rafa bodoh...!" aku bertanya-tanya, mengapa aku yang melakukan ini? ... Memang benar jika aku berinisiatif ingin membantu rencananya setelah melihat usahanya melakukan semua sendiri sejauh ini... tapi... bukankah bagianku ini terlalu sulit? Bahkan rasanya sudah seperti mustahil!
Beberapa saat kemudian, ketika jam pelajaran matematika sudah berjalan selama hampir setengah jam, terdengar suara gaduh dari barisan belakang. Bisa ditebak, sumbernya tidak lain pasti dari kelompoknya Mirza. Awalnya Bu Alina terlihat seperti membiarkannya. Namun....
"Bu! Bolehkah aku bertanya?"
Seseorang yang mengatakan itu dengan jelas bukanlah Amelia maupun murid teladan lain di kelas, melainkan Mirza. Apa yang akan dilakukannya lagi kali ini?
Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Mirza, ekpresi beberapa murid seketika berubah drastis, suram. Begitu juga dengan Amelia yang terlihat sangat amat membenci suara laki-laki itu.
" ... Kalau tidak salah namamu Mirza, kan? Bagian mana yang ingin kau tanyakan?"
Ini sungguh mengejutkan mendengar Bu Alina merespon ajuan pertanyaan dari Mirza. Seharusnya beliau telah menduga bahwa pernyataannya tidak pernah sekalipun serius.
"Pertanyaanku sangat sederhana... Bisakah ibu mengulang apa yang dibahas saat ini?"
Perkataan itu sungguh jelas dan seharusnya terdengar oleh beliau. Bahkan, ada sedikit respon dari Amelia yang sepertinya tidak bisa menahan kekesalannya dan hendak naik pitam. Tapi dengan sigap, Sifa langsung berusaha menenangkannya. Entah apa yang akan direspon Bu Alina, kelihatannya ini akan menjadi sesuatu yang buruk bagi kelas kami. Meskipun seharusnya pertanyaan tersebut bisa jadi hal yang wajar ditanyakan oleh seorang murid, tapi sikap Mirza yang dari intonasinya saja terdengar seperti meremehkan, itu seketika menjadi hal yang mengganggu. Sikapnya, bahkan sopan santun, dari awal dia sama sekali tidak berniat merubahnya.
"Hmp... kalau begitu, di antara kalian apa ada yang bersedia menjelaskan pelajaran yang saya sampaikan tadi?"
Memberikan penawaran itu seolah memaksa seluruh murid ikut terlibat, sepertinya inilah cara Bu Alina menghadapi murid seperti Mirza. Huh... tunggu. Jika dipikirkan kembali, alasan mengapa dari awal beliau tidak melakukannya... mungkin beliau sudah memprediksi jika ditengah pelajarannya pasti akan ada murid yang bosan karena dipaksa terus mendengarkan. Jika benar seperti itu, cara beliau terkesan agak kejam, dan juga cukup agresif hanya demi mempertahankan alur pembelajaran kelas.
Seketika itu, seluruh murid terlihat begitu tegang setelah beliau memberikan ajuan. Bahkan Amelia juga terlihat seperti tenggelam didasar laut dan terus membenamkan wajahnya ke bawah. Mungkin karena sudah tak dapat menangani keberadaan sosok laki-laki bernama Mirza di kelas, itulah yang membuatnya sangat depresi.
Kemarin malam, ketika sedang berbicara dengan Rafa, laki-laki itu berkata jika tidak ada cara untuk menghentikan Mirza memanfaatkan Amelia yang sudah terikat kuat dengan kelas. Kupikir ini cukup ironis. Seseorang seperti Amelia yang seharusnya memegang peran sebagai pemimpin kelas harus dimanfaatkan Mirza secara tidak langsung untuk mencapai tujuannya. Alhasil... seperti yang dialaminya sekarang, Amelia terus menerima tekanan yang dirasakan seluruh kelas. Karena posisinya, dia pasti akan berpikir jika semua yang terjadi adalah tanggung jawabnya. Bahkan dalam hal mendisiplinkan Mirza pasti juga begitu.
[Berdiri.... ]
Itu berarti... hanya inilah kesempatan untuk membalikkan keadaan. Mungkin setelah ini apa yang terjadi tidak membawa perubahan di kelas, tapi setidaknya, ini bisa menjawab perlawananku kepada Mirza dan menyelamatkan Amelia dari situasi ini.
" ... Saya bersedia menjelaskan!" kataku usai berdiri.
Dalam sesaat, pandangan seluruh murid di kelas seketika tertuju ke arahku. Kegugupanku mungkin belum sepenuhnya teratasi, tapi... rasa kesal yang kurasakan saat ini jauh lebih besar dibandingkan rasa gugupku.
***
—Rafa
Ditengah suasana menegangkan, aku bisa mengamati hampir semua murid menjadi resah setelah mendengar perkataan Bu Alinda yang sengaja diprovokasi oleh Mirza. Alhasil, beliau meresponnya dengan cara menyeret satu kelas yang seolah bermaksud bahwa 'semua juga harus sama-sama berpikir'.
Dan... beberapa saat kemudian, seseorang yang ku tunggu akhirnya menampakkan diri. Dalam sekejap... dia langsung berdiri. Walaupun dari genggaman tangannya tampak jelas bahwa dia amat gugup, dia masih bisa berkata bahwa dirinya bersedia menjelaskan pelajaran yang tadinya disampaikan Bu Alina.
"Kalau begitu kemarilah," kata Bu Alina, dengan ketus mempersilahkan perempuan itu maju ke depan.
"Baik," ujar perempuan itu, segera maju ke depan.
Setelahnya, perempuan itu mulai menjelaskan dari awal seperti yang disampaikan oleh Bu Alina. Dalam sekejap, suasana tegang yang dirasakan seluruh murid di kelas seolah mencair ketika perempuan itu mulai ada perkembangan dalam memperjelaskan materi tadi. Awalnya, dapat terlihat bahwa dirinya juga gugup seperti murid pada umumnya, tapi... semakin lama, dia semakin cepat beradaptasi, menguasai tekanan kondisi tersebut. Meski agak kurang dibagian penyampaiannya, dia masih berupaya terus menjelaskan secara detail dengan caranya sendiri sambil mengikuti konsep mengajar Bu Alina ... seolah-olah dirinya menyalin ucapan beliau dengan cukup akurat. Jika sebelumnya ada bagian yang terasa sulit dipahami dengan cara sederhana, perempuan itu akan menjelaskan inti caranya menurut rangkaian subjektifnya sendiri dan bagaimana cara mengerjakannya agar lebih mudah dipahami dari sudut pandang murid. Beberapa kata istilah sepertinya juga dia selipkan agar memudahkan mereka yang memang hampir memahami keseluruhannya. Bagi mereka yang benar-benar melihat ini, tak dapat dipungkiri, dialah sosok perempuan jenius sebenarnya di kelas ini.
Beberapa saat kemudian, ada seorang siswi yang memberikan pertanyaan kepadanya dengan intonasi seolah sudah saling kenal. Awalnya perempuan itu sedikit kaget, tapi setelah mengatur nafasnya sejenak, dia bisa menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang sudah disampaikan. Siswi yang bertanya itu adalah Nida, bendahara di kelas kami. Setelah puas mendapatkan jawaban yang diinginkan, tak lupa Nida memberikan pujian kepadanya karena penjelasannya sangat mudah dipahami. Selang beberapa saat, dari barisan anak perempuan satu persatu mereka ikut bertanya. Begitu juga dengan barisan anak laki-laki terdepan yang akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
Dilihat dari manapun, inilah bakat alaminya. Perempuan itu memiliki kemampuan mengingat, serta menjawab berbagai pertanyaan yang seolah sudah seperti teknologi mesin pencarian saat ini. Bukan hanya sebatas pengetahuannya saja yang luas, dia bahkan masih bisa mengembangkan potensinya untuk menjadi seseorang yang lebih bersinar, sosok dari sang ahli segala bidang ilmu pengetahuan (multitalenta). Pemandangan ini... seperti yang ku harapkan, dia telah berubah 90 derajat dibandingkan saat pertamakali kami bertemu dulu.
"Sepertinya beban di punggungku sudah agak berkurang. Cika... sekarang dia akhirnya bisa mengabulkan harapan yang sulit digapainya waktu itu hanya dalam beberapa bulan," pikirku.
Disisi lain, Mirza yang telah gagal melancarkan serangannya sepertinya terlihat tidak menyukai pemandangan di sekitar perempuan itu. Meskipun dari ekpresinya tidak memperlihatkan demikian, dia tidak bisa membohongi tatapannya yang terus menerus tertuju ke arah perempuan yang sedang menjelaskan pelajaran saat ini. Sekarang dia fokus melihat perempuan itu... menatap menyelidik, seolah penasaran.
Untuk sekarang yang perlu kulakukan hanyalah menunggu hasil. Apakah Mirza akan terpancing... itu akan menjadi opsi yang lebih mudah jika bisa terjadi, dan juga hasil sempurna yang kuinginkan dari langkah ini. Sampai sejauh ini, perempuan itu sudah memberikan kemajuan besar dengan melakukan perannya sesuai ekspektasi. Sepertinya sekarang... mulai dari sinilah bagian peranku selanjutnya dimulai. Manusia memiliki hak untuk memutuskan apa yang ingin dilakukannya. Apapun keputusan yang diambil akan menentukan pilihan hidup mereka. Terkadang ada juga keputusan yang dapat melibatkan orang lain dan ada juga yang berjalan secara individu. Semuanya dapat terjadi karena manusia memiliki potensi memilih skenario dari jalur yang tak terbatas. Pada dasarnya, perkembangan mereka dipengaruhi oleh pengalaman yang mereka dapatkan selama hidup. Ibarat seperti alat, tergantung penggunaannya, ada cara 'baik' atau cara 'buruk' yang dapat digunakan.
Bagaimanapun juga, saat ini aku belum mengerti mengapa Mirza memutuskan untuk menjadikan dirinya sebagai 'bom kelas'. Yang pasti adalah, semua yang dilakukannya terkait dengan masalah individunya. Bahkan situasi permusuhan yang diciptakannya sendiri telah jelas menujukkan bahwa dia tidak peduli dengan apa yang akan terjadi dengan dirinya. Dia selalu bersikap arogan untuk menutupi ketidaknyamanannya. Kuakui bahwa dia cukup tangguh dengan mental seperti itu. Tapi... aku tidak merasa bahwa dia memang sengaja menjadi pusat perhatian. Ada sesuatu yang direncanakan olehnya... itulah yang kurasakan ketika melihat sorot matanya.
"Uh..."
Kupikir inilah yang terjadi jika aku lengah dalam menyembunyikan diriku. Di kejauhan, aku bisa melihat tatapan penuh pertanyaan dari salah seorang siswi di barisan anak perempuan.
"Sepertinya aku memang harus menjelaskannya sepulang sekolah nanti," pikirku, usai menghela nafas.
"Rafa, bukankah siswi itu... yang ada di kantin waktu itu?"
Pertanyaan demikian muncul ketika siswa yang duduk sebangku denganku, melihat tatapan yang sama secara kebetulan.
"Sepertinya begitu," kataku.
"Dia ternyata juga satu kelas ya..."
" ... Murid satu kelas saja sudah sebanyak ini, tidak perlu heran kan," kataku.
"Apa kau sudah tahu kalau dia itu sekelas?" tanya Fito.
"Tempo hari kebetulan aku melihatnya di kelas dengan beberapa temannya," jawabku.
"Begitu ya, aku justru baru melihatnya sekarang."
Setelah pembicaraan kami berakhir, Fito terlihat bersikeras berkontak mata dengan 'tatapan' siswi itu. Padahal aku sangat mengerti 'tatapan' itu sebenarnya tertuju ke 'siapa', tapi sisi baiknya, kurasa ini bisa membuatku mengurangi ketidaknyamanan. Lalu, beberapa saat kemudian siswi itu tidak kembali melihat ke arah kami karena teman di sampingnya terlihat sedang memanggilnya. Di saat yang sama, aku bisa melihat wajah kekecewaan Fito karena tidak mendapat perhatian lagi. Mungkin itulah yang dipikirkannya ... sangat absurd sekali.
***
"Huh... kenapa harus sekarang."
Sepulang dari sekolah, kupikir aku bisa segera kembali ke kamar dan bersantai sebelum hari itu tiba. Tapi... lagi-lagi sesuatu yang melelahkan sepertinya datang di saat ini juga.
"Ya ampun, apa ini akan mengganggumu kalau kita bicara sebentar di sini?"
Seorang siswi yang melontarkan pertanyaan itu kepadaku dengan tatapan, serta senyuman liciknya yang menjadi ciri khas darinya tidak lain adalah Sherly, perempuan jenius dari kelas IPA.
"Hanya untuk memastikan, apa ini terkait dengan waktu itu?" tanyaku.
"Itu juga termasuk-"
"Kalau begitu sampai jumpa."
"Apa kau tertarik dengan konflik kelas?"
Mendengar pertanyaan itu, langkahku seketika terhenti seolah dibekukan dengan kalimat 'konflik kelas' yang mana itu terkait dengan informasi yang saat ini sedang ku cari. Padahal tadinya aku sudah berhasil mengacuhkannya ... namun sekarang, aku merasa seperti harus mendengarkannya.
"Sama sekali tidak. Tapi dari caramu mengatakannya, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di kelasmu juga. Atau... kau hanya mendengar dari kabar lintas?"
"Seperti yang ku harapkan, dugaanmu memang sangat bisa diandalkan. Kita bisa membicarakan itu langsung ke intinya kalau kau mau," kata Sherly, seolah membuatku ditariknya secara tidak langsung.
" ... Baiklah. Tapi sebelum itu kita harus memikirkan tempatnya," kataku, melihat sekeliling.
Ini baru beberapa menit sejak KBM hari ini berakhir. Tentu saja akan ada banyak murid yang berkumpul di sekitar halaman, berniat mengobrol sampai petang. Disisi lain, ada juga pasangan laki-laki dan perempuan yang saling menghabiskan waktunya di sini.
"Bagaimana kalau di sana? Sepertinya di sana lebih sepi?"
Sherly menujuk ke tempat duduk yang terlihat lebih sedikit keberadaan orang. Meskipun di sana cukup sepi karena tidak ada tempat duduk lain yang saling berdekatan, bukan berati suanasa disekitarnya juga sepi. Tapi... demi mendapatkan informasi itu, sepertinya ini adalah harga yang harus ku bayar sebagai gantinya.
"Terserah," kataku, lantas mengikutinya.
Sesampainya di tempat duduk itu, kami segera duduk. Dari apa yang ku lihat di lingkungan sekolah ini, sepertinya sengaja ditaruh spot tempat duduk ini sebagai hiasan, tempat berfoto, sekaligus fasilitas yang diberikan kepada murid untuk bersantai di jam istrahat maupun setelah pulang dari sekolah. Tempat duduk ini sendiri terdiri dari empat kursi yang letaknya memutar di antara satu meja, serta terdapat payung yang selalu terbuka tinggi di tengah-tengahnya. Bahkan, dibawahnya juga disediakan tempat sampah agar murid tidak perlu repot berdiri mencarinya.
"Lingkungan sekolah ini adalah yang terbaik, bukankah kau juga berpikir begitu?" tanya Sherly, membuka obrolan dengan basa-basi, sembari pipinya disenderkan di atas tangan. Senyuman liciknya juga tak luput dari tingkah lakunya yang misterius ini.
" ... Ini adalah sekolah futuristik, tentunya lingkungan di sini akan terasa jauh lebih baik dari sekolah setingkat manapun," jawabku.
"Jika mulai membandingkannya dengan sekolah-sekolah umum, tentunya sudah pasti begitu," katanya, masih fokus memperhatikan pemandangan sekitar.
Kupikir dia akan menganggapku orang yang membosankan setelah mendengar pendapatku yang sangat biasa. Tapi sepertinya itu tidak berlaku pada siswi jenius yang duduk di depanku saat ini.
"Hmm, kita mulai dari mana ya...?"
Seolah memberi isyarat hendak memulai inti pembicaraan, Sherly mengajukan pertanyaan seperti itu.
"Huh... kenapa tidak memulainya dari apa yang benar-benar ingin kau katakan?"
Walaupun saranku ini bisa saja memancingnya mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan masalah waktu itu, kupikir itu lebih baik daripada mendiamkannya. Bagaimanapun juga tujuanku menurutinya di sini hanyalah untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan 'konflik kelas'. Dalam upaya itu, aku harus melewati proses yang akan cukup melelahkan ini.
"Memangnya kau sungguh akan menerimanya?"
Sebelum melontarkan pertanyaan itu, dia sempat tertawa kecil, menertawai saranku.
"Tergantung penilaianku," kataku.
"Kau ini memang orang yang sulit di taklukkan ya," katanya, kali ini bicaranya benar-benar melihat ke arahku.
"Setidaknya untuk menjaga diri."
"Dari apa?"
"Dari serangan tak kasat mata yang dinilai cukup efektif untuk seorang laki-laki," kataku.
Meskipun sepanjang percakapan ini mata kami saling tertuju tajam, entah 'apa yang dipikirkan satu sama lain' akan menjadi sesuatu yang terkesan misterius. Bukan dari 'luar', melainkan dari 'dalam' masing-masing.
Lima menit telah berlalu dengan percakapan yang sangat melelahkan. Sepertinya sudah saatnya menanyakan inti dari semua ini.
"Langsung saja ke intinya. Bagaimana dengan konflik kelas yang kau singgung tadi?"
Aku segera menanyakan itu selang jeda beberapa detik dari pembicaraan kami sebelumnya.
"...."
Pada tahap ini, sepertinya dia bersikap seperti pura-pura tidak mendengar, namun terus menatapku dengan sangat tidak nyaman. Begitu menunggu beberapa detik tidak merespon, aku segera menambahkan beberapa kalimat.
" ... Karena sudah sejauh ini, kau tidak akan mengatakan bahwa kau lupa atau sejenisnya, kan?" tanyaku, memblokir kebohongannya.
"Tentu saja aku tidak lupa. Aku hanya ingin melihat seberapa besar antusiasmu terhadap masalah ini," jawabnya.
"Kalau kau sudah menganalisanya dari awal seharusnya kau sudah cukup mengerti, kan," kataku.
"Kalau aku merasa tidak ingin membahasnya sekarang, apa yang akan kau lakukan?"
Seolah mengatakan itu dengan sengaja, Sherly terus melihatku dengan tatapan liciknya. Karena selama ini aku terus menahan diri, dia mungkin telah melihat celah kelemahanku di situ. Membuatku kecewa dengan perkataannya? ... Sayangnya cara seperti itu tidak akan efektif kepadaku. Untuk sekarang kupikir aku akan sedikit menanggapi permainannya, meskipun ini akan menjadi sesuatu yang tidak ingin kuingat.
"Bagaimana ya... jujur saja kau sudah membuatku penasaran karena sudah sampai sejauh ini untuk berbicara denganmu. Sepertinya kau cukup meremehkanku sebagai seorang laki-laki," kataku, dengan perlahan bediri.
"Itu... kau tahu, hanya memastikan saja, apa yang akan kau lakukan?"
Dia kembali menanyakan itu dengan ekpresi yang tak berubah, namun sikapnya sudah agak mirip seperti perempuan biasa. Tepat seperti dugaanku, dia adalah tipe orang yang bermain secara mental. Walapun umumnya itu tidak akan terlihat, tapi secara implisit itu dapat terlihat oleh lawan bicaranya jika memperhatikan perubahan itu secara intens.
"Bukankah kau itu siswi yang cukup jenius. Bisakah kau memikirkan apa yang lebih buruk dari sikap seorang laki-laki jika mendapatkan perlakuan keji dari perempuan yang suka bermain dari belakang?" ujarku.
Meskipun ini hanyalah akting, entah mengapa perasaanku cukup dalam saat menghayati tokoh antagonis yang sedang ku perankan ini. Ketika melihat Sherly yang tak berkutik, aku semakin merasa bahwa ini bisa melewati batas jika sampai keterusan.
"Kau tidak akan melakukan apapun dengan cara keji seperti laki-laki lainnya, kan," kata Sherly.
Bukannya menyerah, dia justru sengaja menuangkan bensin kedalam kobaran api. Awalnya aku berniat untuk sedikit mengancamnya karena merasa dia cukup menyebalkan. Tapi karena sejauh ini dia masih bertahan, dengan terpaksa aku akan sedikit serius memainkan peran ini.
"Kenapa kau begitu percaya diri sekali? ... Bagaimanapun juga aku adalah manusia yang bisa membuat keputusan sendiri. Apapun yang akan ku lakukan, itu akan menjadi kebebasanku. Atau mungkin... kau berpikir jika aku tidak sanggup melakukannya? ... Kalau seperti itu, bukankah analisamu kepadaku juga akan jadi meragukan," lanjut kataku.
"Hn... aktingmu itu boleh juga."
Setelah mendengar perkataanku yang sepertinya agak terasa mengintimidasi, Sherly tertawa kecil, lalu memujiku.
"Apa sekarang kau puas? Sampai kapan kau akan menguji kesabaranku?" tanyaku, dengan segera kembali duduk sambil bernafas lega.
"Sampai kita bertemu lagi."
"Kalau begitu aku berharap kita tidak bertemu lagi."
"Bukankah itu agak kejam?"
"Kau tidak bisa membodohiku, si jenius."
"Bukankah itu berlaku untukmu juga? Kenapa si jenius ini merendah?"
"Kalau kau melihatnya seperti itu, maaf mengecewakanmu. Aku hanyalah bagian dari entitas murid yang memiliki kemampuan standar," kataku.
"Standar, ya... maaf, sampai kapanpun sepertinya aku tidak akan bisa melihatnya seperti itu. Sayang sekali ya," katanya.
Seperti yang kupikirkan, dia adalah siswi yang sangat merepotkan. Aku bertanya-tanya, apakah seluruh murid yang memiliki kejeniusan sampai bisa menilai secara detail seseorang dari dalam memang begitu menyebalkan seperti ini?
"Terserah kau saja," kataku.
"Karena kau sudah bersedia menemani perempuan yang bagimu sangat merepotkan ini, sepertinya aku bisa memberikan hadiah informasi itu sekarang."
Mengesampingkan sikap menyebalkannya ini, sepertinya dia memang telah membaca isi pikiranku sampai tahap dimana dia telah merencanakan akan memberikan informasi dengan cara berbelit-belit. Sekali lagi... aku merasa ingin melumatkannya.
***
Jika menyangkut sebuah pertanyaan, ada hubungan apa sebenarnya antara Bu Milan dengan ayahnya Mirza, sampai saat ini beliau berusaha menutup-nutupi karena sepertinya itu menyangkut masalah pribadi mereka.
Yah, lagipula apapun yang jadi masalah di antara mereka, itu bukanlah urusanku. Hal yang menjadi tujuanku sebelumnya adalah mengakhiri kebohongan 'luar' Mirza, sekaligus mencari tahu rencana di balik tindakannya. Tapi, sampai tahap ini sepertinya masih sulit untuk mengamati informasi di balik tindakannya.
Kepura-puraannya bersikap arogan, serta tujuannya yang absurd, tentu saja semua itu hanyalah sekedar lapisan kebohongan diatas kebohongan lain. Dan... tidak lain semua itu dilakukan untuk menutupi rencananya.
"Seperti dugaanmu tadi, kelasku juga memiliki masalah konflik kelas," kata Sherly.
"Perkelahian antar kelompok laki-laki ... kau mengerti maksudku, kan," lanjut katanya.
"Itu berarti... di kelasmu anak laki-laki saling berkelahi? Bagaimana kronologinya?" tanyaku.
"Sederhananya, itu seperti fenomena jika salah satu anak yang memiliki karisma tinggi di kelompoknya, bentrok dengan orang sejenis dirinya yang juga memiliki pengaruh atas kelompoknya sendiri ... menurutmu apa yang akan terjadi?"
"Mereka saling berebut kedudukan dan masing-masing dari mereka akan mendukung perwakilan yang berasal dari golongannya sendiri, begitu?"
"Tepat sekali, " kata Sherly, puas mendengar tanggapanku.
Jika apa yang dikatakan Sherly ini benar, maka kondisi kelasnya jauh lebih buruk dari kelas kami.
" ... Tapi kondisi itu sepertinya sudah berlalu hari ini," lanjut kata Sherly.
"Maksudmu semuanya telah usai?"
"Seperti dilanda badai yang tiba-tiba muncul dan pergi, sudah pasti kelas kami mendapat kerusakan setelahnya."
"Dan kerusakan itu...."
"Siswa yang 'menyatakan ingin memisahkan diri' dari kelas."
Pada saat yang sama... aku akhirnya menyadari sebuah hipotesis yang tidak pernah terpikirkan sama sekali sebelum mendengar fakta ini. Tidak salah lagi... bahwa semua ini adalah kudeta.
Apa yang terjadi didalam maupun di luar kelas-kelas lain adalah bentuk dari upaya itu sendiri. Seharusnya jika ada seseorang yang memiliki teman dari kelas lain, tentunya jika pengamatannya jeli, orang tersebut pasti akan lebih dulu menyadari bentuk keanehan ini. Tapi, karena sampai sekarang tidak ada yang menyadari hal itu atau memang mengira jika itu sebuah kebetulan, aksi kekacauan mereka bisa berjalan mulus diluar pengawasan pihak sekolah.
"Ini sudah dimulai."
"Sepertinya begitu," kataku.
"Ngomong-ngomong aku adalah tipe orang yang suka 'menonton semuanya dari tempat tinggi'. Jadi bagaimana denganmu?"
"Sayangnya, aku adalah tipe orang yang 'sangat protektif dengan kebebasan'. Jika ada hal yang mengganggu 'ruang pribadiku', aku akan menggunakan segala cara untuk melindunginya ... bahkan jika harus terlibat kedalam badai yang semakin besar ini," kataku.
"Apa itu termasuk kelas yang akan kau lindungi?"
"Itu tergantung dari apa yang mungkin menjadi kerusakannya," jawabku.
Dari awal tujuanku memang untuk melindungi 'ruang pribadiku' sendiri! Wajar saja jika semua yang kulakukan hanya tertuju pada satu arah, menghentikan kekacauan yang semakin hari semakin menggangguku. Justru jika membicarakan hal yang tidak wajar, sekilas aku mengingat segala usaha yang telah dilakukan Amelia hingga mengorbankan dirinya menjadi ketua demi kelas yang seperti sekarang. Walaupun itu adalah hal yang patut dipuji, itu juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang naif, karena tidak melihat resiko lebih mendalam yang akan didapat ketika dirinya terlalu jauh melangkah. Seharusnya dia tidak perlu menekan dirinya menjadi ketua kelas yang sempurna. Mengingat apa yang sudah terjadi selama ini, sepertinya mentalnya pasti juga tidak akan siap mengadapi kekacauan yang mendadak akan terjadi setelah fase ini.
Ketika kami masih berada ditengah suasana serius bertukar pikiran, seseorang yang tak diduga menyela masuk obrolan kami, mendadak muncul di belakangku.
"Rafa?"
Seorang siswi yang sebelumnya memperhatikan meja kami di kelas, dia adalah Cika. Mengingat bahwa saat ini aku sedang bersama dengan siswi jenius selain dirinya, entah mengapa atmosfer di sini menjadi agak berat ketika mata mereka saling bertemu.
Sepertinya Cika tidak memandangnya dengan tatapan permusuhan, namun ekpresinya seolah bertanya-tanya 'siapa perempuan yang duduk di depanku ini'. Mengingat jika saat ini Cika masih memiliki keterbatasan dalam berinteraksi, aku segera mengambil alih pembicaraan.
"Dia temanku Sherly dari kelas IPA," kataku.
"Huh... padahal tadi aku ingin sedikit menjahilinya," kata Sherly, menghala nafas, tampak kecewa.
"Justru karena sikapmu yang seperti itulah yang harus ku hindari," kataku.
"Hei, bukankah kau berpikir jika dia ini membosankan?"
Kali ini, dia mengganti objek bicaranya langsung kepada Cika yang bahkan belum memperkenalkan diri satu sama lain. Sepertinya perempuan ini memang punya hobi ingin menjatuhkanku kedalam permainannya.
"Hm... bagaimana ya, aku tidak akan menyangkalnya karena memang terkesan seperti itu, setidaknya dari penilaianku, dia yang seperti itu tidak terlihat buruk," kata Cika, tampak begitu polos saat menjelaskannya.
"Maaf menyela, sebaiknya kau tidak perlu menjunjung nilai diriku didepannya," kataku kepada Cika.
"Aku hanya berkata jujur apa adanya, apa itu salah?" kata Cika, membuat mimik wajah heran.
Percuma! Dalam kondisi seperti ini dia akan berkata terus terang setiap kali diberikan pertanyaan subjektif. Sepertinya, ini adalah situasi dimana aku akan terintimidasi oleh ekstensi kedua siswi jenius ini.
"Sepertinya kalian cukup akrab. Apa kalian satu kelas?" tanya Sherly.
"Begitulah, ketika aku melihatnya pagi ini," jawab Cika, menoleh ke arahku dengan maksud menyindir.
Karena enggan melihat ekpresinya saat ini, entah mengapa itu membuatku agak merinding hanya dengan merasakan auranya di belakang.
"Sepertinya dia sengaja mengelabuimu. Apa itu karena dia sedang tidak ingin bertemu denganmu?"
Dengan sengaja, Sherly mengajukan pertanyaan yang terdengar cukup memprovokasi. Disisi lain merinding, aku juga sedikit penasaran bagaimana respon Cika setelah mendengarnya?
"Kurasa itu... tidak mungkin, benarkan, Rafa?"
Menjawabnya dengan melontarkan respon itu kepadaku, sepertinya aku bisa merasakan kekhawatiran kuat dari beberapa kalimat yang keluar dari mulutnya.
"Kupikir begitu," kataku.
"Sepertinya kau orang yang cukup menarik. Siapa namamu?" tanya Sherly.
Yah, kupikir seperti inilah cara Sherly mendekatkan diri dengan orang lain. Lewat interaksi jahilnya, apapun bisa dia lakukan.
Jika itu adalah siswi koleris yang waktu itu, sudah pasti pendekatan seperti ini akan menjadi kesalahpahaman yang dapat memicu konflik sebelum mereka berkenalan.
"Aku Cika."
Bahkan setelah mendengar namanya, ekspresi Sherly tidak berubah sedikitpun.
"Begitu ya.... Aku Sherly, dari kelas sepuluh IPA," kata Sherly, memperkenalkan diri.
Setelah perkenalan ini berakhir, Sherly meninggalkan kami terlebih dahulu dengan alasan sudah waktunya dia kembali. Kupikir juga begitu, karena sekarang aku bisa melihat langit yang sudah berwarna jingga.
"Rafa."
Panggilnya yang tiba-tiba, saat kami dalam perjalanan kembali menuju asrama.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kenapa kau tidak berkata apapun tentang... kita berada di kelas yang sama?"
"Memangnya itu perlu? Meskipun nantinya kau tahu, bukan berarti kita akan mengobrol satu sama lain di kelas, kan."
"Itu... benar, tapi...."
"Selain itu bukannya sekarang kau sudah memiliki cukup banyak teman? Di kelas tadi aku melihatmu ada banyak anak perempuan yang datang ke mejamu. Bukankah sekarang kondisimu sudah lebih baik dari sebelumnya? yang selalu sendirian. Kau sudah berjuang keras untuk mendapatkan teman ... dan aku mungkin adalah orang yang pertama kali tahu perjuanganmu di sekolah ini. Sekarang kau tidak perlu bergantung lagi kepadaku jika ingin mengobrol dengan seseorang, kan. Tergantung waktu, kau juga akan leluasa bisa berinteraksi lebih jauh dengan mereka."
"Jadi... sekarang kau menyuruhku untuk mengabaikanmu?"
" ... Jangan melihatku seperti itu. Kondisiku berbeda jauh denganmu. Sejak awal aku memang orang yang selalu sendirian. Bisa diibaratkan, aku seperti 'orang yang tak terlihat', meskipun sekarang kau masih bisa melihatku, suatu saat nanti ... mungkin saja kau sudah tidak akan lagi bisa melihatku. Berbeda denganmu, kau adalah 'orang yang tertimbun'. Jika suatu saat kau bisa keluar dari situ, maka kebebasannu akan kembali seutuhnya dalam dirimu. 'Bukankah sekarang aku jadi bisa melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa ku lakukan?' mungkin itulah yang akan langsung terpikirkan olehmu setelah 'bebas'. Benar begitu kan?"
" ... Jadi, waktu itu kau bersedia berteman denganku hanya sekedar membantuku?"
"Jika harus mengatakan yang sejujurnya, waktu itu aku juga membutuhkan sesuatu darimu. Aku hanya memikirkan tentang kesepakatan dan bagaimana kita bisa saling menguntungkan. Bukankah waktu itu aku sangat berhutang budi kepadamu? Bagiku, membantumu 'keluar dari sangkar' itu bukan masalah," kataku.
"Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"
"Karena aku tidak ingin... uh...."
Ketika hendak melanjutkan perkataanku yang seolah sudah terdengar seperti tokoh antagonis, mendadak mulutku terhenti, separuh kata-kata itu tersendat di tenggorokanku, tidak membiarkanku mengungkapkan semua isi kepalaku kepadanya. Disaat yang sama, aku... disadarkan kembali jika hampir semua yang kulakukan ketika berinteraksi dengan orang lain hanyalah akting. Peranku sebagai seseorang yang bernama Rafa, hanyalah peran yang kumainkan agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah saat ini.
Kupikir tadinya Cika akan kecewa setelah mendengar perkataanku yang begitu ironis. Tapi dengan cepat aku sadar, bahwa jika Cika bukanlah perempuan seperti yang lain, yang akan mundur setelah mengetahui kebenaran. Dia memiliki keunikan tersendiri, serta pemikiran idealisme yang cenderung kuat seiring dengan kesadaran dirinya.
"Jujur, jika waktu itu aku tidak bertemu denganmu, aku pasti masih merasa trauma sampai saat ini. Tapi... bukannya sekarang aku bisa seperti ini juga karena bantuanmu?" kata Cika, berbalik menujukkan ekpresinya, tersenyum lembut, memperlihatkan bola matanya yang bersinar bagaikan kilauan cahaya.
"Mungkin sekarang aku memang belum bisa memahami sosok sebenarnya darimu. Tapi setidaknya, aku ingin kau selalu mempercayaiku, walau sesulit apapun itu."
"Akan kuingatkan sekali lagi. Kau mungkin tidak akan mendapatkan hasil apapun meski aku telah mempercayaimu."
"Hn, aku sangat paham kok. Karena tidak mendapatkan apapunlah yang membuatku tertarik mengikutimu."
Sampai saat ini, detik ini, waktu yang terus berjalan ini, aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya dia harapkan dariku. Meskipun dia telah mencapai 'jalan untuk menelapak di skenarionya' sendiri, dia justru malah lebih memilih untuk mengikutiku yang dilihat dari segi manapun tidak ada keuntungan bagi-nya.
Tidak seperti manusia yang layaknya memiliki tingkah laku seiras dengan pemikirannya, Cika adalah spesies di luar pemahamanku yang tidak memiliki keseirasan itu, juga tidak dapat di tebak pemikirannya secara objektif. Tapi bagaimanapun juga, dari lubuk hatiku yang terdalam, aku semakin merasa bersalah ... karena dalam skenario ini, aku akan cenderung memliki lebih banyak kesempatan untuk menggunakannya di berbagai situasi.
***
Pada malam hari, seperti biasa aku menghabiskan waktu-ku dengan membaca novel sebelum beranjak ke hari selanjutnya. Namun, kali ini aku melakukannya di balkon... karena di sini tidak ada tempat duduk, aku membacanya sambil berdiri, bersender didekat pagar besi.
" ... Huh... entah apapun yang dilakukannya, pada dasarnya manusia itu memang egois," gumamku.
Novel yang ku baca di tanganku adalah cerita mengenai 'seseorang yang mencoba mengembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Tapi ironisnya, tanpa sadar dia telah memanipulasi orang-orang di dekatnya dan bahkan sampai membuat konflik berkelanjutan. Alhasil, dia mampu mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun disisi lain, dia juga kehilangan apa yang sebelumnya dimiliki selama proses itu'. Saat menyadari bahwa semua yang dilakukannya itu hanya untuk memenuhi rasa egonya, seketika dirinya diliputi oleh rasa bersalah dan menyesal.
"Aku penasaran... sebenarnya hati manusia itu terbuat dari apa?" pikirku, merenunginya.
Saat aku merasa akan hanyut dalam kesunyian di malam hari ini, suara pintu geser terdengar dari arah sampingku. Bau harum yang tiba-tiba mengusik hidungku, sontak membuatku kehilangan konsentrasi saat akan tenggelam kedalam dunia imajinasi.
"Apa yang kau baca?"
Tak lama setelahnya, suara seorang perempuan terdengar. Saat membuka kedua mataku, tanpa menoleh aku sudah tahu siapa yang bertanya itu.
"Bukan sesuatu yang menarik untuk dibahas," jawabku, dengan segera menutup novel yang barusan ku baca.
"Justru itu membuatku penasaran," katanya.
Tidak lain dia adalah Cika. Karena sepertinya dia sengaja datang ke balkon, kupikir setelah ini dia mungkin akan menanyakan sesuatu yang terkait dengan masalah Mirza atau juga keberadaanku di kelas. Bagaimanapun juga, itu adalah sesuatu yang tak bisa ku hindari sekarang.
" ... Kalau kau masih memikirkan yang tadi aku minta maaf," kataku.
"Apa maksudmu?! yang tadi apa?"
Seolah menyangkal perkataanku yang sedikit menyinggungnya, dia menunjukkan respon panik.
Karena tak dapat menjelaskannya dengan kata-kata, aku menoleh dan terus menatap matanya hingga dia mengerti maksudku... tidak. Seharusnya dia memang mengerti, tapi dia bersikeras menyembunyikannya.
"Baiklah, aku akan berhenti memikirkannya ... tolong jangan menatapku seperti itu," kata Cika, memalingkan wajahnya ketika memohon.
Ini hanya spekulasiku... tapi, dari perspektifnya mungkin aku terlihat seperti seseorang yang sedang mengintimidasinya. Aku sama sekali tidak menganggap itu kejam karena aku sendiri sama sekali tidak bermaksud melakukannya. Hanya saja, kupikir 'menjelaskan dengan sikap lebih mudah daripada kata-kata'.
"Rafa, mengenai kelas, apa kau masih ... itu, memikirkannya? ... bukan. Maksudku, memperbaikinya?"
"Tidak, aku sama sekali tidak bermaksud memperbaiki apapun. Aku hanya ingin melihat hasil saat ini sebelum beralih ke tahap selanjutnya."
"Eh, bukankah sebelumnya kau mengatakan akan melakukan sesuatu untuk kelas? Kau bahkan mendorongku agar mencolok di kelas. Bisakah kau menjelaskannya?"
"Itu hanya langkah pertama, membuat sandiwara. Setelah kau melakukan sesuatu yang mencolok di kelas, orang-orang seperti Amelia dan kelompoknya pastinya akan langsung berinteraksi denganmu. Karena awalnya kau adalah keberadaan yang tak dapat dilihat orang lain sebelum kau sendiri yang mau memperlihatkannya, mereka mungkin dikejutkan dengan itu."
"Ya. Seperti yang kau katakan, Amelia menawarkanku posisi penting di kelas."
"Kau menerimanya?"
"Tidak. Aku menolaknya."
"Kalau begitu baguslah."
"Bagus?"
"Jika kau menerimanya sekarang, akan sulit bagiku untuk meminta bantuanmu setelahnya."
"Kau ini ya...."
"Lagipula peran yang ku berikan padamu itu hanya sebagai umpan."
"Walau sudah terbiasa dengan cara bicaramu itu, tetap saja aku merasa ingin sekali memukulmu. Biarkan aku memukulmu!"
"Itu tidak buruk. Kupikir aku memang pantas mendapatkannya."
"Aku bercanda. Lanjutkan," kata Cika, dengan acuh.
"Sebenarnya tujuan utama dari peranmu itu adalah mengalihkan objek, sekaligus menarik perhatian mereka," kataku.
"Mengalihkan objek?"
"Kau pasti menyadarinya kan, jika di kelas, Mirza dan kelompoknya seperti sengaja melakukan tindakan kenakalan."
"Tentu saja kebanyakan murid juga akan menyadari itu."
"Yah, ironisnya itu semua dilakukan untuk melemahkan Amelia."
"Jadi mereka sengaja menjadikan Amelia sebagai objek mereka?"
"Kelihatannya begitu. Dari apa yang bisa dilihat, mereka lebih condong menyerang mentalnya, karena itu lebih mudah dan sederhana."
"Begitu ya. Apa tidak ada hal lain untuk menghentikan mereka?"
"Dalam hal ini kita tidak bisa melakukan apapun. Amelia hanya bisa bersabar ... itulah satu-satunya cara menghadapi gangguan mereka. Jika orang luar ikut campur dengan permasalahannya, situasinya akan menjadi lebih buruk. Karena itu menyangkut masalah batinnya, hanya dirinya sendiri yang mampu mengatasinya."
"Tapi sampai kapan?!"
Setelah mendengar perkataanku, sontak Cika langsung menyela dengan intonasi sedikit tegas. Ekpresinya menujukkan kebingungan, dan perasaan gelisah seolah menyelimutinya.
"Begini... Rafa. Saat Amelia datang kepadaku dan menawarkanku agar menempati kedudukan penting di kelas, ketika melihat matanya dia seperti mengatakan 'ku mohon ikuti lah aku' atau lebih seperti ke 'permintaannya' secara pribadi. 'Di luarnya' kau tahu kan bagaimana sikap Amelia? ... Itulah yang membuatku bingung. Dia seperti 'meminta bantuan', tapi tidak bisa mengatakannya secara langsung. Aku rasa itu ada kaitannya dengan posisinya di kelas," kata Cika.
"Tepat sekali. Memang begitulah dirinya," kataku.
"Apa maksudmu?"
"Sebagai seorang pemimpin, wajar jika dia merasa harus memberikan contoh kepada bawahannya. Kemungkinan besar yang telah dialaminya adalah dia mencoba bersikap tegas, walau sebenarnya merasa tersakiti. Dia terpaksa harus bangkit, walau sebenarnya merasa lelah. Kau pasti tahu kan seberapa besar tanggung jawab seorang pemimpin itu. Yah... kupikir karena dia telah mengatakan impiannya yang cukup berlebihan itu makanya dia menjadi seperti sekarang. Dia terlalu fanatik hingga terburu-buru ingin menjadi sosok pemimpin yang sempurna."
"Jika itu diteruskan maka..."
"Itulah letak dari kesalahannya."
"Eh...."
"Dia seharusnya belajar bagaimana harus mengandalkan orang lain ... walaupun merasa tidak benar-benar ingin melakukannya."
Lalu, beberapa saat kemudian, setelah kami selesai membicarakan topik mengenai permasalahan Amelia, selanjutnya kami menyusun rencana sebagai persiapan 'apa yang akan terjadi besok', sekaligus berbagi informasi yang belum tersampaikan dari sebelum-sebelumnya
***
Pagi hari ini aku berangkat lebih awal. Jika ada yang bertanya mengapa jam terbang ku ke sekolah hari ini ku percepat... hanya satu alasan untuk menjelaskannya.
"Kenapa harus aku?" tanyaku, dengan intonasi mengeluh ketika melihat buku-ku di atas meja yang dikerubungi oleh duo pemalas dari sirkelnya Doni.
"Tidak apa-apa, kan. Bukannya kita ini teman?" kata Retno, si pencair suasana di kelompoknya, begitu kata mereka.
Menyontek dengan dalih berteman... itu sungguh cara yang klasik. Bagaimanapun juga, sekarang nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mencegahnya menyontek dalam situasi ini. Adakalanya sistem pertemanan itu menjadi efisien dan tidak efisien. Contohnya seperti saat ini... ini adalah bentuk dari ketidakefisien itu.
"Terimakasih ya, sudah mau membantu kami," kata Gilang, salah satu siswa berbadan besar di kelas yang juga ikut berbaur di sirkelnya Doni.
"Tidak masalah. Tapi lain kali sebaiknya kalian lebih memperhatikan tugas yang diberikan guru. Itu semua juga untuk kalian sendiri kan," kataku.
"Kau ini sudah seperti murid teladan saja. Jangan lupa kalau kita sebagai anak muda juga harus mempunyai kesenangan sendiri," kata Retno.
"Seperti hobi?" sahutku.
"Yah... kurang lebih seperti itu. Ngomong-ngomong apa yang biasanya kau lakukan?" lanjut tanya Retno.
"Membaca novel."
"Yang lain?"
"Belajar."
"Bukankah belajar itu kewajiban?" sahut Gilang.
"Disisi lain hobi, juga kewajiban" jawabku.
Mendengar perkataanku, ekpresi keduanya terlihat bingung. Kupikir itu wajar karena mereka pasti lebih cenderung menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.
Setelah aksi menyontek mereka selesai, keduanya langsung kembali ke tempat duduk masing-masing sebelum lonceng berbunyi.
"Sepertinya kau sudah akrab berbaur dengan mereka," kata Fito, sepertinya sempat melihat keduanya berbicara denganku.
"Hanya kebetulan," kataku.
"Huh... andai saja aku bisa seberuntung dirimu yang mendadak mendapat teman," kata Fito, mengeluh, lalu membenamkan wajahnya.
Disaat yang sama, ketika menoleh ke kanan, aku baru sadar jika Cika dari tadi terus melihatku dari kejauhan. Hanya untuk memastikan, dengan segera aku mengeluarkan ponselku dan membuka aplikasi chat, lalu menuju kontaknya. Kemudian aku mengirimkannya pesan...
"Apa kau masih ragu melakukannya lagi?"
Setelah menunggu beberapa detik, pesan itu sudah memiliki tanda baca, lalu diatas muncul keterangan 'sedang mengetik'. Tak lama kemudian, muncul sebuah pesan yang baru dikirimnya.
"Sejujurnya begitu. Aku merasa tidak bisa melakukannya lebih baik dari kemarin," katanya.
Karena sepertinya lonceng masuk akan berbunyi sebentar lagi, aku meresponnya dengan mengetik cepat, lalu segera mengirimkannya...
"Lakukan saja sesuai kemampuanmu. Aku tidak akan menyuruhmu melakukannya dengan sempurna. Selama itu bisa membuatmu menjadi pusat perhatian, maka itu sudah cukup."
Tanpa mempedulikan balasan seperti apa yang akan dia kirimkan, buru-buru aku memasukkan ponselku kembali kedalam saku. Lonceng tanda masuk seketika berbunyi.
***
—Cika
Setelah membalas pesannya dengan emot 'menyebalkan', lonceng tanda masuk berbunyi.
Mengingat bahwa hari ini ada mapel matematika, tidak heran jika dia akan memasukkan bagian ini kedalam rencananya.
Kupikir hari ini aku memiliki peran yang lebih besar daripada kemarin ... dari lubuk hatiku, tentu saja aku merasa sangat gugup. Jika diingat kembali, aku memang sudah terbiasa melakukan sesuatu yang menurut murid lain tidak wajar saat SMP. Tapi, entah mengapa rasa gugup ini baru terasa hebat ketika dihadapkan oleh fakta, bahwa kemampuanku ternyata dibutuhkan oleh orang lain.
"Cika? Apa kau baik-baik saja?"
"Ya... tentu saja, memangnya kenapa?"
"Keringatmu..., padahal ini masih pagi. Apa kau tadi berlari terburu-buru? "
"Ya... begitulah."
Bagaimanapun juga aku tidak bisa mengatakan bahwa sekarang, aku dalam kondisi dilanda kepanikan.
"Huh... tenanglah diriku," gumamku, lalu menepuk kedua pipi secara bersamaan.
Yah... aku hanya akan melakukannya seperti dulu. Panik hanya akan membuatku kehilangan konsentrasi. Mungkin kedengarannya agak aneh, tapi kupikir rasa panik ini sudah lama tidak ku rasakan... atau memang dulunya aku tidak pernah mengalaminya. Karena itulah... ini menjadi hal baru untukku. Rasa panik ini, maupun ketegangan secara mental yang saat ini kurasakan... aku akan melaluinya, demi memenuhi peran ini!
Tak lama kemudian, guru mapel matematika, Bu Alina masuk ke kelas kami. Sebelum mengawali pelajaran, beliau dengan sikap diam menaruh buku tebalnya di atas meja terlebih dahulu. Sesaat melirik ke arah kami, seolah mencurigai sesuatu... tidak menemukan adanya kegaduhan, lantas beliau berbicara setelahnya.
"Sepertinya di sini juga sama," kata beliau, terdengar seperti sedang berbicara sendiri.
Kemudian, beliau mengambil remote dari sakunya dan segera menghidupkan layar papan belajar.
"Buka buku kalian," kata beliau, sementara juga membuka aplikasi matematika di layar papan belajar.
Para murid segera mengeluarkan buku tulis, serta buku pelajarannya masing-masing. Disaat itu, sesuatu yang terlintas dalam bidang pengelihatanku ketika menoleh ke belakang, Mirza sepertinya tidur dengan membenamkan wajahnya, sementara kedua temannya diam-diam bergaduh sendiri disaat Bu Alina tidak memperhatikan murid. Karena beliau telah menyadarinya, kupikir inilah yang menjadi alasan mengapa beliau sempat menggumamkan hal tadi ketika melihat seisi kelas.
Seperti yang hampir kami semua ketahui, Bu Alina juga merupakan guru yang cukup tegas. Namun beliau tidak setegas seperti Bu eko, guru geografi. Faktanya, beliau mengajar dengan suara lantang, meskipun ekpresinya yang mirip seseorang membuatnya sulit dimengerti. Dari cara beliau mengajar, seolah beliau hanya mengutamakan tugas dan perannya saja sebagai pengajar. Tidak seperti wali kelas kami Bu Milan, beliau seperti tipe guru yang tidak akan menggunakan empati ketika sedang mengajar. Karena itu, apapun yang disampaikan, beliau tidak akan mengulanginya kembali. Kalaupun ada murid yang ingin bertanya sesuatu, aku yakin beliau bukanlah orang yang tepat untuk ditanyai. Sayangnya, sampai sekarang belum ada satupun anak yang berani melakukannya. Bahkan Amelia sendiri yang menjadi sosok ketua kelas kami paling berani, tidak pernah sekalipun berinisiatif bertanya ketika beliau sedang menjelaskan pelajaran. Disisi lain, beliau sendiri juga tidak pernah memberikan pertanyaan kepada murid. Inilah yang membuat suasana kelas menjadi sangat canggung ketika masuk jam pelajaran beliau.
" ... Memangnya aku bisa melakukannya?!" pikirku dengan panik.
Bagaimanapun juga, sejujurnya aku tidak mempunyai keberanian untuk memulai inisiatif. Meskipun aku mungkin akan mencoba untuk bertanya, ini akan terlihat seperti upaya bunuh diri.
"Rafa bodoh...!" aku bertanya-tanya, mengapa aku yang melakukan ini? ... Memang benar jika aku berinisiatif ingin membantu rencananya setelah melihat usahanya melakukan semua sendiri sejauh ini... tapi... bukankah bagianku ini terlalu sulit? Bahkan rasanya sudah seperti mustahil!
Beberapa saat kemudian, ketika jam pelajaran matematika sudah berjalan selama hampir setengah jam, terdengar suara gaduh dari barisan belakang. Bisa ditebak, sumbernya tidak lain pasti dari kelompoknya Mirza. Awalnya Bu Alina terlihat seperti membiarkannya. Namun....
"Bu! Bolehkah aku bertanya?"
Seseorang yang mengatakan itu dengan jelas bukanlah Amelia maupun murid teladan lain di kelas, melainkan Mirza. Apa yang akan dilakukannya lagi kali ini?
Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Mirza, ekpresi beberapa murid seketika berubah drastis, suram. Begitu juga dengan Amelia yang terlihat sangat amat membenci suara laki-laki itu.
" ... Kalau tidak salah namamu Mirza, kan? Bagian mana yang ingin kau tanyakan?"
Ini sungguh mengejutkan mendengar Bu Alina merespon ajuan pertanyaan dari Mirza. Seharusnya beliau telah menduga bahwa pernyataannya tidak pernah sekalipun serius.
"Pertanyaanku sangat sederhana... Bisakah ibu mengulang apa yang dibahas saat ini?"
Perkataan itu sungguh jelas dan seharusnya terdengar oleh beliau. Bahkan, ada sedikit respon dari Amelia yang sepertinya tidak bisa menahan kekesalannya dan hendak naik pitam. Tapi dengan sigap, Sifa langsung berusaha menenangkannya. Entah apa yang akan direspon Bu Alina, kelihatannya ini akan menjadi sesuatu yang buruk bagi kelas kami. Meskipun seharusnya pertanyaan tersebut bisa jadi hal yang wajar ditanyakan oleh seorang murid, tapi sikap Mirza yang dari intonasinya saja terdengar seperti meremehkan, itu seketika menjadi hal yang mengganggu. Sikapnya, bahkan sopan santun, dari awal dia sama sekali tidak berniat merubahnya.
"Hmp... kalau begitu, di antara kalian apa ada yang bersedia menjelaskan pelajaran yang saya sampaikan tadi?"
Memberikan penawaran itu seolah memaksa seluruh murid ikut terlibat, sepertinya inilah cara Bu Alina menghadapi murid seperti Mirza. Huh... tunggu. Jika dipikirkan kembali, alasan mengapa dari awal beliau tidak melakukannya... mungkin beliau sudah memprediksi jika ditengah pelajarannya pasti akan ada murid yang bosan karena dipaksa terus mendengarkan. Jika benar seperti itu, cara beliau terkesan agak kejam, dan juga cukup agresif hanya demi mempertahankan alur pembelajaran kelas.
Seketika itu, seluruh murid terlihat begitu tegang setelah beliau memberikan ajuan. Bahkan Amelia juga terlihat seperti tenggelam didasar laut dan terus membenamkan wajahnya ke bawah. Mungkin karena sudah tak dapat menangani keberadaan sosok laki-laki bernama Mirza di kelas, itulah yang membuatnya sangat depresi.
Kemarin malam, ketika sedang berbicara dengan Rafa, laki-laki itu berkata jika tidak ada cara untuk menghentikan Mirza memanfaatkan Amelia yang sudah terikat kuat dengan kelas. Kupikir ini cukup ironis. Seseorang seperti Amelia yang seharusnya memegang peran sebagai pemimpin kelas harus dimanfaatkan Mirza secara tidak langsung untuk mencapai tujuannya. Alhasil... seperti yang dialaminya sekarang, Amelia terus menerima tekanan yang dirasakan seluruh kelas. Karena posisinya, dia pasti akan berpikir jika semua yang terjadi adalah tanggung jawabnya. Bahkan dalam hal mendisiplinkan Mirza pasti juga begitu.
[Berdiri.... ]
Itu berarti... hanya inilah kesempatan untuk membalikkan keadaan. Mungkin setelah ini apa yang terjadi tidak membawa perubahan di kelas, tapi setidaknya, ini bisa menjawab perlawananku kepada Mirza dan menyelamatkan Amelia dari situasi ini.
" ... Saya bersedia menjelaskan!" kataku usai berdiri.
Dalam sesaat, pandangan seluruh murid di kelas seketika tertuju ke arahku. Kegugupanku mungkin belum sepenuhnya teratasi, tapi... rasa kesal yang kurasakan saat ini jauh lebih besar dibandingkan rasa gugupku.
***
—Rafa
Ditengah suasana menegangkan, aku bisa mengamati hampir semua murid menjadi resah setelah mendengar perkataan Bu Alinda yang sengaja diprovokasi oleh Mirza. Alhasil, beliau meresponnya dengan cara menyeret satu kelas yang seolah bermaksud bahwa 'semua juga harus sama-sama berpikir'.
Dan... beberapa saat kemudian, seseorang yang ku tunggu akhirnya menampakkan diri. Dalam sekejap... dia langsung berdiri. Walaupun dari genggaman tangannya tampak jelas bahwa dia amat gugup, dia masih bisa berkata bahwa dirinya bersedia menjelaskan pelajaran yang tadinya disampaikan Bu Alina.
"Kalau begitu kemarilah," kata Bu Alina, dengan ketus mempersilahkan perempuan itu maju ke depan.
"Baik," ujar perempuan itu, segera maju ke depan.
Setelahnya, perempuan itu mulai menjelaskan dari awal seperti yang disampaikan oleh Bu Alina. Dalam sekejap, suasana tegang yang dirasakan seluruh murid di kelas seolah mencair ketika perempuan itu mulai ada perkembangan dalam memperjelaskan materi tadi. Awalnya, dapat terlihat bahwa dirinya juga gugup seperti murid pada umumnya, tapi... semakin lama, dia semakin cepat beradaptasi, menguasai tekanan kondisi tersebut. Meski agak kurang dibagian penyampaiannya, dia masih berupaya terus menjelaskan secara detail dengan caranya sendiri sambil mengikuti konsep mengajar Bu Alina ... seolah-olah dirinya menyalin ucapan beliau dengan cukup akurat. Jika sebelumnya ada bagian yang terasa sulit dipahami dengan cara sederhana, perempuan itu akan menjelaskan inti caranya menurut rangkaian subjektifnya sendiri dan bagaimana cara mengerjakannya agar lebih mudah dipahami dari sudut pandang murid. Beberapa kata istilah sepertinya juga dia selipkan agar memudahkan mereka yang memang hampir memahami keseluruhannya. Bagi mereka yang benar-benar melihat ini, tak dapat dipungkiri, dialah sosok perempuan jenius sebenarnya di kelas ini.
Beberapa saat kemudian, ada seorang siswi yang memberikan pertanyaan kepadanya dengan intonasi seolah sudah saling kenal. Awalnya perempuan itu sedikit kaget, tapi setelah mengatur nafasnya sejenak, dia bisa menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang sudah disampaikan. Siswi yang bertanya itu adalah Nida, bendahara di kelas kami. Setelah puas mendapatkan jawaban yang diinginkan, tak lupa Nida memberikan pujian kepadanya karena penjelasannya sangat mudah dipahami. Selang beberapa saat, dari barisan anak perempuan satu persatu mereka ikut bertanya. Begitu juga dengan barisan anak laki-laki terdepan yang akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
Dilihat dari manapun, inilah bakat alaminya. Perempuan itu memiliki kemampuan mengingat, serta menjawab berbagai pertanyaan yang seolah sudah seperti teknologi mesin pencarian saat ini. Bukan hanya sebatas pengetahuannya saja yang luas, dia bahkan masih bisa mengembangkan potensinya untuk menjadi seseorang yang lebih bersinar, sosok dari sang ahli segala bidang ilmu pengetahuan (multitalenta). Pemandangan ini... seperti yang ku harapkan, dia telah berubah 90 derajat dibandingkan saat pertamakali kami bertemu dulu.
"Sepertinya beban di punggungku sudah agak berkurang. Cika... sekarang dia akhirnya bisa mengabulkan harapan yang sulit digapainya waktu itu hanya dalam beberapa bulan," pikirku.
Disisi lain, Mirza yang telah gagal melancarkan serangannya sepertinya terlihat tidak menyukai pemandangan di sekitar perempuan itu. Meskipun dari ekpresinya tidak memperlihatkan demikian, dia tidak bisa membohongi tatapannya yang terus menerus tertuju ke arah perempuan yang sedang menjelaskan pelajaran saat ini. Sekarang dia fokus melihat perempuan itu... menatap menyelidik, seolah penasaran.
Untuk sekarang yang perlu kulakukan hanyalah menunggu hasil. Apakah Mirza akan terpancing... itu akan menjadi opsi yang lebih mudah jika bisa terjadi, dan juga hasil sempurna yang kuinginkan dari langkah ini. Sampai sejauh ini, perempuan itu sudah memberikan kemajuan besar dengan melakukan perannya sesuai ekspektasi. Sepertinya sekarang... mulai dari sinilah bagian peranku selanjutnya dimulai.
The Call(er)
1105
637
10
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya.
Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...