Loading...
Logo TinLit
Read Story - Help Me Help You
MENU
About Us  

Ujian Nasional diadakan serentak di setiap sekolah dengan jam yang sama. Setiap murid duduk di bangku secara berseling antara murid IPA dan IPS untuk mencegah kecurangan. Tidak terduga, Aditya, Vania, dan Bari berada di kelas yang sama.

Aditya duduk di sebelah kiri, kakinya mengetuk lantai sejak pengawas menyebut kata "Mulai." Ia menatap lembar soal IPS dengan cermat, satu alisnya terangkat, lalu turun perlahan. Tangannya cepat menyusuri soal, seakan otaknya sudah menyiapkan jawaban sejak kemarin. Tapi bukan hanya soal yang memenuhi benaknya pagi itu.

Ia sempat melirik ke bangku kanan depan. Di sana, Vania duduk dengan rapi, rambut dikuncir setengah, seragam putih abu-abu yang disetrika rapi pagi tadi oleh ibunya. Vania adalah siswa IPA, anak yang selalu masuk tiga besar sejak kelas sepuluh. Ia tampak tenang, bahkan nyaris terlalu tenang.

Aditya menahan napas saat melihat Vania menggigiti kuku jempolnya—kebiasaan lama yang hanya muncul saat dia benar-benar gugup.

"Kenapa, Van?" bisik Aditya dalam hati. Namun tak ada waktu untuk risau, lembar soal menunggu.

Aditya tahu bahwa Vania cukup percaya diri dengan ujian ini dan pasti perempuan pintar itu akan lulus dengan nilai mengagumkan. Namun tetap saja Aditya tidak bisa tidak khawatir ketika melihat gadis itu kesakitan karena penyakit lambungnya.

Sementara itu, di bangku paling ujung kanan, Bari duduk dengan punggung sedikit membungkuk. Tangannya menggenggam pensil 2B dengan erat. Soal pertama belum selesai dibaca saat bel masuk tadi, dan kini ia masih terhenti di nomor lima. Pelipisnya berkeringat, dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Ayo Bar," gumamnya. "Baca pelan-pelan. Pahami. Fokus."

Ia menutup mata sejenak, menarik napas dalam, lalu membuka lagi. Ia mulai dari nomor lima lagi. Soal ekonomi. Tentang inflasi. Ia menimbang pilihan, membayangkan grafik yang ia pelajari semalam. Ia ragu—antara opsi B dan D. Tapi ia tahu tak boleh terlalu lama di satu nomor. Waktu adalah musuh hari ini.

Dengan berat hati, ia membulatkan D di lembar jawaban. Lalu beralih ke nomor enam.

Di sisi lain ruangan, Vania tengah menyelesaikan soal Biologi. Ia tak terlalu kesulitan—ini bagian yang ia kuasai. Ia tahu dengan pasti jawaban tentang sistem pernapasan dan fungsi alveolus. Tangannya cepat, nyaris tanpa ragu membulatkan jawaban di LJK.

Namun saat jam menunjuk menit ke-47, rasa nyeri datang tiba-tiba, menggerogoti ulu hatinya seperti arus listrik kecil yang menyengat tanpa permisi. Ia tersentak, memegangi perut, lalu kembali menunduk seolah tak terjadi apa-apa. Di sisi meja, kertas LJKnya sedikit bergetar.

Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Tangannya gemetar saat menulis nama di sudut kanan atas lembar kedua. Tapi ia menolak menyerah. Vania telah belajar terlalu keras, terlalu lama untuk berhenti sekarang. Ia menegakkan punggung, menarik napas pelan, dan kembali mengerjakan soal kimia, meski tulisannya kini sedikit berantakan.

Aditya memperhatikan dari kejauhan. Vania menggenggam pensil dengan dua tangan, seperti mencoba menahan sesuatu. Kakinya terus mengetuk, lebih cepat. Ia menggigit bibir. Soalnya masih banyak, tapi pikirannya terbagi dua.

"Fokus, Dit," katanya pada diri sendiri.

Ia kembali menimbang soal sosiologi. Ada pertanyaan tentang pranata sosial dan peran lembaga keluarga. Ia tahu ini—pernah muncul di try out. Tapi seakan semua fakta menguap dari kepala. Ia menulis catatan pendek di kertas buram: fungsi manifest dan laten... lalu membulatkan jawaban C.

Pengawas berjalan mondar-mandir dengan langkah lambat, sesekali menegur siswa yang tampak celingukan. Ruangan sunyi, hanya suara pensil yang menggores kertas, dan ketukan kaki Aditya yang tak kunjung reda.

Bari kini berada di soal ke-32. Ia sudah mulai terbiasa dengan tekanan. Meski tak tahu pasti jawaban semua soal, ia tak panik lagi. Setiap kali ragu, ia tuliskan kemungkinan di sisi soal, timbang pro dan kontra dalam kepalanya, lalu membulatkan jawaban terbaik yang bisa ia pikirkan. Ia tahu dirinya bukan murid terpintar, tapi hari ini ia akan menyelesaikan semuanya. Itu sudah cukup.

Kadang-kadang ia melirik ke arah Aditya, sahabatnya sejak SMP. Ia tahu Aditya pasti sudah jauh lebih dulu di depan. Tapi ia tidak iri. Yang ia butuhkan hanya satu hal: menyelesaikan.

Di menit ke-80, Vania merasa pandangannya kabur sesaat. Ia menutup mata, lalu membuka perlahan. Keringatnya mulai membasahi bagian kerah. Tapi tangannya terus bergerak. Ia membaca soal Fisika tentang hukum Newton. Ia nyaris tersenyum—ia hafal ini. Tanpa ragu, ia bulatkan pilihan A.

Di sisi lain, Aditya beralih ke soal geografi. Tentang tektonik dan lempeng samudra. Ia sedikit tersenyum—ini hobi kecilnya. Ia suka membaca peta, mempelajari gempa, bahkan mengikuti akun-akun geologi di media sosial. Soal itu dijawabnya hanya dalam 10 detik. Tapi saat melirik Vania lagi, ia melihat gadis itu sedikit membungkuk, tangan kirinya memegangi perut.

"Van... kamu kuat," gumamnya pelan. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menyelesaikan ujiannya secepat dan sebaik mungkin.

Jam menunjukkan sisa waktu lima belas menit. Bari berada di soal terakhir. Ia menatap soal itu cukup lama, lalu menutup mata dan mengingat diskusi terakhir dengan Aditya dua minggu lalu.

"Oh iya... ini waktu itu dibahas."

Ia senyum kecil. Ia membulatkan jawaban terakhir, lalu menatap ke atas. Hatinya lega, meski tak sepenuhnya yakin akan nilainya. Tapi ia telah berjuang. Dan itu cukup.

Vania menyelesaikan soal terakhir dua menit sebelum waktu habis. Ia menggigit bibir, memeriksa ulang LJK-nya sebisanya. Ia tahu tak semuanya sempurna. Tapi ia puas. Ia menyelesaikannya. Dengan nyeri, dengan keringat dingin, tanpa mengeluh.

Aditya menyandarkan punggung di kursi, menarik napas panjang. Ia menatap LJK-nya, lalu menoleh ke Vania satu kali lagi. Mereka sempat bertatapan. Vania tersenyum lemah. Aditya balas tersenyum, singkat tapi hangat.

Pengawas berdiri di depan, menyebut waktu habis.

"Kumpulkan lembar jawaban ke depan. Satu per satu."

Suara kursi berderit. Langkah kaki ke depan. Di tengah kelelahan, ketegangan, dan rasa tak pasti, satu hal jelas: pagi itu, di ruang itu, mereka telah melakukan yang terbaik.

Ketiganya sempat bersitatap untuk beberapa detik. Sebuah pemahaman muncul dalam keheningan di antara mereka, sebuah rasa persaudaraan menghangatkan dada mereka.

Di luar kelas, angin siang bertiup ringan. Murid-murid yang telah selesai ujian menundukkan kepala, sebagian meregangkan badan, dan sebagian langsung duduk bersandar ke dinding koridor. Aditya, Vania, dan Bari keluar bersama.

"Kamu nggak papa, Van?" tanya Aditya pelan.

Vania hanya mengangguk. "Cuma masuk angin. Mungkin tegang juga."

Bari ikut tertawa kecil. "Kalau aku kayaknya salah isi lima soal terakhir. Aku udah nggak bisa mikir pas denger suara motor lewat depan sekolah."

Mereka tertawa. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk meluruhkan beban yang sempat menggumpal selama dua jam terakhir. Di antara mereka, tak ada yang benar-benar tahu bagaimana hasil ujian akan keluar –lebih tepatnya, Bari mencemaskan dirinya lulus atau tidak sementara Aditya dan Vania lebih cemas apakah nilai mereka akan menjadi yang paling tinggi atau tidak. Namun mereka tahu satu hal: apapun hasilnya, mereka akan hadapi bersama.

Matahari kini menembus awan, lebih cerah dari pagi tadi. Hari belum selesai, dan masa depan masih panjang. Tapi untuk sekarang, mereka telah menaklukkan satu rintangan besar. Dan itu layak dirayakan, walau hanya dengan senyum kecil dan sebotol teh dingin dari koperasi sekolah.

"Bar, lo udah submit aplikasi beasiswanya?" tanya Vania ketika ujian terakhir sudah selesai dan para siswa akhirnya dipulangkan.

"Oh ya!" seru Bari, "Hampir gue lupa!"

Aditya dan Vania saling mengangkat kedua alisnya, menunggu pernyataan Bari berikutnya.

"Gue harus finalisasi esai dan surat rekomendasi dengan Pak Tirto!" 

Bari mulai berlari ke arah ruangan Pak Tirto, meninggalkan Aditya dan Vania berdua.

"Pulang?" tanya Aditya.

Vania mengangguk.

Tiba-tiba sebuah lengan ramping memeluk pundak Vania, membuat gadis itu sedikit terhuyung ke depan. "Sejak kapan kalian pulang bareng?" tanya Anisa dari belakang Vania.

Aditya gelagapan kehilangan kata, sementara Vania dengan acuh tidak acuh berkata, "Sejak gue diusir bokap gue karena gue mau kuliah."

Pernyataan itu membuat Anisa membeku di tempat, memberikan kesempatan bagi Vania untuk keluar dari pelukannya dan menatap sahabatnya itu di mata. Tanpa terduga, kedua mata Anisa mulai berlinang. "Kok lo ga cerita ke gue?" tanyanya sembari mewek. "Terus selama ini lo tinggal di mana, Van?"

Vania yang jadi merasa bersalah mulai menghapus air mata di kedua pipi Anisa. "Ga usah nangis, Nis," katanya lembut, "Gue tinggal bareng Aditya dan ibunya."

Mendengar itu, Anisa justru semakin menangis hebat. "Gue kan sahabat lo! Kenapa lo ga minta nginep ama gue?"

"Ehh! Jangan tambah nangis!" seru Vania, "Lagian waktu itu Aditya yang ada di samping gue pas gue diusir, dan Ibunya Aditya langsung memberikan gue tempat tinggal. Jadi jangan sedih."

Anisa masih cemberut. "Masa lo lebih mau tinggal ama cowok musuh bebuyutan lo daripada gue? Kalo dia ngapa-ngapain lo gimana?"

"Heh!" seru Aditya, "Gue bukan cowok kayak gitu ya!"

Sebelum Anisa dan Aditya mulai berantem, Vania langsung menarik lengan Anisa dan menceritakan semua yang ia alami selama beberapa bulan belakangan. Mulai dari persaingannya untuk dapat surat rekomendasi hingga mereka yang memberikan kesempatan beasiswa untuk Bari. Ketiga murid itu berjalan pulang bersama hingga sampai di pertigaan tempat angkot Anisa muncul. Di perjalanan, seringkali Anisa menyeletuk dengan berapi-api soal Aditya yang berusaha menculik Vania dari Anisa, dan dibalas dengan Aditya yang juga berapi-api karena perkataan Anisa yang terlalu memfitnah.

Vania hanya bisa menggelengkan kepala karena tidak pernah menyangka setelah hubungan dirinya dan Aditya jauh membaik, malah Anisa dan Aditya yang saling bermusuhan. Ia tersenyum karena setidaknya hari itu, ia merasakan kehangatan dikelilingi orang-orang yang menyayanginya apa adanya, yang mendukungnya senantiasa tanpa pandang bulu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • innda_majid

    Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak

    Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku
Similar Tags
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Ghea
471      309     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Farewell Melody
266      184     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
Dream
618      453     5     
Short Story
1 mimpi dialami oleh 2 orang yang berbeda? Kalau mereka dipertemukan bagaimana ya?
AraBella [COMPLETED]
36902      3654     13     
Mystery
Mengapa hidupku seperti ini, dibenci oleh orang terdekatku sendiri? Ara, seorang gadis berusia 14 tahun yang mengalami kelas akselerasi sebanyak dua kali oleh kedua orangtuanya dan adik kembarnya sendiri, Bella. Entah apa sebabnya, dia tidak tahu. Rasa penasaran selalu mnghampirinya. Suatu hari, saat dia sedang dihukum membersihkan gudang, dia menemukan sebuah hal mengejutkan. Dia dan sahabat...
Kreole
142      128     1     
Romance
Apa harus ada kata pisah jika itu satusatunya cara agar kau menoleh padaku Kalau begitu semoga perpisahan kita menjadi ladang subur untuk benih cinta lain bertunas
ORIGAMI MIMPI
33122      3944     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
Trust
1952      817     7     
Romance
Kunci dari sebuah hubungan adalah kepercayaan.
Promise
645      368     7     
Romance
Bercerita tentang Keyrania Regina. Cewek kelas duabelas yang baru saja putus dengan pacarnya. Namun semuanya tak sesuai harapannya. Ia diputus disaat kencan dan tanpa alasan yang jelas. Dan setelah itu, saat libur sekolah telah selesai, ia otomatis akan bertemu mantannya karena mereka satu sekolah. Dan parahnya mantannya itu malah tetap perhatian disaat Key berusaha move on. Pernah ada n...
Premium
Beauty Girl VS Smart Girl
11050      2804     30     
Inspirational
Terjadi perdebatan secara terus menerus membuat dua siswi populer di SMA Cakrawala harus bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling terbaik di antara mereka berdua Freya yang populer karena kecantikannya dan Aqila yang populer karena prestasinya Gue tantang Lo untuk ngalahin nilai gue Okeh Siapa takut Tapi gue juga harus tantang lo untuk ikut ajang kecantikan seperti gue Okeh No problem F...