Lagi-lagi ketika Vania memasuki ruangan Pak Tirto, Aditya sudah lebih dulu duduk selonjor membaca buku. Kali ini ia membaca Max Havelaar karya Multatuli. Apakah dia selalu membaca bacaan yang berat? Sebelumnya Laut Bercerita yang merupakan fiksi sejarah dengan tema tragis mengenai kemanusiaan dan perjuangan menuju keadilan. Kini ia membaca Max Havelaar yang membahas korupsi di zaman penjajahan Belanda, ditulis oleh Douwes Dekker, seorang pejabat asli Belanda sendiri.
"Lo udah pernah baca, Cess?" tanya Aditya, membuyarkan lamunan Vania.
Vania menutup pintu, kemudian meletakkan sebuah papan berukuran A3 di depan meja Pak Tirto. "Sudah, untuk materi lomba esai. Menurutku bukunya agak muter-muter tapi inti utamanya sangat bagus, membuat orang melihat korupsi dari sisi pandang lain."
"Wow," Aditya bersiul, "lo sampai bikin papan presentasi untuk laporan progres hari ini?"
"Ga mungkin kan gue datang tanpa persiapan melawan saingan terberat gue?" Vania duduk di kursi berlapis beludru di samping Aditya. Tidak lama, pintu kantor dibuka dan Pak Tirto mengerutkan keningnya melihat mereka berdua.
Bukannya bertanya apa yang dua murid itu lakukan di kantornya, Pak Tirto hanya memandangi mereka dengan kedua tangan di balik punggung sembari melangkah menuju balik meja kerjanya. Ia duduk tanpa berkata apapun kemudian membersihkan tenggorokkannya. Oh, dia tidak langsung membiarkan kedua murid terbaiknya berbicara, melainkan Pak Tirto membiarkan mereka menunggu sembari membersihkan meja.
Aditya dan Bari sadar ini adalah taktik yang hampir selalu digunakan Pak Tirto untuk mengintimidasi para orang tua –mereka sering melihatnya setiap kali Pak Tirto berbicara pada rapat bulanan Panitia Orang Tua. Pak Tirto akan membiarkan lawan bicaranya menunggu dalaam kecanggungan untuk secara non-verbal memberitahu bahwa Pak Tirto adalah pemegang alur percakapan. Mereka yang tidak terbiasa dengan taktik ini biasanya akan menggeliat tidak nyaman saking canggungnya. Namun Aditya dan Vania menunggu dengan nyaman, tenang, sama sekali tidak terintimidasi. Mereka berdua mengikuti permainan Pak Tirto.
"Bari sudah hadir di kelasnya selama dua minggu," kata Pak Tirto memecah keheningan, akhirnya. "Dan para guru melapor pada saya betapa terkejutnya mereka karena Bari mulai memperhatikan pelajaran, mengerjakan ujian seperti murid lain, dan bahkan... mendapat nilai yang baik di ujian."
"Meski," lanjut Pak Tirto, "terkadang dia ketahuan tertidur di jam pelajaran Bahasa Indonesia dan Sejarah, tetapi nilai tugas dan ujiannya cukup baik jadi para guru condong untuk memberikan keringanan, terutama karena situasi Bari di rumah."
Pak Tirto menangkap tatapan Aditya dan Vania. "Saya yakin kalian berdua sudah melihat sendiri situasi rumah Bari."
Mereka berdua mengangguk.
Kepala Sekolah SMA Garuda Nusantara melepas kacamatanya dan menghela napas panjang. Ia memijat batang hidungnya. "Apakah kalian ke sini untuk menyerahkan bukti Bari melakukan tawuran seperti rumor?"
Aditya dan Vania saling menoleh, menangkap tatapan satu sama lain. Sebuah percakapan yang hening terlintas di antara mereka. Lalu secara bersamaan, mereka berdua menoleh balik kepada Pak Tirto dan menggelengkan kepala.
"Ga ketemu, Pak," kata Vania.
"Bari tuh ternyata badan kayak beruang tapi hati hello kitty, Pak," kata Aditya.
Kini giliran Pak Tirto yang hening menatap mereka. Ia mengangkat satu alisnya. "Beneran?" lanjut Pak Tirto, "Karena kekerasan adalah hal yang serius. Bila Bari benar melakukan kekerasan seperti rumornya selama ini, saya harus mempertimbangkan ulang posisinya sebagai murid di sekolah ini."
Ketika Aditya dan Vania hanya diam, Pak Tirto kembali berkata, "Kalau Bari sudah bukan murid sekolah ini kan kalian tidak perlu membantunya lulus Ujian Nasional untuk dapat surat rekomendasi."
Ketika dua siswa-siswi terbaik itu hanya terdiam, Pak Tirto berusaha menyembunyikan senyuman tipis tetapi gagal. Sejujurnya Kepala Sekolah itu tahu bahwa Bari terpaksa melakukan tawuran untuk uang –Pak Tirto tidaklah bodoh, bahkan ia adalah orang pertama yang mengunjungi dan melihat sendiri kehidupan Bari. Melihat sendiri luka-luka di tubuh Bari dan bagaimana Bari berusaha sekuat tenaga mempertahankan rumah kontrakan serta menyekolahkan kedua adiknya. Pak Tirto lah yang berusaha menelepon semua sanak saudara Bari untuk membantu keadaan Bari, dan ia jugalah yang harus menahan frustrasi karena tidak ada yang mau membantu kecuali paman Bari yang memberikan sejumlah uang terbatas. Meski Ketua RT perumahan Bari cukup membantu, Ketua RT itu memiliki keluarga tersendiri. Pada akhirnya, bantuan Pak Tirto pun hanya bisa sebatas membebaskan uang sekolah.
Maka ketika ia kini melihat dua murid di depannya berusaha melindungi Bari padahal kesempatan beasiswa mereka dipertaruhkan, Pak Tirto merasa bangga. Ia memang tidak membenarkan kekerasan. Namun ia menghargai empati Aditya dan Vania yang menilai seseorang dari keseluruhan situasi yang dialami seseorang dan bukannya sebagian keburukan yang Bari tidak punya pilihan untuk terima.
Mungkin proyek ini mulai berhasil, pikirnya.
"Pak," kata Vania setelah membersihkan tenggorokkannya, "Bari bahkan mendapatkan nilai yang cukup bagus di Ujian Bahasa Inggris setelah belajar bersama saya." Gadis itu menunjukkan papan berisikan tulisan, nota, dan silabus pelajaran yang sudah dibuat oleh Vania. Di papan itu, tertulis dengan jelas rincian rencananya untuk memastikan Bari lulus Ujian Nasional kemudian daftar sebuah kampus.
"Ini adalah rencana-rencana yang sudah saya susun," lanjut Vania, "Bari sudah setuju untuk rajin masuk sekolah dan setiap hari mendapatkan pelajaran tambahan dari kita berdua. Lalu berikutnya–"
"Vania lupa bilang, Pak," potong Aditya, "bahwa yang sebenarnya membujuk Bari untuk mau belajar bersama kita adalah saya. Lalu saya adalah yang membantu Bari mengejar pelajaran-pelajaran IPS serta mempersiapkan diri untuk mata pelajaran pilihan Ujian Nasional Bari nanti. Nilai ujian geografi Bari terakhir juga memuaskan, Pak. Lebih tinggi tiga angka daripada nilai Bahasa Inggrisnya."
Aditya melirik Vania. Seketika Pak Tirto dapat melihat kilatan listrik di antara kedua mata itu. Merasa dirinya sudah pasti kelelahan karena melihat yang tidak-tidak, Pak Tirto memijat kembali batang hidungnya.
"Tapi saya yang menemukan Bari ingin daftar jurusan kampus apa, Pak," kata Vania, "dan saya yang akan membantu Bari untuk submit aplikasi–"
"Kita berdua akan membantu membuatkan esai dan melengkapi profil Bari," lagi-lagi Aditya memotong.
Melihat kedua murid ini berdebat siapa yang paling berjasa di proyek ini mengingatkan Pak Tirto pada dua ayam jantan yang dulu ia pelihara. Kedua ayam jantan itu selalu berebut siapa yang lebih dominan dan berkuasa, mereka berantem hampir setiap hari, hingga akhirnya hanya tersisa satu yang berdiri. Pikiran itu membuat Pak Tirto merasa sedikit kecewa. Ia pikir proyek humaniora ini bisa memberikan pelajaran baru bagi Aditya dan Vania yang selama ini hanya mementingkan nilai saja. Namun melihat keduanya adu argumen seperti ini membuatnya berpikir kedua anak ini belum berubah.
"Cukup," kata Pak Tirto akhirnya, "Apapun kontribusi kalian hingga sekarang, semuanya tetap akan sia-sia bila Bari tidak mendaftar kampus. Jadi bantu Bari daftar kampus terlebih dahulu, baru kalian berargumen kembali siapa yang berhak dapat surat rekomendasi itu."
Vania dan Aditya akhirnya terdiam. Mereka berdua saling melirik satu sama lain secara intens, tidak ada yang mau mengalah.
"Tentang itu Pak," kata Vania, "kami butuh beberapa dokumen Bari untuk bantu aplikasi kampusnya."
"Memangnya Bari mau daftar kampus apa?" tanya Pak Tirto.
"Um..." tiba-tiba Vania menjadi gagap. "Uh... kampus..."
"Kampus Angkasa Pak," Aditya membantu Vania untuk menjawab, "Kita akan mendaftarkan Bari di Universitas yang sama dengan yang kita mau."
"Oh begitu," Pak Tirto mengelus bagian bawah jenggotnya. "Kalau transkrip nilai sih kami ada. Ijazah mungkin minta disusulkan saja, toh kalian belum Ujian Nasional."
"Maksud kami dokumen seperti akta lahir dan KTP Bari, Pak."
Pak Tirto menelengkan kepalanya sedikit, seakan menimbang kalimat Vania. "Kenapa ga minta langsung ke Bari aja?" tanya Pak Tirto.
""Uh... Karena kami ingin membuat kejutan untuk Bari, Pak," jawab Vania.
Dahi Pak Tirto kembali mengernyit. "Jadi bukan Bari yang mau daftar ke kampus dengan sendirinya?"
"Bukan gitu, Pak," jawab Aditya dengan cepat. Terlalu cepat. "Bari mau kok. Cuma... cuma... kayak Vania bilang, kita mau bikin kejutan. Dia bilang dia sibuk mengejar ketinggalan, jadi belum sempat daftar kampus. Jadi kami mau bantu."
"Oh, gitu," Pak Tirto masih mengelus bagian bawah jenggotnya, "sayangnya kami tidak menyimpan dokumen-dokumen pribadi seperti itu."
"Apa?" Aditya dan Vania bertanya bersamaan.
"Lho, Pak," kata Vania, "Bukannya saat kami mendaftar SMA kami perlu menyerahkan fotokopi Akta Lahir dan pas foto?"
"Benar, tapi untuk daftar kampus, apalagi Universitas Angkasa kan kamu perlu fotokopi berwarna dari Akta Lahir serta scan dokumen asli. Sedangkan sekolah hanya menyimpan fotokopi hitam putih," lanjut Pak Tirto, "lalu pas foto Bari 3 tahun lalu tentunya sudah tidak relevan sekarang, ia perlu pas foto baru."
Mati, pikir Vania dan Aditya dalam batin. Mereka terlalu fokus untuk memenangkan impresi Pak Tirto pada laporan progres kali ini –meski Pak Tirto seakan acuh tak acuh pada argumen mereka– hingga melupakan detil-detil kecil seperti yang disebut Pak Tirto.
"Jadi mending kalian kejutkan Bari dengan hal lain," kata Pak Tirto, "untuk hal aplikasi kampus sepertinya kamu harus kasih tahu Bari supaya dia menyiapkan dokumen-dokumennya. Nanti begitu sudah selesai daftar baru kabari saya lagi dan barulah kita bicarakan siapa yang akan menerima surat rekomendasi itu."
"Oke?" tanya Pak Tirto tanpa berbasa-basi, "Kalau sudah selesai, silahkan keluar, saya banyak pekerjaan." Untuk pertama kalinya, Aditya dan Vania memilih untuk tidak mengangkat tangan bertanya. Malah, mereka keluar ruangan dengan kepala tertunduk, seakan sudah menerima kekalahan.
***
"Gimana nih?" tanya Aditya begitu mereka berdua di luar kantor Pak Tirto.
"Bagaimana lagi?" balas Vania, "kita perlu dokumen-dokumen itu."
"Tapi gimana caranya kita dapat Akta Lahir, KTP, dan pas foto baru dari Bari tanpa memberitahunya kita mau daftarin dia ke sebuah kampus? Apa kita bujuk dia aja? Kita udah berhasil bujuk dia berhenti tawuran, kita bisa kali bujuk dia daftar kampus."
"Hush," Vania mengarahkan satu jari di depan mulutnya. Ia melihat kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang mendengar kemudian berkata, "Dia ga akan mau daftar karena bakal khawatir biaya kuliahnya."
"Jadi gimana dong?"
"Ya... gimana lagi?" Vania mengangkat kedua bahunya.
"Maksudnya gimana?" tanya Aditya, mulai jengkel, "Dari tadi lu jawabannya 'gimana lagi?' melulu."
"Memang mau gimana lagi?" balas Vania, "kita butuh dokumen-dokumen itu, jadi kita dapatkanlah dokumen-dokumen itu."
"Hah?"
Vania mengambil satu langkah mendekat pada Aditya kemudian berbisik, "Kita ambil dokumen-dokumen itu dari rumahnya. Mumpung sekarang masih jam sekolah dan Bari kan terikat kesepakatan dengan kita untuk tidak bolos sekolah."
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku