Pagi itu, lapangan SMA Garuda Nusantara penuh sesak oleh siswa-siswi kelas 12 yang mengenakan seragam lengkap. Wajah-wajah cemas dan penuh harap terlihat di mana-mana. Beberapa tersenyum, beberapa sibuk berdoa dalam hati. Bari berdiri di barisan tengah, tepat di antara Aditya dan Vania. Tangannya menggenggam lengan bajunya erat, dan matanya terpaku ke podium di mana Kepala Sekolah, Pak Tirto, berdiri dengan map biru di tangan.
"Selamat pagi, anak-anak semua," ucap Pak Tirto dengan suara lantang namun ramah. "Hari ini, kita berkumpul untuk mengumumkan hasil Ujian Nasional kalian."
Suasana mendadak senyap. Setiap tarikan napas terdengar. Bari menunduk, mulutnya bergerak lirih membaca doa.
"Saya tahu kalian sudah menunggu ini dengan cemas. Tapi pertama-tama, saya ingin mengatakan bahwa saya sangat bangga dengan kalian semua. Tahun ini... seluruh siswa kelas 12 SMA Garuda Nusantara... lulus 100%."
Suara riuh meledak di seluruh lapangan.
Bari terdiam beberapa detik, seolah butuh waktu untuk mencerna kata-kata itu. Lalu, matanya membesar, bibirnya bergetar, dan air mata mulai menetes di pipinya.
"Aku... lulus...," gumamnya, sebelum tubuhnya menggigil dan bahunya bergetar hebat.
Aditya memeluknya dari samping. Vania ikut menyusul dari sisi lain. Ketiganya berpelukan di tengah keramaian, tertawa dalam tangis.
"Terima kasih... kalian... kalian selalu percaya sama aku," ucap Bari terbata-bata. "Ngajarin aku, dukung aku, bahkan waktu aku sendiri udah nyerah. Kalian kasih aku harapan saat aku ngerasa hidupku udah selesai."
Vania mengusap air matanya dan memeluk Bari lebih erat. "Kita lulus bareng, Bar. Kita bertahan bareng."
Suasana lapangan kian meriah. Siswa-siswi saling berpelukan, beberapa melompat kegirangan, ada yang menjerit bahagia, dan lainnya menangis terharu.
Namun euforia belum selesai.
Pak Tirto kembali mengambil mikrofon. "Anak-anak, kita juga akan mengumumkan pemilik nilai tertinggi Ujian Nasional tahun ini."
Aditya dan Vania saling pandang. Dulu, mereka mungkin akan merasa tegang mendengar pengumuman ini, tegang hingga mengetahui siapa yang akan juara satu di sekolah setiap ujian. Namun kini, tidak. Mereka saling tersenyum.
"Kamu yakin ngebuat salah satu soal?" tanya Aditya sambil menyeringai.
"Iya. Di soal nomor 18. Kamu?"
"Soal 22," jawab Aditya cepat. Mereka berdua tertawa kecil.
"Kita gila ya," gumam Vania.
"Banget. Tapi kalau kamu nggak jadi nomor satu pun, aku juga nggak mau," kata Aditya, tulus.
"Sama."
"Dan... dua siswa dengan nilai tertinggi tahun ini adalah... Vania untuk jurusan IPA, dan Aditya untuk jurusan IPS!" seru Pak Tirto.
Seluruh lapangan kembali riuh. Sorak-sorai membahana. Vania dan Aditya dipanggil ke depan podium. Mereka berjalan berdampingan, saling melempar senyum. Pak Tirto memberikan senyuman tipis untuk keduanya kemudian mengalungkan medali emas di leher mereka masing-masing dan menyerahkan sertifikat penghargaan.
Namun di balik senyum mereka, ada perasaan ganjil. Vania menunduk sejenak.
"Rasanya... hampa ya," bisik Aditya.
"Iya," jawab Vania pelan. "Apalagi tahu aku nggak bisa kuliah."
Aditya menoleh cepat. "Van..."
"Nggak apa. Aku udah ikhlas," ucap Vania lirih.
Setelah upacara, Pak Tirto menghampiri Vania. Dengan suara rendah, ia berbisik, "Setelah upacara, datang ke ruang saya, ya. Ada yang perlu kita bicarakan."
Nyatanya, Bari dan Aditya juga dipanggil ke ruangan yang sama. Ketiganya duduk di hadapan Pak Tirto, masing-masing membawa kebingungan dan rasa penasaran.
Bari yang pertama bersuara. "Pak, ini soal beasiswa, ya? Saya... saya sebenarnya juga mau tanya. Apakah sudah ada informasi mengenai keputusan beasiswa, Pak?"
Pak Tirto menatap ketiga anak itu dengan ekspresi datar. "Sudah," katanya, "Selamat Bari, kamu mendapatkan beasiswa ke Universitas Angkasa."
Kedua mata Bari berbinar, senyumannya merekah lebar. Pemuda itu langsung melonjak girang seperti pemain sepak bola yang sudah berhasil menendang bola masuk gawang lawan. Namun begitu ia melihat Aditya dan Vania bergeming di kursi masing-masing, tertunduk dengan lesu, senyumannya memudar. Ia merasa ada yang janggal.
"Dit, Van," tanyanya, "kita dapat beasiswa itu! Kok kalian murung?"
Aditya menarik napas. "Bar... kita perlu jujur."
Vania mengangguk. "Sebenarnya, spot beasiswa itu cuma satu."
Bari menatap mereka, terkejut. Kemudian ia menatap Pak Tirto yang masih memberikan ekspresi datar.
"Kita sempat bersaing buat dapet itu," lanjut Aditya. "Tapi sebulan lalu, kami sepakat untuk mundur. Kami minta ke Pak Tirto supaya beasiswanya diberikan ke kamu."
"Apa?! Kenapa kalian—"
"Karena kamu pantas dapet kesempatan itu, Bar," potong Vania lembut. "Dan kami tahu kalau kita kasih tahu kamu dari awal, kamu pasti nolak."
Pak Tirto tersenyum dari balik meja. "Saya menyetujui rencana mereka karena niatnya tulus. Dan saya senang bisa melihat perubahan luar biasa dari kalian bertiga."
Bari menunduk, matanya mulai basah lagi. "Aku... nggak tahu harus bilang apa..."
"Bilang terima kasih aja udah cukup," kata Aditya sambil menepuk punggung Bari.
"Ga usah bilang," kata Vania dengan senyuman tulus, "kamu kembalilah jadi orang yang sukses dan hidup yang baik untuk kamu, Shania, dan Rayendra."
Genangan air mata mulai menumpuk di pelupuk mata Bari. "Ta– tapi kalian gimana jadinya?"
Aditya mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Ibuku masih punya simpanan untuk aku kuliah. Tadinya aku maunya Ibu pakai uang itu untuk operasi kankernya. Tapi Ibu gamau operasi dan aku ga bisa maksa."
"Tapi tunggu, Pak... gimana sama Vania? Dia diusir dari rumah. Ayahnya menolak membiayai dia kuliah. Dia sendiri nggak punya dana buat kuliah," tanya Aditya pada Pak Tirto. Ia jauh lebih mencemaskan Vania daripada masa depannya sendiri.
Pak Tirto tersenyum. "Saya belum selesai. Saya tahu betapa pentingnya pendidikan bagi kalian. Karena itu, saya mengajukan permohonan ke Universitas Angkasa untuk menambah spot beasiswa lagi. Saya mengirimkan esai tentang proyek humaniora kalian—bagaimana kalian bertiga saling membantu, bagaimana Vania dan Aditya membimbing Bari keluar dari masa gelapnya."
Aditya menatap Pak Tirto tak percaya. "Dan... jawabannya?"
"Mereka sangat terkesan. Saking terkesannya mereka memberikan tambahan beasiswa untuk kamu, Aditya."
Aditya menghela napas, terharu. Ia sama sekali tidak menyangka Pak Tirto akan membantu dirinya hingga sedemikian rupa. Kini ia masih tetap bisa kuliah tanpa perlu menyentuh uang tabungan operasi Ibunya –meski, Ibunya saat ini masih menolak operasi. Tapi segera ia menoleh ke Vania. "Kalau gitu... Vania?" Aditya menoleh ke arah Vania dengan cemas.
"Universitas Angkasa tidak memberikan beasiswa untuk Vania," kata Pak Tirto dengan datar.
Meski Vania bergeming, Aditya sangat tahu karakter perempuan itu. Pasti Vania merasa hancur. Dengan cepat ia berkata, "Jangan khawatir, Van. Uang kuliah gue tadinya bisa buat lo. Gue akan pastiin lo bisa kuliah."
"Tapi bukan berarti Vania tidak mendapatkan beasiswa," lanut Pak Tirto.
Ketiga murid itu kembali berfokus pada Kepala Sekolah nan misterius di depan mereka.
Pak Tirto tersenyum lebih lebar. "Saya juga mengirimkan proposal yang sama ke beberapa universitas top lainnya, baik di dalam maupun luar negeri. Dan saya baru mendapat kabar bahwa University of District London menerima Vania. Mereka menawarkan beasiswa penuh... di jurusan bisnis."
Vania terperangah. "Bisnis...? Tapi... saya kan mendaftarnya jadi dokter, Pak."
"Mereka kagum karena kamu mendanai proyek ini dari hasil menjual catatan-catatan lamamu. Karena kreativitasmu, kalian punya dana untuk memancing Bari berhenti tawuran dan akhirnya mau belajar. Kalian berdua memang dipuji dengan problem solving skill kalian di ptoyek ini; bagaimana kalian mempelajari masalah utama, membuat rencana, kemudian menyelesaikan masalah. Tetapi Insting bisnis, ide sosial, dan strategi Vania lah... yang membuat University of District London terkesan," jelas Pak Tirto. "Saya tahu ini bukan jurusan yang kamu pikirkan sejak awal. Tapi mungkin... ini jalanmu yang sebenarnya. Mereka terutama bersimpati pada latar belakangmu yang perempuan dan tidak diperbolehkan untuk kuliah. Salah satu misi dari universitas ini adalah mendukung pebisnis perempuan dari kalangan yang diskriminatif terhadap perempuan."
Vania terdiam. Perlahan, air mata menetes dari matanya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan dan terisak.
"Aku... bisa kuliah..." gumamnya.
Pak Tirto mengambil kedua tangan Vania dengan lembut. "Pikirkanlah kesempatan ini baik-baik Vania. Mereka menawarkan biaya kuliah penuh, lengkap dengan biaya akomodasi dan kebutuhan sehari-hari. Bila kamu memanfaatkan kesempatan ini, mungkin kamu bisa berdiri di puncak global suatu hari nanti. Saat itu terjadi, kamu akan melihat bahwa Ayahmu yang berpikiran sempit hanyalah satu dari orang-orang kecil yang berhasil kamu lewati."
Air mata Vania menuruni pipinya. "Ba... bagaimana Pak Tirto mengetahui mengenai... keadaan keluarga saya?"
"Sebut saja indera keenam Kepala Sekolah ini, hm," Pak Tirto tersenyum lembut.
Pak Tirto berdiri dari kursinya. "Anak-anak... sebagai orang dewasa, terutama guru, tugas kami adalah membimbing kalian, memastikan kalian tetap berada di jalan yang benar, dan melihat potensi kalian sendiri. Kami bertugas memastikan masing-masing dari kalian mendapatkan kesempatan belajar yang baik dan mendorong kalian menuju impian kalian."
Ia melangkah mendekat, menepuk pundak mereka satu per satu.
"Saya bangga karena kalian membuktikan, nilai bukanlah segalanya. Aditya dan Vania, kalian dulunya selalu mementingkan nilai saja sehingga selalu berantem dan tidak memperhatikan salah satu teman kelas yang sedang kesusahan. Kini kalian menyerahkan kesempatan yang kalian incar karena merasa Bari lebih membutuhkan kesempatan itu."
Lanjut Pak Tirto, "Bari, kamu dulunya sudah menyerah akan mimpi-mimpimu. Namun setelah mengambil uluran tangan Aditya dan Vania, kamu akhirnya berani berjuang untuk mimpimu lagi."
"Anak-anak, yang penting adalah bagaimana kalian memperlakukan orang lain, bagaimana kalian memilih untuk berjuang bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk satu sama lain," kata Pak Tirto, "itu adalah tujuan utama dari proyek humaniora ini. Beasiswa-beasiswa yang kalian dapatkan hanyalah bonus."
Ruangan hening. Hanya isakan Vania yang terdengar. Sementara Bari dan Aditya berusaha menahan air mata yang juga sudah membendung. Dengan lembut, Aditya mengusap rambut Vania, memberitahu gadis itu dengan gestur bahwa Vania tidak sendirian.
"Terima kasih, Pak," kata Bari pelan. "Saya nggak akan sia-siakan kesempatan ini."
"Aku juga," tambah Aditya.
Vania menatap mereka berdua dengan mata sembab, meski senyum mengembang di bibirnya.
Dan di hari itu, di ruang kepala sekolah, tiga remaja menemukan bahwa hidup memang tak selalu sesuai rencana. Namun justru di situlah letak keajaibannya.
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku