Aditya tidak mengerti mengapa Vania terlihat ketakutan di hadapan pria ini. Padahal perempuan ini dengan begitu garangnya menggigit tangan Cupu tidak lama ini.
"Vania, Papa bilang apa soal membuat keributan?" tanya pria itu. Nadanya dingin. Bukan seperti orang tua yang menasihati anaknya, tetapi lebih seperti seorang atasan pada bawahan.
Ketika Vania hanya menunduk, pria itu menyalak, "Jawab Papa, Vania!"
Vania terloncat sedikit karena kaget. Namun tetap tidak ada jawaban keluar dari mulutnya. Secara insting, Aditya mengambil setengah langkah di antara Vania dan pria itu, setengah menutupi Vania. Berbeda dengan perlakuannya pada Vania, pria itu langsung tersenyum hangat pada Aditya.
"Ah, maafkan saya, Nak," kata pria itu, "kamu pasti Aditya, juara 1 sekolah dan juara basket, bukan? Pak Bendi bilang kamu teman yang sering anterin Vania pulang. Makasih ya."
Aditya melirik ke belakang, melihat Vania masih menunduk menatap kakinya sendiri. Apakah Papa dari Vania tidak tahu bahwa juara satu diduduki oleh Aditya dan Vania? pikirnya.
"Ngomong-ngomong," tanya pria itu, "Apa ini soal Vania merampas beasiswa dari orang lain?"
Dengan cepat Aditya ingin berkata "Tidak," atau entahlah apa yang bisa dia katakan untuk tidak membuat orang tua Vania marah. Ia berpikir ia mungkin harus berpura-pura tidak pernah mengatakannya sama sekali. Lagian, orang tua siapa yang akan senang anaknya dibilang munafik dan tidak layak mendapatkan beasisw–
Alur pikiran Aditya terhenti begitu pria itu langsung berkata, "Maafkan aku ya, Dit. Anak perempuan zaman sekarang tuh susah sekali diatur. Padahal Vania tidak akan lanjut kuliah. Aku sudah bilang padanya untuk berhenti berusaha dapat beasiswa." Pria itu menggelengkan kepala dan mengangkat tangan ke dada, seolah tampak menyesal. "Aku minta maaf untuk Vania. Apakah selama ini dia menyusahkanmu dapat beasiswa itu?"
Rahang Aditya seakan terjatuh, meski tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Sepintar-pintarnya dia, ia masih sulit memproses kalimat yang keluar dari pria di depannya.
"Oh, mana sopan santunku," kata pria itu, "Masuklah dulu, Nak. Jarang-jarang aku bisa berbincang dengan juara 1 sekolah, dengan anak muda cemerlang." Pria itu mengayunkan tangannya, yang ditangkap oleh satpam sebagai signal untuk membukakan pintu. Kemudian pria itu mempersilakan Aditya untuk masuk terlebih dahulu. Namun sebelum pria itu mengikuti, ia mencengkeram lengan Vania. Tampaknya cengkeraman itu begitu keras hingga Vania meringis. Pria itu berbisik dengan mata nanar diarahkan pada Vania. Sementara Vania, saingan Aditya yang biasanya penuh percaya diri dan tekad, kini meringkuk di cengkeraman pria itu. Meski demikian, tatapan Vania yang membalas pria itu masih diselimuti lautan api. Begitu pria itu melepaskan Vania, ia tersenyum kepada Aditya dan berjalan masuk terlebih dahulu sebelum Vania.
Rumah besar Vania nyatanya adalah sebuah kastil dingin, secara harfiah. Selain terdapat mesin pendingin di ruang tamu, lantai rumah terbuat dari keramik yang menyerap dingin. Pria itu –Papa Vania mempersilakan Aditya untuk duduk di sofa, lalu ia sendiri duduk di sofa paling ujung. Aditya pikir Vania akan duduk di sampingnya, tetapi ia malah terkejut ketika Papanya berkata, "Van, buatkan teh hangat manis untuk kita berdua." Pria itu bahkan tidak melihat Vania ketika memerintah putrinya.
Pandangan Aditya sempat bertemu dengan Vania untuk sesaat. Lautan api itu masih ada, tetapi seakan sudah terguyur air sebagian. Vania mengalihkan wajah terlebih dahulu dan berjalan menuju dapur.
Begitu Vania sudah keluar dari ruang tamu, Papa Vania menjulurkan tangan pada Aditya. "Aku Hari Tjahyadi."
Aditya menyambut tangan itu. "Aditya, Om. Salam kenal," kata Aditya sembari memaksakan senyuman.
Om Hari menangkup tangan Aditya dengan kedua tangannya. "Aku sudah dengar banyak tentang kamu. Kamu pemuda yang tersorot, selalu dibicarakan para orang tua. Kamu juga pernah masuk TV nasional karena menang kejuaraan basket satu DKI, kan? Wah, Om fans berat basket."
Secara sopan, Aditya mengangguk sembari tersenyum. Di saat yang sama, Vania sudah kembali membawa nampan dengan dua gelas yang mengeluarkan kepulan asap. Dua gelas saja, pikir Aditya, Vania tidak membuat teh untuk dirinya sendiri. Saat Vania hendak meletakkan satu gelas di atas meja keramik, Om Hari menepuk tangan Vania, membuat teh manis itu terciprat sedikit ke meja. Om Hari mendecak tidak setuju kemudian berkata lirih, "Gimana sih? Pakai tatakan dulu biar panas cangkir ga merusak meja. Ckck. Sekarang kamu malah bikin meja berantakan."
"Kamu kan cewek, Van," lanjut Om Hari, "Kamu harus terbiasa dengan hal-hal kecil begini. Kasihan suamimu nanti."
Entah sejak kapan, Aditya sudah mengepalkan tangannya di atas celana. Ia kira Vania akan melawan balik, dengan kata-kata yang kuat, atau dengan tindakan yang berani. Namun di depan pria ini, perempuan yang selama ini diam-diam Aditya kagumi, seakan redup. Seakan pria ini sudah mencabut akar api membara dalam diri Vania.
'Dia kan perempuan,' Aditya teringat perkataan Vania beberapa menit yang lalu, 'Perempuan itu lebih sering dituntut untuk menjaga keluarga, untuk di rumah saja. Sementara pihak lelaki yang dituntut meraih pendidikan, prestasi, dan pekerjaan.'
Ah, pikir Aditya, pantas saja Vania menatapku aneh tadi. Dia pasti berpikir semua pria memiliki pendapat yang sama soal perempuan gara-gara Om Hari.
"Om Hari, Om tahu ga?" tanya Aditya, "Sebenarnya juara 1 sekolah ada dua orang, bukan cuma saya. Nilai kami selalu sama, selalu yang tertinggi satu sekolah. Tidak seperti saya yang juara basket, dia juara debat. Tidak ada kejuaraan debat yang tidak dia menangkan."
"Oh, ya?" Om Hari mengalihkan pandangan ke arah Aditya. "Siapa pemuda luar biasa ini? Rasanya aku baru dengar ada murid hebat lain di SMA Garuda Nusantara selain kamu."
Aditya melirik ke kanan, di mana pandangannya bertemu pada Vania yang mematung. "Murid luar biasa itu adalah juara 1 kelas IPA dan anak Om sendiri."
Untuk satu detik yang lama, Om Hari melirik pada Vania. Entah tatapan apa yang dia berikan, tetapi Vania menunduk kembali. Kemudian Om Hari tertawa terbahak-bahak. "Ah, kamu bisa saja, Aditya."
Giliran Aditya yang mematung, kebingungan dengan reaksi Om Hari yang seakan... tidak memedulikan prestasi luar biasa putrinya sendiri.
"Ya, ya, Vania memang punya sedikit prestasi," kata Om Hari.
Rasanya Aditya ingin berteriak. Sedikit? Vania telah berprestasi luar biasa! Dia yang mendongkrak peringkat sekolah!
"Tapi dia kan perempuan," lanjut Om Hari dengan santai, "Nanti juga semua prestasi itu tidak akan berguna di dapur dan rumah. Lagian Vania tidak akan melanjutkan kuliah."
"Kenapa, Om?" tanya Aditya, setengah penasaran dan setengah lagi ia bergidik ngeri untuk Vania. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya harus setiap hari bertemu dengan sosok orang tua yang begitu... menganggap dirinya remeh, bahkan tidak penting. Pantas saja Vania terkesan keras, pikir Aditya, selama ini ia harus menghadapi sosok seperti ini.
Om Hari mendecak, seakan tidak senang dengan arah percakapan ini. "Apalagi? Dia kan perempuan," katanya, "Untuk apa aku bayarin dia kuliah mahal-mahal? Mending uangnya disimpan untuk kuliah adiknya ke luar negeri."
Aditya mengerjap sekali. Kemudian kedua kali.
"Adik Vania... laki-laki, Om?"
Om Hari tersenyum lebar ketika membicarakan anak keduanya. "Vano baru kelas 2 SMP tapi dia pintar. Tahun ini dia peringkat ketiga di sekolahnya. Dia bercita-cita jadi pebisnis. Jadi aku akan mengirimkannya ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan terbaik."
Entah mengapa, Aditya tidak kuasa menahan desakan di dalam dadanya. Jantungnya berdetak begitu cepat ketika dia berseru, "Cuma juara tiga? Om, Vania juara satu di seluruh sekolah. Apakah Om tahu cita-cita Vania?"
Mata Om Hari terbelalak melihat Aditya yang menggebu. Senyuman hilang dari wajah pria itu, tergantikan dengan garis wajah yang keras. Seakan meludah, Om Hari bertanya lirih, "Apa itu penting?"
"Tentu saja penting, Om! Vania juga anak Om! Dia juga berhak mendapatkan pendidikan lanjutan terbaik!" Aditya sudah setengah berteriak sekarang.
"Aku ga ngerti kenapa kamu membela seorang perempuan, Nak," kata Om Hari, "Perempuan itu kodratnya di rumah. Aku kan ngomong gini untuk bantu kamu dapat beasiswa. Aku akan buat Vania berhenti bersaing denganmu. Tadi aku dengar frustrasimu dari luar rumah. Aku pun merasa seorang perempuan bukanlah kodratnya untuk merebut beasiswa dari seorang pemuda dan menghalangi pemuda itu memiliki masa depan."
Aditya tertawa sinis. Ia meremas rambutnya. "Om pikir kita hidup di abad sembilan belas apa? Zaman sekarang perempuan kodratnya sama om dengan laki-laki."
Om Hari memicingkan matanya pada Aditya. "Aku ga ngerti deh sama kamu. Tadi kamu berteriak menganggap Vania bersaing tidak adil pasti karena dia perempuan. Sekarang kamu bilangnya perempuan memiliki kodrat yang sama."
"Saya ga bilang letak ketidakadilannya karena dia perempuan, Om!" seru Aditya. Urat-urat di lehernya sudah menonjol. "Dan setelah saya melihat sendiri Om gimana, ternyata saya yang salah. Saya tarik ucapan saya. Vania berhak mendapatkan beasiswa ini sama seperti saya. Dan om juga salah. Kodrat perempuan dan laki-laki itu sama Om."
"Nak, sampai kapanpun kodrat perempuan dan laki-laki itu beda," lanjut Om Hari, "fisik kita aja beda, jadi pasti kodratnya beda. Vania tidak masalah tidak kuliah karena perempuan kan masih bisa menikah saja dan mengurus rumah dari suami. Beda dengan lelaki yang perlu dapat pekerjaan layak untuk menafkahi keluarga nantinya. Aku ini sedang membela kamu. Kenapa kamu malah keliatan makin frustrasi?"
Aditya sudah membuka mulut untuk membela Vania, tetapi sebuah suara yang lembut menghentikannya. "Ada apa ini, sayang?" Seorang perempuan paruh baya muncul di atas tangga. Ia menuruni tangga dengan cepat. Aditya yakin perempuan itu adalah ibu dari Vania. Namun tatapannya pada Vania penuh... gejolak emosi yang rumit. Entahlah, Aditya tidak bisa memecahkan emosi apa saja yang terpampang di wajah perempuan itu. Perempuan itu berdiri di belakang kursi Om Hari. Ia meletakkan satu tangan pada pundak Om Hari.
"Sayang, ini Aditya," Om Hari memperkenalkan perempuan itu, "Aditya, ini istri saya, Mikaela."
"Mikaela," tanya Om Hari dengan nada tegas, membuat Tante Mikaela membeku di tempatnya, "Apa kamu masih saja mendukung Vania untuk kuliah secara diam-diam?"
"En– engga, sayang." Sama seperti Vania, Tante Mikaela menunduk ke lantai.
"Lalu kenapa hari ini aku mendengar Vania masih berusaha mendapatkan beasiswa untuk kuliah?" tanya Om Hari lagi. Jelas sekali Om Hari meremas tangan Tante Mikaela dengan kuat, membuat Tante Mikaela meringis. "Bahkan sampai Aditya berusaha membelanya." Kedua mata Tante Mikaela mulai berair ketika ia memelintir tangannya dalam upaya melepaskan diri.
"A–aku ga tahu, Mas," jawab Tante Mikaela terbata-bata. "Ma– maaf–"
Permintaan maaf itu terhenti ketika Vania dengan cepat mengambil tangan Om Hari dan menariknya kuat sehingga membebaskan tangan Tante Mikaela. Kali ini, Vania sudah tidak lagi menunduk. Ia menyambut tatapan sangar dari Om Hari dengan lautan api di balik kedua bola matanya. "Kalau mau protes, protes ke aku," kata Vania. Pelan tetapi tegas. "Jangan sakiti Mami lagi."
Suara pukulan yang tajam bergema di ruang tamu, membelah udara yang tegang begitu cepat. Satu detik Aditya hanya bisa mengerjap, tidak percaya akan apa yang ia lihat. Detik berikutnya, ia sudah bergerak cepat untuk menangkap tubuh Vania yang tersungkur setelah ditampar Om Hari. Refleks Aditya membuat Vania tidak perlu menghantam lantai keramik yang keras. Melainkan dirinya menghantam tubuh Aditya.
Detik ketiga, Vania mendengar suara berdengung tepat ketika rasa panas di pipi kirinya menyala seperti api. Vania spontan memegang pipi kirinya yang telah ditampar. Lalu setelah sadar ia menghantam Aditya, ia dengan cepat bergeser untuk memindahkan beban tubuhnya dari Aditya.
Detik keempat, Aditya menatap Vania dengan mata terbelalak. Tangan pemuda itu menuju wajah Vania. "Van, lo berdarah."
Vania berkedip sekali. Kemudian pada detik kelima, ia merasakan cairan hangat keluar dari lubang hidungnya dan menetes di lantai keramik. Dengan cepat, Vania menjepit batang hidungnya kemudian sedikit mendongakan wajahnya ke atas.
Detik keenam, Om Hari menarik rambut Vania dengan kasar kemudian berteriak, "Berani kamu, hah? Apa perlu Papa kasih pelajaran lagi?"
Aditya sempat melirik pada Tante Mikaela. Perempuan itu hanya menunduk ke lantai, memeluk diri, dengan gemetar. Seakan hal ini sudah terjadi berulang kali dan hal terbaik yang ia bisa lakukan adalah diam menunggu, berharap hal ini akan cepat selesai. Entah mengapa melihat Tante Mikaela yang diam saja justru membuat Aditya lebih geram. Tanpa berpikir, Aditya menyambar pergelangan tangan Om Hari kemudian memelintirnya. Ia bukanlah jagoan seperti Bari, tetapi ia tetaplah atlet yang lebih bugar daripada pria paruh baya.
Om Hari merintih kesakitan dalam genggaman Aditya. Kedua lututnya tertekuk, membuat Om Hari lebih pendek dari biasanya.
Vania langsung menjaga jarak dari Om Hari dan berdiri di belakang Aditya. "Om, zaman sekarang kalau Om melukai perempuan bisa ke penjara, tahu ga?"
Om Hari terkekeh. "Tapi kenyataannya aku ga pernah ke penjara tuh. Dan teman-teman Om juga selalu dibela polisi–"
Suara dentuman keras kembali menggema di satu ruangan. Aditya telah memukul Om Hari tepat di wajah, membuat pria itu tersungkur ke lantai dengan telak, tidak sadarkan diri. Napas Aditya menderu dan jantungnya masih berlari. Namun ketika ia berbalik menghadap Vania, perasaan bersalah menggerogotinya. "Van, ma– maaf... gue ga tahu..." Ia harap perbuatannya ini tidak akan memberikan dampak buruk bagi Vania yang masih harus tinggal bersama pria itu.
Dilema Aditya terpecahkan ketika akhirnya Tante Mikaela berjalan melewatinya dan memegangi kedua pundak Vania. Kini perempuan itu telah menemukan suaranya. "Vania, kamu harus pergi dari rumah ini malam ini juga," katanya tanpa ragu.
Kedua mata Vania memerah ketika ia menggeleng. "Tapi, gimana dengan Mami?"
"Mami ga akan kenapa-kenapa, Van," balas Tante Mikaela, "justru kamu yang akan kenapa-kenapa kalau kamu tinggal di sini. Ingat apa yang terjadi terakhir kamu belain Mami di depan Papa? Atau ketika kamu angkat suara menuntut sebagian uang kuliah adikmu diberikan ke kamu untuk kamu kuliah? Dia ngurung kamu di gudang sampai kamu dehidrasi dan selalu kambuhan asam lambung."
"Tapi Ma–"
"Ga ada tapi-tapi," kata Tante Mikaela, "Mami tahu kamu selalu menyimpan sebuah koper di bawah tempat tidur. Bawa itu langsung dan ini." Tante Mikaela menyerahkan sebuah kartu kredit ke tangan Vania. "Ini semua tabungan Mami yang tidak diketahui Papa. Mami tahu ini ga bisa bantu kamu kuliah tapi setidaknya... setidaknya, kamu tidak akan kelaparan untuk sementara waktu. Nanti Mami akan cari cara untuk kirim uang ke kamu juga."
Vania masih menggeleng dengan air mata berlinang. Pipinya kini sudah dibanjiri deras air mata.
Tante Mikaela menghadap Aditya dengan tatapan memohon. "Tolong, bantu Vania keluar dari rumah ini."
Ketika suara erangan terdengar dari Om Hari yang masih terkapar di lantai, Aditya langsung berjalan menuju kamar Vania di lantai dua sesuai instruksi Tante Mikaela. Ia mengambil koper yang dikatakan Tante Mikaela kemudian menarik lengan Vania menuju pintu keluar. Vania sempat melawan tarikan Aditya karena ingin memeluk ibunya. Namun Tante Mikaela mendorong anaknya sendiri untuk pergi keluar. Di luar, Pak Bendi sudah membuka gerbang seakan mengikuti semua yang terjadi malam itu. Aditya mengangguk berterima kasih pada Pak Bendi. Kemudian ia menerjang malam hari yang gelap dengan sebuah koper di tangan dan seorang perempuan yang berderai air mata di tangan satunya.
Dan selama ini aku selalu dengan bodohnya memanggilnya Princess, Aditya mengutuk dirinya sendiri, mengejeknya sebagai anak Papa yang tinggal merengek untuk mendapatkan sesuatu. Selalu menganggapnya tidak berhak mendapatkan beasiswa seperti aku.
Selama ini, Aditya pikir, aku telah salah menilai Vania.
Ternyata ada yang lebih buruk dari kehilangan orang tua; memiliki orang tua yang tidak mencintaimu karena suatu hal yang tidak bisa kamu ubah.
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku