Pada akhirnya, Aditya membawa Vania ke rumahnya. Ia tidak tahu di mana hotel atau motel yang cukup murah untuk menampung Vania secara mendadak, dan karena ia merasa Vania tidak bisa ditinggal sendiri malam ini, ia pikir rumahnya lebih baik. Tentu saja Ibu Aditya, Laras, terkejut hingga hampir jantungan melihat Aditya membawa seorang perempuan pulang malam-malam. Namun ketika Aditya mengenalkan perempuan itu sebagai Vania, Laras langsung tersenyum hangat dan menyambut Vania dengan ramah. Tanpa basa-basi, Laras langsung memberikan sebuah kamar tamu untuk Vania tinggal sementara lalu menyuruh Vania untuk mandi dan segera tidur. Ia pun menyuruh hal yang sama untuk Aditya.
Vania merasa malam ini berlaku seperti kabut di depan matanya. Entah bagaimana, ia kini tidak memiliki rumah. Lebih parah lagi, ia berada di rumah saingannya, Aditya.
Rumah Aditya memang sederhana. Namun entah mengapa, Vania terasa lebih hangat di rumah ini.
Setelah mandi, ia duduk di ujung kasur ruang tamu. Berbagai gejolak perasaan berkecamuk dalam dadanya, hingga ia bingung harus merasakan perasaan yang mana dulu. Otaknya mulai berkhianat dan memulai pusaran pikiran-pikiran negatif ketika sebuah ketukan pintu terdengar. Vania membuka pintu dan menemukan Tante Laras berdiri di depan membawa satu cangkir susu panas di tangan.
Tante Laras ini berbeda sekali dengan Mami Vania. Bila Mikaela memiliki paras feminin dan cantik, Tante Laras terkesan tegar dan sedikit maskulin. Bukan. Bukan maskulin. Tetapi terasa... penuh percaya diri akan dirinya sendiri.
"Aditya bilang asam lambungmu sering kambuh," kata Tante Laras, "jadi kuharap susu hangat tidak apa-apa." Ia memasuki kamar dan memberikan cangkir itu kepada Vania. Cangkir itu terasa begitu hangat di kedua tangan Vania. Begitu hangat hingga ia merasa sangsi untuk meminumnya.
Melihat Vania yang hanya tertegun memandangi sebuah susu hangat, Tante Laras duduk di samping Vania. "Aditya cerita banyak tentang kamu, Van," katanya.
"Kata Aditya kamu adalah saingan terberatnya. Bertahun-tahun kalian bersaing sengit."
Vania menoleh padanya tetapi hanya terdiam. Simpul yang perih muncul di dadanya. Apakah ini saat Tante Laras akan memintaku untuk menyerahkan beasiswa itu pada Aditya saja juga? pikirnya.
Tiba-tiba Tante Laras tersenyum hangat. "Aditya mengagumimu, kamu tahu itu? Dia tidak pernah benar-benar bilang itu kepada Tante, tetapi dia selalu menceritakan dirimu dengan kagum setiap kali nilaimu lebih unggul, atau setiap kali kamu menang lomba debat. Terakhir dia memuji insting bisnismu."
Kalimat berikutnya pasti memintaku menyerahkan beasiswa kepada Aditya saja, pikir Vania, dia hanya menuangkan gula terlebih dahulu sebelum menuangkan kopi pahit.
Tante Laras menggenggam satu tangan Vania dengan kedua tangannya. Tangan perempuan paruh baya itu begitu lembut. "Tante senang ada kamu sebagai saingan Aditya. Anak Tante terlihat lebih senang, lebih memiliki motivasi setiap harinya karena bersaing denganmu. Dan belakangan ini ia terlihat berseri-seri."
Vania berkedip. Kapan dia akan memintaku menyerahkan beasiswa kepada Aditya saja?
"Mungkin kamu tidak tahu," lanjut Tante Laras, "tetapi 5 tahun lalu, Ayah Aditya meninggal karena serangan jantung dan... Tante terdiagnosa kanker payudara stage 4. Semenjak itu, Aditya memang tidak pernah bilang ke Tante, tapi Tante melihat sendiri anak itu seakan memendam beban berat di pundaknya. Ia tidak lagi belajar karena senang, tetapi ia belajar mati-matian untuk mendapatkan beasiswa agar meringankan beban Tante –supaya uang kuliahnya bisa dipakai untuk operasi Tante."
Tante Laras mengelus rambut Vania dengan lembut. Entah mengapa, sentuhan Tante Laras terasa begitu hangat, seakan Vania dapat meleleh.
"Padahal aku sudah bilang padanya berkali-kali untuk tidak terlalu khawatir akan biaya kuliah. Operasi Tante juga memiliki keberhasilan yang kecil kata dokter. Katanya meski sudah dioperasi masih bisa kambuh lagi dan malah menyebar ke bagian tubuh lain. Jadi sebenarnya Tante sudah bilang pada Aditya untuk melupakan operasi itu. Tante hanya ingin menjalani sisa hidup Tante dengan nyaman dan bisa melihat Aditya juga bahagia menjalani hidupnya tanpa beban."
Ah, inilah saatnya. Jadi selama ini Aditya memerlukan beasiswa agar ibunya bisa operasi, pikir Vania, Dia memang selalu berhati baik. Mungkin memang dirinya lebih pantas mendapatkan beasiswa itu daripada ak-
"Tante malah berharap kamu saja yang dapat beasiswa itu, Van," katanya.
Napas Vania seakan tercekat di tenggorokkan. Rasanya perih. Namun ia memaksakan diri menangkap tatapan Tante Laras, mencari kebenaran di balik sorotan mata lembut yang menyembunyikan ketegaran itu.
"Apa?" Rahang Vania rasanya terjatuh dan menjadi kaku. "Tante ga ingin aku menyerah saja dan membiarkan Aditya dapat beasiswa itu? Tante ga berpikir kalau aku tidak berhak mencari beasiswa?"
Tante Laras menangkup tangan Vania dengan kedua tangan lagi. Senyumannya penuh kehangatan, begitu juga sorot matanya. "Kenapa kamu tidak berhak?" tanya Tante Laras, "Kamu pintar. Kamu berprestasi. Dan pasti kamu butuh beasiswa ini juga, bukan? Bila kamu tidak butuh pasti kamu tidak akan berjuang mati-matian bersaing dengan Aditya selama bertahun-tahun lamanya."
"Tapi aku-" Vania tidak kuasa menahan air mata dari mengumpul di pelupuk matanya. "Aku-" Setiap kali dia ingin berkata, gumpalan air mata yang perih menahan suara di tenggorokkannya.
"Tante tidak tahu cerita lengkap hidupmu, Van," lanjutnya dengan air mata berlinang, "Tapi Tante hanya ingin Aditya bisa menerima keadaan dengan lapang dada dan bisa melanjutkan hidup dengan tegar meski Tante sudah tidak ada di sini. Vania mau kan membantu Tante menjaga Aditya? Vania mau kan tetap menjadi teman Aditya, yang membuatnya termotivasi untuk mengejar impian dan selalu berjuang yang terbaik di segala hal?"
Satu air mata meluncur turun dari pipi Tante Laras, diikuti air mata kedua. Vania pun tidak kuasa menahan air matanya. Ia menumpahkan kesedihan karena melihat Tante Laras ataupun rasa perih ketika mengetahui alasan Aditya berjuang mendapatkan beasiswa. Namun tidak hanya itu, ia menumpahkan semua beban yang selama ini ia pendam.
Ternyata hanya dengan seseorang mengatakan dia berhak mendapatkan beasiswa saja membuat bendungan perasaan yang selama ini Vania kubur menjadi pecah.
Ternyata ini adalah validasi yang paling ia cari.
Ternyata... Vania paling mendambakan kalimat sederhana itu dari seseorang. Dari siapapun. Bahwa ia berhak.
Ia berhak berjuang untuk mendapatkan pendidikan lanjutan. Meski Papanya menentang mimpi Vania ini, meski Maminya tidak bisa membantunya.
Vania berhak untuk terus belajar. Meski dia seorang perempuan.
Ia ingat dirinya mengangguk di tengah-tengah isakan, menyanggupi permintaan Tante Laras. Perempuan paruh baya itu merangkul Vania, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Vania akhirnya melepaskan semua perih, luka, harapan, amarah, dan kepedihan yang sudah tertimbun dalam hatinya. Seperti luka yang bernanah dan kini siap dibersihkan. Ia membenamkan wajahnya di pundak Tante Laras sementara pundaknya terguncang.
Entah berapa lama ia menangis. Hingga suaranya parau. Hingga dadanya terasa hampa -hilang sudah simpul dan beban yang selama ini menggerogotinya. Tante Laras menemaninya hingga ia tertidur memeluk Vania.
Namun Vania tidak bisa tertidur sedikitpun. Rasa ringan di dadanya terasa begitu... asing.
Melihat Tante Laras yang tertidur pulas, Vania pelan-pelan turun dari ranjang dan berniat keliling taman depan sebentar untuk mengenjar kantuk. Namun dirinya terlonjak ketika melihat Aditya terduduk di lantai begitu ia membuka pintu kamar.
"Lo terbangun?" Bisik Aditya. Kedua matanya terlihat sembab meski di kegelapan malam. Suaranya pun terdengar sedikit serak.
"Ga bisa tidur," balas Vania.
Aditya mengangguk. "Mau jalan-jalan di teras sebentar?"
Giliran Vania yang mengangguk. Perlahan mereka berjinjit menuju lantai bawah kemudian teras depan rumah. Semilir angin malam yang sejuk membelai pipi Vania yang masih memiliki bekas-bekas tangisan. Mereka berdiri bersampingan menghadap taman kecil yang selalu dirawat Tante Laras. Di atas mereka, taburan bintang mengelilingi bulan yang baru.
"Van, gue minta maaf," kata Aditya, sudah tidak lagi berbisik. "Gue gatau kalau... bokap lo separah itu dan gue minta maaf menilai lo sepihak tanpa tahu keadaan lo yang sebenarnya."
Aditya mengacak-acak rambutnya. "Gue terlalu percaya diri kalau gue yang paling berhak dapat beasiswa itu padahal... padahal..."
Mata Aditya tertuju pada pipi kiri Vania. Pipi itu memang lebih bengkak dan berwarna merah dengan pola jari yang samar-samar. Aditya mengangkat tangannya hendak menyentuh bekas tamparan di pipi Vania, tetapi menghentikan diri di tengah udara.
"Apa masih sakit?" Tanyanya.
Vania mendelikkan bahu. "Yang kali ini tidak begitu sakit."
Jawaban Vania membuat Aditya tertegun. Vania bersumpah ia melihat sekelibat api amarah dalam sorotan mata Aditya, meski hanya untuk sepersekian detik.
"Gue juga minta maaf karena... gue selalu mengejek lo Princess," lanjut Aditya. Ia menurunkan tangannya. "Gue tahu lo ga pernah suka julukan itu dan sekarang gue malu banget setelah tahu bahwa kenyataannya bokap lo ga memperbolehkan lo lanjut kuliah."
Vania menghela napas panjang kemudian menggelengkan kepalanya. "Gue juga minta maaf, Dit," katanya, "Gue sekarang tahu kenapa lo butuh beasiswa ini."
Perempuan itu menoleh ke pintu rumah, arah di mana Tante Laras berada. Matanya berair kembali. "Lo hanya ingin menjalankan peran lo sebagai anak berbakti."
Kini Vania menoleh, menangkap tatapan Aditya. "Lo benar, Dit," katanya dengan bibir bergetar, "lo lebih berhak mendapatkan beasiswa ini daripada gue."
"Engga, Van," balas Aditya cepat. "Gue setuju dengan Ibu gue. Lo sama berhaknya mendapatkan beasiswa itu."
Vania tersenyum tipis. "Jadi lo dengar semua percakapan gue dan Tante Laras."
Kini bibir Aditya ikut bergetar. Satu bulir air mata jatuh dari matanya. "Ibu sudah berkali-kali bilang dia tidak mau operasi tapi gue.... gue..."
Pundak Aditya tertunduk. Wajahnya terlihat kesakitan. Entah bagaimana, ia sudah membenamkan wajah di lengkuk pundak Vania, mencari kelembutan dari saingannya itu. Vania membelai rambut Aditya dalam diam hingga pemuda itu dapat menenangkan diri.
"Gue ga bisa merelakan..." air mata kembali terjatuh dari mata Aditya. "Gue belum bisa menerima..."
"Tapi gue ga bisa maksa Ibu. Jadi gue harus menerima keputusannya," lanjut Aditya, "jadi... lo harus ambil beasiswa ini, Van."
Aditya berdiri tegak. Mata berlinangnya menangkap sorot mata Vania.
"Gue ga bisa, Dit-"
"Bisa," potong Aditya, "Lo bisa dan lo akan."
Vania kembali menggeleng. "Gue ga bisa."
Ketika Aditya membuka mulut untuk protes, Vania sudah lebih dulu berkata, "Karena ada satu orang lagi yang lebih butuh beasiswa ini daripada kita."
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku