Malam sebelum keberangkatan Vania ke Inggris, Aditya menemuinya di teras depan rumah. Tempat itu sudah menjadi tempat tenang mereka sejak pertama kali Vania tinggal di rumah itu, tempat di mana banyak percakapan penting terjadi, dan di mana Aditya memperkenalkan berbagai makanan serta minuman pada Vania.
Langit malam cerah dengan bintang-bintang bertaburan, dan angin bertiup lembut menyentuh dedaunan.
Aditya datang membawa dua gelas susu hangat seperti biasanya. Ia menyerahkan satu ke Vania yang duduk di kursi rotan.
"Terima kasih," kata Vania sambil tersenyum. Ia menatap langit malam, lalu menghela napas. "Besok aku berangkat. Rasanya masih belum percaya."
Aditya duduk di sebelahnya, agak canggung. "Iya... akhirnya ya. Kamu beneran gapapa ambil jurusan bisnis di sana?" tanya Aditya untuk kesekian kalinya.
Vania mengangguk pelan. "Awalnya aku ragu. Tapi setelah dipikir-pikir... mungkin ini jalan yang dikasih semesta buat aku. Aku suka merancang sesuatu, mengatur alur kerja, bahkan waktu aku jualan catatan dulu—itu semacam stimulasi yang bikin aku hidup."
"Tapi kamu masih mikirin soal jadi dokter, nggak?"
"Kadang. Tapi bukan dengan rasa kecewa. Lebih ke... rasa hormat. Mungkin jadi dokter adalah impian versi aku yang dulu. Tapi sekarang, aku berubah. Aku masih pengin bantu orang, tapi lewat cara yang lain. Lewat bisnis sosial, misalnya."
Aditya menatap Vania lama. Kemudian ia bertanya pelan, "Kamu yakin bisa di sana sendirian? Maksudku... kalau nanti asam lambungmu kambuh? Kalau kamu kesusahan? Kalau kamu lupa jalan pulang kayak waktu itu?"
Vania menoleh. Senyumnya hangat tapi mantap. "Aku tahu kamu khawatir. Tapi aku akan baik-baik saja, Dit. Aku udah belajar banyak selama beberapa bulan ini. Aku tahu kapan harus istirahat, kapan harus bilang 'nggak kuat'. Lagian, teknologi sekarang bikin semua orang bisa tetap terhubung. Kamu cuma satu video call jauhnya."
"Janji ya! Kamu akan video call aku dan Ibu setiap hari. Kita perlu memastikan kamu hidup setiap harinya kalau ga Mamimu pasti akan memburu kita."
"Iya, aku janji," kata Vania dengan tawa ringan.
Aditya tertawa pelan, tapi tidak lama. Matanya tetap serius. "Van... ada satu hal yang dari dulu pengin aku omongin. Tapi aku selalu tunda. Aku pikir, setelah kelulusan, semuanya akan jelas. Tapi ternyata... nggak segampang itu."
Vania menatapnya. "Apa, Dit?"
Aditya menarik napas panjang, lalu menatap langsung ke mata Vania. "Aku suka sama kamu."
Vania berkedip. Sekali. Dua kali.
Jantungnya berlari meski semilir angin malam sedikit menyamarkan degup jantungnya.
"Dari dulu. Bukan karena kamu pintar atau cantik –meski menurutku kamu cantik. Sangat cantik. Tapi juga karena kamu... kamu selalu tahu siapa dirimu. Kamu selalu berani buat berdiri, buat memperjuangkan yang benar, bahkan waktu kamu tersudut di rumahmu yang dulu. Kamu ngajarin aku banyak hal. Dan aku pengin terus ada buat kamu. Aku ingin... selalu bisa menjadi seorang yang kamu andalkan dan menjadi pelindungmu."
Vania membeku. Matanya membulat, dan ia refleks menatap ke arah gelas di tangannya. Hening.
Satu detik. Dua. Kemudian tiga.
Tiga detik yang terasa seperti seabad.
Matanya berlinang. Gelombang rasa berkecamuk di dadanya, membuat bongkahan kasar di tenggorokkannya.
"Dit... makasih. Beneran. Aku terharu," katanya pelan. Ia meletakkan gelasnya di sisi bangku, menatap Aditya dengan lembut. "Tapi aku belum siap. Saat ini, aku ingin fokus ke diriku sendiri dulu. Aku butuh belajar mengenal dunia –apalagi karena kini aku tidak dibatasi Papa atau beban biaya, dan aku perlu mengenal diriku lebih jauh lagi tanpa bergantung pada siapa pun."
Aditya mengangguk, meski jelas terlihat kecewa. "Aku ngerti. Aku nggak nyesel udah bilang. Aku cuma... pengin kamu tahu sebelum kamu pergi."
"Dan aku senang kamu bilang sekarang, bukan nanti. Tapi... maukah kamu nunggu aku? Nunggu sampai aku kembali ke Indonesia? Nanti ketika aku kembali, aku janji akan ngasih jawaban."
Aditya menatapnya dengan sedikit harapan yang tersisa. "Kamu janji?"
Vania tersenyum. "Aku janji. Kalau kamu masih di sini saat aku pulang, aku akan beri kamu jawabannya. Dan siapa tahu, saat itu... kita udah sama-sama lebih dewasa untuk benar-benar tahu apa yang kita mau."
Aditya mengangguk. "Oke. Aku akan nunggu. Tapi bukan sebagai beban ya. Aku juga pengin berkembang. Siapa tahu, saat kamu balik, aku juga udah jadi versi terbaik dari diriku."
"Itu janji, ya?" tanya Vania sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Aditya menyambutnya dengan jari kelingkingnya juga. "Janji."
Mereka berdua tersenyum dalam diam. Malam kian larut, tapi hati mereka terasa lebih ringan. Mereka tak tahu seperti apa masa depan akan membentuk mereka, tapi malam itu, mereka tahu satu hal: mereka sedang berjalan ke arah yang benar. Meskipun jalannya terpisah, keduanya tetap punya tujuan yang saling menantikan di ujung waktu.
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku