Tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama. Terkadang 'perbedaan' itu bisa merusak persatuan yang telah dibangun bersama. Bahkan di masyarakat, pola pemikiran seperti itu telah ada sejak zaman dahulu. Warga primitif dan modern memiliki sesuatu yang lebih mendekati ke hal itu. Meskipun di negara ini sesuatu yang menyangkut 'perbedaan' sudah diatur sedemikian rupa, tetap saja insting atau pemikiran mereka sebagai manusia tetap ingin berjalan sesuai keinginan dan harapan masing-masing.
Bagaimanapun juga, manusia adalah makhluk yang egois. Tidak ada keterbatasan dalam kepuasan mereka. Sadar atau tidak, bagi kebanyakan orang, sesuatu seperti 'perbedaan' juga bisa menjadi salah satu halangan mereka menuju titik kepuasan yang mereka inginkan—meskipun pada akhirnya itu juga akan menjadi 'perbedaan' bagi orang lain.
Di malam hari, aku kembali merenungkan sesuatu yang menjadi 'perbedaan' di kelasku. Kupikir belakangan ini aku terlalu banyak memikirkannya... tapi, jika kondisi seperti ini terus dibiarkan begitu saja tanpa ada solusi yang tepat, aku yakin 'sesuatu yang menyerupai bencana besar' pasti akan terpicu segera.
Jika ini adalah rute cerita yang ada di dalam novel, kupikir hanya ada dua pilihan yang menjadi 'alur utama'. Tentu saja, kedua pilihan itu antara mencegahnya atau membiarkannya. Tapi, mengingat posisiku di kelas, saat ini aku bukanlah siapa-siapa kecuali siswa yang membosankan di mata kebanyakan orang. Meskipun ada kalanya memiliki setitik peluang untuk menonjol, tetap saja aku tidak akan mampu melakukannya dalam kondisi yang sekarang. Itu karena... pekerjaan ini hanya bisa dilakukan oleh 'orang yang telah berhasil membaur di kelas'. Jika memikirkan kembali siapa orang yang memiliki kriteria seperti itu dan tentu saja dia harus berada dekat denganku, mungkin dialah orangnya.
Setelah mendapatkan pencerahan bersamaan dengan turunnya hujan deras, aku masuk kedalam, lalu menutup pintu kaca balkon. Karena ini masih belum lewat pukul delapan malam, kupikir akan baik-baik saja jika keluar sebentar.
Tak lama setelah membulatkan keputusanku untuk menemuinya malam ini juga, aku segera memakai blazer yang biasa ku kenakan saat akan keluar. Kemudian keluar dari ruangan dan tak lupa mengunci pintu.
["Ceklek!"]
Kuperhatikan di sekitar teras, hujan kelihatannya telah membasahi sebagian area tersebut. Dengan segera aku melangkahkan kakiku sambil menghindari genangan air basah, lalu segera menuju ke depan pintu ruangan yang ada di sebelahku.
"Seharusnya saat ini dia masih bangun," pikirku, sebelum mengetuk pintunya.
["Tok.. tok..."]
Sambil berharap seseorang yang ada di dalam ruangan itu segera membukanya, aku bisa merasakan bahwa saat ini, di dalam kepalaku, rasanya sebuah saklar pemicu telah aktif secara otomatis. Mengingat fenomena ini telah ku alami sejak dulu, hal ini biasanya akan membuat 'roda perputaran' pada otak akan bekerja dua kali lipat. Ini ibarat seperti memainkan 'kubik' yang dipaksa memakai gerakan cepat karena batas waktunya telah ditentukan.
["Ceklek!"]
Perlahan-lahan pintu tersebut terbuka bersamaan dengan sosoknya yang baru saja membukanya.
"Eh? Rafa?"
Karena sepertinya dia terkejut melihat kedatanganku yang mendadak, responnya memanggil namaku.
"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu sekarang juga, bisa kan?" Tanyaku, memastikan kesediaannya.
Orang yang berdiri di depanku saat ini tidak lain adalah Cika, kandidat yang cocok untuk memainkan peran utama dari dalam.
"Tunggu sebentar, apa ini akan menjadi pembicaraan yang panjang?" Tanya Cika, memastikan hal lain.
"Sepertinya begitu," jawabku singkat.
"Hm... kalau begitu ayo bicarakan di dalam," ujarnya, tersenyum paham, lantas mempersilahkanku masuk.
Setelah berada di dalam, udaranya lebih hangat dibandingkan di luar. Itu mungkin karena Ac-nya sengaja dimatikan, tapi sepertinya aku merasa ada sesuatu lain lagi yang membuat ruangannya cukup beraroma.
"Disini agak wangi," kataku.
"Itu mungkin karena partikel dari semprotan ruangan khusus," kata Cika, menoleh ke arah semprotan yang dia sebut, ditaruhnya diatas meja.
"Berapa harganya?" Tanyaku.
"Hmm... 40k untuk alatnya, lalu 12k untuk..."
"Sepertinya kau masih punya banyak poin," sahutku, memotongnya disaat dia masih menghitung-hitung.
"Apa mungkin kau kemari untuk meminjam poin kepadaku?" Ujarnya, seolah terdengar mencurigaiku.
"Bukan," jawabku segera.
"Aku kesini untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan situasi kelas masing-masing," lanjut-ku.
"Heh... tidak biasanya kau peduli. Apa ada sesuatu yang membuatmu tertarik?" Tanya Cika, menatapku skeptis.
Mengesampingkan kecurigaannya, aku menghela nafas panjang sebelum mengutarakan isi kepalaku yang sekarang. Tentunya masih dengan menyelimuti beberapa kebohongan.
"Beberapa hari yang lalu, kebetulan aku mendengar rumor siswa yang melakukan deklarasi," kataku dalam kepura-puraan.
"Apa itu benar?" Lanjut tanyaku.
"Eh! Siswa kelas lain juga sudah tahu?" Balik tanyanya, terkejut seperti tidak menduga.
"Aku tidak terlalu peduli dengan mereka. Disini aku hanya ingin tahu apakah rumor itu benar atau tidak," kataku.
Seketika itu, wajah Cika terlihat cukup serius.
"Itu mungkin dari kelas bahasa," kata Cika.
Kupikir aku tidak perlu sampai menanyakan alasannya karena itu hanya akan membuang waktu. Tapi, jika aku tidak bertanya, dia pasti....
"Dari siapa kau mendengarnya? Apa ada siswa kelas bahasa yang bercerita ke kelas lain?" Lanjut tanya Cika, menyelidik.
Seperti yang kuduga, dia akan terus bertanya jika aku tidak bertanya.
"Begitulah. Aku hanya mendengarnya," jawabku.
"Sebenarnya di kelasku juga ada kejadian yang serupa," lanjut-ku.
"Apa mereka juga melakukan deklarasi?" Tanya Cika.
Lantas dengan segera, aku mengangguk pelan, tidak ingin membahas bagian itu lebih jauh.
"Begitu ya," kata Cika sembari duduk di sofa, begitu juga denganku yang merasa pembicaraan ini seharusnya sudah bisa memasuki intinya.
Sementara di luar hujan semakin lebat, di dalam ruangan, aku dan Cika masih melanjutkan obrolan kami terkait kondisi kelas.
Meskipun sebenarnya kami berada di kelas yang sama, aku tidak akan langsung memberitahunya karena itu akan lebih efektif, menyembunyikan keberadaanku untuk sementara waktu sampai masalah ini selesai. Di sisi lain juga, aku merasa sangat malas jika mendadak diberikan pertanyaan bertubi-tubi dari seseorang yang cukup dekat denganku saat ini. Jika diibaratkan, itu sudah seperti 'ada ribuan meteor di atas yang siap menghujaniku saat waktunya telah tiba'. Cepat atau lambat, dia pasti juga akan menyadarinya sendiri. Tapi setelah kupikirkan kembali, melihat dia sepolos ini, sepertinya itu akan membutuhkan waktu yang agak lama—setidaknya sampai dia memperhatikan keseluruhan nama anak di kelas yang dipanggil saat guru melakukan absensi.
"Ngomong-ngomong aku mungkin akan melakukan sesuatu yang cukup merepotkan dengan kelasmu, dan kupikir kau bisa membantuku saat melakukannya," kataku.
"Memangnya apa yang akan kau lakukan? ... Jangan bilang kau akan mencoba menghentikan mereka dengan kata-kata," kata Cika, menyindir ketidakmampuanku dengan ekspresi datar.
"Karena tidak bisa, itulah mengapa aku meminta bantuanmu," jawabku.
"Kau ingin aku yang melakukannya...? Apa kau bercanda?" Tanya Cika, dirinya pasti juga merasa tidak akan mampu melakukannya.
"Tidak ada alasan untuk bercanda saat ini. Tentu saja aku paham kalau ini mungkin terlalu memaksa untukmu," jawabku, sambil terus melihat kedalam matanya.
"Huh... sebelum itu aku akan bertanya lagi, apa ada sesuatu yang membuatmu tertarik dengan konflik itu? maksudku, bagimu seharusnya itu tidak akan mempengaruhimu kan?" Tanya Cika, mengatur nafasnya yang sempat panik.
"Sejujurnya itu sangat mempengaruhiku."
"Kenapa?"
"Aku tidak bisa merasa tidak terganggu jika tiba-tiba lingkungan baru yang ku tempati berubah menjadi medan perang. Hanya itu alasanku melakukannya," kataku.
"Medan perang? Maksudmu kekacauan yang akan terjadi semisal keadaan seperti itu terus dibiarkan?"
"Ini hanya kemungkinan saja jika ada sebagian besar anak otomotif yang positif terlibat melakukan kekacauan dalam skala besar. Para guru mungkin akan kesulitan menangani masalah ini secara langsung, sementara itu, hanya anak OSIS saja yang satu-satunya bisa turun tangan menghentikan mereka. Meskipun kekacauan mereka mungkin tidak akan bertahan lama, tetap saja jika dalang yang mengendalikan dari balik layar itu tidak bisa ditangkap, maka suatu saat nanti kekacauan juga bisa saja kembali terjadi," kataku, menurut hasil penyelidikan yang telah kulakukan di dalam maupun di luar kelas.
"Kau sudah seperti seorang peramal saja," kata Cika, seolah terkagum.
"Itu hanya deduksi yang ku buat berdasarkan informasi dan fakta yang mungkin terjadi. Aku hanya memperkirakan fenomena menurut perhitunganku saja," kataku.
"Kurasa kau sangat cocok menjadi seorang intelejen," kata Cika.
"Itu berlebihan," bantahku.
"Sekarang aku sudah mengatakan semua yang bisa kusampaikan. Jadi bagaimana? Apa kau bersedia membantuku?" Lanjutku.
"Memangnya apa yang harus kulakukan untuk membantumu?" Tanya Cika.
"Sederhana. Seperti pembahasan kita tadi, Kau hanya perlu menonjol di kelas," jawabku.
Mendengar gagasan itu, meskipun sebelumnya sudah terkejut, kali ini Cika juga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Ha?! Apa hubungannya... tidak, sebelum itu... memangnya apa yang sebenarnya kau rencanakan?"
"Kau akan tahu sendiri nanti. Sebenarnya itu hanya bagian permulaan. Perubahan yang akan terjadi di kelas nanti, sebagiannya itu tergantung konstribusimu," jawabku.
"Hah... kau memang selalu begini ya," kata Cika, menghela nafas.
"Baik, aku tidak akan bertanya lebih, tapi..."
"Tapi?"
"Jelaskan peranku sedetailnya," kata Cika, beralih menatapku serius.
Bingo! Rencana awal telah tercapai. Dengan membuat Cika menjadi perantara di kelas, kelihatannya ada beberapa hal yang nantinya dapat berjalan mulus. Meskipun begitu, awalnya aku sempat merasa tidak yakin untuk melibatkannya. Jika saja selama beberapa minggu ini dia tidak memiliki teman, aku yakin hari ini juga tidak akan mungkin meminta bantuannya. Selain mengharuskan subjek memiliki jalur interaksi dan komunikasi yang memadai, rencana 'kedepannya' juga mengharuskan subjek tanpa sadar terlibat dalam konflik secara internal.
Meskipun sebagai manusia aku merasa cukup kasihan harus menggunakannya, tapi ini adalah satu-satunya cara yang memiliki peluang paling besar dalam 'pencegahannya'. [tiba-tiba teringat dengan masa lalu] Ibarat seperti bom nuklir yang tidak dapat diprediksi kapan waktunya meledak, kupikir rencana ini sudah seperti hidup dan mati. Di sisi lain karena aku menggunakan 'subjek' dalam kasus ini, aku mungkin memiliki alibi jika rencana ini gagal. Tapi... bagaimanapun juga, Cika itu... [mengingat kembali pertemuan kami dua minggu sejak hari pendaftaran awal di sekolah futuristik] ... karena itulah aku berjanji—demi hubungan yang saling menguntungkan ini, aku akan menyukseskan rencana yang penuh resiko ini dengan seluruh keseriusanku.
***
Suasana di kelas bahasa tidak berubah sama sekali sejak kemarin. Sejak saat itu, keheningan canggung ini masih bisa kurasakan di antara hampir semua siswi di kelas dengan kelompok Mirza. Seakan-akan di dalam kelas setiap kelompok memiliki dunianya sendiri, seolah hal itu sudah dianggap wajar sampai tahap dimana mereka tidak berusaha mengusik satu sama lain. Secara objektif, mereka semua hampir terlihat seperti orang asing. Mungkin ada beberapa murid di kelas berkepribadian ekstrover yang terlihat tidak menyadari atau memilih membiarkannya saja suasana canggung ini. Tapi disisi lain, mereka yang berkepribadian introver mungkin lebih bisa mengenali 'perubahan atmosfer' yang cukup siginifikan ini.
Sama seperti biasanya, wali kelas kami Bu Milan mengajar sastra seolah-olah terlihat tidak menyadari akan suasana ini—tentu saja itu hanyalah penampilan luarnya saja, dugaan mereka yang tidak tahu menahu cara berpikir Bu Milan. Bagaimanapun juga, setiap guru memiliki cara tersendiri dalam mengajar. Umumnya, murid hanya bisa mengamati dan menerima cara guru dalam mengajar. Mengenai suasana ini seharusnya tidak semua orang dapat merasakannya, maka tidak dapat dipungkiri bahwa guru juga seperti itu. Terkadang setiap permasalahan itu bisa diselesaikan dengan kehadiran guru—tapi tidak semua masalah bisa teratasi atas bantuan guru, seperti masalah pribadi mereka yang harus bisa diselesaikannya sendiri. Jika permasalahan itu diibaratkan seperti teka-teki dan setiap orang yang memilikinya harus memecahkan teka-teki itu, maka tergantung waktu dan hasil keputusan dirinya sendiri, permasalahan mereka akan terus mengalami perkembangan dan perubahan seiring berjalannya waktu. Entah itu semakin mudah atau semakin sulit, semuanya tergantung dari hasil perbuatan mereka yang memulai proses dan mengakhirinya.
Setelah jam pertama dan kedua berakhir, jam selanjutnya sepertinya akan diisi oleh guru mapel geografi. Mengingat minggu lalu Mirza yang berulah membuat citra kelas bahasa dari perspektif Bu Eko menjadi buruk, aku menjadi penasaran apa tanggapan beliau bila menyadari suasana canggung ini.
"Selamat siang," sapa Bu Eko dengan ekspresi ketusnya, lalu segera duduk di meja guru.
''Siang!!"
Ternyata masih bisa seperti biasanya, beberapa siswa dan siswi yang duduk di barisan depan paling aktif menjawab sapaan beliau.
Sebelum memulai pelajaran, aku bisa melihat sorot mata beliau sedang memperhatikan sekelompok siswa yang duduk di barisan belakang.
Terlihat di sana, Mirza dan beberapa orang di kelompoknya mengambil sikap seenaknya sendiri. Hampir seperti saat jam pelajaran lainnya, mereka tidur di kelas dengan kepalanya yang dibenamkan di antara kedua tangan.
" ..."
Sebagian besar siswi tidak menghiraukan mereka, sebaliknya para siswi bahkan terlihat seperti sengaja tidak memperhatikan Mirza dan yang lain. Itu tidak seperti minggu lalu yang pada saat itu Mirza dan kelompoknya masih diberikan teguran keras.
" ..."
Kurang dari sepuluh detik, Bu Eko segera mengalihkan perhatiannya pada pelajaran yang akan di ajarkan dan sepertinya sudah tidak berminat lagi melihat kelakuan Mirza dan kelompoknya itu. Kupikir mereka memang lebih baik tidur saja daripada bangun hanya membuat kegaduhan kelas.
***
Berakhirnya jam keempat berarti selanjutnya adalah jam istirahat—tentu saja ini adalah saat dimana para siswa dapat mengambil jatah mereka di kantin. Dari sebagian besar siswa seperti kami yang sedang dalam masa pertumbuhan, terkadang porsi makan di kantin belum cukup untuk mengenyangkan perut. Karena itulah beberapa dari mereka terkadang juga memilih tempat selain kantin seperti restoran atau kafe yang berdekatan. Meskipun begitu, aku sendiri belum pernah mencoba pergi makan selain di kantin pada jam istirahat sampai dengan saat ini....
"Permisi, apa masnya mau pesan sesuatu?" Tanya seorang karyawan perempuan.
"Teh hangat," kataku.
"Baik, ditunggu ya."
Setelah memberikan pelayanan, dengan segera pelayan tersebut kembali bekerja. Sambil menunggu seseorang, sepertinya aku hanya bisa menghabiskan waktu sejenak, mengamati setiap sudut restoran selagi berada di sini. [Memperhatikan pelayan lain bekerja] Mungkin jika aku harus memberikan penilaian, pelayan di restoran ini cukup ramah. Melihat mereka yang sudah terbiasa melayani setiap pelanggan, kupikir mereka telah memiliki banyak pengalaman bekerja di sini dalam waktu yang lama. Lalu yang membuatku cukup terkesan, ternyata sebagian pelayan di sini merupakan kakak kelas tahun ketiga—salah satunya seperti pelayan perempuan yang mencatat pesananku barusan. Itu bisa dilihat jelas dari tanda pengenalnya yang terdapat tingkatan kelas, serta jurusannya.
"Maaf ya, apa agak lama menunggu?" Tanya seseorang yang telah kutunggu dan sekarang telah sampai, lalu dia segera duduk satu meja denganku, namun di kursi yang berlawanan.
"Tidak juga. Saya baru saja sampai," jawabku.
Identitas orang yang ku ajak bicara saat ini—dia adalah Bu Milan, wali kelas sepuluh bahasa, guru yang mengajar pelajaran sastra.
" ..."
Alasan mengapa kami bisa merencanakan bertemu di sini—itu karena aku menyarankan untuk melanjutkan percakapan kami waktu itu mengenai kondisi kelas ditempat yang lebih bisa intensif menjelaskan, serta kondusif. Itu yang ku tawarkan kepada beliau ketika Mirza dan kelompoknya sedang disidang privat di dalam kelas pada jam istirahat kemarin. Dan entah bagaimana, beliau setuju untuk meluangkan waktunya di jam istirahat ini.
"Langsung saja ke intinya, bagaimana caramu mengatasi situasi kelas yang sekarang?" Tanya bu Milan, seakan terburu-buru.
Sepertinya Bu Milan masih memiliki hal lain yang hendak dilakukannya setelah percakapan ini selesai. Dari sorot matanya, beliau terlihat begitu intensif menatapku.
"Sejujurnya aku sendiri belum bisa membuat keseluruhan konsep dari rencana ini. Hal yang bisa kupikirkan sekarang hanyalah solusi untuk masalah saat ini. Andai ibu berkenan bekerjasama membantuku, itu akan mempermudah prosesnya," kataku.
"Kamu berpikir ada peluang berhasil semisal mengikuti cara yang kamu susun sendiri ini?"
"Ibu mungkin tidak cukup percaya mendengar perkataan dari seorang siswa yang pendiam, apalagi saya hanya siswa biasa yang tidak seharusnya berlebihan melakukan ini. Mungkin ini memang keegoisan saya, tapi itu wajar, karena tugas saya di sini sebagai seorang siswa adalah belajar, meraih masa depan yang cemerlang tanpa terkekang oleh hambatan. Jika keadaan ini terus dibiarkan, percuma saya masuk kedalam kedalam jurusan yang saya inginkan tapi 'lingkungannya' tidak kondusif. Terus terang saya merasa percuma masuk ke sekolah ini jika semua hal yang pernah saya alami juga akan terjadi di sini. Pada akhirnya saya akan berpikir bahwa semua sekolah itu sama saja, meskipun modelnya telah berkembang sekalipun, itu masih akan tetap sama sampai kapanpun."
"Rafa?"
Karena sepertinya cara bicaraku sudah mulai terdengar mencekam suasana obrolan kami ini, Bu Milan terlihat seperti khawatir mendengar beberapa kalimat yang tak terkendali keluar dari mulutku begitu saja. Tentu saja itu bukan merupakan bahasa kasar atau sebagainya, hanya saja itu mungkin menyinggung perasaannya, seolah terkesan seperti aku yang kurang puas dengan suasana di sekolah ini dan memutuskan berkomentar buruk secara sepihak dengan wali pengajarku yang tidak memiliki kesalahan apapun.
"Maaf... sepertinya saya sudah berlebihan," kataku, berusaha menenangkan batinku.
Memang di masa lalu aku mungkin masih terbayang dengan salah satu 'kenangan buruk' yang pernah kulihat serupa seperti 'proses' kejatuhan kelas sekarang ini—tapi itu tidak bisa dijadikan alasan bahwa setiap permasalahan bisa diselesaikan dengan cara memaksa individu lain untuk merasakan hal yang sama.
"Kau pasti merasa tertekan ya—merasa harus segera terlepas dari kondisi lingkungan yang seperti itu."
Saat beliau mengatakan sesuatu yang di luar penampilannya, aku terkejut melihat perubahan ekspresinya, serta tangannya yang menggenggam tangan kananku di atas meja. Dari caranya memegang, aku tahu beliau sedang mencoba menenangkanku.
"Setiap tempat di sekolahan itu memiliki kelebihan serta kekurangannya masing-masing. Meskipun sekarang dunia pendidikan mengalami kemajuan pesat karena perkembangan teknologi, itu tidak mempengaruhi sudut pandang seseorang dalam berinteraksi di dalam lingkungannya. Murid punya hak tersendiri dan guru hanya berperan sebagai pengajar," kata Bu Milan, terdengar seperti menasehati.
Aku paham dengan apa yang ingin disampaikan oleh bu Milan. Disebuah tempat yang bernama sekolahan, sekumpulan murid itu sudah seperti 'kunci' dan guru adalah gerbang yang menuntun ke arah sumber pengetahuan. Jika sebagian besar dari 'kunci' tersebut memiliki masalah, tentu saja itu akan berpengaruh kepada gerbang yang hendak dibuka. Tidak dapat dipungkiri jika 'kunci' tersebut pada akhirnya memiliki potensi merusak gerbang yang mengakibatkan tempat bernama sekolahan akan lenyap ekstensinya secara bersamaan.
"Sejujurnya saya khawatir bila semua ini ada kaitannya. Saya harap semoga saja ini tidak akan menjadi seperti tahun lalu," lanjut kata Bu Milan, terdengar cukup misterius.
"Tahun lalu?"
"Waktu itu bisa dikatakan cukup parah."
"Memangnya apa yang pernah terjadi?"
"Sebagian kecil para murid melakukan kerusakan di kelas masing-masing. Lebih mengkhawatirkannya lagi, mereka kebetulan bertemu dan membentuk kelompok yang terdiri dari anak-anak bermasalah. Alhasil mereka secara bertahap membuat keributan hingga kekacauan besar di sekitar gedung sekolah selama hampir satu minggu sebelum mereka ditangani oleh anak OSIS dan polisi setempat."
"Polisi juga terlibat?"
"Kalo kekacauannya separah itu, sudah pasti polisi akan turun tangan."
"Kedengarannya itu seperti peristiwa yang memilukan."
"Tapi dari ekspresimu kelihatannya kau tidak banyak terkejut."
"Itu sudah biasa, aku memang selalu begini."
"Begitu ya, kukira kau tidak tertarik mendengarnya," kata beliau, kembali ke kondisinya semula, tersenyum ceria.
Sepertinya sekolah ini juga memiliki kisah kelam di masa lalu. Meskipun kejadian yang hampir sama telah lama usai, bukan berarti semuanya sudah dibereskan. Ada kemungkinan jika peristiwa itu dapat terulang kembali—dan dibalik keseluruhannya, mungkin ada seseorang atau kelompok yang mengendalikan alur semacam itu dari balik layar.
"Siapa murid yang memulai peristiwa itu?" Tanyaku terus terang.
"Sebenarnya semua guru juga masih mempertanyakannya. Diantara mereka yang berhasil diamankan, semuanya berusaha keras membela diri dan bahkan sampai berani bersumpah. Jika saja ada sebuah alat yang bisa mendeteksi kebohongan, mungkin kasusnya akan lebih jelas terungkap. Tapi... sampai saat inipun, tidak ada petunjuk yang bisa didapat."
"Itu berarti, pada akhirnya para OSIS dan polisi hanya mengamankan mereka saja dan memberikan sanksi hukuman yang setara, begitu?"
"Kurang lebih."
"Pasti ada sesuatu yang masih tersembunyi di bagian itu," kataku, berdasarkan kemungkinan lain yang bisa kutemukan.
"Ibu rasa juga begitu. Tapi hendak dicari kemanapun, jejaknya sudah tidak akan lagi bisa dilihat."
"Menurut ibu, apa ada sesuatu yang mencurigakan saat proses mengamankan mereka dengan kejadian setelahnya?" tanyaku.
"Saya pikir tidak ada yang bisa mereka lakukan setelah diamankan."
"Saya ragu kalau polisi juga ikut terlibat kedalamnya. Maka itu berarti... kemungkinan yang paling mendekati—ada salah seorang atau kelompok di antara OSIS yang bekerjasama dengan mereka," kataku, menyelidik alurnya.
"Itu... memangnya mungkin? Tapi selama setahun ini saya rasa tidak ada yang terjadi di antara anak OSIS. Dan kelompok OSIS juga berjalan lancar tanpa adanya masalah."
"Justru karena tidak ada masalah, itu yang mereka harapkan. Bisa jadi mereka sengaja bersembunyi dibalik jabatan. Coba ibu pikirkan, misalkan OSIS yang memiliki alibi sebesar itu di dalam sekolah, melakukan kerjasama dengan anak-anak bermasalah dengan dalih menyelematkan, ada sebuah potensi dimana mereka dapat menyelesaikan masalah dengan kepentingan kedua belah pihak. Entah kekacauan itu sebenarnya berasal dari OSIS atau anak bermasalah, setidaknya pasti ada dua kelompok yang terlibat dalam negosiasi ini."
"Kalo seperti itu bagaimana dengan posisi dalangnya?"
"Sementara sampai tahap ini, saya belum bisa menyimpulkan posisinya, apakah berasal dari OSIS atau anak bermasalah. Akan tetapi, setelah mendengar petunjuk dari ibu, sepertinya saya punya cara tambahan yang lebih efektif untuk mencegah kekacauan di kelas bahasa."
"Cara seperti apa itu?" Tanya beliau.
"Saya akan menggunakan cara yang sama seperti dalang itu melakukan. Mungkin akan ada sebuah petunjuk lain yang bisa saya temukan semisal melakukan langkah yang sama sepertinya," jawabku.
Setelah mengatakannya, ada keheningan sejenak di antara kami. Sementara Bu Milan masih memegang kepalanya memikirkan serius permasalahan ini, minuman yang beliau pesan ditengah pembicaraan kami sudah diantar oleh pelayan yang kemudian ditaruh di atas meja.
"Menurut perkataan kamu tadi, apa berarti sekarang kamu mencurigai OSIS?" Tanya beliau, seolah sedang memastikan.
"Untuk sekarang anggap saja seperti itu," jawabku.
"Lalu... untuk permasalahan di kelas bahasa, apa rencana tambahanmu?"
"Apa ibu memang berkenan membantu saya?" Tanyaku, memastikan.
"Itu tergantung dari posisi yang bisa saya kulakukan. Jadi semisal rencanamu itu di luar kemampuan saya sebagai guru, jangan berharap banyak dari ibu," kata Bu Milan, samar-samar terlihat tegas.
"Saya mengerti," kataku.
Seiring berjalannya waktu di dalam obrolan ini berlangsung, ekspresi Bu Milan yang begitu serius dan tak pernah sekalipun ditujukkan di dalam kelas, kini bisa kulihat secara jelas di hadapanku. Meskipun beliau terlihat cukup tenang di awal, seperti yang kuduga itu tidak berlangsung lama. Seolah ada angin yang menerjang dirinya, beliau kehilangan sikap ketenangannya sampai akhir ini. Mungkin kondisi ini memang hasil yang sudah ku perkirakan, tapi yang paling mengejutkan, aku sama sekali tidak menduga akan berjalan semulus ini—meskipun tahu bahwa situasinya akan menjadi sangat melelahkan, merepotkan dan menguras banyak tenaga.
"Bagian anda cukup melakukan akting didepan kelas," kataku.
"Akting?"
"Anda akan menjadi karakter 'guru yang sedih melihat kondisi murid dan kelasnya yang begitu mengenaskan'"
"Apa itu sungguh perlu? Apa gunanya untuk rencanamu itu?" Tanya bu Milan, terlihat agak ragu.
"Menggerakkan hati mereka, itulah poin utamanya. Kupikir anda yang berpengalaman menghadapi para murid bertahun-tahun bisa melakukan itu tanpa hambatan. Apa mungkin ada sesuatu lain yang mengganggu anda?" Balik tanyaku.
"Satu-satunya hal yang menggangguku mungkin adalah perspektifku mengenai rencanamu ini yang masih terdengar abstrak," jawab beliau terus terang.
"Memang kedengarannya rencanaku ini cukup berbelit-belit dan secara objektif tidak efektif, itu pasti yang dipikirkan oleh anda. Tapi... bila melihatnya dari sudut pandang yang lain, semakin rumit konsep yang dibuat, maka akan semakin tinggi juga tingkat keberhasilan kita dapat mengendalikan satu kelas."
"Jadi sejak awal kamu memang sengaja membuat rencana serumit itu? Apa kamu tidak bisa menjabarkannya agar lebih mudah dipahami?"
"Seperti yang saya katakan sebelumnya, konsep rencana ini juga bisa dibilang mengikuti alur. Jadi saya sendiri juga tidak bisa menebak sebab akibatnya yang akan terjadi selama prosesnya berjalan hingga akhir nanti."
"Meskipun kamu berkata begitu... selama percakapan ini berlangsung bukankah kamu selalu memikirkan 'rencana selanjutnya'?"
Agak mengejutkan beliau mampu menyadari pemikiranku. Seperti yang ku harapkan dari guru berpengalaman, beliau memiliki kemampuan melihat cara berpikir, bertindak dan menganalisa seorang murid yang umumnya jarang dapat dilakukan secara bersamaan oleh kebanyakan guru pada umumnya.
"Itu bukanlah rencana, melainkan sebuah perhitungan," jawabku, mencoba mengelabuhinya.
"Perhitungan?"
"Ini mirip dengan bagaimana seseorang melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat dihasilkan bila seseorang bertindak memulainya."
"Maksudmu... kau hanya menebak apa yang akan terjadi di bagian akhirnya saja?"
"Begitulah konsepnya."
Sepertinya beliau bisa menerima perkataanku mengenai 'perhitungan' yang kusampaikan. Seharusnya itu sudah cukup untuk bisa menutupi kecurigaannya... tidak, mungkin lebih tepatnya mengalihkan kecurigaan agar beliau tidak ragu menjalankan rencana ini.
[Huff... huff... huff...]
Tanpa kusadari—sudah selama ini aku membiarkan diriku melewati batas berbicara di tempat yang semakin berisik. Sepertinya, sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan resiko yang hampir selalu ku hindari setiap saat dimanapun ku berada.
"(Ini buruk....)"
Disisi lain penglihatanku yang semakin kabur, Aku bisa merasakan keringat dingin menyerbu seluruh tubuhku dan mengganggu beberapa inderaku secara bersamaan.
" ... Rafa ...? Rafa...? apa kamu baik-baik saja...? Rafa....?" panggil beliau yang sepertinya telah menyadari keanehan dariku.
Biasanya dalam kondisi ini aku akan segera lari jika berada dalam keramaian. Tapi... disaat ini aku merasa masih ada hal penting lagi yang harus kusampaikan–sepatah atau dua kata—ingatanku juga semakin kabur. Jika mengingat sekilas kondisi yang sudah 'memicu' sejauh ini... sepertinya tidak ada hal lain lagi bisa menangguhkannya ["Bruk...!!"]
"Rafa?!"
" ...."
"Bantuan! Tolong pelayan..."
" ...!"
"Ada yang pingsan..."
"Segera di bantu..."
" ..."
" ..."
***
Terkadang setiap individu memiliki masalah yang tak dapat diceritakan kepada individu lain. Hal seperti itu sudah lama ada dan telah menjadi ciri khas seseorang yang tak dapat bergaul dengan sesamanya. Sama halnya dengan seorang introvert, mereka yang tak dapat terbuka sangat rentan merasakan penderitaan batin yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Terkadang 'kerusakan' tersebut bisa juga diakibatkan oleh orang lain. Namun, pada akhirnya itu akan menjadi salah sendiri karena gagal menjaganya.
Jika salah seorang individu sudah tak dapat lagi membendung beban mental yang ia miliki,' kerusakan' di dalam dirinya akan mulai terlihat dan akan semakin berkembang seiring berjalannya waktu, di dalam kondisi yang sama. Umumnya, seorang introvert yang memiliki gejala penyakit tersebut dikarenakan dirinya anti sosial dan tak dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Kondisi ini sudah mirip dengan penampakan 'spesies makhluk yang sama dari luarnya, namun berbeda dari dalamnya'. Disisi lain ada juga seorang introvert yang memang dikarenakan keturunan atau mungkin sudah menjadi bagian dari takdir mereka. Selama belum menemukan jati diri yang sebenarnya, mereka akan terus menderita, dihajar oleh waktu dan kebosanan.
'Semua yang terjadi pasti akan terjadi dan semua yang benar-benar terjadi tidak semuanya dapat terjadi'. Ada beberapa novel yang membahas mengenai konsep dunia, sistem universal ini berjalan, namun... sebenarnya belum ada salah satu dari mereka yang benar-benar tahu kebenarannya. Tidak lain dan tidak bukan, itu sudah menjadi batasan manusia. Semua manusia memiliki limiternya sendiri dan sifat ketergantungan itulah yang akan terus menghambat manusia dalam bertindak dan berpikir secara bersamaan. Segala kemungkinan yang bisa diciptakan seharusnya dapat di jelajahi dan di akses oleh otak... tapi...
"Seperti biasa kau memang pendiam ya," kata seseorang, terlihat samar-samar di dalam ingatanku... sedang menyentuh rambutku.
"Jadi, kakak sudah akan pergi?" Tanyaku, mendongak melihat wajahnya yang kabur.
"Sepertinya begitu—kuharap kau bisa bersekolah di tempat yang lebih damai dan cocok untukmu," kata orang itu, dengan raut wajah yang sedikit berubah.
"Apa aku bisa mengalahkan kakak jika kakak tidak berada di sini lagi?" Lanjut tanyaku.
"Ya—kau pasti bisa lebih jenius dari kakak selama kau berada di sini. Jagalah adikmu dan keluarga kita."
Ah... aku sedikit mengingatnya. Itulah kata 'kebohongan' pertama kali yang keluar dari mulutnya. Sebuah kata manis yang bertujuan membuatku stagnan di dalam satu tempat, lingkungan yang sama seperti berada di lingkaran setan.
"Apa kakak akan kembali?"
"Aku tahu kau sudah cukup besar untuk mengerti. Meskipun fisikmu terlihat seperti anak-anak pada umumnya, pemikiranmu sudah jauh lebih berkembang. Tanpa kuberitahu, kau pasti sudah pasti tahu, kan...."
" ...."
"Tidak perlu khawatir," kata orang itu, sekali lagi menyentuh dan mengacak-acak rambutku.
Entah sudah berapa lama waktu itu berlalu, sekilas kenangan itu membuat kepalaku merasa sedikit lebih ringan. Banyak waktu dan usaha yang telah ku korbankan sejauh ini untuk mengejarnya sampai di sini... dan sekarang... aku memiliki kesempatan untuk bertemu kembali dengannya, lalu mengalahkannya sebelum dia lulus. Mungkin memang tidak mudah menemukannya, apalagi dengan ekstensiku yang sekarang pasti sama sekali belum cukup mencolok untuk bisa di liriknya... tapi, aku merasa bahwa pertemuan kami tidak akan lama lagi....
"Uh...."
Secara mengejutkan aku terbangun dengan melihat langit-langit berwarna putih. Aku sempat berpikir jika saat ini berada di rumah sakit—tentu saja itu pasti tidak mungkin.
"Oh, sudah bangun," kata seseorang yang ada di ruangan itu.
" ..."
"Saya Bu Yanti, perawat di UKS ini."
Seraya memperkenalkan diri, beliau mendekatiku dan memeriksa kondisiku dengan stetoskop.
" ..."
"Sepertinya kondisimu sudah lebih stabil," kata beliau, usai memeriksa.
" ..."
"Tadi itu sangat mengkhawatirkan lho. Saat Bu Milan membawamu kemari kukira kamu terkena serangan jantung. Dia juga sampai panik menjelaskan kondisimu yang mendadak ambruk di dalam restoran. Sungguh tidak pernah berubah, sifat alaminya yang seperti itu," kata beliau, terdengar sangat mengenal sosok Bu Milan.
"Itu berlebihan," kataku, lantas mencoba beranjak dari ranjang.
Ditengah usahaku berdiri, aku bisa merasakan seluruh tubuhku yang belum sepenuhnya stabil. Selain telapak kaki yang masih mati rasa, sepertinya di beberapa bagian anggota tubuh juga terasa kaku seperti baru saja habis dipukuli.
"Kamu ingin kembali ke kelas kan? Sebaiknya tidak perlu memaksakan diri. Kamu bisa beristirahat dulu di sini sampai benar-benar pulih," kata Bu Yanti, sengaja melihat usahaku berdiri, sama sekali tidak bergerak mencegahnya.
"Ngomong-ngomong sebelum pergi tadi, Bu Milan sempat bilang agar kamu tidak perlu mengkhawatirkan jam pelajaran saat ini," lanjut beliau.
Setelah mendengar hal tersebut, sekilas aku menghentikan usahaku untuk berdiri, kemudian mengatur posisiku kembali berbaring di ranjang—menatap langit-langit ruangan yang berwarna putih.
Sayang sekali sekarang tidak bisa melihat dan mengawasi progres mereka secara langsung. Sepertinya aku hanya bisa berharap kepada Cika dan Bu Milan agar mereka bisa memainkan peran dengan potensi yang maksimal—tidak, mungkin setidaknya bisa sesuai yang diharapkan. Apapun hasilnya, itulah yang akan mempengaruhi bagian akhir dari rencana ini nanti.
The Call(er)
1105
637
10
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya.
Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...